Share

Bab 2: Empat Jahitan

Author: Titi Chu
last update Huling Na-update: 2025-07-01 17:24:14

Shea sudah puas didatangi pria berdasi akhir-akhir ini, begitu dia menemukan pria asing di depan pintu kamarnya, secara refleks dia segera melempar barang-barang yang berada di atas meja.

“Keluar.”

Pria itu bergeming, menjentikkan jari di lengan jasnya yang terkena sasaran Shea. Lalu menunduk untuk memungut kotak tisu yang terjatuh di lantai.

“Kamu nggak dengar? Saya menolak negosiasi apapun dan saya nggak mau damai. Katakan itu ke majikan kamu.”

“Saya paham kamu marah,” sahut pria itu, suaranya terdengar tenang dan terkendali. Kemudian meletakkan kotak tisu di tempatnya, Shea mengernyit ketika dihadapkan dengan sepasang mata hitam yang menatap tanpa simpati. “Tapi bersikap emosional nggak ada untungnya saat ini.”

Shea mendengus. Marah?

Sobek, empat jahitan, kepalanya pening. Dan karena lukanya di pelipis. Darah yang keluar banyak sekali. Dia ditinggalkan oleh Adimas untuk menderita. Bersyukur Shea masih cukup sadar untuk menghubungi petugas apartemen yang langsung membawanya ke rumah sakit.

Dan dengan semua rasa sakit itu apakah mereka berpikir Shea akan melunak?

“Lebih baik kamu pergi, bersikap membujuk juga nggak ada untungnya buat kamu saat ini," katanya tidak sabar. “Sudah ada lima orang suruhan yang datang sebelum kamu, dan semuanya gagal.”

Pria itu justru dengan lancang mengambil tempat duduk di samping ranjang.

Baiklah, sepertinya orang suruhan yang satu ini agak keras kepala. Mungkin dia dijanjikan sebuah hadiah fantastis jika berhasil menaklukkan Shea.

“Saya minta maaf atas nama adik saya, kamu pasti ketakutan.”

Bagus sekali, jadi sekarang Shea sudah naik kasta. Alis Shea sontak terangkat.

“Sepertinya Adimas yang lebih ketakutan kalau sampai mengirim Kakaknya.”

“Benar.”

“Apa kalian nggak malu? Mendesak seorang perempuan yang tinggal sendirian? Dalam keadaan sedang mengandu—”

“Saya akan menikahi kamu.”

Tanpa sadar pandangan Shea memburam, air matanya menetes. Shea sudah menahannya selama ini, namun hanya dalam satu kalimat, pria ini langsung meruntuhkan tembok pertahanan dirinya yang sudah dibangun susah payah.

“Kalian akan mendapatkan status, kamu dan anak itu berada dalam perlindungan saya, sah secara hukum dan agama.”

“Kalian benar-benar keluarga brengsek.”

Dari dulu, Jerikho tidak terbiasa menghadapi perempuan menangis. Meskipun dia sudah sering melihatnya dalam sebuah perkara.

Kali ini pun, dengan bijaksana Jerikho memilih untuk membuang muka, memberi Shea privasi selagi terisak pelan.

Setelah dirasa mulai tenang, barulah dia berani mengulurkan sapu tangan.

“Saya masih mau kuliah,” bisik Shea sambil berusaha mengeringkan sudut mata.

“Nggak ada yang meminta kamu untuk berhenti sekolah, itu hak kamu dan saya nggak akan mengganggu. Tapi dengan menikah, itu akan memberi kamu tempat dan status, kamu bisa belajar dengan tenang tanpa harus memikirikan bagaimana pendapat society. Kamu pasti paham apa yang saya maksud kan, Shea?”

Pandangan Shea terangkat.

Selain orang tua, rasanya Shea jarang sekali mendengar namanya diucapkan dengan lembut. Tapi pria itu terdengar hati-hati seolah nama Shea amat rapuh.

'Bukan,' pikirnya dalam hati, ketika menatap sosok di sampingnya lebih teliti, mata pria itu bukan hitam, tapi sewarna biji kopi, cokelat namun lebih pekat.

“Kalau kamu setuju,” lanjut pria itu. “Saya akan segera bertemu orang tua kamu.”

***

Kepala Shea kembali berdenyut.

Alih-alih gelisah, dia lebih ingin tidur selama berada dalam perjalanan. Menolak memandang dua pria asing yang kini ikut bersamanya pulang ke Jogja.

Yah, secara teknis dia memang tidak mengenal mereka selain nama keluarganya. Adimas hanya teman satu kampus, mereka tidak memiliki hubungan romantis, hanya kenalan yang saling bertegur sapa karena berada di jurusan yang sama sebagai mahasiswa fashion design.

Dia duduk di depan, memelototi Shea seakan Shea-lah yang sudah menghamili dia bukan sebaliknya.

Sedangkan Jerikho... pria itu duduk di samping Shea. Kelihatan tenang terkendali, membuka buku, dan mulai membaca.

Selama dalam perjalanan Shea mencoba menebak-nebak, berapa umurnya? Kalau dilihat dari kerutan samar di sudut mata ketika dia menyipit, minimal Jerikho pasti di atas 30 tahun, mungkin 33 atau 34?

Sampai sekarang Shea masih tidak tahu harus memanggilnya apa.

“Tinggalkan koper kamu, biarkan Adimas yang membawanya,” perintah Jerikho saat mereka berhasil mendarat di Bandara.

Adimas berdecak. “Bang...”

“Nggak pa-pa, aku bisa sendiri.”

“Kalau kamu nggak bisa menghormati ibunya, minimal hormati bayi kamu yang ada di kandungan Shea,” bisik Jerikho dari balik gigi yang terkatup rapat.

Wajah Adimas merah padam.

Lucu, untuk apa membicarakan hormat dengan manusia yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf?

Ujung-ujungnya, setelah berjam-jam menempuh perjalanan menuju ke tempat tujuan, setelah mereka turun dari mobil, Shea tetap menyeret kopernya sendiri. Menolak bantuan Jerikho. Dia hanya hamil bukan lumpuh, selagi Shea masih bisa mandiri, dia akan berusaha.

“Rumahmu masih jauh?” tanya Adimas tidak sabar, mengernyit kepanasan.

Rumah Shea memang harus masuk gang yang tidak muat dilalui mobil.

Tapi begitu pintu pagar rumahnya yang berwarna kuning mencolok terlihat, Shea langsung gemetar. Dadanya bergemuruh.

“Mama...” Dia memanggil setelah lebih dulu mengucapkan salam.

“Loh, udah libur semester tah Mba, tumben udah pulang, gimana kuliahnya?” tanya sang Mama kaget saat menemukan si anak sulung berada di depan pintu, Shea segera menyalami punggung tangan beliau.

Mama sangat wangi, seperti kenyamanan, ketenangan dan yah... rumah.

“Papa mana?” tanya Shea.

Mama yang hari ini mengenakan kaftan bersahaja tampak membelalakkan mata penasaran pada dua pria yang dibawa Shea. “Lagi sholat di mushola, bentar lagi pulang, kamu udah sholat, Nduk?”

Shea menggeleng, lalu memperkenalkan Jerikho dan Adimas.

Mama sangat polos, khas warga desa yang selalu ramah, menyambut tamu dengan sopan bahkan mengeluarkan semua isi di dalam rumah untuk disajikan.

“Kedatangan kami ke sini bukan tanpa alasan Tante, kami ingin menyampaikan sesuatu pada orang tua Shea.”

Mama segera menaruh nampan berisi minum di meja, menatap Jerikho.

“Ada apa ya?” tanya Mama, bolak-balik menatap Shea yang sudah pucat. Dan dua laki-laki asing di hadapannya. “Shea, kalian mau ngomong apa?”

Saat itulah Papa pulang, dalam balutan gamis dan peci, wajahnya tampak cerah begitu menemukan Shea.

“Nduk, kapan sampai?”

Shea rasanya ingin menangis, dia ingin bersimpuh memohon pengampunan di bawah kaki beliau.

Dan itulah yang Shea lakukan, mengumpulkan kedua orang tuanya duduk di sofa lalu menggenggam erat tangan Mama dan Papa, kemudian mulai bicara.

“Ma, Pa, Shea—”

Jerikho mencengkeram kuat bahu Adimas lalu mendorongnya hingga jatuh berlutut di bawah kaki orang tua Shea.

“Katakan apa yang sudah kamu lakukan.”

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 9: Cleopatra & Punk

    Mba Mala sangat luwes, sama halnya seperti Pram, sepanjang jalan dia tidak berhenti mengajak Shea mengobrol. Shea sangat menghargai niat baiknya agar suasana perjalanan mereka tidak terasa canggung, tapi tidak ada satupun dari kalimatnya yang mampu Shea simak.Dia terus memantau jalan, berharap bisa segera turun, tapi Pram jelas tidak akan berhenti kalau Shea minta drop di tengah jalan seperti ABG pacaran back street dan minta diantar jemput depan gang.“Jadi kamu ini mahasiswa fashon design ya? Wah, Mba belum pernah loh punya kenalan orang-orang fashion, kecuali influencer ya, tapi basicnya pasti beda banget kan? Berarti kalau kuliah yang dipelajari apa aja? Gambar-gambar baju gitu?” tanya Mba Mala tanpa malu-malu, melirik Shea yang duduk di kursi belakang dengan tegang.Kalau hanya gambar-gambar baju, Shea mungkin sudah menjadi Princess sejak TK. Sambil meringis dia menjawab otomatis. “Sebenarnya banyak Mba, mulai dari ngukur badan, b

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 8: 26 Minggu

    Shea segera menyembunyikan hasil USG-nya dengan menjejalkannya ke dalam tote bag lalu memandang Pram.“Ha-halo, Pram.” Dia berkata canggung. “Kamu sendiri ngapain?”Tangan Shea mendadak dingin, tapi punggungnya terasa panas. Dia melihat Pram mengerutkan kening, memandang ke tempat hasil USG-nya disembunyikan.Tanpa sadar Shea menggenggam tasnya lebih erat, seakan takut dijambret.“Aku habis menemani Mba pemeriksaan rutin.” Dia menjawab.Secara bersamaan seorang wanita berambut sebahu dengan perut buncit muncul dari balik punggung Pram.“Pram udah semua nih, Mba minta di-print dua lembar hasilnya, nanti satunya dikirim ke Bunda, kamu—Oh, halo?” Perempuan itu menyadari kehadiran Shea dan langsung menyapa. “Siapa ini Pram?”“Shea.”“Shea?” ulang beliau, menyebutkan nama Shea seakan familier, matanya dengan terang-terangan memindai penampilan Shea lalu tersenyum. “Oh—”“Shea, ini Mba aku, Mala.” Pram seger

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 7: Morning Sickness

    Ketika terbangun keesokan paginya, hal pertama yang Shea sadari adalah Jerikho sudah berangkat kerja. Laki-laki itu sepertinya memang tidak repot-repot akan membujuk atau peduli dengan kemarahan Shea. Mereka berasal dari satu darah yang sama meski beda ibu tapi Jerikho jelas sama brengseknya seperti Adimas. Shea buru-buru berjalan keluar, merasa perlu memastikan kalau Adimas sudah angkat kaki. Namun, baru knop diputar, Shea langsung mendengar sumpah serapah, melihat sekilas barang-barang yang dipindahkan. Dengan bijaksana Shea menutup kembali pintu apartemennya. Oke, Adimas sedang beberes. “Buka She.” Pintu diketuk brutal. Sial, sepertinya Adimas melihat Shea. “Kita harus bicara, anak kamu itu anak aku juga, jangan bersikap nggak adil.” Shea mendengus. “Jangan memaksa aku buat bertindak menggunakan kekerasan She. Kamu mau masuk rumah sakit lagi?” Perut Shea memberontak, bayangan hari itu ketika darah mengucur deras membasahi wajahnya, membuat Shea gemetar. Ada des

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 6: Runaway

    “Kalau tau batasan, harusnya Abang nggak membiarkan dia berada di sini, aku bahkan nggak mau ngelihat wajahnya di sekitar aku, apalagi sampai minta hak asuh untuk anak yang sedang aku kandung. Apa dia punya masalah dengan kewarasan?”Jerikho mematung di tengah-tengah jalan living room, memandang istrinya yang kini berdiri dengan wajah merah padam, tangan terkepal seolah siap bertempur.“Adimas?”“Persis di samping unit kita.”Dalam sekali pernyataan, Jerikho bisa memahami situasinya. Dengan tenang dia meletakkan tas kerja berisi kasus pidana di sofa, lalu menyusul duduk di sana, dan meminta Shea melakukan hal yang sama.“Kamu bisa bicara pelan-pelan.”Shea menolak nurut. “Abang yang mengusulkan supaya dia tinggal di sana?”“Untuk apa aku melakukan itu?”“Dia bilang kalau unit itu punya Abang, dia nggak mungkin ada di sana kalau Abang nggak mengizinkan, kan?”Sebenarnya unit yang Shea maksud milik keluar

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 5: Teori & Kritik Fashion

    Jangan mentang-mentang Adimas anak mafia migas secara turun menurun yang tidak tersentuh hukum sejak zaman presiden kedua Indonesia menjabat, lantas semua perempuan birahi sama dia. Mungkin itulah akibatnya dari memberi makan anak dengan uang haram, kelakuannya bikin ngelus dada. “Semoga kamu nggak kayak bapakmu, Nak,” bisik Shea sambil mengusap perut. “She?” “Ya?” Seorang laki-laki menjulang sedang berdiri menunduk menatapnya saat Shea menoleh. Jantung Shea langsung jumpalitan tapi dengan cara yang sangat berbeda. Shea segera menurunkan tangannya. Pram menangkap gerakan itu, dia tersenyum. “Jarang kelihatan di kampus akhir-akhir ini, sudah mulai nyusun tugas akhir?” “Belum masih niat, kamu udah?” “Baru judul. Ada kelas pagi ini?” Basa-basi, tapi ini adalah jenis basa-basi yang Shea suka. Agak mengerikan bagaimana Shea masih sangat berharap dengan Pram. Bahkan setelah semua yang terjadi. Perasaan Shea masih sama. Tapi mengingat statusnya saat ini, sekaligus anak

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 4: Moodboard

    Sebulan setelah menikah, Shea menyadari kalau Jerikho sangat sibuk. Dia hampir jarang berada di apartemen. Pergi pagi, dan pulang larut. Mereka tidak pernah bertemu kecuali di meja sarapan. Itupun kadang Jerikho harus menginap di kantor karena mengurus persidangan. “Kamu mulai kuliah hari ini?” “Aku akan pulang sore.” Sebenarnya, dia tidak perlu memberi info kapan akan pulang, karena toh, Jerikho tidak akan repot-repot bertanya. Tapi sepertinya Jerikho menghargai niat baik Shea, sebab dia mengangguk. “Pak Aidan akan mengantar kamu kalau gitu.” Kemudian dia berdiri, membawa serta piring kotornya untuk dicuci. Shea megap-megap di meja makan. Dia tidak laporan untuk mendapatkan tumpangan. Selama ini, Shea sudah terbiasa pulang-pergi kampus bersama ojol tanpa bergantung dengan orang lain. “Aku nggak pa-pa,” kata Shea, akhirnya, menyusul Jerikho ke pantry. “Airlangga nggak jauh dari sini, aku nggak mau ngerepotin karyawan... Abang.” Ada jeda canggung di antara ucapan She

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status