Share

02 : Kau Memilih Musuh yang Salah

Praaaakkk...  

Tongkat itu terjatuh ke lantai setelah sebelumnya dilempar ke arah Gavin meninggalkan luka robek kecil di ujung kiri kening Gavin. Tubuh laki-laki itu tetap terdiam meski sempat menyeringai kesakitan. Nenek Gavin yang terkejut langsung menatap tajam ke arah kakek Gavin yang sudah membuat cucunya terluka. Belum sempat ia marah tangannya di raih oleh Tante Geby, sambil memberikan isyarat gelengan kepala agar tidak ikut campur.

Tante Geby seperti orang tua pengganti bagi Gavin dan Arabella setelah kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa ke dua orang tua mereka yang tak lain adalah kakak Tante Geby. Ia rela tidak menikah hanya untuk membesarkan ke-dua keponakannya yang masih kecil ketika itu. Meski ia begitu mencintai mereka seperti darah daging sendiri, tetapi kali ini ia berada di pihak orang tuanya. Ia merasa kecewa pada Gavin yang telah lengah pada Ferdi yang ternyata hanya mempermainkan Ara.

“Inikah hasil didikanmu sebagai kakak, saat kakek menjodohkan adikmu dengan pilihan kakek dengan lantang kau menolak dan berkata biar Ara menikah dengan lelaki pilihannya sendiri. Sekarang inikah hasil dari pengantin pilihan kalian! Memalukan!“ ucap kakek dengan lantang. Gavin tetap diam mematung, ia tahu tidak pantas melakukan pembelaan apa pun.

“Sekarang pergi dan cari Si Ferdi itu buat dia membayar semuanya. Pastikan tugasmu sebagai kakak kali ini benar!“ titah kakek Gavin

“Cari tahu di mana lokasi terakhir Ferdi, tracking dari sinyal handphonenya!“ perintah tante Geby pada asistennya.

“Cari cara agar bisnis keluarga dan juga bisnis Ferdy hancur,“ lanjut kakek Gavin pada asisten Geby.

Damar adalah asisten kepercayaan keluarga yang sudah berusia 45 tahun. Pria itu direkrut langsung begitu lulus kuliah di luar negeri sebagai ahli lulusan IT dengan beasiswa dari Yayasan keluarga Gavin. Damar keluar di ikuti dengan langkah Gavin, di luar kamar hotel sudah menunggu Arka dan Dava mereka menarik nafas lega saat melihat temannya masih keluar hidup-hidup meski terdapat goresan pada keningnya. Damar menginstruksikan pada bawahannya di kantor agar melacak nomor Ferdy.

“Cari tahu keberadaan pemilik nomor tadi. Cepat!“ titah Damar pada staf IT bawahannya di kantor.

Butuh waktu sepuluh menit keberadaan Ferdy terlacak.

“Aku sudah mengirimkan lokasi Ferdi saat ini,” kata Damar di ikuti dengan sebuah pesan masuk pada handphone Gavin berisi lokasi Ferdi.

Ketiga sahabat itu berjalan beriringan dengan dada membusung, tatapannya dingin seperti pedang es. Mereka tak ubahnya seperti aktor utama dalam film laga dengan langkah penuh percaya diri bersiap untuk melumat musuh mereka hidup-hidup, kancing jas mereka longgarkan begitu juga dengan kancing lengan. Setiap mata yang memandang sudah dapat menebak ketiga pria ini tengah berjalan menuju medan peperangan.

***

Ara berjalan menyusuri lorong hotel menuju kamarnya di ikuti oleh pelayan dan manajer hotel. Mereka berhenti di depan salah satu kamar suite.

“Apa ini kamarku yang sudah kalian hias untuk kamar pengantin?” tanya Ara pada mereka.

“Iya, ini kamar yang sudah kami persiapkan untuk pengantin,“ jawab manajer itu lugas.

Ara menarik nafas panjang raut wajahnya tampak tidak senang, membuat manajer dan pelayanan hotel itu kikuk.

“Carikan kamar lain, cepat! Gaun ini begitu berat dan aku ingin melepasnya! “ perintah Ara.

Manajer itu segera mematuhi perintah, tak butuh waktu lama Ara sudah mendapatkan kamarnya. Sebuah kamar tanpa hiasan bunga mawar dan sepasang handuk berbentuk dua angsa yang berpelukan di atas ranjang. Bathup pun tak di isi dengan hiasan mawar merah dengan bentuk cinta di atasnya. Ara tak mengizinkan siapa pun masuk, ia melepas gaun, hiasan rambut bahkan menghapus riasan sendirian. Setelah semua selesai ia memastikan air bathup cukup hangat untuknya berendam. Dua jam ia tak beranjak dari dalam air, teringat semua kenangan bersama Ferdi yang ternyata hanya sebuah kepalsuan.

 Dia hanya mengenal laki-laki itu 3 bulan dan begitu terlena akan ajakan menikah pria yang ia kenal sebagai sesama narasumber di seminar bisnis. Saat Ara sedang bersedih di sebuah kamar hotel sendirian, kakaknya beserta dua temannya mulai turun dari mobil menanggalkan jas mewah mereka di dalam mobil. Seusai keluar mereka melipat lengan kemeja hingga ke siku. Menerobos tempat latihan bilyar Ferdi bersama teman-temannya seperti kelompok gangster, orang-orang menatap heran saat kedatangan mereka sebagian memilih pergi dan sebagian lagi memilih tetap di tempat menunggu pertunjukan dimulai. Seorang pria paruh baya pemilik bilyar menghampiri mereka seolah sadar bahwa akan terjadi keributan di tempat miliknya.

“Ada apa ini?“ tanyanya menggertak tiga orang pria yang tinggi dan bentuk badannya jauh melebihi dia

“Jika terjadi kerusakan akan kami ganti dua kali lipat,“ ucap Gavin sambil menunjukkan black card keluaran perusahaan American Express (Amex) yang menjadi salah satu tanda status sosial tertinggi dan hanya Miliarder yang dapat memilikinya.

“Suruh semua orang pergi kecuali laki-laki itu!“ perintah Arka.

Ferdi yang sudah merasa tersudut di pojokkan meja bilyar tampak gemetar sambil terus mencengkeram stik bilyar sebagai tameng untuk membela diri. Semua orang pergi dan kini hanya tinggal ia, rasa sombong karena telah mempermainkan anak dari konglomerat yang sempat ia dengungkan dengan temannya tiba-tiba menguap dan tersisa rasa takut, seolah kematian telah berada tepat di depan matanya.

“Ma-maaf, maafkan aku,“ ucap Ferdi terbata-bata saat ketiga tubuh laki-laki gempal itu mendekatinya

Tinjuan pertama Gavin mendarat di Pipinya, di ikuti oleh tinjuan demi tinjuan berikutnya hingga membuat pelipis dan bibir Ferdi robek. Ia terkapar di lantai bilyar. Sementara Arka dan Dava masih mengamati dan menunggu giliran. Ferdi berusaha bangkit, namun ia malah tertawa bahkan terus terkekeh memancing kemarahan ketiga laki-laki itu. Gavin mencengkeram leher Ferdi mendorong tubuhnya ke dinding tubuh itu sedikit terangkat membuat kaki Ferdi tidak lagi menapaki lantai.

“Kamu ingat Nayara?“ tanya Ferdi lirih dengan suara yang tersekat di kerongkongan karena leher yang semakin sesak di impit jari-jari Gavin.

Gavin melepaskan cengkeramannya, meski belum tahu apa yang ingin dikatakan mantan calon adik iparnya itu. Ferdi langsung terbatuk-batuk begitu Gavin melonggarkan cengkeraman yang hanya dilakukan dengan satu tangan kanannya.

“Cepat katakan apa yang ingin kamu bilang sebelum aku membuatmu tak bisa berkata apa pun lagi!“ bentak Gavin.

Ferdi menunjukkan sebuah foto di mana terdapat foto seorang perempuan berambut panjang yang tak asing bagi Gavin. Itu adalah Nayara mantan kekasihnya yang telah ia putuskan lima tahun lalu.

“Setidaknya kamu masih bisa melihat adikmu masih hidup. Aku hanya melukis luka patah hati yang sama pada adikmu seperti yang kamu lakukan pada kakakku hingga membuat ia kemudian lebih memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena kau campakkan.”

Gavin terkejut, ia ingat betul wanita yang diceritakan oleh Gavin adalah mantan kekasihnya dengan hubungan terlama yaitu satu tahun, padahal Gavin dan kedua teman lainnya memiliki perjanjian tidak akan memacari wanita lebih dari jangka waktu tiga bulan.

“Tidak, pasti kamu bohong! Itu hanya alibimu!“ jawab Dava

“Untuk apa aku bohong, siapa yang tidak akan tertarik pada kecantikan, kekayaan dan juga sikap adikmu, tapi kenapa aku malah membuangnya. Itu semua karena dendam yang begitu dalam pada apa yang telah menimpa kakakku,“ jawab Ferdi.

Gavin mulai lunglai dan mundur perlahan setelah mendengar apa yang telah Ferdi katakan. Ia merasa sebuah bom besar menimpa kepalanya, merasa terkejut dan bersalah pada apa yang terjadi pada Nayara. Ia juga mulai menyadari bahwa kepahitan yang menimpa adiknya Ara adalah akibat perbuatan masa lalunya.

“Kamu seharusnya tidak melibatkan Ara. Dia bukan saja adik Gavin tapi juga adik bagiku dan Dava. Masalahmu dan Gavin adalah urusan kalian, tapi masalahmu dan Ara kini menjadi urusanku juga. Aku tidak perlu merasa harus mundur hanya karena kejadian Nayara atau siapalah itu,“ tegas Arka sambil melayangkan tinjuan demi tinjuan ke tubuh Ferdi bahkan tubuhnya yang sudah tersungkur ke lantai masih saja ia tendang. Gavin berusaha keras menghentikan Arka sahabatnya yang mulai hilang akal.

“Sudah cukup, ayo kita pergi!“ ajak Gavin

Mereka bertiga akhirnya meninggalkan tempat bilyar beserta tubuh Ferdi yang lemas dan berlumuran darah. Gavin tampak murung sepanjang perjalanan, ia masih kaget pada apa yang terjadi dengan Nayara gadis yang dulu sempat begitu ia cintai namun tiba-tiba menghilang tanpa ada kabar setelah pertengkaran hebat antara mereka. Ia masih belum bisa percaya bahwa dirinya adalah penyebab bunuh diri Nayara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status