Praaaakkk...
Tongkat itu terjatuh ke lantai setelah sebelumnya dilempar ke arah Gavin meninggalkan luka robek kecil di ujung kiri kening Gavin. Tubuh laki-laki itu tetap terdiam meski sempat menyeringai kesakitan. Nenek Gavin yang terkejut langsung menatap tajam ke arah kakek Gavin yang sudah membuat cucunya terluka. Belum sempat ia marah tangannya di raih oleh Tante Geby, sambil memberikan isyarat gelengan kepala agar tidak ikut campur.
Tante Geby seperti orang tua pengganti bagi Gavin dan Arabella setelah kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa ke dua orang tua mereka yang tak lain adalah kakak Tante Geby. Ia rela tidak menikah hanya untuk membesarkan ke-dua keponakannya yang masih kecil ketika itu. Meski ia begitu mencintai mereka seperti darah daging sendiri, tetapi kali ini ia berada di pihak orang tuanya. Ia merasa kecewa pada Gavin yang telah lengah pada Ferdi yang ternyata hanya mempermainkan Ara.
“Inikah hasil didikanmu sebagai kakak, saat kakek menjodohkan adikmu dengan pilihan kakek dengan lantang kau menolak dan berkata biar Ara menikah dengan lelaki pilihannya sendiri. Sekarang inikah hasil dari pengantin pilihan kalian! Memalukan!“ ucap kakek dengan lantang. Gavin tetap diam mematung, ia tahu tidak pantas melakukan pembelaan apa pun.
“Sekarang pergi dan cari Si Ferdi itu buat dia membayar semuanya. Pastikan tugasmu sebagai kakak kali ini benar!“ titah kakek Gavin
“Cari tahu di mana lokasi terakhir Ferdi, tracking dari sinyal handphonenya!“ perintah tante Geby pada asistennya.
“Cari cara agar bisnis keluarga dan juga bisnis Ferdy hancur,“ lanjut kakek Gavin pada asisten Geby.
Damar adalah asisten kepercayaan keluarga yang sudah berusia 45 tahun. Pria itu direkrut langsung begitu lulus kuliah di luar negeri sebagai ahli lulusan IT dengan beasiswa dari Yayasan keluarga Gavin. Damar keluar di ikuti dengan langkah Gavin, di luar kamar hotel sudah menunggu Arka dan Dava mereka menarik nafas lega saat melihat temannya masih keluar hidup-hidup meski terdapat goresan pada keningnya. Damar menginstruksikan pada bawahannya di kantor agar melacak nomor Ferdy.
“Cari tahu keberadaan pemilik nomor tadi. Cepat!“ titah Damar pada staf IT bawahannya di kantor.
Butuh waktu sepuluh menit keberadaan Ferdy terlacak.
“Aku sudah mengirimkan lokasi Ferdi saat ini,” kata Damar di ikuti dengan sebuah pesan masuk pada handphone Gavin berisi lokasi Ferdi.
Ketiga sahabat itu berjalan beriringan dengan dada membusung, tatapannya dingin seperti pedang es. Mereka tak ubahnya seperti aktor utama dalam film laga dengan langkah penuh percaya diri bersiap untuk melumat musuh mereka hidup-hidup, kancing jas mereka longgarkan begitu juga dengan kancing lengan. Setiap mata yang memandang sudah dapat menebak ketiga pria ini tengah berjalan menuju medan peperangan.
***
Ara berjalan menyusuri lorong hotel menuju kamarnya di ikuti oleh pelayan dan manajer hotel. Mereka berhenti di depan salah satu kamar suite.
“Apa ini kamarku yang sudah kalian hias untuk kamar pengantin?” tanya Ara pada mereka.
“Iya, ini kamar yang sudah kami persiapkan untuk pengantin,“ jawab manajer itu lugas.
Ara menarik nafas panjang raut wajahnya tampak tidak senang, membuat manajer dan pelayanan hotel itu kikuk.
“Carikan kamar lain, cepat! Gaun ini begitu berat dan aku ingin melepasnya! “ perintah Ara.
Manajer itu segera mematuhi perintah, tak butuh waktu lama Ara sudah mendapatkan kamarnya. Sebuah kamar tanpa hiasan bunga mawar dan sepasang handuk berbentuk dua angsa yang berpelukan di atas ranjang. Bathup pun tak di isi dengan hiasan mawar merah dengan bentuk cinta di atasnya. Ara tak mengizinkan siapa pun masuk, ia melepas gaun, hiasan rambut bahkan menghapus riasan sendirian. Setelah semua selesai ia memastikan air bathup cukup hangat untuknya berendam. Dua jam ia tak beranjak dari dalam air, teringat semua kenangan bersama Ferdi yang ternyata hanya sebuah kepalsuan.
Dia hanya mengenal laki-laki itu 3 bulan dan begitu terlena akan ajakan menikah pria yang ia kenal sebagai sesama narasumber di seminar bisnis. Saat Ara sedang bersedih di sebuah kamar hotel sendirian, kakaknya beserta dua temannya mulai turun dari mobil menanggalkan jas mewah mereka di dalam mobil. Seusai keluar mereka melipat lengan kemeja hingga ke siku. Menerobos tempat latihan bilyar Ferdi bersama teman-temannya seperti kelompok gangster, orang-orang menatap heran saat kedatangan mereka sebagian memilih pergi dan sebagian lagi memilih tetap di tempat menunggu pertunjukan dimulai. Seorang pria paruh baya pemilik bilyar menghampiri mereka seolah sadar bahwa akan terjadi keributan di tempat miliknya.
“Ada apa ini?“ tanyanya menggertak tiga orang pria yang tinggi dan bentuk badannya jauh melebihi dia
“Jika terjadi kerusakan akan kami ganti dua kali lipat,“ ucap Gavin sambil menunjukkan black card keluaran perusahaan American Express (Amex) yang menjadi salah satu tanda status sosial tertinggi dan hanya Miliarder yang dapat memilikinya.
“Suruh semua orang pergi kecuali laki-laki itu!“ perintah Arka.
Ferdi yang sudah merasa tersudut di pojokkan meja bilyar tampak gemetar sambil terus mencengkeram stik bilyar sebagai tameng untuk membela diri. Semua orang pergi dan kini hanya tinggal ia, rasa sombong karena telah mempermainkan anak dari konglomerat yang sempat ia dengungkan dengan temannya tiba-tiba menguap dan tersisa rasa takut, seolah kematian telah berada tepat di depan matanya.
“Ma-maaf, maafkan aku,“ ucap Ferdi terbata-bata saat ketiga tubuh laki-laki gempal itu mendekatinya
Tinjuan pertama Gavin mendarat di Pipinya, di ikuti oleh tinjuan demi tinjuan berikutnya hingga membuat pelipis dan bibir Ferdi robek. Ia terkapar di lantai bilyar. Sementara Arka dan Dava masih mengamati dan menunggu giliran. Ferdi berusaha bangkit, namun ia malah tertawa bahkan terus terkekeh memancing kemarahan ketiga laki-laki itu. Gavin mencengkeram leher Ferdi mendorong tubuhnya ke dinding tubuh itu sedikit terangkat membuat kaki Ferdi tidak lagi menapaki lantai.
“Kamu ingat Nayara?“ tanya Ferdi lirih dengan suara yang tersekat di kerongkongan karena leher yang semakin sesak di impit jari-jari Gavin.
Gavin melepaskan cengkeramannya, meski belum tahu apa yang ingin dikatakan mantan calon adik iparnya itu. Ferdi langsung terbatuk-batuk begitu Gavin melonggarkan cengkeraman yang hanya dilakukan dengan satu tangan kanannya.
“Cepat katakan apa yang ingin kamu bilang sebelum aku membuatmu tak bisa berkata apa pun lagi!“ bentak Gavin.
Ferdi menunjukkan sebuah foto di mana terdapat foto seorang perempuan berambut panjang yang tak asing bagi Gavin. Itu adalah Nayara mantan kekasihnya yang telah ia putuskan lima tahun lalu.
“Setidaknya kamu masih bisa melihat adikmu masih hidup. Aku hanya melukis luka patah hati yang sama pada adikmu seperti yang kamu lakukan pada kakakku hingga membuat ia kemudian lebih memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena kau campakkan.”
Gavin terkejut, ia ingat betul wanita yang diceritakan oleh Gavin adalah mantan kekasihnya dengan hubungan terlama yaitu satu tahun, padahal Gavin dan kedua teman lainnya memiliki perjanjian tidak akan memacari wanita lebih dari jangka waktu tiga bulan.
“Tidak, pasti kamu bohong! Itu hanya alibimu!“ jawab Dava
“Untuk apa aku bohong, siapa yang tidak akan tertarik pada kecantikan, kekayaan dan juga sikap adikmu, tapi kenapa aku malah membuangnya. Itu semua karena dendam yang begitu dalam pada apa yang telah menimpa kakakku,“ jawab Ferdi.
Gavin mulai lunglai dan mundur perlahan setelah mendengar apa yang telah Ferdi katakan. Ia merasa sebuah bom besar menimpa kepalanya, merasa terkejut dan bersalah pada apa yang terjadi pada Nayara. Ia juga mulai menyadari bahwa kepahitan yang menimpa adiknya Ara adalah akibat perbuatan masa lalunya.
“Kamu seharusnya tidak melibatkan Ara. Dia bukan saja adik Gavin tapi juga adik bagiku dan Dava. Masalahmu dan Gavin adalah urusan kalian, tapi masalahmu dan Ara kini menjadi urusanku juga. Aku tidak perlu merasa harus mundur hanya karena kejadian Nayara atau siapalah itu,“ tegas Arka sambil melayangkan tinjuan demi tinjuan ke tubuh Ferdi bahkan tubuhnya yang sudah tersungkur ke lantai masih saja ia tendang. Gavin berusaha keras menghentikan Arka sahabatnya yang mulai hilang akal.
“Sudah cukup, ayo kita pergi!“ ajak Gavin
Mereka bertiga akhirnya meninggalkan tempat bilyar beserta tubuh Ferdi yang lemas dan berlumuran darah. Gavin tampak murung sepanjang perjalanan, ia masih kaget pada apa yang terjadi dengan Nayara gadis yang dulu sempat begitu ia cintai namun tiba-tiba menghilang tanpa ada kabar setelah pertengkaran hebat antara mereka. Ia masih belum bisa percaya bahwa dirinya adalah penyebab bunuh diri Nayara.
Tiga bulan sebelum pesta pernikahanDiusia Ara ke 25 tahun, ia mulai memperkenalkan sosok Ferdi sebagai pria pertama yang telah ia pilih menjadi kekasihnya. Ara bertemu Ferdi disebuah seminar kampus sebagai narasumber, perkenalan semakin dalam hingga mengantarkan mereka pada hubungan sepasang kekasih yang kini harus ia kenalkan kepada ketiga kakaknya itu.Malam ini mereka bertiga akhirnya bertemu dengan Ferdi dan Ara di sebuah Club NintyNine tempat Gavin, Arka dan Dava sering menghabiskan waktu untuk berpesta dimalam hari. NintyNine adalah club ternama tempat orang-orang highclass berpesta tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam apalagi menjadi member di sini.Ara menggandeng lengan Ferdi menuju ke arah dua pria yang tengah bercengkerama di depan bartender pria berusia dua puluhan, tangannya terlihat lihai dalam mencampur minum beralkohol dan juga cocktail
Rumah pagi ini dibuat gempar atas kepergian Ara yang tiba-tiba dan hanya meninggalkan secarik kertas berisi izin keberangkatan ke ItaliaSelamat pagi Tante Geby dan Kak Gavin,, Ara akan tetap pergi ke Italia sesuai rencana awal meski tanpa Ferdi. Aku rasa sangat disayangkan jika tiket pesawat bahkan hotel harus hangus, lagi pula aku juga butuh penyegaran. I’m fine jadi jangan khawatir. “Aku harus menyusul Ara ke sana, dia tidak pernah keluar negeri sendirian,” tegas Gavin di depan tante Geby dengan raut khawatir.“No Vin, Just leave her to calm down! Ara sudah dewasa Vin, kamu tidak harus selalu membayangi dia. Ara juga butuh me time,” bantah Tante GebyGavin terdiam, lagi pula ia memiliki jadwal padat di kantornya. Sangat mustahil membatalkan beberapa jadwal penting demi menyusul Ara. Meski begitu ia masih mencemaskan Ara. Ia merasa bersalah karena menjadi alat balas dendam Ferdi padanya.
Milan, Italia Pagi ini Arka bangun lebih awal, ia segera membuka tirai jendela kamar hotel, menyaksikan jalan yang mulai rame oleh pejalan kaki. Sebagian orang tampak berjalan membungkuk menahan hawa dingin yang menerpa tubuh mereka meski sudah mengenakan pakaian hangat. Masih ada tiga jam sebelum rapat dengan investor di kantor yang berada tak jauh dari hotel ini, Arka segera mandi dan menyeduh kopi, cahaya silau dari jendela dan aroma kopi membangunkan Ara yang sebelumnya masih tertidur pulas, ia merenggangkan tubuhnya dan duduk dengan rambut yang berantakan. “Ck ck ck, apa kamu pergi ke Italia hanya untuk pindah tidur, orang lain pergi berlibur sengaja bangun pagi dan segera berwisata tapi kamu malah masih bermalasan di tempat tidur,“ sindir Arka Ara menatapnya sinis, “Kamu bawel sekali seperti mertua yang melihat menantunya bangun kesiangan!” “Lap dulu air liurmu itu baru membantah!“ Arka tersenyum simpul sambil menyeruput kopi hitamnya.
Rapat sudah berlangsung selama dua jam dan belum menemukan jalan keluar dari turunnya harga saham setelah batalnya pernikahan Ara yang mulai tersebar. Wajah dewan direksi mulai menunjukkan raut kesal dan lelah membuat Kakek, Tante Geby dan Gavin yang berada dalam rapat itu mulai terpojok. Mereka harus membuat para dewan tenang dengan keputusan apa yang akan mereka ambil.“Buat Ferdi dan keluarganya tersandung masalah, cari masalah sekecil apa pun yang bisa menyeret mereka pada unsur Pidana. Blow up beritanya, dan sogok media agar membuat Ferdy menjadi orang jahat sehingga simpati akan segera mengalir pada Ara,“ ucap Kakek Gavin menutup rapat yang mulai membuat ia lelah, mengingat usianya yang tak lagi muda.“Baik akan segera saya laksanakan! “ jawab Damar“Waktumu hanya 24 jam! “ Damar mengangguk pada perintah Kakek Gavin.Keputusan final kakek Gavin membuat sebagian dewan mulai tenang dan
Tiga puluh menit sudah berlalu sejak Gavin dan Ferdi keluar namun belum juga datang menjemput Dava. Entah bagaimana Dava yang resah mulai menuangkan gelas demi gelas wiski ke kerongkongan yang terus terasa kering menahan rasa gelisah berada di dekat Dina yang tak henti membelai dada bidang milik Dava tak butuh waktu lama ia runtuh dan tak sadarkan diri. Selang dua jam setelah kepergian Gavin ia menemukan dirinya tengah terkapar di sebuah kamar hotel mewah sendirian dengan hanya menggunakan celana boxer, sayup-sayup ia dengar nyanyian sumbang Dina di dalam kamar mandi.Dava duduk, ia mulai mencerna semua yang terjadi, kepalanya masih pusing, dan terus memijat keningnya untuk mengurangi rasa sakit kepala yang di derita. Sontak ia terkaget dengan kedatangan Dina dari kamar mandi tengah mengenakan busana setelah G string menerawang, lemak dan juga kerutan memburai dari setiap sisi tubuh wanita paruh baya itu.“Astaga, mati aku kenapa Gavin lama seka
Zermatt, Swiss “Bukankah menginap di sini sangat mahal? Kamu benar-benar tahu cara menghamburkan uang kakekmu untuk laki-laki yang malah kabur di hari pernikahan,“ canda Arka setelah mereka memasuki Chale sebuah penginapan mirip Vila pribadi yang sudah Ara pesan jauh hari sebelum pesta pernikahan. Mata Ara melotot tajam ke arah Arka setelah mendengar perkataan Arka yang menusuk hatinya. “Ups,, maaf!“ Arka segera merangkul pundak gadis yang tengah menatapnya tajam itu. “Aduh dingin sekali, aku tidak pernah suka berlibur saat musim dingin apalagi pada daerah bersalju,“ lanjut Arka sambil merangkul erat pundak Ara. Arka berkeliling di Chale yang sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu, ada perapian di depan ruang keluarga, sebuah jacuzzi outdoor yang terletak menghadap pegunungan. “Dingin sekali, di mana kamarku? Aku sangat lelah dan ingin tidur?” tanya Arka pada Ara yang sedang naik tangga dengan menenteng koper miliknya.
Sebuah gudang pengap berdiri di antara jajaran industri lain di kompleks pergudangan pinggiran kota Jakarta, sebuah gudang tua yang lama ditinggalkan karena kebakaran ruang produksi pada bagian belakang 10 tahun silam. Cat mulai memudar di bakar sinar matahari dan juga debu tanpa adanya perawatan, bahkan rumput mulai tumbuh di cela-cela rekahan lantai. Sarang laba-laba juga bertengger di setiap sisi menambah kesan misteri gudang dengan luas hampir satu hektare. Gavin dan Dava membuka pintu besi besar berwarna hijau gudang ini, membuat ruang yang awalnya hanya temaram cahaya lampu neon kuning kini di susupi lampu terang mobil Gavin yang sengaja tak ia padamkan. Seseorang tengah duduk tak berdaya di kursi kayu dengan tangan dan kaki terikat, wajahnya sudah penuh lebam dan baju yang mulai berantakan bekas dihajar tiga orang anak buah Damar yang kini tengah bermain kartu di meja sebelah Ferdi berada. Ada sebuah perapian yang mereka buat dari drumb besi bekas oli samping meja mer
Zermatt, SwissCahaya mulai menyusup dari punggung pegunungan Alpen menuju ke celah kaca kamar Ara yang tengah tertidur pulas, gadis yang menyukai suasana gelap saat tidur ini mulai terbangun. Ia menoleh ke samping tempat tidurnya dan tak menemukan sosok Arka. Tempat tidur Arka masih rapi tampak jelas semalam lelaki itu tidak tidur di sampingnya. Ara mulai turun dan mendapati lelaki yang ia cari tengah berendam di jacuzzi sambil menatap pada hamparan salju putih di depannya. Mengetahui itu Ara segera berganti bikini dan menyusul Arka dari belakang tanpa sepengetahuan Arka hingga mengagetkannya.“Selamat pagi!“Arka tersentak dan segera menoleh ke belakang tempat suara itu berasal.“Kamu sudah bangun?“ tanya Arka“Iya, kenapa tidak tidur dikamar semalam?““Tidur di depan perapian sudah cukup menghangatkan. Aku akan keluar jika kau ingin berendam di sini!” kata Arka setelah mengeta