Share

Tahu Diri

"Ngapain, kamu?"

Adelia menoleh ketika suara Deyana menyentuh gendang telinganya. "Buat kopi, Kak." Dia tersenyum seraya meneruskan kegiatannya. Meletakkan satu sendok kecil gula dan kopi ke dalam cangkir kecil, lalu menyeduhnya dengan air mendidih yang ada di atas kompor. Aroma kopi hitam menguar di dapur yang selalu bersih. Deyana adalah saudara tiri Adelia. Wanita itu tidak tahu sebabnya bagaimana dia memiliki dua orang ibu. Yang dia tahu, Fairuz membawanya tinggal di rumah ini saat berumur sepuluh tahun. Saat itu sang ibu menghilang entah ke mana. Pria itu  menjelaskan jika dirinya memiliki seorang kakak perempuan dan seorang wanita yang harus dia panggil mama. Adelia kecil tidak mengerti, dia hanya menurut ketika sang papa memerintahkan demikian. Selain mereka berempat, di rumah itu juga tinggal Mbak Nani yang bertugas sebagai asisten rumah tangga dan juga Mang Hadi yang setia mengantar ke mana saja salah satu anggota keluarga ingin pergi.

"Kamu pikir bisa ngambil hati Bayu dengan secangkir kopi?!" Deyana berkata dengan nada sinis seraya bersedekap. "Jangan ngimpi bakal bahagia kalau dapet suami hasil nyolong!"

Sindiran itu hanya ditanggapi senyum tipis oleh Adelia. Mana mungkin pernikahan yang dipaksakan itu akan membawa kebahagiaan bagi kedua pengantin. Hatinya sendiri mencibir keterdiamannya. Jika sang suami saja sudah mengultimatum di malam pertama mereka, apa masih bisa berharap ada keromantisan terjadi? Adelia cukup tahu diri dengan ketidaksempurnaannya. Oleh karena itu, dia tidak akan pernah mengatakan apa pun tentang sikap dingin yang diberikan pria itu semalam padanya.

"Aku ke atas dulu, ya. Mungkin Mas Bayu udah bangun." Adelia meraih sebuah nampan dan meletakkan cangkir kopi di atasnya. Dia memilih menghindar perbincangan yang hanya akan memperkeruh suasana hatinya.

"Adelia, tunggu!" Deyana mencekal lengan adelia, membuat gerakan si gadis tertahan. "Jangan senang dulu bisa merebut Bayu dari aku. Sebaiknya kamu sadar diri, pernikahan ini hanya sementara. Jika bukan hutang budinya pada Papa, enggak mungkin dia mau menikahi kamu!"

Adelia menganjur napas perlahan. Dia bisa merasakan kebencian dari rentetan kalimat yang disemburkan Denaya. Wajar saja, dia adalah kekasih Bayu, gadis yang bermimpi merajut masa depan berdua dengan sang pujaan. Akan tetapi, sebuah kenyataan harus mencabik tenunan harapan tersebut dan itu tersebab dirinya.

"Jangan cemas, aku sadar siapa aku dan apa dasar pernikahan ini terjadi. Akan tetapi, selama statusku adalah istri Mas Bayu, maka kewajibanku adalah mengurusnya. Enggak peduli Kakak suka atau tidak."

Jawaban lugas Adelia membuat wajah Deyana memerah. Dia bermaksud membalas kata-kata Adelia, tetapi wanita itu terlebih dahulu melepaskan cekalan tangan Deyana dan melangkah pergi meninggalkan sang kakak yang menatap punggungnya dengan sorot kebencian.

*

Adelia menatap hamparan yang berada tepat di hadapan. Dedaunan pohon nangka yang gugur, memberi gradasi warna cokelat pada hijau rerumputan. Dari balik kaca jendela kamar, dia juga bisa melihat rinai, sisa hujan yang turun semalam.

Dari dalam kamar mandi terdengar gemericik air. Tentunya dengan Bayu di dalam sana. Saat kembali ke kamar, pria itu tidak ada lagi di tempat dia tidur semalam. Tak ingin dibawa lamun terlalu jauh Adelia bangkit, lalu membereskan ranjangnya. Melipat selimut kemudian meletakkan kembali ke dalam lemari. Tangan terampilnya juga bergerak meraih satu helai T-shirt dan celana pendek dari dalam lemari. Meski Bayu tidak menganggap keberadaannya, dia tidak akan melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Bukankah surganya ada pada sang suami?

"Apa yang kau lakukan?!"

Bayu menyeru dengan raut tidak suka ke arah Adelia. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang.

"Maaf, aku cuma mau nyiapin pakaian." Adelia gugup melihat penampilan si pria. Rona merah segera terbit di pipi putihnya. Selain itu, dia juga terkejut mendengar suara keras milik Bayu. Lima tahun tinggal satu rumah dengannya tak pernah sekali pun Adelia mendengar suara si pria dengan intonasi tinggi.

Langkah Bayu cepat dan lebar mendekati Adelia. Dia menarik kasar celana pendek yang sedang dipegang si gadis. "Jangan sentuh barang-barang pribadiku! Aku tidak suka!"

"A-aku hanya ingin membantu." Mati-matian Adelia menahan getaran dalam suaranya. Dia tidak mengira niat baiknya malah membuat pria itu marah.

"Aku sudah bilang, enggak usah urusin hidupku. Jangan pernah bersikap seperti seorang istri, karena penilaianku padamu ngga akan berubah." Bayu menatap Adelia dengan pandangan mengejek lengkap dengan senyum sinis di bibirnya.

Adelia mengangkat pandangannya "Seperti apa Mas menilaiku ...?" Entah mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

"Apa perlunya penilaianku? Apa semua yang terjadi bisa kembali?"

"Setidaknya aku tahu bagaimana harus bersikap," jawab Adelia pelan.

"Kamu itu seperti wanita liar. Begitu mudah memberikan hal yang seharusnya diberikan pada suamimu kelak. Aku tidak mengira semua sifat pendiammu hanyalah topeng semata."

Seperti belati beracun menikam dada Adelia mendengar jawaban Bayu, meski dia tahu pria itu tidak menyukainya, tetapi dia tak mengira seburuk itu sang pria menilainya. Seolah-olah dia adalah wanita pemuja kebebasan seksual. Andai pria itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, tentu penyesalan akan menyerbu hatinya. Akan tetapi, Adelia memilih diam, biar saja semua berjalan sesuai skenario yang ditulis Tuhan. Dia yakin semua akan berakhir baik nanti.

"Terima kasih atas penilaian, Mas. Setidaknya aku tahu menempatkan posisiku di mana," balas Adelia dengan suara bergetar.

Bayu mendengkus pelan, lalu berjalan menjauhi Adelia menuju kamar mandi, setelah mengambil satu T-shirt dari dalam lemari. "Jangan pernah melakukan apa pun untuk mengambil hatiku, karena yang akan kau dapat adalah sakit hati. Satu lagi, singkirkan kopi itu aku enggak suka!"

Lalu Bayu memutar gagang pintu kamar mandi dan dengan cepat tubuhnya menghilang seiring pintu yang kembali tertutup dengan keras. Air mata yang sejak tadi ditahan Adelia luruh juga. Dia membekap mulutnya agar tangis tak pecah. Dia cukup tahu diri, tiada yang akan membujuknya untuk tenang. Sakit dan perih itu hanya miliknya seorang diri. Dia harus kuat untuk dirinya sendiri.

*

"Bayu, ayo sarapan."

Adelia yang sedang menanting nampan yang berisi dua cangkir teh, menoleh. Matanya menangkap pria tersebut tersenyum menanggapi tawaran Deyana. Ada yang ngilu di dalam dada melihat senyuman itu. Dulu saat semua masih baik-baik saja, Bayu selalu tersenyum padanya. Pria itu tak ubahnya seorang kakak laki-laki yang tidak dia punya. Hampir setiap sore pria tersebut menyapa dan mengajaknya berbincang meski hanya sebentar. Sekarang, jangankan tersenyum, menatapnya saja seakan tak sudi.

"Adel, kok ngelamun?" Teguran Fairuz membuyarkan lamunan Adelia. Wanita itu tergagap, lalu mencoba menarik garis senyum di bibirnya, sekadar menutupi kegugupannya.

Dia melangkah mendekati meja makan. Meletakkan satu cangkir teh untuk Fairuz dan satu cangkir diletakkan di hadapan Bayu.

"Bayu enggak suka teh, dia bisa mulas kalau minum teh pagi-pagi," ucap Deyana dengan senyum mengejek. Dia sengaja berkomentar demikian untuk membalas sakit hati atas kata-kata Adelia tadi subuh, selain itu dia juga ingin menunjukkan bahwa dia paling mengenal si pria.

"Tapi, Mas Bayu bilang dia enggak suka kopi." Adelia mati-matian menahan getar dalam suaranya, apalagi saat melihat pria tersebut hanya diam.

'Siapa bilang. Justru dia sangat suka kopi, seperti aku." Deyana mengangsurkan gelasnya yang berisi kopi hitam yang masih panas.

Adelia bergeming saat melihat Bayu tersenyum tipis pada Deyana, seolah-olah membenarkan ucapan sang gadis. Lagi lagi dadanya seperti ditusuk besi panas. Begitu sakit dan perih. Mengapa tak ada sedikit pun simpati pria itu tersisa untuknya, hingga membiarkan Deyana mempermalukan dirinya.

"Sudah, ayo sarapan." Suara Fairuz memecah gelombang sakit yang terus menusuk dada Adelia.

Wanita itu menurut, dia menarik kursi tepat di sebelah Bayu. Dari ekor matanya dia melihat Deyana sibuk menyendokkan nasi goreng ke piring sang pria. Adelia memilih menekuni sarapannya daripada melihat kedua orang itu berbalas senyum. Bukan tak ingin melayani sang suami, bukankah pria itu sendiri yang melarangnya bersikap layaknya seorang istri? Mungkin dia lebih senang dilayani wanita yang dia cintai dibandingkan dirinya yang terlihat menjijikkan di mata sang pria.

Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
jangan salahkan Bayu semua pria pasti sama apa yg di lakukan Bayu
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
iyaa aneh, knpa gk jujur trs kan kasihan bayu yg hrs berkorban n kmu jgak hrs sadar diri klo bayu bnci sma kmu aneh gedek bgt aku sme adelia ini begokkk
goodnovel comment avatar
Suherni 123
kenapa gak jujur Del daripada dihina terus
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status