Share

CHAPTER 7. MALAM INI MILIK MEREKA

Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.

Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.

Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.

“BAJU LO MANA?!”

Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.

“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?

“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.

“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”

“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”

Kedua mata Mika refleks terbuka, disusul ringisan kecil. “Oh iya, sorry. Nggak sengaja.” Dia kemudian tersadar kembali. “Eh, kamu pake baju dulu, dong, sana. Mataku ternodai, nih, malem-malem,” omelnya seraya bangun dari posisi tidurnya.

Air terkekeh. Bukannya mengikuti suruhan Mika, dia malah mendudukkan dirinya di ujung tempat tidur. “Lebay banget. Kayak baru pertama kali lihat aku shirtless aja.”

“Masalahnya, aku harus lihat kamu shirtless saat aku baru aja buka mata. Kan, kaget. Nyawaku kayak mau melayang.”

“Nggak apa-apa, kali. Biar langsung seger kamu-nya.”

Mika memutar bola matanya malas. “Udah, lah, sana pake baju. Susah banget timbang pake baju doang.”

“Peluk dulu,” pinta Air dengan mata membentuk senyum.

Mika melotot. “Nggak! Pake baju!” sergahnya galak.

“Nggak ada peluk, aku nggak mau pake baju.”

Mika menghela napas. Tubuh berotot yang terpampang nyata di depannya itu hanyalah topeng dari sifat kekanakan Air. Laki-laki umur 20 tahun itu semakin dewasa semakin sering bertingkah layaknya anak umur 5 tahun.

“Yaudah. Sini peluk, cepet,” Mika berkata pasrah. Air tersenyum menang. Sedetik kemudian dia menarik gadis itu hingga menubruk dada bidangnya.

Satu detik.

Mika segera menarik dirinya kembali. “Dada kamu dingin banget.” Dia mengusap pipinya yang terasa dingin akibat bersentuhan langsung dengan dada Air.

Air terkekeh. “Ya iya. Kan, baru selesai mandi.” Dia kemudian beranjak mengambil kaus hitam miliknya yang dia gantung di kursi. Tidak butuh waktu lama hingga kaus itu menutupi tubuh bagian atasnya dengan sempurna. “Nanti peluk lagi, ya. Nggak mau tahu. Tadi itu bukan peluk. Mana ada peluk sedetik doang. Itu namanya nempel doang.”

Mika menguap kecil. “Emang peluk itu harus berapa lama, sih?”

“Nggak tahu juga. Tapi aku maunya peluk kamu lima jam. Kamu bakal aku kekep sampe nggak bisa napas.”

“Mati, dong, aku?”

Air melebarkan matanya. “Hush! Ngomongnya jangan sembarangan.”

Gadis itu tertawa pelan. Dia melompat turun dari tempat tidur, berjalan sempoyongan mendekati Air yang berdiri di depan meja riasnya. Kedua tangannya dia lingkarkan pada tubuh tinggi laki-laki itu.

Air terkekeh geli. Dia ikut memeluk Mika dengan sangat erat.

“Aku lapaaaaar,” Mika mengadu dengan suara serak, masih dalam posisi saling berpelukan.

Senyum lebar terlukis di bibir Air. “Gemes bangettt, sih.” Dia bergerak mencium pipi Mika cepat—secepat mungkin, lalu menutup matanya, bersiap mendengarkan pekikan gadis itu.

“UDAH DIBILANG JANGAN CIUM PIPI!!” Mika melepaskan pelukannya sambil melotot.

Tawa Air tersembur keluar. Mika memang selalu marah jika dia mencium pipi gadis itu. “Jangan marahin aku. Marahin pipi kamu, tuh. Siapa suruh pipi kamu gemes?”

Mika mendelik malas. Tangannya menangkup pipinya yang gembul. Dia sadar pipinya memanas dan memerah. Selalu begitu. Dia yang mulai terbiasa dengan segala bentuk sentuhan fisik yang Air berikan sejak mereka masih SMA, masih tetap terkejut jika Air mencium pipinya. Air sering sekali memeluknya atau mencium keningnya, dan dia jarang memerah seperti ini. Namun, lain cerita jika Air mencium pipinya. Itu adalah titik terlemahnya.

Melihat Mika yang merengut kesal, Air tersenyum geli. “Baru cium pipi aja udah teriak-teriak. Kalo cium bibir, aku ditampar, kali, ya?”

Gadis itu melotot. Tangannya terangkat meninju dada Air dengan keras. “Orang gila!” Dia mundur selangkah.

Tawa Air kembali pecah. Dia mengusap dadanya yang sedikit nyeri. “Bercanda, Mikaaa. Udah, ayo kita makan. Aku udah gofood-in makanan dari tadi sebelum mandi. Niatnya habis mandi baru bangunin kamu. Eh, udah bangun sendiri kamunya.”

Mika terkejut. “Eh, kamu gofood? Yah… Yaudah, deh. Padahal aku lagi pengen makan di luar bareng kamu.”

Air menghentikan tawanya. “Kamu pengen makan di luar? Yaudah, kita makan di luar aja kalo gitu,” katanya.

“Lah, kamu, kan, udah gofood.

“Kalo kamu pengen makan di luar, kita makan di luar. Itu makanan yang aku gofood-in, buat sarapan besok aja. Tinggalin dipanasin. Nanti aku yang panasin.”

Mika mengigit bibir dalamnya. “Nggak apa-apa, nih?” tanyanya tak enak hati.

Air tersenyum. Senyumnya kali ini adalah senyum yang hanya dia tampilkan ketika bersama Mika. Tidak ketika dia bersama orang lain, sekalipun Papanya sendiri. “Ya nggak apa-apa, lah. Apapun untuk ‘rumahku’.”

***

Gultik atau gulai tikungan menjadi tujuan keduanya. Dari berbagai macam pilihan makanan yang dijual di pinggir jalan alias makanan kaki lima, keduanya memilih makan di Gultik Pak Iyan. Sebenarnya, selain karena ingin makan, mereka berdua juga ingin mengenang memori lama.

Dulu, waktu SMA, keduanya sering sekali makan di sini—bahkan Pak Iyan sudah hafal mati keduanya. Biasanya di malam hari, ketika sedang ingin makan di luar, tapi uang makan yang mereka punya tidak begitu banyak, gultik adalah solusi paling sempurna untuk mereka berdua. Selain karena harganya pas di kantong pelajar, menurut Air dan Mika, nasi gulai itu salah satu makanan paling enak—apalagi nasi gulai buatan Pak Iyan.

“Pak Iyan, kayak biasa, ya. Nasi gulainya tiga porsi sama sate ususnya empat.”

“Siap, Mas Air.”

Nasi gulai porsinya tidak begitu banyak, jadi biasanya mereka berdua memesan tiga porsi. Dua porsinya dimakan masing-masing, satu porsi sisanya dimakan berdua—romanticize a simple thing.

Air mengajak Mika duduk. Keduanya duduk bersampingan di sebuah kursi plastik yang ada di situ. Gultik Pak Iyan malam ini tidak seramai biasanya. Kursi-kursi dan meja-meja kecil yang tersedia masih ada beberapa yang kosong. Biasanya, tempat makan itu penuh dengan banyak sekali anak muda Jakarta yang datang untuk mengisi perut sekaligus nongkrong.

Air menatap Mika di sebelahnya yang sedang asik menatap jalanan yang tidak ramai tapi tidak terlalu sepi juga. “Kamu tadi tidur berapa lama?” dia bertanya.

Mika sontak menoleh. Keningnya berkerut—sedang berpikir. “Mmm… tadi aku tidurnya jam sebelas. Terus, ya, gitu, bangunnya jam delapan tadi.”

“Jangan makin sering tidur kelamaan gitu, ya. Nggak sehat.” Wajah Air terlihat cemas, dan itu membuat Mika tersenyum kecil.

“Kamu tahu, Air, itu satu-satunya jalan buat menghindar dari ‘mereka’ tiap kali aku sendirian. ‘Mereka’, kan, bisa muncul kapan aja kalo aku sendirian.”

Laki-laki itu mengangguk. “Aku tahu. Aku cuma takut kamu jadi nggak sehat karena pola tidur kamu yang kayak gitu.”

Mika menghela napas dalam diam. Dia juga takut. Tapi mau bagaimana lagi?

“Udah, lupain aja. I’m okay, kok.” Gadis itu meraih tangan Air, memainkan jari-jari panjang laki-laki itu. “Ngomong-ngomong, kamu tadi masuk rumahku jam berapa?”

“Jam tujuh lewat.”

“Gila, kamu kuliah sampe jam segitu?”

Air mengusap lehernya. “Kuliahnya cuma sampe jam empat, kok. Terus lanjut rapat himpunan sampai jam enam. Abis itu… ya… aku masih baca-bacain surat cinta, hehe.”

Mika melebarkan matanya. “Kamu dapet surat cinta lagi??” Air mengangguk membenarkan. “Keren banget sahabat aku disukain banyak orang. Dari SMA lagi.” Gadis itu menggeleng takjub.

Well, aku bingung, sih, kenapa banyak yang suka aku. Sebenarnya, udah pasti karena mukaku nggak, sih? Sifat dan sikap aku, kan, nggak ada bagus-bagusnya.” Dia terkekeh pelan. “Orang-orang sekarang lebih peduli tampang daripada kelakuan. Kadang, mereka nggak peduli mau si cowok kelakuannya sejelek apa, selagi ganteng, mereka tetap suka. Ya… walaupun nggak semua begitu, sih. Mika jangan kayak gitu, ya?”

Tawa Mika lolos dari bibirnya. “Ya nggak, lah. Lihat aja, sekarang aku sukanya sama siapa? Sama cowok yang mukanya ganteeengg, walau nggak seganteng Leonardo DiCaprio waktu masih muda, dan kelakuannya baaaikkk banget, walau cuma ke aku doang. Kamu, mah, ke orang lain 3J. Jutek, judes, julid.”

“Nggak 3J juga, astaga.” Air ikut meloloskan tawanya.

Mika mengusap matanya yang sedikit berair karena tertawa. “Oh iya, aku kepo, deh. Isi surat-suratnya gimana kali ini?” dia bertanya penasaran.

Air mengedikkan bahunya. “Ya sama aja kayak sebelum-sebelumnya. Pada bilang suka aku.”

“Terus?”

“Apanya?” tanya Air bingung.

“Ya kamunya gimana? Mereka, kan, suka kamu.”

“Ya nggak gimana-gimana. Suka sama seseorang itu, kan, hak dan pilihan masing-masing. Terserah mereka, itu bukan suatu kesalahan. Aku juga nggak pernah ngelarang orang suka sama aku. Aku malah berterima kasih sama mereka karena udah suka sama orang kayak aku. Tapi,” Air menatap dalam netra Mika—netra gelap yang selalu membuatnya menghangat. “walau mereka suka sama aku, aku, kan, sukanya sama kamu. Yaudah, nggak gimana-gimana kalo mereka suka aku. Nggak ada pengaruhnya. Aku tetap cuma suka sama yang namanya Mikaidra Isabel.”

Malam itu, Mika lagi-lagi mengucap syukur kepada Tuhan—sang pengendali semesta—yang tak henti-hentinya membuatnya berterima kasih atas kehadiran Isa Airlangga di dalam hidupnya. She knows, people come and go. Dia mulai menerima fakta itu. But, this one guy—Air, tolong biarkan dia menetap. Selamanya.

***

Pelukan Mika pada perut Air semakin mengerat seiring dengan angin dingin yang menusuk hingga tulangnya. Jam hampir menunjukkan pukul sepuluh malam ketika keduanya memutuskan untuk beranjak meninggalkan Gultik Pak Iyan. Pukul sepuluh malam dan angin dingin tidak perlu diherankan lagi, benar-benar sanggup membuat tubuh Mika mengigil kedinginan.

Air yang sedang fokus mengendarai kembaran Mika yaitu Mike—Yamaha XSR700 yang harganya mendekati harga satu mobil subkompak—menyadari bahwa kedua tangan yang melingkar di perutnya itu bergetar. Netranya melirik Mika dari kaca spion. “Mika kedingingan??” tanyanya dengan suara keras yang mengalahkan ributnya jalanan.

Mika tersentak. “Nggak, kok.” kilahnya cepat.

“Bohong.”

Gadis itu meringis. Dia pikir dia sudah bisa mengelabui seorang Air.

Ini adalah salah keduanya, terlalu terburu-buru keluar untuk mencari makan hingga lupa menggunakan jaket. Mereka berdua benar-benar hanya menggunakan kaus rumahan yang tidak setebal selimut Mika.

“Kamu mau pake baju aku nggak?” Air bertanya dengan suara yang lebih keras dari yang tadi—menarik fokus pengguna jalan yang lain.

Mika melongo sesaat, otaknya tiba-tiba tidak bisa bekerja. “Hah?? Maksud kamu???” tanyanya balik. Keningnya berkerut dalam.

“Ya kamu mau pake baju aku nggak? Kalo mau, aku kasih bajuku, nih. Anggep aja jaket.”

Mika semakin bingung. “Baju yang mana maksud kamu?”

“Ya baju ini, lah, Mikaaa.” Air mengedikkan bahunya—secara tidak langsung menunjuk kaus yang sedang melekat di badannya itu.

What??? Terus kamu nggak pake baju gitu???” Namanya Mika, dan dia benar-benar heran sekarang.

“Ya… iya.”

“Gila, ya?! Yang bener aja malem-malem bawa motor telanjang dada???” Gadis itu menggeleng tidak paham dengan cara berpikir Air.

“Nggak masalah. Aku nggak masalah sama sekali kalo harus bawa motor malem-malem sambil telanjang dada. Yang penting kamu nggak kedinginan di belakang,” laki-laki itu berkata kelewat santai. Hal itu membuat Mika melotot dan meninju punggungnya.

“Jangan bulol, deh! Yang ada kamu beku abis itu.” Selain karena khawatir laki-laki itu akan benar-benar membeku, Mika juga tidak rela ada orang—selain dirinya—yang melihat Air bertelanjang dada. Cukup dirinya saja, orang lain jangan.

Air terkekeh geli. Tangan kirinya dia gunakan untuk menggenggam tangan Mika yang masih setia memeluk erat perutnya itu—memberi kehangatan sekaligus meredakan getaran kedinginan itu. “Aku emang bucin tolol! Isa Airlangga selalu jadi bucin tolol kalo lagi bareng Mika!!!” dia berteriak sambil tertawa—tidak peduli jika ada orang yang mengatainya gila.

Mika terdiam di atas Mike yang masih setia membelah jalanan. Wajahnya menghangat. Dingin yang sedari tadi menyerang, lenyap begitu saja. Kupu-kupu berterbangan di perutnya—seakan perutnya itu taman.

Rembulan yang setia menyinari bumi dari atas sana, menjadi saksi bisu cinta keduanya yang semakin mekar malam ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status