Aku dan Daniel memasuki sebuah mall. Tangan Daniel mempersilahkan aku untuk berjalan disampingnya. Aku maju kedepan dan mulai berjalan disamping Daniel. Ada perasaan bahagia karena Daniel lagi-lagi membuat aku merasa dihargai. Aku merasa dia tidak pernah merendahkan aku yang hanya seorang maid. Daniel membawaku masuk ke outlet baju. Mungkin dia ingin membelikan baju untuk Farah. “Pilih baju yang kamu suka.” Ucap Daniel. “Buat siapa, Bos?” Aku bertanya heran. “Buat kamu.” Jawab Daniel. Dia semakin membuatku bingung. “Enggak usah, Bos. saya nggak punya duit buat beli baju mahal disini.” Aku mengelak. “Aku yang bayar.” Jelasnya. “Tapi, Bos.” “Kamu baru tadi loh, minta maaf sama saya karena kamu ngebantah. Sekarang kamu mau ngebantah lagi?” Aku menggelengkan kepalaku. “Okey, sekarang kerjakan apa yang saya perintahkan. Please!” Aku mengangguk dan berjalan menuju baju-baju yang berjejer. Aku mengambil satu dress cantik berwarna hitam. Kemudian masuk ke fitting room untuk mencoba dress yang kupilih. Setelah merasa pas, aku keluar dan membawa dress tersebut pada Daniel. “Ini, bos, saya udah pilih bajunya.” “Kenapa cuma satu?” “Satu cukup, Bos. Baju ini juga harganya mahal. Rasanya saya kurang pantas memakai baju mahal seperti ini.” “Gak usah bahas harga. Kamu ambil sepuluh baju yang kamu suka, kalo udah baru kamu dateng kesini.” Tangan Daniel menyuruhku untuk pergi. Aku pergi dengan sedikit kesal. "Kenapa Daniel selalu memaksa kehendaknya. Kenapa dia tidak pernah mau mendengar apa mauku?" Seorang perempuan muda memperhatikanku yang tengah menggerutu. Aku menggeser satu persatu baju atasan, celana, juga dress. Selain melihat corak, motif dan modelnya, aku juga melihat bandrol harganya. Aku tidak mau membeli pakaian terlalu mahal dengan uang orang lain. terlebih, dia bukan siapa-siapa untukku. “Bos, saya udah selesai.” Aku menghampirinya setelah selesai memilih beberapa baju dan mencobanya. “Good. Kita kekasir.” Aku mengikuti langkah Daniel yang berjalan kearah kasir. Dia membayar semua bajuku. Semua orang disekeliling kami memandang kearahku. Mungkin karena penampilanku yang lusuh bertabrakan dengan Daniel yang rapi dan elegan. Mungkin ini alasan Daniel membawaku membeli beberapa baju branded. Dia malu harus berjalan beriringan denganku yang seperti gembel ini. Selesai membayar Daniel membawaku ke outlet kecantikan yang berada tepat disamping outlet baju. “Sekarang pilih apa yang kamu butuhin.” Ucap Daniel. “Saya gak butuh apa-apa, bos. Bos kan tahu sendiri, saya gak pernah dandan.” Jawabku. “Okey, kalo gitu biar pelayan itu yang pilihin buat kamu.” Dia berjalan kearah pelayan outlet tersebut. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” seorang karyawan menyapa Daniel. “Siang. Tolong pilihkan skincare yang cocok buat dia ya, Mba.” Daniel menunjuk kearahku dan memberi aba-aba agar aku mendekatinya. Aku berjalan mendekati Daniel. “ Selamat siang, Bu.” Pelayan itu menyapaku. “Siang.” Aku tersenyum. “Oh, iya. Sekalian sama make up yang dibutuhin juga ya, Mba.” Ujar Daniel lagi. Aku diam tidak melawannya. “Baik, Pak.” Jawabnya pada Daniel. “Bu, ikut saya. Biar kita periksa dulu kulit wajahnya. Biar tahu skincare apa yang dibutuhkan kulit wajah ibu.” Aku mengangguk dan mengikutinya. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, akhirnya pelayan itu memberikan aku beberapa skincare dan make up. “Mba, tolong sekalian dia dimake up-in disini. Nanti saya bayar Mbanya. Soalnya kami ada acara bentar lagi. Kalo kesalon gak keburu.” Jelas Daniel. “Boleh, pak.” Timpal pelayan itu. “O iya. Sebelum pakai make up, kamu ganti baju dulu.” Aku menatap Daniel dengan wajah geram. Daniel tahu kalau aku tidak akan melawannya didepan orang. Aku langsung berjalan ke room untuk berganti baju. Setelahnya, pelayan itu memoles wajahku dengan apik. Aku merasa diperlakukan seperti ratu. Seumur hidup, baru sekarang aku diperlakukan seperti ini. Aku tidak tahu kenapa Daniel melakukan ini semua. “Selesai, Bu.” “Terima kasih, Mba.” Ucapku padanya. Aku berjalan keluar dan menemui Daniel. Daniel memandangku lama. Dadaku berdebar melihat matanya. Mungkin Daniel terpesona melihat penampilanku. Daniel bangun dari sofa dan berjalan ke kasir. Daniel mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dompetnya untuk membayar semua barangku dan jasa si pelayan. “Udah semua?” Tanya Daniel. Aku mengangguk. Kami keluar dari outlet tersebut. Daniel membawaku kesebuah café. Kami duduk di salah satu meja dicafe tersebut. Dia memesan minuman dan beberapa makanan ringan. Beberapa kali Daniel memandangku, mata kami saling bertemu. Aku tidak bisa menutupi perasaanku. Aku nervous setiap kali Daniel melihatku. “Makasih, Bos. Saya nggak tahu gimana caranya membalas semua kebaikan, Bos.” Tuturku. “Sama-sama. Kamu pantas mendapatkan ini semua. Saya ngelakuin ini, buat ngucapin terima kasih ke kamu. Kamu udah mau jadi maid saya disaat saya sangat membutuhkannya segera. Kamu rajin, kamu cekatan, masakan kamu enak. Kamu cepat paham. Saya gak perlu mengulang-ngulang ucapan saya, meskipun saya harus sering mengulang perintah saya. Karena kamu sering membantah. But it’s okey. Saya masih bisa mentolerir itu.” Daniel tersenyum. “Tapi, bukannya semua maid begitu, Bos? Mereka juga akan rajin, cekatan dan masak-masakan yang enak.” “Kalau semua maid bisa begitu, gak mungkin saya gonta ganti maid. Dan menurut saya, maid itu seperti jodoh. Kita nggak akan bertahan dengan orang yang gak pas. Dan kalo udah nemuin yang pas, kita nggak boleh ngelepasin orang itu." “Kalo saya?” Daniel mengernyitkan dahinya bingung. "Maksud saya, saya cocok jadi maid, Bos?” “Cocok. Makanya saya gak biarin kamu diambil Rena.” Jawab Daniel. “Kalau jodoh? Udah ada yang cocok?” Tiba-tiba aku bertanya tanpa rasa malu. “Lagi nyari.” Daniel tersenyum. Pelayan café mengantarkan pesanan kami lalu meletakkannya diatas meja. Kami mulai menyeruput minuman dan mencicipi makanannya. “Gimana dengan Farah?” Tanyaku ingin menghilangkan rasa penasaran. “Kenapa Farah?” Tanya Daniel bingung. “Apa hubungan Bos sama dia?” Aku memperjelas pertanyaanku. “Cuma temen. Actually, dia mantanku.” “Mantan tapi masih sering ketemu. Ada niatan mau CLBK?” Aku menyeruput orange jus didepanku. Aku cemburu dengan pertanyaanku sendiri. “No. menurut saya, kembali pada mantan adalah satu kebodohan. Karena kita hanya akan mengulang cerita yang sama.” Aku mengacungkan jempol. “Kalo kamu? Udah ada calon?” Tanya Daniel. “Belum. Saya belum kepikiran buat kearah sana.” Daniel melontarkan senyumnya yang khas. “Betul. Kamu jangan mikirin hal yang gak penting. Fokus kejar cita-cita dulu. Kalau kamu sukses nanti, pasti banyak pria ngejar-ngejar kamu.” Aku tersedak mendengar ucapan Daniel. “Okey. Saya juga doakan Bos cepet dapet jodoh.” “Enggak dulu kayaknya.” Daniel menyeruput minumannya. “Kenapa, Bos?” Tanyaku penasaran. “Karena ada seseorang yang saya tunggu." “Hemm.. Beruntung sekali perempuan itu bisa ditunggu sama bos.” Daniel hanya tersenyum. “Emang ada dimana dia, Bos?” Tanyaku belum puas. “Dah lah, pindah topik.” Daniel tersenyum. “O iya, Sofi. Satu perintah lagi buat kamu.” Ucap Daniel. “Apa, Bos?” “Jangan panggil saya, Bos!" Aku menyipitkan mataku. “Terus, saya panggil apa bos?” “Terserah! Daniel juga boleh.” “Gak ah, Bos. Gak sopan kalo panggil nama.” “Kalo gitu, panggil Di aja.” “Di? Bukannya panggilan Di itu khusus untuk keluarga Bos, aja?” Daniel mengangguk. “Especially, orang terdekat saya. Sekarang, saya udah anggep kamu bagian dari keluarga saya.” “Saya pengen tahu, kenapa Bos dipanggil Di?” “Karena, Di adalah huruf awal dari Daniel. D for Daniel.” “Oya? Saya fikir, D for darling.” Kami tertawa lepas. Hari ini aku sangat Bahagia. Meskipun aku belum tahu perasaan Daniel, setidaknya aku lega Daniel dan Farah tidak ada hubungan apa-apa. "Udah makannya?" Daniel mengelap mulutnya dengan tissue. "Udah, Bos. Kenapa?" "Ya pulang lah.. kamu mau nginep sini?" "Loh, Farah?" Tanyaku bingung. "Gampang.." Daniel menyeringai sambil menarik tanganku. Kami menaiki mobil Daniel lalu pulang.
"Plak" Akuterpental kesofa. Tamparan Farah sangat keras."Jangan kurang ajar kamu Farah!"Daniel mendorong Farah dan membantuku berdiri.Entah apa salahku sampai Farah datang kerumah Daniel dan menyerangku."Eh, gembel. Ngapain kamu disini?!"Sungut Rena."Farah!" Suara Daniel melengking dalamrumah. "Duduk!" Telunjuk Daniel memberi aba-aba.Farah duduk dengan raut wajah murka disofa ruangtamu."Kamu nggak apa-apa, Sofi?" Daniel dudukdisampingku. Mengelus pipiku dengan lembut."Nggak usah deket-deket." Farah menarikbahuku sangat kencang. Air mataku jatuh tak tertahan.“Heii..!” Daniel membentak Farah lagi.“Siapa dia, Dan? Kenapa kamu belain dia terus?”Farah menoleh kearahku penuh amarah. Daniel berjaga didepanku."Kalo kamu masih kayak gini, mending kamukeluar sekarang!" Usir Daniel. Farah diam dan membuang muka."Kamu ngusir aku demi gembel ini, Dan?!Hah.." Farah tertawa picik."Kalo kamu gak bisa tenang, aku minta kamukeluar dari sini!" Usir Daniel."Oke. Sekarang kamu jela
Hari ini gerimisdatang lagi. Seperti biasa, Daniel selalu mengantarku kekampus saat gerimis.Dia tidak mengizinkan aku untuk pergi sendiri naik taxi.Kali ini Daniel tidak menyalakan type atau radiodalam mobilnya. Susana masih terasa hening.Aku memilih diam saja sebelum Daniel yang memulaipercakapan.Aroma parfum kopi yang memenuhi kabin mobil terasamenenangkan diiringi suara gemercik hujan yang jatuh pada kaca mobil Daniel.“Dressyang cantik, kayak yang makek.” Puji Daniel memecah keheningan. Hatiku berbunga.“Makasih..Ini baju yang Bos belikan, loh” Aku menyeringai salah tingkah. Menyilangkankaki agar terlihat lebih elegan.“O, ya?Cantik." Pujinya lagi. Aku semakin salah tingkah. "Kamu tahu, nggak?Hitam itu warna favorite saya.”“Sayatahu." Timpalku."Tahu dari siapa?" Daniel tersenyumdengan wajah bingung."Nebak aja. Karena Bos sering banget pakaibaju warna hitam. Barang-barang Bos dirumah juga, dominan warna hitam. So, sayafikir warna favorite kita sama.”“O ya?
Sofi, aku punyasesuatu buat kamu.” Salman menyodorkan sebuah bucket berisi cokelat.“Cie..suit, suit..” Kelas mulai riuh meneriaki tingkah Salman.“MaafBang, aku nggak suka cokelat.” Ujarku.“Terimaaja kali, Sof. Hargai effort dia. Kasian tahu.” Rena berbisik sambil menyenggollenganku. Aku terdiam.“SiniMan, Sofi sebenernya suka banget sama cokelat. Tapi dia malu sama kamu.” Akumemeloti Rena, tapi Rena balas memelototiku.“Oya?Kalo gitu, ambil dong, Sofi. please.. Kamu bawa pulang.Nanti kamu makan cokelat ini, biar inget terussama aku.” Kelakuan Salman semakin menjadi.“Cie..”Kelas Kembali bising. Aku sangat terganggu dengan situasi ini. Kenapa Salmantidak penah menyerah.Padahal, aku tidak pernah sekalipun meresponnya.Ingin rasanya aku buang saja cokelat itu. Aku malu menjadi sorotan teman-temandikelas.“Selamatpagi..” Dosenku, Bu Farisa tiba dikelas.“Selamatpagi, Bu.” Kami serentak menjawab.Bu Farisa memulai mata kuliah ekonomi makro.Mataku memandang keara
"Bangun,Sofi." Aku membuka mataku yang perih setelah lama pura-pura tertidur."Makasih tumpangannya, Bang." Ucapkupada salman."Sama-sama, cantik." Aku muak denganperlakuan Salman.Mungkin seperti ini rasanya digoda oleh orang yangnggak kita sukai. Aku turun dari mobil Salman.Aku membuka gerbang rumah Daniel. Salmanmembunyikan klakson dan pergi melajukan mobilnya.Kepalaku pusing karena harus pura-pura tidurselama dalam perjalanan. Aku tidak mau Salman membicarakan sesuatu yang tidakaku sukai.Rayuan, gombalan, juga hal pribadi yang selama iniaku sembunyikan. Aku mulai membuka pintu rumah Daniel dan masuk kedalamnya.Aku melihat Daniel sedang duduk disofa ruang tamu.Aku menghampirinya.“Bos.”Aku menegur Daniel.“Hemm..”Dia hanya bergumam. Matanya fokus melihat ponsel ditangannya.“Bos,pulang cepet hari ini?” Tanyaku basa basi.“Iya.”Dia menoleh kearahku. “ Gimana kabar kamu, Nona Sofi?" Tanya Daniel dengannada sinis."Apa kamu bahagia hari ini? Oo tentu sangatbahag
Malam yang tenang.Aku duduk seorang diri diteras rumah dengan bukuditangan. Buku itu hanya menemaniku. Karena tidak sedikitpun aku membukanyamalam ini.Aku mendongakkan kepalaku. Melihat langit yangindah dihiasi sang bulan. Bintang gemintang menjadi pelengkapnya.Aku menyingkap dressku yang tertiup angin. Anginmalam memang lebih kencang. Tapi ia membuat sejuk yang menyenangkan.Aku melirik jam dilayar ponsel. Jam menunjukkanpukul 09.00 malam, tapi aku belum mau tidur.Aku melihat sekeliling rumah, mencerna setiapdetailnya satu persatu. Suatu saat nanti, aku akan merindukan rumah ini.Beberapa bulan lagi, aku akan lulus kuliah danmencari pekerjaan baru. Aku tidak mungkin selamanya menjadi maid Daniel.“Coffee?”Daniel mengagetkanku dengan tangan kanan menyodorkan kopi.“Thank's.”Aku meraih kopi yang disodorkan. Akhir-akhir ini Daniel memang terlihat berbedasejak dia marah padaku karena bucket cokelat itu.Daniel tambah perhatian. Aku tidak mengerti maksuddari setiap perhat
"Aduh.." Kakiku tersandung bebatuanpantai Tambak Wedi Surabaya. Pantai dengan spot Jembatan Suramadu."Kamu nggak apa-apa?" Tangan Danielmenahanku yang hampir jatuh"Sakit, Mas.""Ayok naik." Daniel membungkukkanbadannya. Dia memintaku untuk naik kepunggungnya."Nggak usah, Mas." Aku menolak."Udah cepetan. Aku bawa kamu ketempat duduklesehan dibibir pantai." Aku masih ragu untuk menaiki punggung Daniel."Cepataaan.. Tenang aja, aku kuat, kok."Aku menaiki punggung Daniel perlahan.Daniel membawaku kebibir pantai. Kami dudukditikar yang sudah disediakan oleh para pedagang disana.Daniel memesan dua susu jahe hangat untuk kami."Sini kakinya, aku pijitin. Sakit, kan?""Wah.. Selain menikmati semilir angin pantai,kita juga bisa menikmati service pijatan, ya?"Aku dan Daniel tertawa. Aku meluruskan kakiku,kemudian Daniel memijatnya perlahan."Enak juga mijitnya. Belajar dari mana?""Seperti kata kamu. Bakat terpendam."Kami kembali tertawa."Indah sekali viewnya. Lampu kelap kelip
Aku berjalan beriringan bersama seorang laki-laki muda manis nan rupawan. Laki-laki yang menjadi majikan sekaligus keluarga untukku saat ini.Hari ini, Daniel membawaku untuk meeting bersama rekan bisnisnya.Tidak hanya hari ini, mungkin beberapa hari kedepan aku akan mengikuti kegiatan Daniel untuk aku tulis dalam skripsiku.Daniel menarik kursi dan memeprsilahkan aku untuk duduk, lalu menarik kursi disampingku untuk dirinya sendiri.Dimeja ini, sudah ada dua orang laki-laki. Yang satu sudah paruh baya, dan satunya lagi masih muda energik yang ternyata itu adalah PA dari si bapak paruh baya tersebut.“Kenalkan, ini Sofi.” Daniel mengenalkan aku pada mereka. Aku mengulurkan tanganku bersalaman dengan mereka.Aku melempar senyum tipis pada mereka. Mereka membalas senyumku."Kebetulan Sofi sedang menyusun skripsi dikampusnya, dan judul skripsinya relate dengan apa yang akan kita bahas hari ini.Jadi, dia ikut meeting untuk bahan penelitiannya. Semoga Bapak tidak keberatan dia ada disin
Aku bersiap pergi kekampus. Memasukkan beberapa buku kedalam tas lalu menentengnya keluar kamar.Aku melirik jam ditangan, masih jam 05.30 pagi. Aku sengaja bangun pagi dan menyelesaikan tugasku sebelum Daniel datang.Aku memilih untuk pergi kekampus sendiri menggunakan taxi. Aku membuka pintu utama rumah Daniel. Tiba-tiba aku terserempak dengannya didepan pintu. Daniel sudah pulang jogging. Badannya masih berpeluh. Dia menatapku heran.“Kamu mau kemana berangkat pagi-pagi begini?” Daniel mengelap wajahnya. Entah kenapa Daniel pulang lebih cepat dari biasanya. Padahal, aku sedang berusaha menghindarinya. Aku masih ingat bagaimana sikap Daniel dan Farah kemarin di restoran. Hatiku masih sakit mengingat kejadian kemarin.“Saya.. saya mau kerumah temen, Mas. Ada beberapa buku yang harus saya pinjam untuk referensi skripsi saya. Mas Di tenang aja, saya udah menyelesaikan semua pekerjaan saya.”“Sofi, masuk kedalam dulu, please..” Pinta Daniel.Daniel tidak membiarkan aku pergi. Ak