“Kalau dia lulus S1 di umur 22, terus langsung S2 di NYU dan lulus sekitar umur 24 atau 25. Ditambah kerja selama 10 tahun, tapi udah bisa sampai di posisi sekarang. Nggak make sense sih, kalau nggak ada sesuatu yang luar biasa.”
“Kasus yang dia tanganin kebanyakan kasus kelas kakap Lis, makanya langsung melejit. Dan mungkin, yah, nama belakangnya juga berpengaruh.” Alisa mendesah. “Bisa jadi. Hidup kenapa nggak adil banget ya? Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah nyungsep.” “Lihat juga perjuangan dia, Jerikho udah bekerja keras sepanjang kariernya. Dia pantas dapetin posisi itu.” Shea ingat pernah membaca, kalau lihat rumput tetangga lebih hijau, maka lihat juga berapa biaya tagihan airnya. Artinya pasti ada yang dikorbankan, dan sejauh ini, Jerikho sangat disiplin. Dia selalu tepat waktu, tidak mengeluh dan yang paling penting mau belajar. Shea merasa“Jeri.” Here we go. Bisa tidak Shea langsung menyeret Jerikho pergi? Tapi tentu saja sulit, jika suaminya sendiri memilih menoleh. Mungkin Jerikho refleks, atau mungkin dia memang tertarik dengan penampilan Livia yang for God's sake, kelihatan memukau dalam balutan empire waist dress dengan bahan satin ringan yang jatuh lembut di tubuh rampingnya. “Selamat untuk kasusnya. Aku sudah menduga ini sejak awal. Perempuan itu hanya mencari sensasi. Glad, kamu bisa membuat dia akhirnya menyerah.” Perut Shea memberontak. “Kalian baru saja mau makan?” “Kami sudah selesai, Livia.” “Oh, tapi pestanya baru saja dimulai. Kenapa kalian kelihatan buru-buru?” “Shea—” “Kemari, aku punya beberapa rekomendasi makanan yang cocok untuk dikonsumsi ibu hamil,” katanya, tanpa diminta langsung bergegas
Shea melangkah di atas flats dengan hati-hati. Tangannya digenggam erat sang suami, menyapa para kolega. Meski bibirnya menebar senyum. Tapi tidak ada apapun yang bisa Shea rasakan malam ini, seakan hatinya kebas. “Di luar banyak wartawan, aku mau kamu jangan terlalu jauh, Shea.” “Memangnya aku bisa ke mana, aku bahkan nggak tau sebagian besar teman-teman Abang?” Alisnya naik saat menoleh. “Kamu nggak suka berada di keramaian?” “Kalau nggak suka, aku nggak akan ikut,” katanya memandang sekitar dengan nanar. “Nggak pa-pa, selamat buat Abang dan tim, kalian udah bekerja keras.” Jerikho mengecup keningnya sekilas tepat ketika Mba Naomi mendekat. “Maaf ya, Pak, saya mau mengambil Shea. Permisi.” Tangannya dengan jemari lentik terulur, menarik pergelangan tangan Shea. Suaminya dengan
“Semoga aku nggak menganggu kamu.” Hati Shea mencelos. Pram kelihatan berantakan. Kemeja flanelnya kusut. Ada kantung hitam di bawah matanya, seakan dia berhenti tidur, dan rahangnya tampak lebam membiru. Wajahnya menjadi lebih kuyu hanya dalam waktu dua puluh empat jam. “Sini Pram.” Shea mengajaknya melipir, menuju kafe kecil di dalam gedung apartemennya. Lalu memesankan segelas kopi hangat. “Kamu baru pulang dari kampus?” “Kamu nunggu aku dari tadi?” Mereka berbicara bersamaan saat sudah sama-sama duduk berhadapan. Pram meringis, mempersilakan Shea untuk lebih dulu bicara, lalu perlahan menyesap kopinya. “Kenapa kamu ngelakuin itu Pram?” Tidak ada gunanya basa-basi, saat mereka jelas-jelas tahu apa yang terjadi. Dia mendesah, meletakkan gelas kopinya di
“Ayo She, lebih baik kita nggak usah ikut campur. Gue bakal minta Abang Jerikho buat jemput sekarang ya, ya?”Alisa berusaha menyeret lengan Shea menjauh meninggalkan kerumunan, tapi Shea merasa kakinya terpaku.“Nggak bisa Lis, ini Pram.”Dan meskipun dia tidak ingin kepedean. Tapi masalah apalagi memangnya yang bisa membuat Pram murka selain apa yang belakangan terjadi pada Shea?“Biarin aja She, mereka udah dewasa, biarin mereka tanggung jawab sama kelakuan mereka sendiri. Lo harus tenang, pikirin juga soal kandungan lo.”Bisikan parau itu membuat Shea akhirnya tersadar. Alisa menatapnya serba salah. Ada rasa cemas di matanya.Lalu beberapa orang satpam yang dipanggil mahasiswa lain datang tergopoh-gopoh, berusaha keras memisahkan mereka.“Berhenti, berhenti!”Telinga Shea berdenging panjang, suara-suara itu menghilang saat Pram berhasil ditarik mundur.Matanya merah, kedua rahangnya mengatup ketat,
“Assamullaikum, Nduk.” “Mama?” Mengabaikan denyut di kepala, Shea peralahan beringsut duduk, menyingkap selimut yang menutupi dada. “Shea, kalau ada yang ngucapin salam itu dijawab bukannya malah jerit-jerit.” Shea meringis, merasakan gerakan samar di sampingnya. Sosok itu menggeliat lalu peralahan merebahkan diri sebelum bangkit dan duduk si sebelahnya. “Waalaikumsalam, Ma.” Mama berdecak di seberang sana. “Masih nggak berubah ya, kamu tuh?” “Mama sehat?” “Yah lebih baik dari sebulan lalu,” jawab Mama apa adanya. “Mama sama Papa rencananya akan ke Jakarta, Shea.” “Mama serius?” “Kalau becanda Mama nggak akan nelpon kamu. Gimana keadaan kamu di sana?” Beliau terdiam sejenak, ragu-ragu. “Kandungan kamu baik-baik aja?” Shea menelan ludah merasakan rambut panjangnya disingkirkan ke samping, lalu merasakan sebuah kecupan lem
“Aduh,” bisik Shea pelan. Jarumnya tersangkut dan menusuk kulit. Tetes darah muncul di jari telunjuknya. Shea buru-buru mengusapnya dengan tisu, lalu melihat noda tipis itu mengotori bagian dalam kain satin ivory dari gaun pengantin yang hampir selesai. Shea mendesah, tapi tidak panik. Kadang hal seperti ini pasti terjadi, apalagi Shea sendiri yang memaksakan diri. Dia merasa bosan, karena Jerikho memintanya cuti kerja, setelah puas tidur, finishing moodboard konsep, menyiram tanaman di balkon, sampai menonton ulang series Gossip Girl. Shea butuh mengerjakan sesuatu, meskipun di saat yang sama, dia juga tidak ingin melakukan pekerjaan berat karena khawatir janinnya akan bereaksi keras. Alhasil, selagi menunggu suaminya pulang. Shea duduk berselonjor di sofa, menjahit baris terakhir dari sulaman tangan di bagian dalam gaun. Lalu mendengar pintu berbunyi terbuka, dan sosok Jerikho muncul dari san