Share

Bab 4: Moodboard

Author: Titi Chu
last update Last Updated: 2025-07-01 17:27:16

Sebulan setelah menikah, Shea menyadari kalau Jerikho sangat sibuk.

Dia hampir jarang berada di apartemen. Pergi pagi, dan pulang larut. Mereka tidak pernah bertemu kecuali di meja sarapan. Itupun kadang Jerikho harus menginap di kantor karena mengurus persidangan.

“Kamu mulai kuliah hari ini?”

“Aku akan pulang sore.”

Sebenarnya, dia tidak perlu memberi info kapan akan pulang, karena toh, Jerikho tidak akan repot-repot bertanya.

Tapi sepertinya Jerikho menghargai niat baik Shea, sebab dia mengangguk.

“Pak Aidan akan mengantar kamu kalau gitu.” Kemudian dia berdiri, membawa serta piring kotornya untuk dicuci.

Shea megap-megap di meja makan. Dia tidak laporan untuk mendapatkan tumpangan. Selama ini, Shea sudah terbiasa pulang-pergi kampus bersama ojol tanpa bergantung dengan orang lain.

“Aku nggak pa-pa,” kata Shea, akhirnya, menyusul Jerikho ke pantry. “Airlangga nggak jauh dari sini, aku nggak mau ngerepotin karyawan... Abang.”

Ada jeda canggung di antara ucapan Shea dan panggilan itu.

Tadinya Shea hanya ingin menyebut aku-kamu selayaknya rekan bisnis. Karena pada dasarnya, pernikahan mereka hanya soal melindungi janin di kandungan Shea, tapi gap umur mereka terlalu jauh, Shea merasa kurang ajar kalau memanggil Jerikho tanpa embel-embel apapun.

Jerikho mengangkat alis.

“Nanti beliau harus bolak-balik dari kampus, terus ke kantor. Itu terlalu—”

“Justru itu,” gunting Jerikho. Menarik lembut piring di tangan Shea untuk sekalian dicuci. “Kalau kamu nggak keberatan, kamu justru membantu pekerjaan dia. Kampus memang nggak jauh, tapi kamu harus mulai beradaptasi dengan perubahan.”

Secara tidak langsung Jerikho ingin mengingatkan statusnya yang sudah menjadi seorang istri.

Shea menelan ludah.

“Kamu bisa berikan jadwal kamu nanti,” tambahnya lalu mengeringkan tangan setelah menaruh piring di rak. Kemudian berjalan ke arah Shea. “Aku tau kamu bisa sendiri, tapi aku melakukan ini untuk kebaikan kandungan kamu juga.”

Benar, kenapa Shea berpikir yang lain?

Dia akhirnya setuju diantar jemput ke Airlangga, unversitas swasta tempat Shea berkuliah. Tempat itu tidak berubah seperti yang terakhir kali Shea tinggalkan.

Luas, terbuka, berisik.

Terlalu berisik, sampai Shea merasa tidak nyaman. Mungkin ini hanya perasaannya saja, atau kali ini mahasiswa tampak lebih padat. Orang-orang hilir mudik tidak tentu arah. Obrolan ringan di studio terlalu keras di telinga Shea. Ada teriakan lantang dari microphone di kejauhan. Seseorang berusaha mencari parkiran yang penuh.

Shea merasa terpapar.

Untuk menghindari perhatiaan orang-orang dari perutnya yang mulai membuncit, dia mengenakan kemeja oversize, celana jeans yang biasa jadi andalannya diganti dengan rok denim.

Merasa bersyukur karena tubuhnya yang dulu dianggap seperti anak SMP, bisa menyembunyikan kehamilannya yang mendadak.

Shea seharusnya tidak perlu malu, sebab dia sudah memiliki suami, dia bisa mengatakan itu anak suaminya, tapi sebagian dari hati nuraninya berkata bahwa apa yang terjadi tetap saja salah.

“Oi.”

Mendadak bahunya ditepuk kencang dari belakang, Shea berjengit, menyentuh dada.

“Ke mana aja lo, baru nongol? Dicariin Pak Greg, katanya lo belum ngumpul tugas presentasi. Lah gimana mau ngumpul, orangnya aja nggak masuk-masuk.”

“Mau ngulang semester sembilan lo?”

Shea membiarkan detak jantungnya perlahan melemah sebelum menjawab. “Kirimin ke gue tugasnya.”

Perempuan pertama yang menegurnya adalah Alisa, partner in charge, orang yang bisa menjadi sahabat sekaligus lawan berdebat. Mereka sudah kenal sejak SMA. Berbeda dengan namanya yang girly, Alisa ini agak gahar, tubuhnya menjulang, rambut pixie, tindikan.

Nah, berbanding terbalik dengan Alisa, perempuan kedua, Kalina, berpenampilan super feminin, mengenakan kacamata berframe modis, rambut panjang bergelombang dengan wajah flawless. Social butterfly, di mana semua orang mengenal Kalina, dan Kalina mengenal semua orang. Tipikal mahasiswa famous seperti dalam film-film remaja Amerika.

Shea juga tidak paham bagaimana awalnya mereka bisa bersahabat, tapi yang pasti, mereka cocok satu sama lain.

“Hampir sebulan nggak ada kabar, lo juga belum ngumpul moodboard kan?”

“Sample kain?” Kalina menimpali.

“Belum.”

Kedua temannya meringis.

“Ada banyak banget yang lo lewatin Shea, gosip terbaru teman kita, hamidun.”

Shea berusaha bersikap kalem mendengar perkataan Kalina, tapi dia bisa merasakan wajahnya berubah pias.

“Siapa maksud lo?”

“Giska, dan lo tau plot twistnya dia hamil sama siapa?” Shea tidak ingin tahu, tapi dengan senang hati Kalina melanjutkan. “Sama Pak Greg, gila nggak tuh?” tanyanya dramatis, membelalakkan mata seolah Shea harus terkejut atau semacamnya.

“Kalian bilang Pak Greg nyariin gue.”

“Ya sekarang udah diganti sama Bu Winda, beliau udah keluar dari kampus.”

Shea meringis.

“Ajaib kan She? Padahal Giska selama ini kelihatan kayak anak baik-baik, kalem, sopan... tapi ternyata diam-diam.” Kalina menggelengkan kepala tak habis pikir.

Ludah Shea terasa pahit. “Jangan ngejudge dulu, siapa tahu itu cuma khilaf.”

“Khilaf gimana kalau dia tau Pak Greg udah punya istri? Itu sih pelakor, bukan khilaf lagi namanya Shea, tapi doyan.”

“Yaudah lah. Gue yakin semua orang pasti punya kesulitan dan aibnya masing-masing. Gue juga belum baik-baik amat, Kal.”

Kalina mengernyit. “Berarti lo menormalisasi hamil di luar nikah?”

“Bukan itu poin gu—”

“Lo nggak masuk-masuk ke mana aja? Sakit? Muka lo pucet.” Alisa mendadak memotong pembicaraan mereka.

Shea mengembuskan napas berat, lalu berbalik, berjalan mendahului mereka supaya tidak menimbulkan kemacetan bagi mahasiswa lain. “Shade bedak gue kayaknya keputihan.”

Alisa berdecak halus. “Udah gue duga, lo pasti liburan sama Adimas kan?”

Mendengar nama itu disebut, jantung Shea langsung memburu.

“Gue lihat dia liburan ke Jogja,” timpal Kalina. “Kalian ke sana bareng ya?”

“Ngapain?” Shea ingin menjawab biasa saja, tapi suaranya terdengar sewot. Kedua temannya langsung menoleh.

“Cuma nanya elah, kalau iya juga nggak pa-pa. Adimas baik kok She, keluarganya juga baik, dompetnya lebih baik,” kata Kalina manis, merangkul lengannya.

Shea ingin muntah.

“Kenapa sih? Kalian kan dekat akhir-akhir ini. Kalau dilihat dari gimana malam itu, dia kayaknya suka sama lo. Pepet terus aja She, jangan kasih kendor, siapa tahu bisa—nah itu anaknya, Dim. Dim!”

Shea sudah melotot supaya Kalina tidak perlu memanggil bajingan itu, tapi Kalina malah makin semangat melambai.

Adimas menoleh, mengangkat alis. Shea langsung membuang muka, merasa baru saja melihat najis mugholadoh.

“Udah? Gitu doang?” tanya Kalina sama sekali tidak terkesan.

“Lo maunya gimana?” Alisa lebih dulu mempertanyakan isi kepala Shea.

“Minimal samperin kek, kayak nggak niat. Kalau gini keburu Shea diambil orang.”

“Yang mau sama dia juga siapa?” tanya Shea, lalu melenggang menjauh.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 98: G-Wagon

    Dunia Shea runtuh. Kenapa dia tidak menyadari ini sebelumnya? Kenapa Shea masih tidak paham? Suaminya sangat ambisius, Jerikho akan melakukan apa saja untuk membuat lawannya mati kutu. Korban AR benar, Jerikho orang yang tanpa belas kasihan. Pram benar, Jerikho adalah yang terburuk dari keluarga Lomana. Selama ini, Shea menutup telinga, tidak ingin mendengar nasihat orang lain mengenai Jerikho. Tapi semua kini terbuka dengan sendirinya. Shea benar-benar hanya korban bagian dari balas dendam Jerikho untuk menghancurkan keluarganya. "Abang nggak ada pembelaan?" Rasanya dia sudah puas meraung, memukul, bahkan menampar suaminya. Tapi Jerikho diam saja, hingga Shea lelah sendiri. Serta akhirnya mengurung diri di kamar. Mereka praktis tidak bicara, dada Shea sakit karena menangis semalaman. Jerikho tidak paham bagaimana ketakutannya Shea ketika pertama kali menemukan kalau dirinya me

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 97: Boat

    Shea ketiduran. Mungkin karena kepalanya terlalu sakit memikirkan kata-kata Adimas, dan menunggu kepulangan suaminya, Shea jatuh tertidur begitu saja. Lalu terbangun dengan suara ketukan di pintu. Jantungnya berdegup kencang. "Shea?" Suara Jerikho. Perlahan Shea beringsut bangkit, menyingkap selimut, merasakan udara dingin menusuk kulit dari gorden jendela. "Kamu sudah tidur?" "Sebentar." Begitu pintu kamar ia buka, Shea terkesiap mendapati suaminya yang basah kuyup. Jasnya sudah ditanggalkan, menyisakan kemeja kusut yang menempel di kulit. Jerikho menyugar rambutnya yang basah lalu perlahan mengulas senyum lebar. "Maaf, aku pulang telat." Pandangan Shea dengan cepat memburam. Dia tidak ingin kelihatan lembek, tapi rekaman Adimas langsung terputar di k

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 96: Money Laundering

    "Sudah kamu perlihatkan?" Adimas menekan tombol lift, benda itu tertutup rapat lalu perlahan bergerak. Dia menyimpan satu tangan di saku celana, tangan lain menggenggam ponsel di telinga sambil memandang pantulan wajahnya sendiri yang datar. "Sudah." "Dia dengar?" "Semuanya." "Bagus." "Sepertinya ini nggak akan berhasil, Shea sangat keras kepala." Suara di seberang sana terdengar mendesah. "Kamu nggak perlu khawatir, Shea pasti bakal mengkonfrontasi suaminya kali ini. Bukannya kamu nggak suka Jerikho bahagia?" "Aku nggak suka mereka menggangu kehidupan aku." "Kalau gitu sekarang gantian, kamu yang mengganggu mereka. Tinggal menunggu waktu sampai mereka bercerai." Jujur Adimas belum merasa puas, tapi setidaknya ini bisa menjadi pukulan yang telak untuk Jerikho. Sambil mengulas senyum miring dia menjawab. "Makasih Livia, you're my best sister ever." *** "Sialan." Jerikho mengumpat ketika untuk yang kesekian kali ponsel Shea tidak aktif. Istrinya sempat menele

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 95: Kartu AS

    "Kamu macam-macam, aku akan teriak dan bikin keributan." Satu tangannya dilipat ke balik punggung sementara tangan yang lain dicengkeram di handle pintu, tapi bukan berarti Shea tidak bisa bergerak. Shea mencoba melemaskan tubuhnya, lalu menyentak kuat, berhasil menyikut sedikit. Adimas semakin mendesak tubuh Shea ke pintu, perempuan itu merasakan kepalanya seperti terjepit akan patah. "Udah lama banget aku pengin ngelakuin ini sama kamu. Tapi kita nggak pernah ketemu. Kamu suka di sini, Shea? Kamu merasa udah jadi Nyonya Lomana?" Shea mengerang. "Mulut kamu bau." Adimas mendengkus keras, tapi perlahan dia mengurai cekalannya. Jerikho akan pulang dalam beberapa jam ke depan. Ada CCTV di living room, hanya menunggu waktu sampai keberadaannya diketahui. Pria bodoh ini sudah mengambil banyak resiko hanya untuk menakuti Shea. Setelah dirasa mulai mengendur, Shea segera membalikkan tubuh, mengusap k

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 94: Tawuran

    "Kecelakaan, dua jahitan di kepala, tapi kakinya yang paling parah. Patah. Nduk, Papa mau kamu hati-hati. Papa nggak akan basa-basi bilang ini karena Sidra ugal-ugalan naik motornya. Bukan. Jarak dari sekolah ke rumah berapa sih? Nggak jauh, dan kalaupun dia ugal-ugalan. Papa akan terima. Tapi Sidra sendiri bilang kalau sejak seminggu terakhir ini, setiap sepulang sekolah ada motor yang suka ngikutin dia di belakang." Mama kesulitan menjelaskan karena terlalu emosional, sehingga Papa akhirnya yang mengambil alih. Penuturan beliau sangat tegas, membuat Shea meremas ponsel lebih erat. Tapi kakinya justru lemas. Kalau bukan buru-buru duduk di lobi, mungkin Shea akan ambruk. "Te-terus gimana Pa?" "Jadi sekarang masih di rumah sakit. Sidra sama sekali nggak ngomong apa-apa. Karena dia pikir orang iseng atau mau ngajak tawuran. Mereka dua orang, Nduk. Biasa pakai outfit serba hitam, helm full face, mukanya nggak kelihatan." Mung

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 93: Survival Show

    "Gimana?""Negatif Mba."Mata Mba Naomi tampak meredup sejenak sebelum menyunggingkan senyum simpati. "Nggak pa-pa, berarti memang belum rezeki ya?"Betul, Shea duduk di meja kerjanya, mengambil beberapa dokumen yang harus diselesaikan, berusaha tetap elegan.Pulang dari liburan singkat di kapal, tanpa benyak pertimbangan. Shea langsung mencoba saran Mba Naomi. Pagi-pagi. Sendirian. Detak jantungnya menggila selama menunggu. Tapi sampai percobaan ketiga semua hasilnya negatif. Apakah Shea kecewa?Yah, mungkin ada sedikit. Dia sudah berekspektasi kalau mengandung, mungkin itu akan jadi kabar epic sebagai balasan suaminya yang memberikan kejutan ulang tahun. Tapi... mungkin memang belum waktunya. Mereka secara resmi baru intim akhir-akhir ini.Jadi Shea merasa legowo."Masih banyak waktu buat mencoba Mba. Aku masih pengin honeymoon lagi."Wajah Mba Naomi tampak julid. "Bisa nggak sih, nggak usah diomongi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status