LOGIN“Lelucon macam apa ini?”
Reaksi Papa adalah hal yang wajar. Tidak ada orang tua yang senang mendengar anaknya hamil di luar nikah terlebih situasi mereka cukup membingungkan. “Kalian mau menghina anak saya?” raung Papa murka ke seluruh ruangan. Mata Shea sudah basah semua, Mama di sofa sudah lemas sebadan-badan. Dia terduduk lemah, nyaris pingsan. “Ya Allah, kenapa bisa begini Shea?” gumamnya mengajukan pertanyaan yang sama, berulang kali. Adimas tidak menceritakan secara lengkap, dia tergagap-gagap, tapi walaupun begitu, ada Jerikho yang membantunya bicara. Sehingga orang tua Shea yang butuh dijelaskan dengan bahasa sederhana, perlahan mengerti duduk perkara mereka. “Kamu...” tunjuk Papa marah pada Adimas. “Yang menghamili anak saya, tapi kamu...” Telunjuknya bergeser menunjuk Jerikho. “Yang mau bertanggung jawab?” “Pa, sudah Pa, malu didengar tetangga,” sahut Mama berusaha menenangkan. “Kami sudah mempertimbangkan ini dengan baik Om.” “Baik untuk siapa?” sembur Papa. “Keluar kalian berdua, kalian nggak diterima di rumah kami, jangan sampai saya—” “Shea nggak memiliki pilihan,” potong Jerikho. Shea merasa salut dengan mental laki-laki ini meskipun sedari tadi sudah dibentak-bentak, tapi dia tetap tenang. Suaranya tetap rendah dan sopan. Sedangkan Adimas langsung melompat berdiri, menolak terintimidasi, tapi dia duduk di balik punggung Jerikho. “Dia masih ingin kuliah, dan saya nggak bisa meninggalkannya begitu saja tanpa perlindungan. Shea berhak mendapatkan nama baiknya kembali setelah apa yang adik saya lakukan. Ini akan menjadi solusi praktis untuk kedua belah pihak.” Dengan lemah, Papa menjatuhkan diri di sofa, wajahnya merah padam. Hati Shea terasa hancur ketika menyadari tangan keriput beliau gemetar. “Maafin Shea Papa...” bisiknya. Ketika tangannya Shea sentuh. Dengan halus Papa menggeser tangannya menjauh. “Saya nggak bisa menjanjikan banyak hal, tapi dengan pernikahan, anak di kandungan Shea juga bisa terlindungi. Dia nggak perlu menerima celaan society atas kesalahan yang dibuat oleh orang tuanya.” Kata-kata Jerikho sepertinya menyadarkan Papa betapa genting situasi Shea, karena mata beliau berubah kosong. “Kalau Om dan Tante sayang dengan Shea, biarkan dia mengambil keputusan.” “Ya ampun, Nduk.” Mama terisak sambil menguruti lengan Shea dengan gemas. “Kamu sudah setuju?” tanya Papa. Shea tidak berani mengangkat kepala saat menggumam pelan. “Maaf Pa...” “Kalau gitu kenapa kamu bertanya?” Pandangan Shea langsung terangkat, kepalanya meronta lemah. Sakit sekali melihat Papa yang selama ini selalu ceria berubah tidak berdaya. Hanya kurang dari satu jam, Shea sudah membuat kedua orang tuanya terlihat menua sepuluh tahun. Wajah mereka jadi pucat dan cekung. “Kenapa kamu minta pendapat kami?” lanjut Papa lirih pada anak sulungnya. Kemudian pandangannya menyapu mereka dengan suara rendah tertahan. “Saya akan menikahkan kalian kalau itu yang kalian inginkan, setelah itu.” Tatapannya jatuh pada Shea yang pucat. “Kalian bisa pergi.” Tenggorokan Shea tercekat. “Papa...” Papa segera berderap keluar ruangan, meninggalkan mereka. Mama memandang Shea, kemudian menatap sang suami. “Ma, tolong bilangin Papa—” “Nggak sekarang Shea, enggak.” “Aku mau Papa yang jadi wali nikah aku.” “Kamu sudah dengar kan tadi?” tanya Mama, suaranya yang selalu lembut itu kini semakin terdengar tegang. “Papa akan menikahkan kamu.” Dia menatap Jerikho. “Sebaiknya kita saling menenangkan diri, ini bukan kabar yang bisa langsung diterima. Kamu juga harus menjaga kesehatan Shea, Mama takut itu akan berpengaruh ke kandungan kamu.” Jerikho maju dan menunduk di hadapan Mama. “Maafkan saya Tante, dan terima kasih untuk kepercayaannya.” Mama mengangguk, lalu berderap menyusul Papa tanpa bicara apa-apa lagi. “Nah.” Shea bisa mendengar manusia bajingan itu mendesah. “Sekarang sudah selesai, aku bisa pulang ke Jakarta?” Shea menendang pria itu keluar. *** Pernikahan dilaksanakan tiga hari setelah Shea sampai di Jogja. Dia harus mengurus administrasi di catatan sipil. Lalu akad dilangsungkan di rumah dengan sederhana. Tidak ada perayaan, tidak ada makan-makan, tidak ada dansa, tidak ada suka cita. Acara itu hanya dihadiri oleh sesepuh setempat, saksi, dan para tetangga agar tidak menimbulkan fitnah. Shea mengenakan dress buatannya sendiri selama masa kuliah, sementara Jerikho mengenakan setelan jas rapi. Selama di Jogja, dia memilih untuk menginap di hotel, tapi datang setiap hari untuk membantu Shea mengurus berkas-berkas. Sedangkan Adimas langsung pulang ke Jakarta. Biarlah, Shea juga enggan melihat wajahnya lama-lama. Jadi dia mengusirnya pergi. Namun selama prosesi, yang membuat hati Shea sedih adalah orang tuanya yang menolak bicara. Mama hanya menyahut sepatah dua patah kata. Papa diam saja. Begitu ijab kabul selesai, beliau langsung mengurung diri di kamar. “Papa gimana?” tanya Shea saat dia akan pamit kembali ke Jakarta dan menyalami punggung tangan Mama setelah resmi menyandang status seorang istri. Mama menggeleng lemah. “Papa masih marah Shea, untuk sekarang, biarkan Papa sendirian, Papa butuh waktu. Kamu jaga diri baik-baik di sana ya. Kalau sempat nanti Mama akan berkunjung.” Shea memeluk Mama, dekapan lama dan penuh penyesalan, menggumamkan permintaan maaf. Berharap bisa melakukan hal yang sama pada Papa. Kemudian pandangannya jatuh pada Sidra. Adik laki-lakinya yang masih SMA. “Kalau laki-laki itu macam-macam,” katanya terlihat geram. “Aku sendiri yang akan membawa Mba pulang.” Shea meremas tangannya, menenangkan. “Mba titip Mama sama Papa, ya.” Sidra mengangguk muram. Hatinya terasa berat saat melangkah keluar dari rumah. Dia tidak tahu apakah tetangga tahu tentang keadaannya, tapi mereka pasti sudah bisa menebak. Shea bukan hanya mencoreng nama baik orang tuanya, tapi dia sudah melemparkan lumpur ke wajah mereka. Perjalanan ke Jakarta diisi dengan kekosongan. Shea diam saja. Jerikho memilih tidak menganggu. Suaminya cukup pengertian, tahu kapan harus menonjolkan diri, kapan harus memberi jarak. Suaminya... Kenyataan itu terdengar pahit. Sebulan lalu Shea bahkan tidak berpikir untuk menikah. Dia ingin fokus mengurus tugas akhir, kemudian bekerja, liburan. Melakukan hal-hal normal yang dilakukan perempuan seusinya, tapi kini semua kebebasan itu telah direnggut. “Maafin Mama ya,” bisiknya sambil mengusap perut. Masih datar, tapi Shea tidak sabar menantikan dia membesar. Seorang laki-laki paruh baya menyusul mereka di Bandara, mengenalkan dirinya sebagai Aidan. Supir pribadi Jerikho. Mereka dibimbing menuju apartemen suaminya. Tempat itu terlihat persis seperti pemiliknya. Bersih, rapi, tertata. “Kamu bisa gunakan kamar ini, aku akan pakai kamar tamu,” kata Jerikho membuka salah satu pintu. Mempersilakan Shea masuk ke master bedroom sambil membawa koper-kopernya. Shea berdiri di tengah-tengah sebuah kamar luas dengan balkon berisi pemandangan gedung pencakar langit. “Sebaiknya kamu periksa, apa mungkin ada barang-barang kamu yang ketinggalan?” Shea mendesah, lalu berputar, untuk pertama kali memandang laki-laki yang kini telah menjadi suaminya. “Terima kasih,” kata Shea. “Aku belum sempat mengatakan ini saat masih di rumah, tapi makasih udah membantu.” Jerikho memandang ke segala arah, sebelum berhenti tepat di matanya. “Istirahatlah. Kalau nanti kamu butuh sesuatu, kamu bisa panggil aku.” Pintu kemudian ditutup dengan hati-hati, meninggalkan Shea dalam sunyi. Namun berbanding terbalik dengan keadaannya. Pikiran Shea sangat berisik, bertanya, akan ke mana arah pernikahan mereka? ***Ada dua kebetulan di dunia ini, kebetulan biasa, dan kebetulan yang membawa pada takdir. Menurut Gisa, perjalanan orang tuanya adalah kebetulan yang kedua. Kisah mereka membuktikan kalau cinta kita dengan pasangan setara, maka semua kesulitan pasti bisa dilewati. Masalahnya, bagaimana Gisa bisa mendapatkan keberuntungan yang sama kalau pria yang ia suka, jangankan membalas, menganggapnya sebagai perempuan dewasa saja tidak. "Nduk." See? Gisa sudah cantik banget begini mengenakan kebaya kutubaru, rambut disanggul rapi, tapi pria itu, masih saja memanggilnya seperti bocah. "Ya ampun, sudah besar ya sekarang?" Nyatanya, Gisa bukan hanya besar, tapi tubuhnya masuk kategori semampai, thanks to Papa yang mewariskan gen jangkung dalam keluarga mereka. Hanya saja, mereka baru ketemu kemarin banget, dan Naga menatap Gisa seakan mereka sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Wajar Gisa merasa jengkel. Karena itu hanya mengkonfirmasi kalau selama ini Naga memang tidak pernah be
Masa kehamilan Shea kali ini terasa berjalan sangat cepat. Seperti baru kemarin dia sibuk memilih tone warna yang cocok untuk kamar si bayi, berdebat dengan suaminya karena susah minum susu, lalu sibuk menyulam, menyiapkan pakaiannya. Tau-tau kandungan Shea sudah memasuki usia tujuh bulan. Mereka mengadakan syukuran di rumah, sekalian doa bersama untuk rumah baru mereka yang sudah selesai didesain. Dihadiri keluarga besar suaminya dan para tetangga. Berat badan Shea langsung melonjak drastis, naik sampai 12 kilo. Ini adalah momen paling magical dalam hidupnya, apalagi di waktu-waktu mereka akan pergi kontrol dan mendengar detak jantung si bayi, meski saat trisemester pertama, Shea sempat merasa trauma, takut menemukan bercak cokelat, dan sedikit stres karena terus waspada. Tapi syukurlah mereka bisa melewati masa-masa itu, walaupun bukan berarti Shea mengendurkan kewaspadaan. Shea rasa keterlibatan suami juga berpengaruh. Tidak henti-hentinya Shea memuji dan berterima kasih
"Masya Allah, beneran Shea?""Masa aku bohong, sih, Ma?""Kamu sudah periksa?""Aku bahkan udah lihat hasilnya.""Gimana kata dokter?""Dia sehat, detak jantungnya udah terdengar dan udah jalan 6 minggu.""Sebulan lebih? Shea, kamu ngapain aja sampai nggak sadar? Kurang-kurangin kerjaan itu, mulai fokus sama kesehatan, jaga pola makan, jaga pola tidur, jangan ambil kegiatan yang terlalu berat.""Makasih Mama.""Nduk, Mama yang makasih, makasih sudah mau kasih Mama sama Papa cucu. Selamat ya sayang, selamat buat Abang. Kalian akan menjadi orang tua."Mata Shea dengan cepat kembali berembun. Tapi dadanya mengembang gembira. Dari latar belakang, dia bisa mendengar suara lain yang saling bersahut-sahutan, suara Papa dan Sidra serta Mas Gilang, ART di rumah.Mereka tidak henti-hentinya mengucap syukur. Shea merasa malu karena sudah suudzon, berpikir kalau Tuhan memberinya hukuman, tapi hadiah untukn
"Kok lemes banget sih, Bu. Semangat dong, kan besok weekend." Yah, Andin sudah pasti gembira, karena ini minggu pertama awal bulan yang artinya sore nanti akan gajian. Sementara Shea pusing memikirkan pengeluaran, karena beberapa pendapatannya masih berbentuk modal, dan menjadi kain-kain di tim produksi. Tapi tidak masalah, toh Shea sudah berjanji niatnya rebranding Velora juga sebab ingin membuka lapangan pekerjaan. Jadi kalau sudah begini, untuk membangkitkan mood, Shea sengaja minta dipesankan pizza, hitung-hitung sebagai rewards untuk diri sendiri. "De Luca ya, Bu?" "Yang khusus jual pizza aja, Ndin." Andin cekikikan, perempuan muda itu memang baru lulus SMA, tidak heran kalau tingkahnya sedikit kekanak-kanakan yang celetukannya kadang bikin Shea istigfar. "Kirain, Bu." Hari ini tidak seramai
Shea senang sekali bertemu Pram.Dia memancarkan aura glow up yang sesungguhnya dari seseorang yang pernah 'hilang'. Rambutnya yang dulu agak gondrong, kini terpangkas rapi, selera pakainnya lebih maskulin, tubuhnya lebih berisi dengan rahang tegas. Usia telah membawa Pram tampak lebih matang."Ini kamu banget, Shea."Belum apa-apa, Shea sudah meringis mendengar komentarnya."Maksud kamu full pink?""Lebih tepatnya warna-warni."Tawa Shea berderai halus ketika Pram mengedarkan pandangan, binar kagum tampak di matanya, tapi sejak dulu, dia memang tipikal orang yang mudah memberikan pujian, bukan?"Mba Mala pernah bilang, kalau dia suka sekali dengan selera pakaian kamu, dan selalu sibuk tanya, kira-kira kamu beli di mana. Sekarang dia nggak perlu khawatir lagi ke mana harus cari outfit itu." Senyumnya melebar. "Kamu sudah bikin satu rasa penasaran dia jadi terobati.""Aku belum ketemu Mba Mala lagi, gimana kabarn
"Kamu mau brownies?" Shea menggeleng, menyurukkan wajahnya di bantal, memeluk guling. Satu-satunya cahaya di kamar dari layar TV tampak memantulkan wajahnya yang murung. "Kimbab? Aku buatkan ya?" Kepalanya menggeleng lagi. "Mau apa? Kamu belum makan dari siang tadi. Pilih yang kamu suka, Shea." Istrinya diam saja, dia menonton Gossip Girls, tapi matanya tampak kosong. Jerikho sebenarnya malas kalau Shea sudah badmood begini, karena dia tahu karena apa istrinya jadi murung. Mereka sudah berusaha, dan Jerikho juga tidak pernah mempermasalahkan kenapa sampai sekarang Shea belum hamil. Ini menjadi topik yang sensitif semenjak mereka merayakan anniversary. Anak adalah amanah yang besar, sulit untuk menjaga mereka, dari segi finansial dan mental. Bahkan Jerikho setuju dengan pendapat kalau memiliki anak tanpa persiapan adalah dosa. Karena Jerikho tidak ingin menjadi orang tu







