Share

CHAPTER 6. COLLEGE LIFE

Jakarta, 2024

Now.

Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.

Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.

Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.

Morning, friend!” orang itu menyapa riang.

“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.

“Terus apa? Pacar lo?”

Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.

Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. Dia menghela napas sejenak, lalu mendudukkan dirinya di kursi paling belakang.

“Lo, tuh, ya, dari semester satu nggak berubah sama sekali. Lo tetap Air yang cuek bebek. Seneng banget kayaknya nyuekin orang. Lo nggak kasihan apa sama gue yang selalu jadi korban dari kecuekan lo itu?”

“Nggak,” Air membalas pendek. Dia menatap tajam orang di depannya itu. Naradipta adalah nama lengkapnya.

“Jahat.” Nara menghentakkan kakinya kesal sebelum mengambil tempat duduk di samping Air. Sedetik kemudian, laki-laki itu menjentikkan jarinya. “Lo tahu nggak, Air?” tanyanya.

“Nggak.”

STOP JAWAB GUE DENGAN ‘NGGAK’! ITU MULU YANG KELUAR DARI MULUT LO. BOSEN GUE.”

Air menutup matanya sesaat setelah teriakan itu memecah fokus semua orang di dalam kelas. Dia mengeraskan rahangnya. Dia paling tidak suka jika harus menjadi pusat perhatian. Lihat saja, kini semua orang menatap ke arah mereka berdua.

“Lo bisa diam nggak?”

“Bisa. Sorry, Boss.

Air mendengus. Dia kemudian mengeluarkan kertas berisi coretan-coretan hasil karya tangannya dari dalam tasnya. Coretan-coretan itu membentuk sebuah gambar bangunan. “Tadi lo mau bilang apa?” tanyanya pada Nara yang ikut-ikutan mengeluarkan tugasnya.

“Widihh, tumben banget kep—"

“Cepet jawab atau lo gue tendang sekarang juga,” potongnya galak.

Nara merengut dengan bibir mengerucut. “Lo tahu nggak, dikit lagi kahim kita lengser. Yang artinya, himpunan udah mulai nyari-nyari calon kahim dan sekretaris hima yang baru. Ah, lo nggak mungkin nggak tahu nggak, sih. Lo, kan, anak himpunan juga.”

“Iya, gue tau. Lalu?”

“Ya… curhat aja, sih. Sebenernya, gue, tuh, pengen nyalonin diri.”

“Elo?” Air menatap tak percaya.

“Ah elah, ngeliat lo natap gue kayak gue, niat gue buat nyalonin diri langsung batal.”

“Nggak nyangka aja.”

“Udahlah, batal, nih, gue nyalonin diri.”

Air menggeleng tidak paham. “Lagian, kenapa tiba-tiba banget mau jadi kahim? Lo bukannya nggak minat organisasi?”

Nara menarik napas dalam-dalam. “Jadi gini… Gue, kan, punya pacar. Terus…, ya…, gue cuma pengen dia bangga aja, sih, punya pacar kayak gue. Gue mahasiswa kupu-kupu banget, nih. Kalo misalnya gue jadi kahim, dia pasti bangga banget.”

“Bikin bangga pacar nggak harus jadi kahim.”

Nara terkekeh sinis. “Ucap seorang laki-laki jomblo.”

Hening sejenak.

“Tapi lo ada benernya,” Air berkata tanpa nada.

“TUHKAN! Jadi, lo mau dukung gue nyalonin diri jadi kahim?” Binar mata Nara memancarkan pengharapan.

“Nggak.”

“Lah, terus?”

“Gue yang bakal nyalonin diri jadi kahim. Thanks atas pencerahannya.”

***

Rapat organisasi baru berakhir jam enam sore. Air berjalan gontai menuju parkiran—tempat motornya bersemedi. Rambut panjangnya berantakan, kemejanya sudah kusut, dan wajahnya penuh guratan lelah.

Kedua alisnya terangkat ketika netranya menangkap sebuah paper bag yang tergantung di setang motornya.

Lagi?

Dia meraih paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Kertas-kertas warna-warni, cokelat, dan bunga, adalah isi dari paper bag tersebut.

“Berasa di drama.”

Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di motor, berniat membaca satu per satu isi kertas—seperti biasa—yang tak lain dan tak bukan adalah surat cinta. Walaupun dia lumayan kesal karena sejak semester lima, setiap bulan pasti ada paper bag yang tergantung di setang motornya dengan isian yang sama, tapi dia selalu membaca surat tersebut dan tidak membuangnya. Dia tahu bagaimana cara menghargai orang.

Surat pertama.

From: F, Teknik Sipil

Kak Air, kamu ganteng banget asli. Aku suka banget liatin kamu diem-diem di parkiran fakultas. Jomblo, ya? Kalo iya, pacaran yuk!

Air refleks mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru parkiran. “Makasih udah bilang gue ganteng, F. Tapi, jangan liatin gue diem-diem lagi, deh. Merinding gue. Dan satu lagi…, maaf, ya, gue nggak mau pacaran sama lo.” laki-laki itu bermonolog di tengah sepinya parkiran.

Surat kedua.

Dari: Aleysha

Hello, Air. Gue Aleysha, anak Teknik Industri. Lo pasti kenal gue, kan? Gue yang sering banget masuk i*******m @teknik_cantik itu. Gue pengen PDKT sama lo, tapi nggak tahu nomor lo atau sosmed lo. Gimana kalo lo duluan yang hubungin gue?

No. HP: 081xxxxxxxxx

I*******m: aleyshamia

HMU, ya. Thank you, ganteng!

Kali ini dia berdecak. “Halo, Aleysha. Pertama, gue nggak kenal lo. Gue bahkan nggak tahu kalo teknik punya i*******m begituan. Kedua, makasih udah mau PDKT sama gue. Tapi gue-nya nggak mau. Sorry.

Surat ketiga.

Hi, Air. Aku cuma mau bilang, aku jatuh cinta sama kamu sejak kamu jadi panitia seminar nasional tahun lalu. Kamu keren banget waktu itu. Sehat selalu, ya…

“Padahal semnas waktu itu kerjaan gue cuma narik-narik kabel doang. Tapi thanks buat lo yang gue nggak tahu nama lo siapa. Thanks udah bilang gue keren. Sehat selalu juga.”

Surat keempat.

To: Kak Air

Kak…, I think I like you. Kira-kira sejak aku masih maba. I don’t know why, I just like you the way you are.

—D

“Makasih karena udah suka sama gue, dan maaf, karena gue sukanya sama orang lain.”

Kira-kira masih ada dua atau tiga surat lagi yang belum dia baca. Dia bergegas menyelesaikan semuanya.

Setelah selesai membaca semua surat itu, dia segera melajukan motornya membelah jalanan Jakarta. Dengan terburu-buru, dia menghentikan motornya di dekat lampu merah. Dia turun, kemudian berjalan cepat menghampiri anak-anak kecil yang berdiri di sekitar lampu merah. Anak-anak itu adalah anak-anak penjual koran.

“Wahh, Kakak Ganteng datang lagi!” salah seorang dari mereka berseru.

“Haloo kalian!” Air mengulas senyum terbaiknya—senyum yang jarang dia tunjukkan ketika dia berada di kampus. “Ini, isinya masih sama kayak sebelum-sebelumnya.” Dia memberikan paper bag di tangannya pada salah satu anak yang badannya lebih besar dari yang lain.

Setiap menerima paper bag berisi surat-surat cinta dan hadiah lainnya—entah itu cokelat, makanan, dan bunga sekalipun, Air selalu memindahkan surat-surat tersebut ke dalam tasnya, dan memberikan hadiah-hadiah tersebut kepada anak-anak penjual koran.

“Terima kasih, Kakak Ganteng!” mereka berseru serempak.

Air terkekeh. Hatinya menghangat. “Sama-sama, semua.” Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah, lalu memberikannya kepada salah satu di antara mereka. “Seperti biasa, dibagi yang adil, ya. Aku pamit dulu. Aku buru-buru mau ‘pulang’ soalnya. Aku udah rindu ‘rumah’ aku.”

Anak-anak itu mengangguk seraya melambaikan tangan mengiringi perginya Air yang sedang merindukan ‘rumah’.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status