LOGINShea sudah puas didatangi pria berdasi akhir-akhir ini, begitu dia menemukan pria asing di depan pintu kamarnya, secara refleks dia segera melempar barang-barang yang berada di atas meja.
“Keluar.” Pria itu bergeming, menjentikkan jari di lengan jasnya yang terkena sasaran Shea. Lalu menunduk untuk memungut kotak tisu yang terjatuh di lantai. “Kamu nggak dengar? Saya menolak negosiasi apapun dan saya nggak mau damai. Katakan itu ke majikan kamu.” “Saya paham kamu marah,” sahut pria itu, suaranya terdengar tenang dan terkendali. Kemudian meletakkan kotak tisu di tempatnya, Shea mengernyit ketika dihadapkan dengan sepasang mata hitam yang menatap tanpa simpati. “Tapi bersikap emosional nggak ada untungnya saat ini.” Shea mendengus. Marah? Sobek, empat jahitan, kepalanya pening. Dan karena lukanya di pelipis. Darah yang keluar banyak sekali. Dia ditinggalkan oleh Adimas untuk menderita. Bersyukur Shea masih cukup sadar untuk menghubungi petugas apartemen yang langsung membawanya ke rumah sakit. Dan dengan semua rasa sakit itu apakah mereka berpikir Shea akan melunak? “Lebih baik kamu pergi, bersikap membujuk juga nggak ada untungnya buat kamu saat ini," katanya tidak sabar. “Sudah ada lima orang suruhan yang datang sebelum kamu, dan semuanya gagal.” Pria itu justru dengan lancang mengambil tempat duduk di samping ranjang. Baiklah, sepertinya orang suruhan yang satu ini agak keras kepala. Mungkin dia dijanjikan sebuah hadiah fantastis jika berhasil menaklukkan Shea. “Saya minta maaf atas nama adik saya, kamu pasti ketakutan.” Bagus sekali, jadi sekarang Shea sudah naik kasta. Alis Shea sontak terangkat. “Sepertinya Adimas yang lebih ketakutan kalau sampai mengirim Kakaknya.” “Benar.” “Apa kalian nggak malu? Mendesak seorang perempuan yang tinggal sendirian? Dalam keadaan sedang mengandu—” “Saya akan menikahi kamu.” Tanpa sadar pandangan Shea memburam, air matanya menetes. Shea sudah menahannya selama ini, namun hanya dalam satu kalimat, pria ini langsung meruntuhkan tembok pertahanan dirinya yang sudah dibangun susah payah. “Kalian akan mendapatkan status, kamu dan anak itu berada dalam perlindungan saya, sah secara hukum dan agama.” “Kalian benar-benar keluarga brengsek.” Dari dulu, Jerikho tidak terbiasa menghadapi perempuan menangis. Meskipun dia sudah sering melihatnya dalam sebuah perkara. Kali ini pun, dengan bijaksana Jerikho memilih untuk membuang muka, memberi Shea privasi selagi terisak pelan. Setelah dirasa mulai tenang, barulah dia berani mengulurkan sapu tangan. “Saya masih mau kuliah,” bisik Shea sambil berusaha mengeringkan sudut mata. “Nggak ada yang meminta kamu untuk berhenti sekolah, itu hak kamu dan saya nggak akan mengganggu. Tapi dengan menikah, itu akan memberi kamu tempat dan status, kamu bisa belajar dengan tenang tanpa harus memikirikan bagaimana pendapat society. Kamu pasti paham apa yang saya maksud kan, Shea?” Pandangan Shea terangkat. Selain orang tua, rasanya Shea jarang sekali mendengar namanya diucapkan dengan lembut. Tapi pria itu terdengar hati-hati seolah nama Shea amat rapuh. 'Bukan,' pikirnya dalam hati, ketika menatap sosok di sampingnya lebih teliti, mata pria itu bukan hitam, tapi sewarna biji kopi, cokelat namun lebih pekat. “Kalau kamu setuju,” lanjut pria itu. “Saya akan segera bertemu orang tua kamu.” *** Kepala Shea kembali berdenyut. Alih-alih gelisah, dia lebih ingin tidur selama berada dalam perjalanan. Menolak memandang dua pria asing yang kini ikut bersamanya pulang ke Jogja. Yah, secara teknis dia memang tidak mengenal mereka selain nama keluarganya. Adimas hanya teman satu kampus, mereka tidak memiliki hubungan romantis, hanya kenalan yang saling bertegur sapa karena berada di jurusan yang sama sebagai mahasiswa fashion design. Dia duduk di depan, memelototi Shea seakan Shea-lah yang sudah menghamili dia bukan sebaliknya. Sedangkan Jerikho... pria itu duduk di samping Shea. Kelihatan tenang terkendali, membuka buku, dan mulai membaca. Selama dalam perjalanan Shea mencoba menebak-nebak, berapa umurnya? Kalau dilihat dari kerutan samar di sudut mata ketika dia menyipit, minimal Jerikho pasti di atas 30 tahun, mungkin 33 atau 34? Sampai sekarang Shea masih tidak tahu harus memanggilnya apa. “Tinggalkan koper kamu, biarkan Adimas yang membawanya,” perintah Jerikho saat mereka berhasil mendarat di Bandara. Adimas berdecak. “Bang...” “Nggak pa-pa, aku bisa sendiri.” “Kalau kamu nggak bisa menghormati ibunya, minimal hormati bayi kamu yang ada di kandungan Shea,” bisik Jerikho dari balik gigi yang terkatup rapat. Wajah Adimas merah padam. Lucu, untuk apa membicarakan hormat dengan manusia yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf? Ujung-ujungnya, setelah berjam-jam menempuh perjalanan menuju ke tempat tujuan, setelah mereka turun dari mobil, Shea tetap menyeret kopernya sendiri. Menolak bantuan Jerikho. Dia hanya hamil bukan lumpuh, selagi Shea masih bisa mandiri, dia akan berusaha. “Rumahmu masih jauh?” tanya Adimas tidak sabar, mengernyit kepanasan. Rumah Shea memang harus masuk gang yang tidak muat dilalui mobil. Tapi begitu pintu pagar rumahnya yang berwarna kuning mencolok terlihat, Shea langsung gemetar. Dadanya bergemuruh. “Mama...” Dia memanggil setelah lebih dulu mengucapkan salam. “Loh, udah libur semester tah Mba, tumben udah pulang, gimana kuliahnya?” tanya sang Mama kaget saat menemukan si anak sulung berada di depan pintu, Shea segera menyalami punggung tangan beliau. Mama sangat wangi, seperti kenyamanan, ketenangan dan yah... rumah. “Papa mana?” tanya Shea. Mama yang hari ini mengenakan kaftan bersahaja tampak membelalakkan mata penasaran pada dua pria yang dibawa Shea. “Lagi sholat di mushola, bentar lagi pulang, kamu udah sholat, Nduk?” Shea menggeleng, lalu memperkenalkan Jerikho dan Adimas. Mama sangat polos, khas warga desa yang selalu ramah, menyambut tamu dengan sopan bahkan mengeluarkan semua isi di dalam rumah untuk disajikan. “Kedatangan kami ke sini bukan tanpa alasan Tante, kami ingin menyampaikan sesuatu pada orang tua Shea.” Mama segera menaruh nampan berisi minum di meja, menatap Jerikho. “Ada apa ya?” tanya Mama, bolak-balik menatap Shea yang sudah pucat. Dan dua laki-laki asing di hadapannya. “Shea, kalian mau ngomong apa?” Saat itulah Papa pulang, dalam balutan gamis dan peci, wajahnya tampak cerah begitu menemukan Shea. “Nduk, kapan sampai?” Shea rasanya ingin menangis, dia ingin bersimpuh memohon pengampunan di bawah kaki beliau. Dan itulah yang Shea lakukan, mengumpulkan kedua orang tuanya duduk di sofa lalu menggenggam erat tangan Mama dan Papa, kemudian mulai bicara. “Ma, Pa, Shea—” Jerikho mencengkeram kuat bahu Adimas lalu mendorongnya hingga jatuh berlutut di bawah kaki orang tua Shea. “Katakan apa yang sudah kamu lakukan.” ***Ada dua kebetulan di dunia ini, kebetulan biasa, dan kebetulan yang membawa pada takdir. Menurut Gisa, perjalanan orang tuanya adalah kebetulan yang kedua. Kisah mereka membuktikan kalau cinta kita dengan pasangan setara, maka semua kesulitan pasti bisa dilewati. Masalahnya, bagaimana Gisa bisa mendapatkan keberuntungan yang sama kalau pria yang ia suka, jangankan membalas, menganggapnya sebagai perempuan dewasa saja tidak. "Nduk." See? Gisa sudah cantik banget begini mengenakan kebaya kutubaru, rambut disanggul rapi, tapi pria itu, masih saja memanggilnya seperti bocah. "Ya ampun, sudah besar ya sekarang?" Nyatanya, Gisa bukan hanya besar, tapi tubuhnya masuk kategori semampai, thanks to Papa yang mewariskan gen jangkung dalam keluarga mereka. Hanya saja, mereka baru ketemu kemarin banget, dan Naga menatap Gisa seakan mereka sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Wajar Gisa merasa jengkel. Karena itu hanya mengkonfirmasi kalau selama ini Naga memang tidak pernah be
Masa kehamilan Shea kali ini terasa berjalan sangat cepat. Seperti baru kemarin dia sibuk memilih tone warna yang cocok untuk kamar si bayi, berdebat dengan suaminya karena susah minum susu, lalu sibuk menyulam, menyiapkan pakaiannya. Tau-tau kandungan Shea sudah memasuki usia tujuh bulan. Mereka mengadakan syukuran di rumah, sekalian doa bersama untuk rumah baru mereka yang sudah selesai didesain. Dihadiri keluarga besar suaminya dan para tetangga. Berat badan Shea langsung melonjak drastis, naik sampai 12 kilo. Ini adalah momen paling magical dalam hidupnya, apalagi di waktu-waktu mereka akan pergi kontrol dan mendengar detak jantung si bayi, meski saat trisemester pertama, Shea sempat merasa trauma, takut menemukan bercak cokelat, dan sedikit stres karena terus waspada. Tapi syukurlah mereka bisa melewati masa-masa itu, walaupun bukan berarti Shea mengendurkan kewaspadaan. Shea rasa keterlibatan suami juga berpengaruh. Tidak henti-hentinya Shea memuji dan berterima kasih
"Masya Allah, beneran Shea?""Masa aku bohong, sih, Ma?""Kamu sudah periksa?""Aku bahkan udah lihat hasilnya.""Gimana kata dokter?""Dia sehat, detak jantungnya udah terdengar dan udah jalan 6 minggu.""Sebulan lebih? Shea, kamu ngapain aja sampai nggak sadar? Kurang-kurangin kerjaan itu, mulai fokus sama kesehatan, jaga pola makan, jaga pola tidur, jangan ambil kegiatan yang terlalu berat.""Makasih Mama.""Nduk, Mama yang makasih, makasih sudah mau kasih Mama sama Papa cucu. Selamat ya sayang, selamat buat Abang. Kalian akan menjadi orang tua."Mata Shea dengan cepat kembali berembun. Tapi dadanya mengembang gembira. Dari latar belakang, dia bisa mendengar suara lain yang saling bersahut-sahutan, suara Papa dan Sidra serta Mas Gilang, ART di rumah.Mereka tidak henti-hentinya mengucap syukur. Shea merasa malu karena sudah suudzon, berpikir kalau Tuhan memberinya hukuman, tapi hadiah untukn
"Kok lemes banget sih, Bu. Semangat dong, kan besok weekend." Yah, Andin sudah pasti gembira, karena ini minggu pertama awal bulan yang artinya sore nanti akan gajian. Sementara Shea pusing memikirkan pengeluaran, karena beberapa pendapatannya masih berbentuk modal, dan menjadi kain-kain di tim produksi. Tapi tidak masalah, toh Shea sudah berjanji niatnya rebranding Velora juga sebab ingin membuka lapangan pekerjaan. Jadi kalau sudah begini, untuk membangkitkan mood, Shea sengaja minta dipesankan pizza, hitung-hitung sebagai rewards untuk diri sendiri. "De Luca ya, Bu?" "Yang khusus jual pizza aja, Ndin." Andin cekikikan, perempuan muda itu memang baru lulus SMA, tidak heran kalau tingkahnya sedikit kekanak-kanakan yang celetukannya kadang bikin Shea istigfar. "Kirain, Bu." Hari ini tidak seramai
Shea senang sekali bertemu Pram.Dia memancarkan aura glow up yang sesungguhnya dari seseorang yang pernah 'hilang'. Rambutnya yang dulu agak gondrong, kini terpangkas rapi, selera pakainnya lebih maskulin, tubuhnya lebih berisi dengan rahang tegas. Usia telah membawa Pram tampak lebih matang."Ini kamu banget, Shea."Belum apa-apa, Shea sudah meringis mendengar komentarnya."Maksud kamu full pink?""Lebih tepatnya warna-warni."Tawa Shea berderai halus ketika Pram mengedarkan pandangan, binar kagum tampak di matanya, tapi sejak dulu, dia memang tipikal orang yang mudah memberikan pujian, bukan?"Mba Mala pernah bilang, kalau dia suka sekali dengan selera pakaian kamu, dan selalu sibuk tanya, kira-kira kamu beli di mana. Sekarang dia nggak perlu khawatir lagi ke mana harus cari outfit itu." Senyumnya melebar. "Kamu sudah bikin satu rasa penasaran dia jadi terobati.""Aku belum ketemu Mba Mala lagi, gimana kabarn
"Kamu mau brownies?" Shea menggeleng, menyurukkan wajahnya di bantal, memeluk guling. Satu-satunya cahaya di kamar dari layar TV tampak memantulkan wajahnya yang murung. "Kimbab? Aku buatkan ya?" Kepalanya menggeleng lagi. "Mau apa? Kamu belum makan dari siang tadi. Pilih yang kamu suka, Shea." Istrinya diam saja, dia menonton Gossip Girls, tapi matanya tampak kosong. Jerikho sebenarnya malas kalau Shea sudah badmood begini, karena dia tahu karena apa istrinya jadi murung. Mereka sudah berusaha, dan Jerikho juga tidak pernah mempermasalahkan kenapa sampai sekarang Shea belum hamil. Ini menjadi topik yang sensitif semenjak mereka merayakan anniversary. Anak adalah amanah yang besar, sulit untuk menjaga mereka, dari segi finansial dan mental. Bahkan Jerikho setuju dengan pendapat kalau memiliki anak tanpa persiapan adalah dosa. Karena Jerikho tidak ingin menjadi orang tu







