Tiga bulan sebelum pesta pernikahan
Diusia Ara ke 25 tahun, ia mulai memperkenalkan sosok Ferdi sebagai pria pertama yang telah ia pilih menjadi kekasihnya. Ara bertemu Ferdi disebuah seminar kampus sebagai narasumber, perkenalan semakin dalam hingga mengantarkan mereka pada hubungan sepasang kekasih yang kini harus ia kenalkan kepada ketiga kakaknya itu.
Malam ini mereka bertiga akhirnya bertemu dengan Ferdi dan Ara di sebuah Club NintyNine tempat Gavin, Arka dan Dava sering menghabiskan waktu untuk berpesta dimalam hari. NintyNine adalah club ternama tempat orang-orang highclass berpesta tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam apalagi menjadi member di sini.
Ara menggandeng lengan Ferdi menuju ke arah dua pria yang tengah bercengkerama di depan bartender pria berusia dua puluhan, tangannya terlihat lihai dalam mencampur minum beralkohol dan juga cocktail.
“Boleh gabung?“ tanya Ara dari arah belakang, menghentikan sejenak percakapan Gavin dan Arka, pandangan mereka langsung tertuju pada sosok pria di samping Ara yang tengah menggandeng tangan putihnya. Naik turun bola mata Arka dan Gavin menjelajahi tubuh Ferdi di setiap inci, muka mereka terlihat datar dan tanpa sambutan balik.
“Kenalkan aku Ferdi, kekasih Ara,“ ucapnya sambil menyodorkan telapak tangan ke arah Gavin.
“Gavin,“ balas Gavin singkat.
“Arka,“ balas Arka sesaat setelah telapak tangan Ferdi beralih ke arahnya. Telapak tangan Arka yang lebih besar menekan jari jemari Ferdi sengaja agar membuatnya kesakitan. Arka melepaskan genggaman tangannya setelah melihat Ferdi meringis kesakitan.
“Ayo pindah ke Lounge atas di sini ramai!“ ajak Gavin
Club Malam ini memang memiliki 3 lantai terdiri dari Lounge pada lantai ke-3, Bar di lantai ke-2 dan diskotik pada lantai bawah.
“Huufft, baru saja mau duduk,“ keluh Ara sambil mengembalikan posisi kursi yang hendak ia duduki.
“Firasatku buruk tentang ini!“ bisik Ferdi pada Ara, setelah melihat tatapan dingin Gavin dan Arka.
“Santai saja, mereka tidak akan membunuhmu!“ jawab Ara kembali berbisik.
Kegiatan dua insan yang saling berbisik itu jelas terlihat oleh Gavin dan Arka yang menatap dingin ke arah mereka .
“Sepertinya aku salah, mereka bisa saja mencabik-cabikmu. Lihat bola mata mereka!“ ucap Ara lirih, Ferdi merasa ketakutan meski berusaha menutupinya tetapi keringat dingin tak hentinya menyembul dari pori wajah pria itu meski berkali-kali ia keringkan dengan sapu tangan kain yang ia bawa.
“Aku panggil Dava dulu di lantai bawah,“ ucap Arka meninggalkan mereka bertiga.
Suara keras musik menyambut kedatangan siapa saja begitu memasuki diskotik pada lantai bawah, tak banyak penerangan hanya ada cahaya sorot lampu warna-warni yang saling menyambar ke setiap arah tak beraturan. Arka harus menyibak kerumunan orang-orang tengah berjoget di lantai dansa, beberapa jari jemari wanita sexy dengan balutan gaun minim berusaha menahan langkah Arka pria tampan berkaus hitam polos lengan pendek dengan bisceps lengan yang tampak jelas, bahkan abs dan dada yang bidang tampak jelas dengan kaos hitam ketat yang ia kenakan.
Tak berapa lama Arka menangkap sosok Dava tengah menari dengan wanita bertubuh sexy, dadanya yang padat menyembul dari balik minidress berbelahan dada rendah warna merah yang ia kenakan.
“Ayo naik, ada pertemuan darurat! “ bisik Arka mendekat ke telinga Dava yang masih berjoget.
“Haduuuh, tanggung nih mumpung ada tangkapan bagus,“ gerutu Dava.
“Bahkan jika sekarang kau berdansa dengan Marlin Monroe aku akan tetap menyeretmu! “
“Huft, kenapa membawa-bawa yang sudah mati segala! “
Meski bukan adik kandung bagi Arka dan Dava tetapi Arabella sudah seperti adik mereka sendiri. Ke-dua lelaki ini turut andil dalam membesarkan dan menjaga Ara dari usia 12 tahun sejak kedatangan kembali gadis kecil itu dari Australia bersama Tante Geby. Mereka bertiga secara bergantian mengantar jemput ke mana saja Ara pergi dari sekolah hingga ketika Ara sudah menjadi Mahasiswa, memastikan gadis itu tidak di dekati oleh lelaki brengsek manapun.
Mereka selalu memberikan kasih sayang dan perhatian lebih pada Ara agar gadis kecil mereka tidak pernah merasakan kesepian sebagai anak yatim piatu. Kehadiran ketiga kakak pria itu membuat Ara tidak membutuhkan kasih sayang lagi dari seorang kekasih, namun untuk pertama kali di usia 25 tahun gadis itu kini menggandeng seorang pria sebagai kekasihnya.
“Memangnya pertemuan darurat tentang apa? “ tanya Dava
“Ara ada di lounge atas bersama pacarnya! “
Dava sedikit terkejut namun sedetik kemudian ia mulai menari kembali, “Beri waktu 20 menit, aku akan segera menyusulmu dan Gavin ke lounge! “ tawar Dava.
Tanpa mengindahkan tawaran itu Arka segera menarik tangan sahabatnya itu keluar diskotik, Dava mengekor dengan langkah yang berat dan wajah yang masam.
Gavin, Ara dan Ferdi sudah sampai lebih dulu di lounge suara musik lebih tenang di sini dan terdapat berjajar sofa yang nyaman untuk tempat mereka berbincang.
“Sengaja kukenalkan di club malam ini agar suasana jadi menyenangkan dan hangat tetapi sepertinya malah terasa dingin,“ keluh Ara menyindir kakaknya.
Gavin tak memedulikan perkataan Ara, ia malah melambaikan tangan ke arah pelayan agar datang ke meja mereka. “Ambilkan beberapa wiski yang paling berkualitas dan juga segelas cocktail untuk gadis ini!“
“Jadi berapa lama kalian kenal?” tanya Gavin pada Ferdi
“Sudah sebulan ini,“ jawab Ferdi singkat
“Singkat sekali antara perkenalan dan menjadi kekasih!“
“Kakak hanya butuh waktu kurang dari satu jam malah untuk berkencan dengan seorang wanita,“ bela Ara membuat Gavin melirik tajam ke arah Ara.
“Dari awal aku berniat serius dan tidak suka membuang-buang waktu untuk pacaran, jika diizinkan aku akan melamar Ara secepat mungkin!”
Gavin terkejut mendengar jawaban Ferdi, ada dua hal yang memenuhi otaknya sekarang bahwa laki-laki di hadapannya ini sudah gila atau memang memiliki maksud tersembunyi.
“Wah maaf telat datang ke pertemuan keluarga baru,“ ucap Dava sesaat setelah menghampiri Gavin dan Ara.
“Apa kamu Ferdi?“ lanjut Dava sambil menyodorkan telapak tangan ke arah Ferdi.
“Jika kamu ingin terus berkencan dengan Ara, ada beberapa kali masa orientasi yang harus kau jalani dengan kami. Ara adalah adik kesayangan kami yang harus kami pastikan siapa lelaki yang ia pilih, baik bebet bobot bahkan bukan hanya masa lalumu tapi juga kerabatmu akan sangat kami perhatikan,“ lanjut Dava sambil menggenggam jabatan tangan Ferdi.
Ferdi membalas dengan senyuman, “Siap, aku sudah tahu seberapa berharga Ara dan bersedia menjalani apa saja syarat untuk bisa memilikinya, “ jawab Ferdi tegas.
Gavin, Arka, dan Dava membalas dengan senyuman sinis jawaban Ferdi.
“Kamu boleh tersenyum sekarang, lihat saja nanti kamu akan menangis menyesali kepercayaan dirimu malam ini” batin Arka, di otaknya ia menggambarkan sebuah pelatihan militer keras yang ia berikan pada Ferdi. Dalam imajinasinya lelaki itu harus merangkak di bawah kawat berduri dengan tanah berlumpur, ia memberondong puluhan tembakan di belakang tubuh Ferdi agar mempercepat gerakkannya.
“Kau pasti kalah di ujian ini” batin Dava yang sedang berimajinasi membawa Ferdi ke dalam sebuah ruangan di mana ia telah menyiapkan gadis-gadis sexy dan cantik untuk menggoda lelaki itu. Bahkan dalam imajinasi liar itu Dava membayangkan mulut Ferdi bercucuran air liur melihat para gadis yang telah ia siapkan.
Di tengah lamunan sahabatnya Gavin jauh lebih rasional, ia diam-diam memfoto Ferdi dan mengirimkannya kepada Damar.
“Cari tahu secara detail siapa laki-laki ini!” bunyi pesan Gavin yang ia kirimkan pada Damar .
Malam itu adalah malam yang panjang bagi mereka, berbotol-botol wiski sudah mereka habiskan dan membuat ke-empat lelaki itu berakhir dengan mabuk berat. Ara harus mengurus mereka satu persatu dengan bantuan pelayan lounge untuk membawa mereka ke dalam mobil. Meletakkan Gavin di kursi depan dan Arka, Dava serta Ferdi di bagian belakang, Arka segera mendorong tubuh Ferdi ke bawah bangku mobil membuat ia meringkuk di bawah jog mobil dan tertidur sementara Arka bersandar di bahu Dava sebelum akhirnya mereka saling tertidur. Ia membawa ke empat pria itu menuju hotel terdekat, mereka menghabiskan malam hangat dalam satu kamar yang sama. Arka, Dava dan Gavin tidur saling berpelukan di atas ranjang dan Ferdi mereka dorong hingga jatuh dan tertidur di lantai. Ara yang melihat itu di kursi kamar hotel berguman “bahkan dalam keadaan mabuk saja kalian masih membully Ferdi.“
***
Sepulang dari pertemuan berdarah antara tiga orang kakak dari satu adik perempuan dengan Ferdi Si mempelai pria yang kabur, sepanjang perjalanan Gavin hanya menatap kosong pada gedung-gedung tinggi Kota Jakarta. Ia mengenang kembali sosok Nayara, gadis cantik yang menghilang lima tahun lalu dari hidupnya.
Lima tahun lalu
Kisah Gavin dan Nayara
Gavin dan Nayara terlibat pertengkaran hebat, membuat hubungan yang sudah dijalin setahun lebih tiba-tiba kandas karena kecemburuan Gavin pada senior kerja Nayara di kantornya. Nayara gadis berambut panjang dengan wajah manis berlesung pipi menolak perintah Gavin untuk berhenti dari Bank tempat ia bekerja selama tiga tahun meski dengan imbalan dapat posisi manajer di salah satu perusahaan milik Gavin. Ego yang besar di antara ke duanya membuat mereka mengakhiri hubungan itu dalam keadaan penuh amarah tanpa ada salah satu yang mengalah.
Gavin yang merasa harga dirinya terluka berusaha keras melupakan Navara dengan berkali-kali menjalin hubungan bersama wanita lain. Hingga pada bulan kedua setelah perpisahan mereka, Nayara menghampiri Gavin yang tengah di bar bersama kekasih baru Gavin.
“Gavin, bisa kita bicara?” Tanya Nayara menghampiri Gavin yang masih merangkul pundak kekasih barunya.
“Untuk apa? Bicara di sini saja, aku tidak ingin pacarku sekarang salah faham.”
“Sebentar saja aku mohon! “
“Ok, tapi bagaimana kalau bicara di hotel tempat dulu kita biasa menginap? Mungkin saja kau merindukan malam hangat yang kita habiskan bersama,“ kata Gavin sinis
“Ternyata aku salah telah datang padamu lagi, suatu saat kau akan menyesalinya mempermalukan aku seperti ini sebelum mendengar apa yang akan aku bicarakan denganmu,” ucap Nayara sambil berbalik arah meninggalkan Gavin dan kekasih barunya, gadis itu mulai melangkah dengan pipi yang basah oleh air mata.
“Kau seharusnya yang menyesal, bukankah kau kembali kesini karena tidak menemukan yang lebih baik dariku, kesinilah berlutut mungkin aku bisa menerimamu kembali!“ teriak Gavin kemudian membanting botol minuman keras ke lantai membuat beberapa orang yang berada di sana mengalihkan pandangan ke arah Gavin. Kekasih baru Gavin hanya terdiam, dari semua kemarahan Gavin atas kehadiran Nayara, ia tahu betul bahwa kekasihnya itu masih mencintai gadis itu dan tidak tersisa tempat di hati Gavin untuknya.
“Kita selesai sampai di sini, sepertinya hatimu masih milik wanita itu!“ ucap kekasih baru Gavin sambil menaruh tas di pundaknya dan melangkah pergi.
“Pergi saja kalian berdua! Aku tidak peduli,” bentak Gavin.
Hari itu adalah hari terakhir ia melihat Nayara, setelah itu ia bahkan tak bisa mendengar kabar apa pun tentang Nayara.
Rumah pagi ini dibuat gempar atas kepergian Ara yang tiba-tiba dan hanya meninggalkan secarik kertas berisi izin keberangkatan ke ItaliaSelamat pagi Tante Geby dan Kak Gavin,, Ara akan tetap pergi ke Italia sesuai rencana awal meski tanpa Ferdi. Aku rasa sangat disayangkan jika tiket pesawat bahkan hotel harus hangus, lagi pula aku juga butuh penyegaran. I’m fine jadi jangan khawatir. “Aku harus menyusul Ara ke sana, dia tidak pernah keluar negeri sendirian,” tegas Gavin di depan tante Geby dengan raut khawatir.“No Vin, Just leave her to calm down! Ara sudah dewasa Vin, kamu tidak harus selalu membayangi dia. Ara juga butuh me time,” bantah Tante GebyGavin terdiam, lagi pula ia memiliki jadwal padat di kantornya. Sangat mustahil membatalkan beberapa jadwal penting demi menyusul Ara. Meski begitu ia masih mencemaskan Ara. Ia merasa bersalah karena menjadi alat balas dendam Ferdi padanya.
Milan, Italia Pagi ini Arka bangun lebih awal, ia segera membuka tirai jendela kamar hotel, menyaksikan jalan yang mulai rame oleh pejalan kaki. Sebagian orang tampak berjalan membungkuk menahan hawa dingin yang menerpa tubuh mereka meski sudah mengenakan pakaian hangat. Masih ada tiga jam sebelum rapat dengan investor di kantor yang berada tak jauh dari hotel ini, Arka segera mandi dan menyeduh kopi, cahaya silau dari jendela dan aroma kopi membangunkan Ara yang sebelumnya masih tertidur pulas, ia merenggangkan tubuhnya dan duduk dengan rambut yang berantakan. “Ck ck ck, apa kamu pergi ke Italia hanya untuk pindah tidur, orang lain pergi berlibur sengaja bangun pagi dan segera berwisata tapi kamu malah masih bermalasan di tempat tidur,“ sindir Arka Ara menatapnya sinis, “Kamu bawel sekali seperti mertua yang melihat menantunya bangun kesiangan!” “Lap dulu air liurmu itu baru membantah!“ Arka tersenyum simpul sambil menyeruput kopi hitamnya.
Rapat sudah berlangsung selama dua jam dan belum menemukan jalan keluar dari turunnya harga saham setelah batalnya pernikahan Ara yang mulai tersebar. Wajah dewan direksi mulai menunjukkan raut kesal dan lelah membuat Kakek, Tante Geby dan Gavin yang berada dalam rapat itu mulai terpojok. Mereka harus membuat para dewan tenang dengan keputusan apa yang akan mereka ambil.“Buat Ferdi dan keluarganya tersandung masalah, cari masalah sekecil apa pun yang bisa menyeret mereka pada unsur Pidana. Blow up beritanya, dan sogok media agar membuat Ferdy menjadi orang jahat sehingga simpati akan segera mengalir pada Ara,“ ucap Kakek Gavin menutup rapat yang mulai membuat ia lelah, mengingat usianya yang tak lagi muda.“Baik akan segera saya laksanakan! “ jawab Damar“Waktumu hanya 24 jam! “ Damar mengangguk pada perintah Kakek Gavin.Keputusan final kakek Gavin membuat sebagian dewan mulai tenang dan
Tiga puluh menit sudah berlalu sejak Gavin dan Ferdi keluar namun belum juga datang menjemput Dava. Entah bagaimana Dava yang resah mulai menuangkan gelas demi gelas wiski ke kerongkongan yang terus terasa kering menahan rasa gelisah berada di dekat Dina yang tak henti membelai dada bidang milik Dava tak butuh waktu lama ia runtuh dan tak sadarkan diri. Selang dua jam setelah kepergian Gavin ia menemukan dirinya tengah terkapar di sebuah kamar hotel mewah sendirian dengan hanya menggunakan celana boxer, sayup-sayup ia dengar nyanyian sumbang Dina di dalam kamar mandi.Dava duduk, ia mulai mencerna semua yang terjadi, kepalanya masih pusing, dan terus memijat keningnya untuk mengurangi rasa sakit kepala yang di derita. Sontak ia terkaget dengan kedatangan Dina dari kamar mandi tengah mengenakan busana setelah G string menerawang, lemak dan juga kerutan memburai dari setiap sisi tubuh wanita paruh baya itu.“Astaga, mati aku kenapa Gavin lama seka
Zermatt, Swiss “Bukankah menginap di sini sangat mahal? Kamu benar-benar tahu cara menghamburkan uang kakekmu untuk laki-laki yang malah kabur di hari pernikahan,“ canda Arka setelah mereka memasuki Chale sebuah penginapan mirip Vila pribadi yang sudah Ara pesan jauh hari sebelum pesta pernikahan. Mata Ara melotot tajam ke arah Arka setelah mendengar perkataan Arka yang menusuk hatinya. “Ups,, maaf!“ Arka segera merangkul pundak gadis yang tengah menatapnya tajam itu. “Aduh dingin sekali, aku tidak pernah suka berlibur saat musim dingin apalagi pada daerah bersalju,“ lanjut Arka sambil merangkul erat pundak Ara. Arka berkeliling di Chale yang sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu, ada perapian di depan ruang keluarga, sebuah jacuzzi outdoor yang terletak menghadap pegunungan. “Dingin sekali, di mana kamarku? Aku sangat lelah dan ingin tidur?” tanya Arka pada Ara yang sedang naik tangga dengan menenteng koper miliknya.
Sebuah gudang pengap berdiri di antara jajaran industri lain di kompleks pergudangan pinggiran kota Jakarta, sebuah gudang tua yang lama ditinggalkan karena kebakaran ruang produksi pada bagian belakang 10 tahun silam. Cat mulai memudar di bakar sinar matahari dan juga debu tanpa adanya perawatan, bahkan rumput mulai tumbuh di cela-cela rekahan lantai. Sarang laba-laba juga bertengger di setiap sisi menambah kesan misteri gudang dengan luas hampir satu hektare. Gavin dan Dava membuka pintu besi besar berwarna hijau gudang ini, membuat ruang yang awalnya hanya temaram cahaya lampu neon kuning kini di susupi lampu terang mobil Gavin yang sengaja tak ia padamkan. Seseorang tengah duduk tak berdaya di kursi kayu dengan tangan dan kaki terikat, wajahnya sudah penuh lebam dan baju yang mulai berantakan bekas dihajar tiga orang anak buah Damar yang kini tengah bermain kartu di meja sebelah Ferdi berada. Ada sebuah perapian yang mereka buat dari drumb besi bekas oli samping meja mer
Zermatt, SwissCahaya mulai menyusup dari punggung pegunungan Alpen menuju ke celah kaca kamar Ara yang tengah tertidur pulas, gadis yang menyukai suasana gelap saat tidur ini mulai terbangun. Ia menoleh ke samping tempat tidurnya dan tak menemukan sosok Arka. Tempat tidur Arka masih rapi tampak jelas semalam lelaki itu tidak tidur di sampingnya. Ara mulai turun dan mendapati lelaki yang ia cari tengah berendam di jacuzzi sambil menatap pada hamparan salju putih di depannya. Mengetahui itu Ara segera berganti bikini dan menyusul Arka dari belakang tanpa sepengetahuan Arka hingga mengagetkannya.“Selamat pagi!“Arka tersentak dan segera menoleh ke belakang tempat suara itu berasal.“Kamu sudah bangun?“ tanya Arka“Iya, kenapa tidak tidur dikamar semalam?““Tidur di depan perapian sudah cukup menghangatkan. Aku akan keluar jika kau ingin berendam di sini!” kata Arka setelah mengeta
Gondola menurunkan Ara dan Arka tepat beberapa saat sebelum kereta gantung itu di tutup karena badai salju yang tengah bersiap. Langit berkabut putih pekat mulai menutupi semua langit di sini, angin dingin juga mulai menaikkan kecepatannya secara perlahan, menghembus hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ara dan Arka harus segera mempercepat langkah mereka menuju penginapan yang masih berjarak 1 kilometer dari tempat mereka sekarang. Salju tipis mulai turun jarak pandang juga terbatas pada kisaran 10 meter. Beberapa orang mulai tergopoh menuju tempat berlindung sebelum badai yang lebih besar datang, meski jalan-jalan licin akibat salju yang turun harus membuat mereka lebih memperhatikan tiap langkah. “Hurry up, kita harus segera sampai di penginapan sebelum badai besar datang,“ perintah Arka pada Ara yang mulai berjalan lebih lambat darinya. Gadis itu mulai kelelahan, nafasnya tak beraturan akibat badai dingin dan juga kelelahan berjalan cepat sejak turun dari