Home / Romansa / Cinta Perlahan Sang Pengacara / Bab 3: Master Bedroom

Share

Bab 3: Master Bedroom

Author: Titi Chu
last update Last Updated: 2025-07-01 17:26:19

“Lelucon macam apa ini?”

Reaksi Papa adalah hal yang wajar. Tidak ada orang tua yang senang mendengar anaknya hamil di luar nikah terlebih situasi mereka cukup membingungkan.

“Kalian mau menghina anak saya?” raung Papa murka ke seluruh ruangan.

Mata Shea sudah basah semua, Mama di sofa sudah lemas sebadan-badan. Dia terduduk lemah, nyaris pingsan.

“Ya Allah, kenapa bisa begini Shea?” gumamnya mengajukan pertanyaan yang sama, berulang kali.

Adimas tidak menceritakan secara lengkap, dia tergagap-gagap, tapi walaupun begitu, ada Jerikho yang membantunya bicara. Sehingga orang tua Shea yang butuh dijelaskan dengan bahasa sederhana, perlahan mengerti duduk perkara mereka.

“Kamu...” tunjuk Papa marah pada Adimas. “Yang menghamili anak saya, tapi kamu...” Telunjuknya bergeser menunjuk Jerikho. “Yang mau bertanggung jawab?”

“Pa, sudah Pa, malu didengar tetangga,” sahut Mama berusaha menenangkan.

“Kami sudah mempertimbangkan ini dengan baik Om.”

“Baik untuk siapa?” sembur Papa. “Keluar kalian berdua, kalian nggak diterima di rumah kami, jangan sampai saya—”

“Shea nggak memiliki pilihan,” potong Jerikho. Shea merasa salut dengan mental laki-laki ini meskipun sedari tadi sudah dibentak-bentak, tapi dia tetap tenang. Suaranya tetap rendah dan sopan.

Sedangkan Adimas langsung melompat berdiri, menolak terintimidasi, tapi dia duduk di balik punggung Jerikho.

“Dia masih ingin kuliah, dan saya nggak bisa meninggalkannya begitu saja tanpa perlindungan. Shea berhak mendapatkan nama baiknya kembali setelah apa yang adik saya lakukan. Ini akan menjadi solusi praktis untuk kedua belah pihak.”

Dengan lemah, Papa menjatuhkan diri di sofa, wajahnya merah padam. Hati Shea terasa hancur ketika menyadari tangan keriput beliau gemetar.

“Maafin Shea Papa...” bisiknya. Ketika tangannya Shea sentuh. Dengan halus Papa menggeser tangannya menjauh.

“Saya nggak bisa menjanjikan banyak hal, tapi dengan pernikahan, anak di kandungan Shea juga bisa terlindungi. Dia nggak perlu menerima celaan society atas kesalahan yang dibuat oleh orang tuanya.”

Kata-kata Jerikho sepertinya menyadarkan Papa betapa genting situasi Shea, karena mata beliau berubah kosong.

“Kalau Om dan Tante sayang dengan Shea, biarkan dia mengambil keputusan.”

“Ya ampun, Nduk.” Mama terisak sambil menguruti lengan Shea dengan gemas.

“Kamu sudah setuju?” tanya Papa.

Shea tidak berani mengangkat kepala saat menggumam pelan. “Maaf Pa...”

“Kalau gitu kenapa kamu bertanya?”

Pandangan Shea langsung terangkat, kepalanya meronta lemah. Sakit sekali melihat Papa yang selama ini selalu ceria berubah tidak berdaya. Hanya kurang dari satu jam, Shea sudah membuat kedua orang tuanya terlihat menua sepuluh tahun. Wajah mereka jadi pucat dan cekung.

“Kenapa kamu minta pendapat kami?” lanjut Papa lirih pada anak sulungnya. Kemudian pandangannya menyapu mereka dengan suara rendah tertahan. “Saya akan menikahkan kalian kalau itu yang kalian inginkan, setelah itu.” Tatapannya jatuh pada Shea yang pucat. “Kalian bisa pergi.”

Tenggorokan Shea tercekat.

“Papa...”

Papa segera berderap keluar ruangan, meninggalkan mereka. Mama memandang Shea, kemudian menatap sang suami.

“Ma, tolong bilangin Papa—”

“Nggak sekarang Shea, enggak.”

“Aku mau Papa yang jadi wali nikah aku.”

“Kamu sudah dengar kan tadi?” tanya Mama, suaranya yang selalu lembut itu kini semakin terdengar tegang. “Papa akan menikahkan kamu.” Dia menatap Jerikho. “Sebaiknya kita saling menenangkan diri, ini bukan kabar yang bisa langsung diterima. Kamu juga harus menjaga kesehatan Shea, Mama takut itu akan berpengaruh ke kandungan kamu.”

Jerikho maju dan menunduk di hadapan Mama. “Maafkan saya Tante, dan terima kasih untuk kepercayaannya.”

Mama mengangguk, lalu berderap menyusul Papa tanpa bicara apa-apa lagi.

“Nah.” Shea bisa mendengar manusia bajingan itu mendesah. “Sekarang sudah selesai, aku bisa pulang ke Jakarta?”

Shea menendang pria itu keluar.

***

Pernikahan dilaksanakan tiga hari setelah Shea sampai di Jogja. Dia harus mengurus administrasi di catatan sipil. Lalu akad dilangsungkan di rumah dengan sederhana.

Tidak ada perayaan, tidak ada makan-makan, tidak ada dansa, tidak ada suka cita. Acara itu hanya dihadiri oleh sesepuh setempat, saksi, dan para tetangga agar tidak menimbulkan fitnah.

Shea mengenakan dress buatannya sendiri selama masa kuliah, sementara Jerikho mengenakan setelan jas rapi. Selama di Jogja, dia memilih untuk menginap di hotel, tapi datang setiap hari untuk membantu Shea mengurus berkas-berkas. Sedangkan Adimas langsung pulang ke Jakarta.

Biarlah, Shea juga enggan melihat wajahnya lama-lama. Jadi dia mengusirnya pergi.

Namun selama prosesi, yang membuat hati Shea sedih adalah orang tuanya yang menolak bicara. Mama hanya menyahut sepatah dua patah kata. Papa diam saja.

Begitu ijab kabul selesai, beliau langsung mengurung diri di kamar.

“Papa gimana?” tanya Shea saat dia akan pamit kembali ke Jakarta dan menyalami punggung tangan Mama setelah resmi menyandang status seorang istri.

Mama menggeleng lemah. “Papa masih marah Shea, untuk sekarang, biarkan Papa sendirian, Papa butuh waktu. Kamu jaga diri baik-baik di sana ya. Kalau sempat nanti Mama akan berkunjung.”

Shea memeluk Mama, dekapan lama dan penuh penyesalan, menggumamkan permintaan maaf. Berharap bisa melakukan hal yang sama pada Papa. Kemudian pandangannya jatuh pada Sidra. Adik laki-lakinya yang masih SMA.

“Kalau laki-laki itu macam-macam,” katanya terlihat geram. “Aku sendiri yang akan membawa Mba pulang.”

Shea meremas tangannya, menenangkan. “Mba titip Mama sama Papa, ya.”

Sidra mengangguk muram.

Hatinya terasa berat saat melangkah keluar dari rumah. Dia tidak tahu apakah tetangga tahu tentang keadaannya, tapi mereka pasti sudah bisa menebak.

Shea bukan hanya mencoreng nama baik orang tuanya, tapi dia sudah melemparkan lumpur ke wajah mereka.

Perjalanan ke Jakarta diisi dengan kekosongan. Shea diam saja. Jerikho memilih tidak menganggu. Suaminya cukup pengertian, tahu kapan harus menonjolkan diri, kapan harus memberi jarak.

Suaminya...

Kenyataan itu terdengar pahit.

Sebulan lalu Shea bahkan tidak berpikir untuk menikah. Dia ingin fokus mengurus tugas akhir, kemudian bekerja, liburan. Melakukan hal-hal normal yang dilakukan perempuan seusinya, tapi kini semua kebebasan itu telah direnggut.

“Maafin Mama ya,” bisiknya sambil mengusap perut. Masih datar, tapi Shea tidak sabar menantikan dia membesar.

Seorang laki-laki paruh baya menyusul mereka di Bandara, mengenalkan dirinya sebagai Aidan. Supir pribadi Jerikho. Mereka dibimbing menuju apartemen suaminya. Tempat itu terlihat persis seperti pemiliknya. Bersih, rapi, tertata.

“Kamu bisa gunakan kamar ini, aku akan pakai kamar tamu,” kata Jerikho membuka salah satu pintu. Mempersilakan Shea masuk ke master bedroom sambil membawa koper-kopernya.

Shea berdiri di tengah-tengah sebuah kamar luas dengan balkon berisi pemandangan gedung pencakar langit.

“Sebaiknya kamu periksa, apa mungkin ada barang-barang kamu yang ketinggalan?”

Shea mendesah, lalu berputar, untuk pertama kali memandang laki-laki yang kini telah menjadi suaminya.

“Terima kasih,” kata Shea. “Aku belum sempat mengatakan ini saat masih di rumah, tapi makasih udah membantu.”

Jerikho memandang ke segala arah, sebelum berhenti tepat di matanya. “Istirahatlah. Kalau nanti kamu butuh sesuatu, kamu bisa panggil aku.”

Pintu kemudian ditutup dengan hati-hati, meninggalkan Shea dalam sunyi. Namun berbanding terbalik dengan keadaannya. Pikiran Shea sangat berisik, bertanya, akan ke mana arah pernikahan mereka?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 9: Cleopatra & Punk

    Mba Mala sangat luwes, sama halnya seperti Pram, sepanjang jalan dia tidak berhenti mengajak Shea mengobrol. Shea sangat menghargai niat baiknya agar suasana perjalanan mereka tidak terasa canggung, tapi tidak ada satupun dari kalimatnya yang mampu Shea simak.Dia terus memantau jalan, berharap bisa segera turun, tapi Pram jelas tidak akan berhenti kalau Shea minta drop di tengah jalan seperti ABG pacaran back street dan minta diantar jemput depan gang.“Jadi kamu ini mahasiswa fashon design ya? Wah, Mba belum pernah loh punya kenalan orang-orang fashion, kecuali influencer ya, tapi basicnya pasti beda banget kan? Berarti kalau kuliah yang dipelajari apa aja? Gambar-gambar baju gitu?” tanya Mba Mala tanpa malu-malu, melirik Shea yang duduk di kursi belakang dengan tegang.Kalau hanya gambar-gambar baju, Shea mungkin sudah menjadi Princess sejak TK. Sambil meringis dia menjawab otomatis. “Sebenarnya banyak Mba, mulai dari ngukur badan, b

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 8: 26 Minggu

    Shea segera menyembunyikan hasil USG-nya dengan menjejalkannya ke dalam tote bag lalu memandang Pram.“Ha-halo, Pram.” Dia berkata canggung. “Kamu sendiri ngapain?”Tangan Shea mendadak dingin, tapi punggungnya terasa panas. Dia melihat Pram mengerutkan kening, memandang ke tempat hasil USG-nya disembunyikan.Tanpa sadar Shea menggenggam tasnya lebih erat, seakan takut dijambret.“Aku habis menemani Mba pemeriksaan rutin.” Dia menjawab.Secara bersamaan seorang wanita berambut sebahu dengan perut buncit muncul dari balik punggung Pram.“Pram udah semua nih, Mba minta di-print dua lembar hasilnya, nanti satunya dikirim ke Bunda, kamu—Oh, halo?” Perempuan itu menyadari kehadiran Shea dan langsung menyapa. “Siapa ini Pram?”“Shea.”“Shea?” ulang beliau, menyebutkan nama Shea seakan familier, matanya dengan terang-terangan memindai penampilan Shea lalu tersenyum. “Oh—”“Shea, ini Mba aku, Mala.” Pram seger

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 7: Morning Sickness

    Ketika terbangun keesokan paginya, hal pertama yang Shea sadari adalah Jerikho sudah berangkat kerja. Laki-laki itu sepertinya memang tidak repot-repot akan membujuk atau peduli dengan kemarahan Shea. Mereka berasal dari satu darah yang sama meski beda ibu tapi Jerikho jelas sama brengseknya seperti Adimas. Shea buru-buru berjalan keluar, merasa perlu memastikan kalau Adimas sudah angkat kaki. Namun, baru knop diputar, Shea langsung mendengar sumpah serapah, melihat sekilas barang-barang yang dipindahkan. Dengan bijaksana Shea menutup kembali pintu apartemennya. Oke, Adimas sedang beberes. “Buka She.” Pintu diketuk brutal. Sial, sepertinya Adimas melihat Shea. “Kita harus bicara, anak kamu itu anak aku juga, jangan bersikap nggak adil.” Shea mendengus. “Jangan memaksa aku buat bertindak menggunakan kekerasan She. Kamu mau masuk rumah sakit lagi?” Perut Shea memberontak, bayangan hari itu ketika darah mengucur deras membasahi wajahnya, membuat Shea gemetar. Ada des

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 6: Runaway

    “Kalau tau batasan, harusnya Abang nggak membiarkan dia berada di sini, aku bahkan nggak mau ngelihat wajahnya di sekitar aku, apalagi sampai minta hak asuh untuk anak yang sedang aku kandung. Apa dia punya masalah dengan kewarasan?”Jerikho mematung di tengah-tengah jalan living room, memandang istrinya yang kini berdiri dengan wajah merah padam, tangan terkepal seolah siap bertempur.“Adimas?”“Persis di samping unit kita.”Dalam sekali pernyataan, Jerikho bisa memahami situasinya. Dengan tenang dia meletakkan tas kerja berisi kasus pidana di sofa, lalu menyusul duduk di sana, dan meminta Shea melakukan hal yang sama.“Kamu bisa bicara pelan-pelan.”Shea menolak nurut. “Abang yang mengusulkan supaya dia tinggal di sana?”“Untuk apa aku melakukan itu?”“Dia bilang kalau unit itu punya Abang, dia nggak mungkin ada di sana kalau Abang nggak mengizinkan, kan?”Sebenarnya unit yang Shea maksud milik keluar

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 5: Teori & Kritik Fashion

    Jangan mentang-mentang Adimas anak mafia migas secara turun menurun yang tidak tersentuh hukum sejak zaman presiden kedua Indonesia menjabat, lantas semua perempuan birahi sama dia. Mungkin itulah akibatnya dari memberi makan anak dengan uang haram, kelakuannya bikin ngelus dada. “Semoga kamu nggak kayak bapakmu, Nak,” bisik Shea sambil mengusap perut. “She?” “Ya?” Seorang laki-laki menjulang sedang berdiri menunduk menatapnya saat Shea menoleh. Jantung Shea langsung jumpalitan tapi dengan cara yang sangat berbeda. Shea segera menurunkan tangannya. Pram menangkap gerakan itu, dia tersenyum. “Jarang kelihatan di kampus akhir-akhir ini, sudah mulai nyusun tugas akhir?” “Belum masih niat, kamu udah?” “Baru judul. Ada kelas pagi ini?” Basa-basi, tapi ini adalah jenis basa-basi yang Shea suka. Agak mengerikan bagaimana Shea masih sangat berharap dengan Pram. Bahkan setelah semua yang terjadi. Perasaan Shea masih sama. Tapi mengingat statusnya saat ini, sekaligus anak

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 4: Moodboard

    Sebulan setelah menikah, Shea menyadari kalau Jerikho sangat sibuk. Dia hampir jarang berada di apartemen. Pergi pagi, dan pulang larut. Mereka tidak pernah bertemu kecuali di meja sarapan. Itupun kadang Jerikho harus menginap di kantor karena mengurus persidangan. “Kamu mulai kuliah hari ini?” “Aku akan pulang sore.” Sebenarnya, dia tidak perlu memberi info kapan akan pulang, karena toh, Jerikho tidak akan repot-repot bertanya. Tapi sepertinya Jerikho menghargai niat baik Shea, sebab dia mengangguk. “Pak Aidan akan mengantar kamu kalau gitu.” Kemudian dia berdiri, membawa serta piring kotornya untuk dicuci. Shea megap-megap di meja makan. Dia tidak laporan untuk mendapatkan tumpangan. Selama ini, Shea sudah terbiasa pulang-pergi kampus bersama ojol tanpa bergantung dengan orang lain. “Aku nggak pa-pa,” kata Shea, akhirnya, menyusul Jerikho ke pantry. “Airlangga nggak jauh dari sini, aku nggak mau ngerepotin karyawan... Abang.” Ada jeda canggung di antara ucapan She

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status