Adelia menatap hujan dari balik jendela kamar. Pikiran wanita itu membentangkan kejadian beberapa bulan yang lalu. Hari di mana semua berawal. Saat itu juga hujan deras. Petir dan kilat silih bergantian di langit. Dia memeluk tas di halte bis tepat di depan sekolah. Seragam putih-abunya sedikit basah karena tempias air hujan yang ditiupkan angin. Harusnya sopir keluarga telah menjemputnya satu jam yang lalu, tetapi Mang Hadi mengatakan jika mobil mengalami pecah di jalan. Mencoba menghubungi sang papa, tetapi ponsel pria itu tidak aktif.
Adelia mencoba bertahan di halte tersebut, tetapi hingga senja merangkak naik, Mang Hadi belum juga menampakkan batang hidungnya. Satu nama yang diingatnya, Bayu. Dia ingat jika pria tersebut mengatakan sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dekat dari sekolahnya. Mencoba menghubungi, tetapi ponselnya sudah kehabisan daya. Adelia menimbang apa yang harus dia lakukan. Jika menunggu tanpa kepastian, dia takut terjadi sesuatu sementara hari sudah mulai gelap. Akhirnya wanita itu memilih mendatangi Bayu di restoran yang dimaksud.Menggunakan angkutan umum, dia mendatangi restoran tersebut. Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di sana. Setelah membayar ongkos, Adelia berlari-lari kecil menuju pelataran parkir restoran. Gadis itu melihat mobil dengan plat yang biasa dipakai oleh Bayu. Dia tersenyum lega, setidaknya pria itu berada di dalam restoran.Tak sulit bagi Adelia mencari di mana Bayu berada, karena keluarga mereka sering makan di sana. Diantar seorang pelayan, dia mendapati pria itu di sebuah ruangan privat. Adelia melihat Bayu tidak sendirian, tetapi bersama sepasang pria dan wanita. Keduanya terkejut melihat kehadiran Adelia di sana, membuat gadis itu mencium sesuatu yang janggal. Apalagi melihat keadaan Bayu yang tidak baik.Lamunan Adelia terputus mendengar pintu dibuka dengan kasar dari luar. Dia menoleh dan mendapati Bayu sedang menatapnya dengan sorot kebencian. Adelia mencoba menenangkan hati. Dia harus terbiasa dengan perilaku pria itu. Bukankah Bayu bersikap buruk karena merasa dia telah merusak rencananya menikahi Deyana? Jadi, tak salah rasanya sang pria membencinya."Apa sebenarnya yang kau rencanakan?!" Bayu menyorot Adelia dengan tatapan seolah-olah hendak menguliti gadis tersebut.Dahi Adelia berkerut, dia berdiri perlahan menghadap Bayu. "Aku tidak mengerti apa yang Mas bicarakan?"Bayu mendekati Adelia dengan langkah lebar dan senyum sinis di bibirnya. "Awalnya kupikir kamu gadis yang sangat baik juga polos. Ternyata, kamu begitu licik! Entah apa yang kamu rencanakan padaku dan Deyana, hingga Papa memindahkannya ke luar kota."Mata adelia membesar, dia menggeleng tidak percaya mendengar ucapan Bayu. Ingin menyangkal semua tuduhan sang pria, tetapi lidahnya terasa kelu. Lagipula tak mungkin pria itu mendengar, karena baginya dia adalah seorang yang buruk.Bayu mecondongkan tubuhnya ke arah Adelia, membuat jaraknya dengan gadis itu lebih dekat. "Dengar, meski kamu menjauhkanku dari Deyana, tak akan membuatku menyukaimu. Bagiku, kamu hanya gadis murahan yang enggak bisa menjaga diri. Bahkan, pelacur pun lebih baik darimu."Seketika seluruh sendi hati Adelia porak-poranda mendengar kata-kata Bayu. Setelah pria itu kembali melangkah keluar dari kamarnya, air mata Adelia lolos dari kedua matanya. Dia menangis tanpa suara dihinakan oleh pria yang sangat dia kagumi.*Suasana makan malam terasa amat canggung. Sesekali terdengar denting sendok beradu dengan piring, memecah sunyi yang mengambil tempat di antara mereka. Adelia bisa melihat dari sudut matanya jika, Deyana menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian. Dia mencoba menahan diri untuk tidak membalas tatapan itu. Toh, pada kenyataan dia yang bersalah. Menjadi orang ketiga dari hubungan Bayu dan Deyana yang sudah berjalan setahun lamanya."Kamu enggak keberatan, kan, Papa pindahin ke kantor cabang kita?" Suara Fairuz memecah kesunyian itu. Dia melirik sekilas ke arah Deyana."Apa aku bisa bantah keputusan, Papa?" Deyana balik bertanya dengan nada sinis."Tentu saja bisa." Fairuz meraih gelas berisi air mineral, lalu meneguknya. "Tapi, sebagai seorang general manajer kamu sangat dibutuhkan di sana. Papa yakin kemampuan kamu bisa mengembalikan keadaan di sana seperti sedia kala. Banyak laporan penyelewangan di sana. Jadi, Papa sangat berharap kamu bisa mengatasinya," jelas Fairuz.Deyana berdecak keras, meletakkan sendok yang dia genggam ke atas piring. "Aku tau itu alasan Papa saja buat jauhin aku dari Bayu." Dia melirik Adelia tajam. "Pasti karna permintaan anak pelakor itu, kan?!""Deyana!" Fairuz menggebrak meja dengan tangan, membuat semua yang ada di ruang makan menatapnya. "Lancang sekali mulutmu!""Itu benar, Pa. Semua juga tau kalau wanita itu yang ngerebut Papa dari Mama. Bahkan, membawa anak jadah itu kemari. Pantes saja sekarang dia hamil tanpa tau siapa laki-lakinya, sudah keturunan," racau Deyana tak memedulikan wajah Fairuz yang merah padam menahan amarah.Mendengar hinaan Deyana, membuat Adelia bangkit dari meja makan dan gegas menuju kamar. Dia menulikan telinga ketika suara Fairuz memanggilnya. Hati Adelia seperti ditusuk-tusuk besi panas. Sakit dan amarah padu di dadanya, tetapi dia bisa apa? Di sana hanya Fairuz yang membela, sementara Bayu hanya diam mendengar Deyana menghina dirinya."Iya, lari saja! Playing victim, emang kebiasaanmu!" Kali ini Deyana menuding Adelia, membuat langkah gadis itu terhenti.Adelia berbalik, "Kakak boleh saja membenciku, tapi tak pernah terlintas di hati untuk menghasut Papa atau merebut Mas Bayu. Aku sudah meminta dia menceraikanku, dia yang enggak mau." Gadis itu menganjur napas sejenak, "silakan jika kalian ingin menikah, aku tak akan menghalangi. Sejak awal aku tak butuh pengakuan siapa pun."Setelah menumpahkan isi hatinya, Adelia kembali berjalan ke kamar. Gadis itu tersenyum getir, seraya mengusap air matanya. Dia tak butuh siapa pun. Apalagi Bayu. Apa yang diharapkan dari pria itu? Pernikahan ini hanya status. Sang pria hanya menunggu waktu yang diminta Fairuz untuk lepas darinya.Bagi Adelia, hidup dengan tudingan sebagai anak pelakor bukan hal baru baginya. Lama sebelum Fairuz membawanya pulang, seorang wanita yang berpenampilan glamor dan menaiki mobil mewah pernah datang dan mempermalukan ibunya di depan rumah. Wanita tersebut menyeret sang ibu keluar dan memaki sebagai wanita perebut suami orang. Cakaran juga pukulan diterima wanita yang melahirkannya itu. Adelia kecil tak mampu membela karena ditahan oleh tetangga. Baru setelah wanita itu pergi, Adelia menghampiri ibunya yang sudah babak belur. Tak ada seorang pun yang membantu sang ibu. Alih-alih para tetangga yang melihat, ikut menuding dan mencaci ibunya. Air mata gadis berambut panjang berwarna hitam legam itu terus berderai. Hinaan Deyana kembali membuka luka lama yang susah payah dia obati. Adelia sadar, kebencian sang kakak padanya karena merasa dia merebut Bayu. Andai Deyana tahu, jauh di dalam hatinya tak ada niat sedikitpun untuk merebut. Bahkan, dia sangat berharap Bayu berani menentang Fairuz dan menceraikannya. Akan tetapi, dia juga sadar posisi sang pria sangat sulit. Sebuah pemikiran hinggap di benak Adelia, jika Bayu tak berdaya memutuskan mungkin dia bisa.Adelia melangkah pelan-pelan, seraya melihat dekorasi ruangan tempat pernikahan mereka dilangsungkan. Perubahan tempat yang awalnya akan dilangsungkan di gedung, diganti ke sebuah villa milik keluarga Fairuz di daerah puncak. Semua itu atas permintaan Fairuz yang meminta pernikahan keduanya dipercepat satu bulan, karena pria itu hendak membawa Sarmila ke Singapura untuk berobat. Kabar baik didapat dari kenalannya dokter di sana, bahwa ada pendonor yang cocok dengan sang istri. Fairuz mengatakan, yang penting akad dulu, untuk resepsi nanti setelah Sarmila selesai melakukan transplantasi ginjal. Adelia tak bereaksi apa-apa dengan permintaan sang papa. Toh, cepat atau lambat, pernikahan akan terjadi juga. Dia hanya perlu mempersiapkan hati untuk mulai belajar mencintai Anta.Adelia juga mengurangi pertemuan dengan Bayu. Setiap kali pria itu datang menjemput Nika, Adelia memilih tidak menemui. Dia tak ingin rasa cinta yang susah payah dia matikan, kembali bertunas setelah melihat pria t
Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk di atas susunan batu pemecah ombak. Membiarkan kakiku terjuntai ke bawah dijilat air laut yang mulai pasang. Yang pasti matahari sudah tidak segarang tadi. Perlahan-lahan sang surya mulai merangkak turun meninggalkan cahaya kemerahan di ujung cakrawala. Aku mengamati fenomena alam tersebut. Benda besar bersinar itu seolah-olah turun dan tenggelam ke dalam lautan. Aku tersenyum dan berpikir bagaimana bintang terbesar, yang menerangi seluruh dunia, saat waktunya telah selesai tetap harus tunduk kembali ke peraduan untuk memberi jalan pada bulan menjalankan tugasnya.Tanpa bisa dicegah masa lalu kembali berpandang ke tempurung kepalaku. menggali saat-saat bahagia yang tidak pernah bisa aku lupakan. Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu. Sebagai senior dan anggota osis, kami diberi tanggung jawab membuat acara menyambut siswa baru. Aku masih ingat, hari itu malam terakhir. Kami mengadakan acara malam hiburan dan kesenian. Hampir semua siswa da
Rumah Fairuz dipenuhi kerabat dan beberapa relasi bisnis. Hari ini keluarganya mengadakan syukuran kepulangan sekaligus sehatnya Sarmila kembali. Keadaan wanita itu sudah lebih baik setelah dirawat sekitar dua minggu. Dokter mengingatkan kondisi Sarmlia belum terlalu baik. Sewaktu-waktu bisa saja kembali kolaps. Dokter menyarankan secepatnya mencari pendonor dan menjaga kondisi pasien agar tak terlalu lelah, apalagi stress. Taman belakang yang luas disulap menjadi tempat berlangsungnya acara. Kursi-kursi disusun sejajar untuk anak-anak yatim yang sengaja diundang. Makanan juga dihidangkan di atas meja dengan aneka macam menu khas indonesia. Ada juga banyak nasi kotak untuk para tamu yang tak sempat hadir lama. Fairuz dan Sarmila tersenyum melihat tingkah Nika yang bergelayut di punggung Bayu. Sejak bertemu dengan ayahnya, bocah kecil itu seolah-olah tak bisa dipisahkan. Dia bahkan berulang kali meminta, agar sang ayah tidur bersamanya. Adelia terpaksa meloloskan keinginan putrinya i
"Aneh, Nika langsung lengket sama kamu?" Bayu tersenyum tipis menjawab celutukkan Fairuz. "Nika bilang, pernah dikasih liat foto aku sana Adelia." Mata kedua pria itu, sedari tadi tak lepas mengawasi Nika yang bermain di taman rumah sakit, ditemani Deyana. Rasa terima kasih tak cukup rasanya dia ucapkan kepada Adelia, gadis itu tak menghilangkan jejaknya di pikiran putri mereka. Terbuat dari apa hati gadis itu? kebaikannya membuat Bayu merasa semakin tak pantas meski hanya memikirkannya saja. "Aku minta maaf kalau menyusahkan Papa." Lanjut Bayu, lagi. Fairuz menggeleng. "Justru Papalah yang harusnya berterima kasih. Kamu sudah merawat Sarmila empat tahun ini. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita dalam lingkaran yang selalu terhubung." "Aku juga enggak mengira, Ibu adalah Ibu Adelia. Selama ini beliau sudah mengijinkan tinggal bersama. Ibu sudah aku anggap sebagai orang tua sendiri." Fairuz menepuk bahu Bayu pelan sebagai ungakapan rasa terima kasihnya. Melihat penampilan Ba
"Udah pulang. Nak?" Mama Anta menyapa ketika melihat putranya pulang dengan wajah lesu. Anta hanya tersenyum sebagai balasan dari pertanyaan mamanya. Dia melonggarkan ikatan dasi di leher, lalu duduk menghempaskan tubuh ke atas sofa. Ratna--Ibu Anta--mengernyitkan dahi melihat wajah Anta yang kusut. Dia meletakkan majalah fashion yang sedang dibaca ke atas meja. "Kok wajahnya seperti kain belum disetrika, gitu?" "Enggak pa-pa, Ma. Aku cuma capek," jawab Anta singkat. "Capek, apa capek?" Ratna menggoda, bibirnya tertarik ke atas melihat Anta yang irit bicara. Bukan kebiasaannya seperti itu. Apalagi belakangan ini. Setiap hari wajah Anta selalu berseri, berdendang setiap melakukan apa saja. Entah sedang mencuci mobil, bersih-bersih, bahkan saat berjalan pun dia juga berdendang. Bukannya menjawab, pria itu malah menerawang, menatap langit-langit rumahnya. Apa yang dia lihat tadi siang, sangat mengganggu fikirannya. Ingin rasanya menutup mata dan berpura-pura tidak mengetahui apa-ap
Adelia duduk mematung di depan ruangan ICU. Tatapan gadis itu kosong, matanya sembab, dan wajah terlihat sangat kusut. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Semua campur aduk di dada. Ada bahagia bisa bertemu kembali dengan sang ibu, sekaligus takut jika harus kembali kehilangan. Dia ingin menangis, ingin seseorang mengusap bahunya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun, Adelia menahan semua kecamuk di dada. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan Bayu yang sering mencuri-curi pandang padanya. Anta juga tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Otaknya mencerna dengan hati-hati, dimulai dari pergerakan Adelia yang tiba-tiba, lalu memeluk seorang wanita dan memanggil, ibu. Dia memang mengetahui jika Adelia bukan saudara kandung Deyana, tetapi tak mengira Ibu kandung si gadis masih hidup. Salah pria itu, dia tak pernah bertanya. Padahal Adelia pernah memberikan selembar foto dan meminta tolong untuk mencari keberadaan wanita itu