Share

Urung Bahagia

Udara masih terasa dingin meski mentari sudah memancarkan sinarnya. Jejak basah di rumput yang terhampar di halaman belakang rumah keluarga Fairuz, membuat kaki Adelia terasa segar karena embun yang menyentuh kulitnya. Gadis itu tak bisa tidur nyenyak semalam.

Kata-kata Deyana terus memantul-mantul di gendang telinganya. Perih merayap ke dada Adelia, menikamkan rasa sakit yang tak terperi.  Gadis itu tak pernah meminta hadir ke dunia dari benih Fairuz, tak juga meminta dilahirkan dari seorang wanita berstatus istri kedua. Meski banyak yang mengatakan ibunya perebut suami orang, sangat jarang sang papa berada di rumah. Pria itu hanya mengunjungi Adelia dan ibunya sekali dalam tiga bulan.

Banyak juga yang mengatakan ibunya wanita matre, tapi pada kenyataannya hidup mereka biasa-biasa saja. Benda berharga yang dimiliki sang ibu hanya sepeda motor dan televisi ukuran 22" inci. Keduanya juga tak pernah makan dengan menu mewah. Hanya satu yang selalu diingat Adelia dan hal itu masih dia genggam hingga saat ini, ketaatan sang ibu pada Fairuz. 

Bisa saja wanita itu meminta kemewahan kepada suaminya tersebut, tetapi dia berkata bahwa hidup sederhana lebih menenangkan. Kendatipun sudah begitu, tetap saja istri  fairuz itu diberi tuduhan buruk.

"Kamu senang, kan, Papa bela kamu?" Suara Deyana yang terdengar ketus membuat Adelia yang sedang melihat pergerakan ikan di dalam kolam, mengangkat pandangannya.

Mata Adelia menangkap sosok sang kakak sedang berjalan mendekat. Sorot yang dipancarkan oleh retina Deyana, seolah-olah hendak melubangi tubuh si gadis.

"Aku enggak pernah senang atas apa pun yang membuat orang lain tak suka," jawab Adelia pelan.

"Munafik!" balas Adeyana ketus, "sejak kapan kamu merencanakan ini?"

Dahi Adelia berkerut mendengar pertanyaan kakaknya. "Merencanakan apa, Kak?"

"Jangan panggil aku Kakak!" seru Deyana dengan mata memelotot marah. Tangan kanannya menuding Adelia. "Asal kamu tau. Aku enggak pernah sudi kamu panggil Kakak. Kenapa kamu suka sekali merebut apa yang aku punya, hah!!"

"Aku benar-benar enggak ngerti, Kak. Aku enggak pernah merebut apa pun," ujar Adelia lirih. Hatinya terluka mendengar pengakuan Deyana tadi.

"Kamu sama saja dengan Ibumu. Kamu merebut Papa dariku. Kamu juga merebut Bayu. Aku yakin, kamu sebenarnya sudah lama merencanakan ini. Menggunakan cara licik untuk menjerat Bayu. Tidur dengan pria lain dan membuat aib. Kamu tau Papa akan melakukan apa pun agar aib itu enggak tersebar. Satu-satunya orang yang harus dikorbankan dan tidak akan menolak adalah, Bayu."

Adelia menggeleng cepat dengan mata mulai memanas. Semua tuduhan Deyana tak satu pun benar. "Kakak salah, aku menolak saat Papa ingin menikahkanku dengan Mas Bayu, tapi Papa memaksa dan mengancam menggugurkan anakku."

"Bohong! Kamu orang paling munafik yang pernah aku kenal," maki Deyana.

"Kakak boleh percaya atau tidak. Aku sama sekali enggak suka sama Mas Bayu. Lagi pula, dia enggak pernah menganggapku sebagai istrinya. Di hatinya cuma ada Kakak."

Deyana tersenyum sinis mendengar jawaban Adelia, dia melipat jarak lebih dekat. "Aku tau, dia cerita jijik sama kamu, bahkan untuk tidur satu kamar pun dia enggak mau, hanya karna Papa saja dia melakukan itu. Dia juga bilang, kamu itu lebih buruk dari wanita murahan," ucapnya dengan nada pelan, tapi mampu membuat air mata sang adik berlinang.

"Aku tau, Kak." Adelia mengusap air matanya sambil mengulas senyum. "Aku hanya menunggu kelahiran anakku. Setelah itu Mas Bayu bebas, dia enggak perlu menunggu selama tiga tahun."

"Tiga tahun ...?" Deyana membeo, " bagaimana jika anakmu itu enggak pernah lahir. Aku dan Bayu enggak perlu nunggu tiga tahun, kan?" Gadis bertulang hidung tinggi itu tersenyum licik, membuat Adelia bersikap waspada.

Sayang sekali, pergerakan Deyana jauh lebih cepat. Gadis itu mendorong  Adelia dengan kekuatan penuh, hingga adiknya itu terjungkal masuk ke dalam kolam ikan. Deyana tertawa melihat air berkecipak keras dan tubuh adelia jatuh terduduk. Dia meninggalkan sang adik yang basah dan menangis kesakitan. Baginya, tangisan Adelia hanya drama yang dibuat-buat. Hati Deyana benar-benar telah beku sejak adik tirinya itu menikahi kekasihnya, Bayu.

"Ada apa?!" Bayu menghadang langkah Deyana yang hendak masuk ke dalam rumah. Pria itu memanjangkan lehernya melihat ke belakang deyana.

"Tau, kepleset mungkin," jawab Deyana acuh tak acuh seraya mengikuti arah pandangan Bayu. Dia tersenyum puas saat melihat Adelia kepayahan berjalan dengan tubuh kuyup. "Ayuk, masuk. Bantu aku packing baju. Papa bilang pesawatku jam sebelas."

Deyana menggamit lengan Bayu dan menarik pria itu. Namun, langkah mereka mati saat mendengar suara Adelia yang merintih kesakitan sambil terduduk di rerumputan basah. Gadis itu juga memegangi perutnya. Bayu refleks melepaskan tangan Deyana di lengannya, lalu bergegas menghampiri Adelia.

"Kamu kenapa?" tanya Bayu, dia berjongkok menghadap Adelia.

"Sakit, Mas. Tolong ... perutku sakit sekali," rintih Adelia.

Bayu melihat wajah si gadis memucat, pandangannya perlahan turun ke bawah. Wajah pria itu berubah cemas saat melihat darah mengalir dari paha menuju betis Adelia. Tak ingin terjadi hal yang membahayakan, dia mengangkat tubuh Adelia dan berjalan cepat menuju garasi.

"Bayu, ngapain kamu?! Turunkan dia." Deyana menghadang langkah Bayu dengan wajah memerah menahan marah.

"Deyana, minggir! Adelia berdarah, aku mau bawa dia ke rumag sakit."

"Tapi .... Bayu!" Deyana berseru karena Bayu sama sekali tak menggubris panggilannya. Gadis itu menghentakkan kakinya ke lantai, tapi tak lama senyum tipis terulas di bibirnya. Dalam hati dia berdoa semoga saja janin dalam rahim Adelia luruh, hingga dia dan Bayu tak perlu menunggu lebih lama.

*

"Gimana keadaan Adelia, dok?" tanya Bayu saat dokter yang memeriksa Adelia keluar dari ruang periksa.

"Enggak apa-apa. Kandungannya sangat kuat, hingga janinnya aman."

Bayu menghela napas lega. "Syukurlah, dok. Tadi saya sempat cemas melihat darah."

"Iya, itu akibat benturan keras. Untuk usia kehamilan muda memang sangat rentan. Oleh karena itu, tolong lebih berhati-hati, ya." Dokter tersebut memberi nasehat. Dia juga menulis resep untuk Adelia dan mempersilakan Bayu melihat keadaan si gadis.

Bayu menyibak tirai yang menjadi sekat antara ruang periksa dan tempat konsultasi dokter. Dia melihat Adelia sedang melamun sambil mengusap perutnya.

"Dia enggak apa-apa. Kita bisa pulang sekarang," ujar Bayu mengejutkan Adelia.

Wajah gadis itu memerah. Dia ingat bagaimana tadi wajah cemas Bayu saat melihat dia kesakitan, dia juga ingat aroma parfum sang pria saat menggendongnya. Adelia merasakan ada debar aneh di dadanya, yang membuat dia tak kuasa melihat ke arah Bayu.

Bayu berjalan mendekat, lalu membantu Adelia turun dari pembaringan. Dengan sabar dia mendudukkan si gadis di atas kursi roda untuk diantar ke mobilnya. Sesampai di mobil, Bayu juga membantu mendudukkan Adelia di kursi belakang. Mati-matian si gadis menahan debaran di jantungnya. Sikap sabar dan perhatian dari sang pria membuat hatinya mengembang bahagia. Akan tetapi, semua kebahagiaan itu hanya sesaat setelah mendengar Bayu mengucapkan,

"Aku melakukan ini demi Deyana. Aku enggak mau dia disalahkan karna kelicikanmu."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
jadi kesal juga sama Adelia
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
mampus kau...berharap terlalu tinggi..kata ya tak cinta..eh ujung2 nya suka..munafik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status