Sebulan setelah menikah, Shea menyadari kalau Jerikho sangat sibuk.
Dia hampir jarang berada di apartemen. Pergi pagi, dan pulang larut. Mereka tidak pernah bertemu kecuali di meja sarapan. Itupun kadang Jerikho harus menginap di kantor karena mengurus persidangan. “Kamu mulai kuliah hari ini?” “Aku akan pulang sore.” Sebenarnya, dia tidak perlu memberi info kapan akan pulang, karena toh, Jerikho tidak akan repot-repot bertanya. Tapi sepertinya Jerikho menghargai niat baik Shea, sebab dia mengangguk. “Pak Aidan akan mengantar kamu kalau gitu.” Kemudian dia berdiri, membawa serta piring kotornya untuk dicuci. Shea megap-megap di meja makan. Dia tidak laporan untuk mendapatkan tumpangan. Selama ini, Shea sudah terbiasa pulang-pergi kampus bersama ojol tanpa bergantung dengan orang lain. “Aku nggak pa-pa,” kata Shea, akhirnya, menyusul Jerikho ke pantry. “Airlangga nggak jauh dari sini, aku nggak mau ngerepotin karyawan... Abang.” Ada jeda canggung di antara ucapan Shea dan panggilan itu. Tadinya Shea hanya ingin menyebut aku-kamu selayaknya rekan bisnis. Karena pada dasarnya, pernikahan mereka hanya soal melindungi janin di kandungan Shea, tapi gap umur mereka terlalu jauh, Shea merasa kurang ajar kalau memanggil Jerikho tanpa embel-embel apapun. Jerikho mengangkat alis. “Nanti beliau harus bolak-balik dari kampus, terus ke kantor. Itu terlalu—” “Justru itu,” gunting Jerikho. Menarik lembut piring di tangan Shea untuk sekalian dicuci. “Kalau kamu nggak keberatan, kamu justru membantu pekerjaan dia. Kampus memang nggak jauh, tapi kamu harus mulai beradaptasi dengan perubahan.” Secara tidak langsung Jerikho ingin mengingatkan statusnya yang sudah menjadi seorang istri. Shea menelan ludah. “Kamu bisa berikan jadwal kamu nanti,” tambahnya lalu mengeringkan tangan setelah menaruh piring di rak. Kemudian berjalan ke arah Shea. “Aku tau kamu bisa sendiri, tapi aku melakukan ini untuk kebaikan kandungan kamu juga.” Benar, kenapa Shea berpikir yang lain? Dia akhirnya setuju diantar jemput ke Airlangga, unversitas swasta tempat Shea berkuliah. Tempat itu tidak berubah seperti yang terakhir kali Shea tinggalkan. Luas, terbuka, berisik. Terlalu berisik, sampai Shea merasa tidak nyaman. Mungkin ini hanya perasaannya saja, atau kali ini mahasiswa tampak lebih padat. Orang-orang hilir mudik tidak tentu arah. Obrolan ringan di studio terlalu keras di telinga Shea. Ada teriakan lantang dari microphone di kejauhan. Seseorang berusaha mencari parkiran yang penuh. Shea merasa terpapar. Untuk menghindari perhatiaan orang-orang dari perutnya yang mulai membuncit, dia mengenakan kemeja oversize, celana jeans yang biasa jadi andalannya diganti dengan rok denim. Merasa bersyukur karena tubuhnya yang dulu dianggap seperti anak SMP, bisa menyembunyikan kehamilannya yang mendadak. Shea seharusnya tidak perlu malu, sebab dia sudah memiliki suami, dia bisa mengatakan itu anak suaminya, tapi sebagian dari hati nuraninya berkata bahwa apa yang terjadi tetap saja salah. “Oi.” Mendadak bahunya ditepuk kencang dari belakang, Shea berjengit, menyentuh dada. “Ke mana aja lo, baru nongol? Dicariin Pak Greg, katanya lo belum ngumpul tugas presentasi. Lah gimana mau ngumpul, orangnya aja nggak masuk-masuk.” “Mau ngulang semester sembilan lo?” Shea membiarkan detak jantungnya perlahan melemah sebelum menjawab. “Kirimin ke gue tugasnya.” Perempuan pertama yang menegurnya adalah Alisa, partner in charge, orang yang bisa menjadi sahabat sekaligus lawan berdebat. Mereka sudah kenal sejak SMA. Berbeda dengan namanya yang girly, Alisa ini agak gahar, tubuhnya menjulang, rambut pixie, tindikan. Nah, berbanding terbalik dengan Alisa, perempuan kedua, Kalina, berpenampilan super feminin, mengenakan kacamata berframe modis, rambut panjang bergelombang dengan wajah flawless. Social butterfly, di mana semua orang mengenal Kalina, dan Kalina mengenal semua orang. Tipikal mahasiswa famous seperti dalam film-film remaja Amerika. Shea juga tidak paham bagaimana awalnya mereka bisa bersahabat, tapi yang pasti, mereka cocok satu sama lain. “Hampir sebulan nggak ada kabar, lo juga belum ngumpul moodboard kan?” “Sample kain?” Kalina menimpali. “Belum.” Kedua temannya meringis. “Ada banyak banget yang lo lewatin Shea, gosip terbaru teman kita, hamidun.” Shea berusaha bersikap kalem mendengar perkataan Kalina, tapi dia bisa merasakan wajahnya berubah pias. “Siapa maksud lo?” “Giska, dan lo tau plot twistnya dia hamil sama siapa?” Shea tidak ingin tahu, tapi dengan senang hati Kalina melanjutkan. “Sama Pak Greg, gila nggak tuh?” tanyanya dramatis, membelalakkan mata seolah Shea harus terkejut atau semacamnya. “Kalian bilang Pak Greg nyariin gue.” “Ya sekarang udah diganti sama Bu Winda, beliau udah keluar dari kampus.” Shea meringis. “Ajaib kan She? Padahal Giska selama ini kelihatan kayak anak baik-baik, kalem, sopan... tapi ternyata diam-diam.” Kalina menggelengkan kepala tak habis pikir. Ludah Shea terasa pahit. “Jangan ngejudge dulu, siapa tahu itu cuma khilaf.” “Khilaf gimana kalau dia tau Pak Greg udah punya istri? Itu sih pelakor, bukan khilaf lagi namanya Shea, tapi doyan.” “Yaudah lah. Gue yakin semua orang pasti punya kesulitan dan aibnya masing-masing. Gue juga belum baik-baik amat, Kal.” Kalina mengernyit. “Berarti lo menormalisasi hamil di luar nikah?” “Bukan itu poin gu—” “Lo nggak masuk-masuk ke mana aja? Sakit? Muka lo pucet.” Alisa mendadak memotong pembicaraan mereka. Shea mengembuskan napas berat, lalu berbalik, berjalan mendahului mereka supaya tidak menimbulkan kemacetan bagi mahasiswa lain. “Shade bedak gue kayaknya keputihan.” Alisa berdecak halus. “Udah gue duga, lo pasti liburan sama Adimas kan?” Mendengar nama itu disebut, jantung Shea langsung memburu. “Gue lihat dia liburan ke Jogja,” timpal Kalina. “Kalian ke sana bareng ya?” “Ngapain?” Shea ingin menjawab biasa saja, tapi suaranya terdengar sewot. Kedua temannya langsung menoleh. “Cuma nanya elah, kalau iya juga nggak pa-pa. Adimas baik kok She, keluarganya juga baik, dompetnya lebih baik,” kata Kalina manis, merangkul lengannya. Shea ingin muntah. “Kenapa sih? Kalian kan dekat akhir-akhir ini. Kalau dilihat dari gimana malam itu, dia kayaknya suka sama lo. Pepet terus aja She, jangan kasih kendor, siapa tahu bisa—nah itu anaknya, Dim. Dim!” Shea sudah melotot supaya Kalina tidak perlu memanggil bajingan itu, tapi Kalina malah makin semangat melambai. Adimas menoleh, mengangkat alis. Shea langsung membuang muka, merasa baru saja melihat najis mugholadoh. “Udah? Gitu doang?” tanya Kalina sama sekali tidak terkesan. “Lo maunya gimana?” Alisa lebih dulu mempertanyakan isi kepala Shea. “Minimal samperin kek, kayak nggak niat. Kalau gini keburu Shea diambil orang.” “Yang mau sama dia juga siapa?” tanya Shea, lalu melenggang menjauh. ***Mba Mala sangat luwes, sama halnya seperti Pram, sepanjang jalan dia tidak berhenti mengajak Shea mengobrol. Shea sangat menghargai niat baiknya agar suasana perjalanan mereka tidak terasa canggung, tapi tidak ada satupun dari kalimatnya yang mampu Shea simak.Dia terus memantau jalan, berharap bisa segera turun, tapi Pram jelas tidak akan berhenti kalau Shea minta drop di tengah jalan seperti ABG pacaran back street dan minta diantar jemput depan gang.“Jadi kamu ini mahasiswa fashon design ya? Wah, Mba belum pernah loh punya kenalan orang-orang fashion, kecuali influencer ya, tapi basicnya pasti beda banget kan? Berarti kalau kuliah yang dipelajari apa aja? Gambar-gambar baju gitu?” tanya Mba Mala tanpa malu-malu, melirik Shea yang duduk di kursi belakang dengan tegang.Kalau hanya gambar-gambar baju, Shea mungkin sudah menjadi Princess sejak TK. Sambil meringis dia menjawab otomatis. “Sebenarnya banyak Mba, mulai dari ngukur badan, b
Shea segera menyembunyikan hasil USG-nya dengan menjejalkannya ke dalam tote bag lalu memandang Pram.“Ha-halo, Pram.” Dia berkata canggung. “Kamu sendiri ngapain?”Tangan Shea mendadak dingin, tapi punggungnya terasa panas. Dia melihat Pram mengerutkan kening, memandang ke tempat hasil USG-nya disembunyikan.Tanpa sadar Shea menggenggam tasnya lebih erat, seakan takut dijambret.“Aku habis menemani Mba pemeriksaan rutin.” Dia menjawab.Secara bersamaan seorang wanita berambut sebahu dengan perut buncit muncul dari balik punggung Pram.“Pram udah semua nih, Mba minta di-print dua lembar hasilnya, nanti satunya dikirim ke Bunda, kamu—Oh, halo?” Perempuan itu menyadari kehadiran Shea dan langsung menyapa. “Siapa ini Pram?”“Shea.”“Shea?” ulang beliau, menyebutkan nama Shea seakan familier, matanya dengan terang-terangan memindai penampilan Shea lalu tersenyum. “Oh—”“Shea, ini Mba aku, Mala.” Pram seger
Ketika terbangun keesokan paginya, hal pertama yang Shea sadari adalah Jerikho sudah berangkat kerja. Laki-laki itu sepertinya memang tidak repot-repot akan membujuk atau peduli dengan kemarahan Shea. Mereka berasal dari satu darah yang sama meski beda ibu tapi Jerikho jelas sama brengseknya seperti Adimas. Shea buru-buru berjalan keluar, merasa perlu memastikan kalau Adimas sudah angkat kaki. Namun, baru knop diputar, Shea langsung mendengar sumpah serapah, melihat sekilas barang-barang yang dipindahkan. Dengan bijaksana Shea menutup kembali pintu apartemennya. Oke, Adimas sedang beberes. “Buka She.” Pintu diketuk brutal. Sial, sepertinya Adimas melihat Shea. “Kita harus bicara, anak kamu itu anak aku juga, jangan bersikap nggak adil.” Shea mendengus. “Jangan memaksa aku buat bertindak menggunakan kekerasan She. Kamu mau masuk rumah sakit lagi?” Perut Shea memberontak, bayangan hari itu ketika darah mengucur deras membasahi wajahnya, membuat Shea gemetar. Ada des
“Kalau tau batasan, harusnya Abang nggak membiarkan dia berada di sini, aku bahkan nggak mau ngelihat wajahnya di sekitar aku, apalagi sampai minta hak asuh untuk anak yang sedang aku kandung. Apa dia punya masalah dengan kewarasan?”Jerikho mematung di tengah-tengah jalan living room, memandang istrinya yang kini berdiri dengan wajah merah padam, tangan terkepal seolah siap bertempur.“Adimas?”“Persis di samping unit kita.”Dalam sekali pernyataan, Jerikho bisa memahami situasinya. Dengan tenang dia meletakkan tas kerja berisi kasus pidana di sofa, lalu menyusul duduk di sana, dan meminta Shea melakukan hal yang sama.“Kamu bisa bicara pelan-pelan.”Shea menolak nurut. “Abang yang mengusulkan supaya dia tinggal di sana?”“Untuk apa aku melakukan itu?”“Dia bilang kalau unit itu punya Abang, dia nggak mungkin ada di sana kalau Abang nggak mengizinkan, kan?”Sebenarnya unit yang Shea maksud milik keluar
Jangan mentang-mentang Adimas anak mafia migas secara turun menurun yang tidak tersentuh hukum sejak zaman presiden kedua Indonesia menjabat, lantas semua perempuan birahi sama dia. Mungkin itulah akibatnya dari memberi makan anak dengan uang haram, kelakuannya bikin ngelus dada. “Semoga kamu nggak kayak bapakmu, Nak,” bisik Shea sambil mengusap perut. “She?” “Ya?” Seorang laki-laki menjulang sedang berdiri menunduk menatapnya saat Shea menoleh. Jantung Shea langsung jumpalitan tapi dengan cara yang sangat berbeda. Shea segera menurunkan tangannya. Pram menangkap gerakan itu, dia tersenyum. “Jarang kelihatan di kampus akhir-akhir ini, sudah mulai nyusun tugas akhir?” “Belum masih niat, kamu udah?” “Baru judul. Ada kelas pagi ini?” Basa-basi, tapi ini adalah jenis basa-basi yang Shea suka. Agak mengerikan bagaimana Shea masih sangat berharap dengan Pram. Bahkan setelah semua yang terjadi. Perasaan Shea masih sama. Tapi mengingat statusnya saat ini, sekaligus anak
Sebulan setelah menikah, Shea menyadari kalau Jerikho sangat sibuk. Dia hampir jarang berada di apartemen. Pergi pagi, dan pulang larut. Mereka tidak pernah bertemu kecuali di meja sarapan. Itupun kadang Jerikho harus menginap di kantor karena mengurus persidangan. “Kamu mulai kuliah hari ini?” “Aku akan pulang sore.” Sebenarnya, dia tidak perlu memberi info kapan akan pulang, karena toh, Jerikho tidak akan repot-repot bertanya. Tapi sepertinya Jerikho menghargai niat baik Shea, sebab dia mengangguk. “Pak Aidan akan mengantar kamu kalau gitu.” Kemudian dia berdiri, membawa serta piring kotornya untuk dicuci. Shea megap-megap di meja makan. Dia tidak laporan untuk mendapatkan tumpangan. Selama ini, Shea sudah terbiasa pulang-pergi kampus bersama ojol tanpa bergantung dengan orang lain. “Aku nggak pa-pa,” kata Shea, akhirnya, menyusul Jerikho ke pantry. “Airlangga nggak jauh dari sini, aku nggak mau ngerepotin karyawan... Abang.” Ada jeda canggung di antara ucapan She