Share

CHAPTER 2. LETTER

Jakarta, Juni 2009

Dear Air,

Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika.

Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren.

Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh.

Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah.

Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman.

Mika

Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu.

Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu berteman, Mika. Sampai jumpa.”

***

Hari pertama sebagai murid sekolah dasar cukup menakjubkan dan menyenangkan bagi Air. Dia bertemu banyak teman baru. Dia juga mengenakan seragam putih-merah yang terlihat keren.

Sekarang dia sedang menatap pekarangan sekolah yang mulai sepi karena satu per satu murid sudah dijemput pulang. Siang yang panas tidak membuatnya bosan dan lelah menunggu Papanya menjemput.

Matanya memicing melihat seorang murid perempuan yang baru saja keluar dari ruang kelas 1-C dengan terburu-buru. Dia menggunakan tas berwarna merah muda dengan motif bunga edelweiss putih. Rambut panjangnya yang digerai, berterbangan diterpa angin.

Air kenal murid itu. Matanya melebar kaget.

Itu Mika!

Kakinya ingin berlari menghampiri, namun terlambat. Mika sudah tenggelam di dalam sebuah mobil putih yang menjemputnya.

“Air, ayo pulang.”

Papa Air sudah menjemput. Dengan langkah tidak bersemangat, dia mengikuti Papanya masuk ke dalam mobil.

Dia menatap jalanan dalam diam. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya. Wajahnya yang semula lesu, berubah sumringah.

“Papa, tolong ajarin Air menulis surat!”

***

Jakarta, Juli 2009

Dear Mika,

Hai, Mika… Ini Air. Iya, Air yang artinya bisa air, bisa juga udara itu.

Mika, hari ini aku lihat kamu di sekolahku. Kita ternyata satu sekolah, loh. Kamu kelas 1-C, kan? Aku kelas 1-A. Aku lihat kamu, tapi aku nggak sempat menyapa kamu.

Aku tulis surat ini sebagai balasan suratmu satu bulan yang lalu. Aku dibantu Papa. Papa bilang, membalas surat itu penting, jadi Papa mau bantu aku.

Aku sebenarnya ingin membalas suratmu dari bulan lalu, tapi aku nggak tahu cara memberikan surat balasanku nanti. Rumahmu dan rumah baruku jaraknya jauh, dan aku belum bisa membawa mobil seperti Papaku.

Tapi, karena ternyata kita satu sekolah, aku akan memberikan surat balasan ini padamu besok. Maaf, ya, suratku tidak sebagus dan serapi suratmu. Isinya berantakan, seperti tulisannya, mirip ceker ayam. Aku heran, anak kecil sepertimu, kok, bisa menulis surat sebagus itu. Bahkan, tulisanmu sangat rapi dan bagus! Kamu belajar dari mana, tuh?

Ngomong-ngomong, karena kita akan bertemu lagi… ayo berteman!

Air

Surat balasan itu sudah terbungkus rapi di dalam amplop. Dengan langkah percaya diri, Air memasuki ruang kelas 1-C. Matanya memindai isi ruangan. Tapi, yang dia cari… tidak ada.

“Eh, kamu!”

“Apa?” anak laki-laki yang dia panggil menyahut.

“Di kelasmu ini, ada, kan, yang namanya Mika? Anak perempuan…, rambutnya panjang.”

“Ada. Tapi hari ini dia nggak masuk sekolah.”

“Hah? Kenapa nggak masuk?”

“Nggak tahu. Nggak ada kabar.”

Bahu Air merosot jatuh. Dia melangkah keluar kelas dengan kecewa.

“Kenapa, ya, Mika nggak masuk sekolah?” dia bertanya pada rumput-rumput di halaman sekolah yang bergoyang.

“Nggak apa-apa. Besok aja kasihnya.”

Esoknya. Hari kedua.

“Si Mika itu…, ada?” Air bertanya pada anak laki-laki yang kemarin.

“Nggak ada. Nggak masuk lagi hari ini.”

“Oke, makasih.” Air berjalan menunduk dengan amplop putih di tangan. “Besok aja, deh. Paling besok Mika udah masuk sekolah.”

“Mungkin Mika sakit, ya?” kali ini dia bertanya pada angin yang lewat.

“Kalau sakit, pasti kasihan.”

Hari ketiga.

“Mika nggak ada,” anak laki-laki yang sama berkata ketika Air baru menampakkan batang hidungnya di kelas 1-C.

“Apa Mika beneran sakit, ya??” Air bertanya panik. Anak laki-laki di depannya itu mengedikkan bahu, tidak tahu dan tidak peduli.

Hari itu, Air ingin bel pulang sekolah berdering secepatnya. Ketika Papanya menjemput, dia berseru, “Papa, tolong antar Air jenguk anak perempuan itu! Kayaknya dia sakit. Kasihan dia.”

Papa Air mengangguk. Dia tahu siapa ‘anak perempuan’ yang dimaksud anaknya itu.

Mobil Papa Air benar-benar berhenti di depan rumah Mika. Keduanya turun, tidak terburu-buru. Namun, ketika melihat garasi yang kosong dan pintu rumah yang setengah terbuka, Air mempercepat langkahnya masuk ke rumah. Tanpa mengetuk, dia mendorong pintu kayu tersebut.

Matanya melebar. Dia berteriak memanggil Papanya yang tertinggal di belakang.

Anak perempuan itu… tergeletak tak berdaya di ruang tamu.

Air mendekat untuk melihat lebih jelas. Wajah Mika pucat pasi dengan keringat mengucur membasahi keningnya. Rambut lepeknya berantakan. Yang paling parah, pelipisnya sobek dan mengeluarkan darah yang hampir mengering.

“Papa! Tolong teman Air!”

Hari itu, semesta bekerja demikian, mendatangkan Air sebagai penyelamat hidup Mika.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status