Share

CHAPTER 3. DON'T LEAVE EACH OTHER

Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.

Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?

Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.

“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.

Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.

Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu Mika, menyeka air mata anak perempuan itu dengan tangannya, dan mengucapkan kalimat-kalimat penyemangat yang dia harap bisa menghentikan tangis Mika. Tapi nihil. Tangis itu tidak berhenti sama sekali.

Dia menghela napas panjang. “Mika…,” panggilnya dengan suara lelah.

Entah keajaiban dari mana, tangis itu sontak berhenti.

Mika menoleh dengan mata sembab. Air mengulas senyum lega. “Kamu jangan nangis lagi, ya? Kasihan, nanti kamu capek.”

Anak perempuan itu diam, tidak menjawab.

Air tersenyum maklum. Tangannya bergerak mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas sekolahnya. Dia menyodorkan amplop tersebut. “Ini surat balasanku. Kamu mau baca sekarang nggak? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, bisa baca nanti aja. Aku cuma tawarin aja, siapa tahu bisa menghibur,” katanya dengan nada hati-hati.

Tanpa mengeluarkan suara, Mika meraih amplop tersebut. Perlahan namun pasti, dia mengeluarkan secarik kertas dari dalam sana. Dia menunduk, membaca isi surat dalam diam.

Tak disangka-sangka, sebuah senyum terulas di bibir anak perempuan itu.

Itu senyum pertamanya setelah tiga hari terakhir ini.

“Tulisanmu nggak seburuk itu, kok. Kalau sering latihan menulis, lama-lama tulisanmu bakal bagus juga. Dulu tulisanku juga jelek,” Mika berucap, memecah keheningan dengan suara kecilnya yang masih bergetar dan serak.

Air dan Papanya melebarkan mata, keduanya tersenyum senang. Akhirnya Mika mau mengeluarkan suara selain tangis pilunya.

“O…oke. Aku bakal sering-sering latihan menulis biar tulisanku bagus kayak tulisanmu,” Air membalas.

Mika mengangguk. Dia kemudian memutar tubuhnya menghadap Air. “Kita udah ketemu lagi sekarang. Jadi, kita sekarang berteman?” tanyanya, memastikan apa yang dia baca dari surat tadi.

“Oh iya, benar. Mika…, kamu mau nggak berteman sama aku?” Senyum penuh harap milik Air terpampang di wajahnya.

“Mau.”

Yes! Jadi kita teman, ya, sekarang?”

“Iya…” Mika terdiam sesaat. “Tapi, Air… Teman itu nggak boleh saling meninggalkan. Kamu temanku, kan? Kamu harus janji, kamu nggak bakal tinggalin aku.” Mika—anak perempuan yang diselubungi rasa trauma akan ditinggalkan—tersenyum ketika mengatakan itu.

Air menelan ludahnya tanpa sadar. Senyum itu… senyum paling menyakitkan yang pernah dia lihat selama enam tahun hidup di semesta ini.

Dia akhirnya mengangguk mantap. “Aku janji nggak bakal tinggalin kamu, Mika. Tapi, kamu juga harus janji, nggak boleh tinggalin aku juga.”

Dua jari kelingking itu saling mengikat, membuat janji yang harusnya ditepati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status