Share

CHAPTER 4. JUNIOR HIGH SCHOOL

Jakarta, 2015

A few months ago.

“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.

Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.

Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.

Kesepian? Tentu saja.

Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.

Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.

Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air harus menemaninya hingga tertidur, baru anak itu bisa ikut tidur juga.

“Aku boleh ikut kamu aja nggak SMP-nya?”

Air seketika menghentikan kegiatannya bermain game di sebuah benda mini yang baru Papanya belikan beberapa minggu lalu. “Serius??? Boleeeehhh,” dia menjawab senang.

“Oke, deh.”

Di sinilah keduanya sekarang. Di salah satu SMP swasta terbaik di Ibu Kota. Mereka berdua akan bersama-sama lagi untuk tiga tahun ke depan.

Masa MPLS baru berakhir beberapa hari yang lalu. Pembagian kelas sudah dilakukan. Air dan Mika, nasib keduanya sama seperti saat SD, mereka berada di kelas yang berbeda. Sedih? Tentu. Tapi tidak berlangsung lama. Air telah berjanji akan mengunjungi Mika di kelasnya setiap hari, dan mengajaknya bermain setiap jam istirahat.

Bel istirahat berdering panjang.

Anak laki-laki umur sebelas tahun itu melangkahkan kakinya dengan semangat berapi-api menuju kelas Mika—kelas 7-1. Tangannya menggenggam bola kasti berwarna hijau. Dia berencana mengajak Mika bermain lempar kasti di lapangan sekolah.

Air mengernyit melihat pintu kelas 7-1 tertutup, padahal bel istirahat sudah berbunyi dari tadi. Dia menggeser tubuhnya ke arah jendela. Kepalanya dia tempelkan ke jendela, mengintip isi dalam kelas. Tadi, dia pikir, kelas itu masih ada guru di dalamnya. Namun, ketika melihat kondisi di dalam kelas, matanya membelalak kaget.

Tanpa butuh waktu lama, dia menendang pintu kelas yang tidak dikunci hingga pintu itu terbuka. Tubuhnya setengah gemetar melihat Mika—sahabat kesayangannya—terduduk di ujung kelas dengan kondisi mengenaskan. Seragamnya berantakan, wajahnya penuh air mata, dan yang paling membuat emosi Air meledak adalah rambut sahabatnya itu dijambak kasar oleh seorang anak laki-laki.

BUGH!

Anak laki-laki yang menjambak rambut rambut Mika, terlempar jatuh ke depan ketika bola kasti milik Air menghantam keras belakang kepalanya.

Seisi kelas berteriak kaget. Anak-anak yang tadi mengerubungi Mika, berlarian keluar kelas memanggil guru. Air tidak peduli. Dia melangkah cepat ke ujung kelas.

Mika yang menyadari kehadiran Air, segera berdiri dengan susah payah. Dengan langkah terseok-seok, dia berlari memeluk Air.

Tangisannya pecah, sepecah-pecahnya.

“A-air, me-mereka bully a-aku…” Isakan Mika begitu memilukan, menghancurkan hati Air secara perlahan. “M-mereka bilang, aku anak jahat…, m-makanya, Ayah dan Bunda ninggalin aku.”

Anak perempuan itu menarik tubuhnya. Dia menatap Air dengan bola mata berlapis cairan bening yang siap tumpah kapan saja. “Air, a-aku ini anak jahat?” dia bertanya dengan suara bergetar.

Bahu Air melemas. Dia mengeraskan rahangnya seraya menggeleng. Tangannya terangkat, mengusap lembut rambut berantakan Mika. “Kamu nggak pernah jadi anak yang jahat, Mika. Kamu anak baik. Jangan dengerin omongan orang lain, cukup dengerin omonganku aja.”

Mika mengangguk patuh. Anak perempuan itu bersyukur dalam hati, Tuhan selalu mengirimkan Air untuknya di saat-saat seperti ini, sejak bertahun-tahun lalu. Dia bersyukur dan berterima kasih. Air itu pelindung dan penyelamatnya.

***

Ruang BK terasa mencekam dan mencekik. Ruangan itu menampung guru BK, Air, Mika, wali kelas Air dan Mika, Papa Air, Digo—anak laki-laki yang menjadi korban dari bola kasti milik Air, dan Ibu Digo.

“Jadi…, apakah kamu melakukan bullying terhadap Mika, Digo?” guru BK bertanya, tidak menuduh, tapi suaranya tegas.

“Nggak, Bu. Saya nggak bully Mika,” Digo mengelak. Tangannya mengusap kepala belakangnya yang benjol.

“Nggak bully Mika???” Air berdecih di tempatnya. Tangannya terkepal di bawah sana. “Bully atau perundungan, memiliki salah satu arti: seseorang yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti orang lain. Kamu tadi jambak Mika! Kamu kira saya buta?!” dia membentak kasar.

Guru BK menyuruh Air tenang. Beliau akhirnya mengambil keputusan untuk menghukum Digo dengan skorsing selama satu minggu. Bagaimanapun juga, banyak saksi mata yang melihat aksi Digo menyakiti Mika.

Ibu Digo meminta maaf pada Mika, dan juga Air.

Papa Air juga ikut meminta maaf pada Ibu Digo. Dia tidak membenarkan perlakuan anaknya melempar Digo dengan bola kasti. Namun, hal itu membuat Air tidak setuju.

“Air nggak salah, Pa! Nggak usah minta maaf! Kalau tadi Air nggak lempar anak itu, mungkin dia nggak bakal berhenti jambak Mika!”

“Tapi tetap saja, Nak. Kamu bisa, kok, ngomong baik-ba—”

“Nggak bisa!” Air memotong omongan Papanya cepat. Dia menarik Mika yang duduk di sebelahnya agar berdiri. Tatapan tajamnya menghunjam Digo yang duduk di seberang.

“Saya Isa Airlangga, kelas 7-3. Ingat nama saya baik-baik. Kalau saya lihat kamu nyakitin Mika lagi kayak tadi…, saya nggak takut dan nggak ragu untuk lempar kamu seratus kali lebih keras dari yang tadi.”

***

Dua orang anak SMP—masih dengan seragam putih-biru yang melekat di tubuh—berdiri mengantre di salah satu toko ice cream. Mata keduanya berbinar melihat beragam jenis ice cream yang tersedia.

“Kamu mau rasa apa, Mika?”

“Aku mau rasa vanila, Air.”

“Oke, aku juga mau samain kayak kamu.”

Keduanya tertawa geli.

Angin sepoi-sepoi di taman kompleks menemani keduanya menikmati ice cream masing-masing. Sesekali, Air menyodorkan tissue untuk Mika, guna menyeka ice cream yang mengotori bibir anak perempuan itu.

“Air…, aku SMA-nya ikut kamu lagi, ya? Boleh, kan?” Mika bertanya tiba-tiba. Dia berpikir, kejadian tadi membuatnya sangat takut. Jika dia tidak selalu berada di dekat Air, dia tidak tahu lagi akan seperti apa nasibnya.

“Boleh, lah. Selalu boleh.”

“Okee, makasih.”

Hening.

“Mika,” panggil Air.

“Hm?”

“Kalau ada yang jahatin kamu lagi kayak tadi, jangan diam aja, ya? Jangan takut dan jangan nangis. Nangis cuma bakal buat kamu kelihatan lemah, dan ‘mereka’ bakal semakin senang ganggu dan nyakitin kamu. Kamu harus lawan ‘mereka’.”

“Iya, Air. Maaf, ya.”

Air menggeleng. “Nggak perlu minta maaf. Yang penting janji, kamu harus bisa lindungin diri kamu sendiri. Kamu harus bisa ngelawan.”

“Dengan cara lempar mereka pake bola kasti juga?” dia bertanya polos.

Air terdiam. “Y-ya jangan juga, sih… Sebenarnya, itu nggak baik,” cicitnya.

Mika tertawa pelan. “Oke.” Dia menepuk bahu Air. “Aku janji bakal lindungin diriku sendiri. Aku juga janji bakal lindungin kamu. Kamu lindungin aku terus, tapi aku belum pernah lindungin kamu. Mulai besok, kalau ada yang jahatin kamu, aku bakal maju paling depan buat lindungin kamu dari ‘mereka’.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status