Jangan mentang-mentang Adimas anak mafia migas secara turun menurun yang tidak tersentuh hukum sejak zaman presiden kedua Indonesia menjabat, lantas semua perempuan birahi sama dia.
Mungkin itulah akibatnya dari memberi makan anak dengan uang haram, kelakuannya bikin ngelus dada. “Semoga kamu nggak kayak bapakmu, Nak,” bisik Shea sambil mengusap perut. “She?” “Ya?” Seorang laki-laki menjulang sedang berdiri menunduk menatapnya saat Shea menoleh. Jantung Shea langsung jumpalitan tapi dengan cara yang sangat berbeda. Shea segera menurunkan tangannya. Pram menangkap gerakan itu, dia tersenyum. “Jarang kelihatan di kampus akhir-akhir ini, sudah mulai nyusun tugas akhir?” “Belum masih niat, kamu udah?” “Baru judul. Ada kelas pagi ini?” Basa-basi, tapi ini adalah jenis basa-basi yang Shea suka. Agak mengerikan bagaimana Shea masih sangat berharap dengan Pram. Bahkan setelah semua yang terjadi. Perasaan Shea masih sama. Tapi mengingat statusnya saat ini, sekaligus anak di kandungan. Shea terpaksa harus mundur teratur. “Ini mau masuk, duluan Pram.” Tanpa menunggu sahutan, Shea menaiki undakan menuju kelasnya berada, meninggalkan laki-laki itu. Mendesak perasaannya untuk dikubur dalam-dalam. “Kalau siang ini ada kelas She?” Shea ingin mengumpat. “Aku habis kelas praktikum mau ke studio. Kalau kamu nggak ada jadwal...” Pram mendongak. “Mau ikut?” Mereka sudah membahas ini sebulan yang lalu setelah malam nahas itu. Pram ada di sana, di sampingnya, menghibur dan menenangkan ketika Shea menangis sendirian, ketakutan, malu... Mungkin dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia bersikap sangat manis sebagai teman. Pram adalah mahasiswa DKV, memiliki galeri seni, tempatnya menumpahkan ide. Studio yang dimaksud adalah tempat proses karya-karyanya dibuat. Pram berjanji untuk membawa Shea ke sana, membujuk seakan Shea adalah bocah. Tapi Shea suka. “Nanti aku hubungin ya?” “Maaf, aku nggak bisa, Pram, mau riset buat kebutuhan tugas akhir.” Pram kelihatan kecewa, tapi dia tidak memaksa. “Oh, oke.” Shea merasa ada yang remuk ketika akhirnya justru laki-laki itu yang pergi. *** Kelas Teori & Kritik Fashion selesai kurang dari estimasi karena Bu Winda, dosennya sedang ada runaway mahasiswa TA. Memanfaatkan waktu agar tidak terluntang-lantung di kampus. Shea mojok di kantin, mencoba menyiapkan bahan untuk konsep moodboard yang akan dikumpulkan ke pembimbing. Targetnya adalah sebuah bridal line project. Entahlah, mungkin alasannya sedikit sentimental, belajar dari bagaimana pernikahan impiannya yang tidak bisa terealisasi, Shea ingin menumpahkan itu dalam bentuk karya seni. Dia juga bolak-balik bertukar kabar dengan Sidra, menanyakan keadaan orang tuanya, berharap Papa akan bicara. “Mama abis pulang dari pengajian Mba, tapi langsung masuk kamar terus nangis. Aku juga nggak tahu kenapa. Papa tensinya naik lagi, tadi baru dibawa ke RS, sekarang lagi istirahat di kamar, disuruh dokter kurangin makan-makanan berminyak.” Hati Shea mencelos. “Papa sebenarnya udah mau keluar Mba, udah mulai rajin lagi jamaah di mushola. Tapi langsung pulang, nggak ikut-ikut kegiatan pengajian Bapak-bapak. Kemarin juga sempat ikut olahraga buat lansia. Ini Mama juga ngeluh sakit kepala terus, besok gantian mau periksa.” “Vertigonya kambuh?” “Mungkin, telat makan juga.” “Beliin apa yang Mama suka Sid, buat dongkrak napsu makan.” “Udah Mba, tapi ya gitu, cuma dilihatin doang. Gimana, aku juga bingung.” Shea menelan ludah untuk menelan kembali gumpalan di tenggorokan. “Mba di sana gimana? Sehat?” Shea hanya menggumam tidak jelas. “Kapan wisuda? Aku udah nggak sabar pengin main ke Jakarta.” “Kamu kalau mau main, tinggal main aja, biasanya juga langsung ke sini.” Sidra terdengar mendecapkan lidah. “Yah, Mba kan, udah punya suami, aku nggak enak kalau tiba-tiba datang.” Jerikho sepertinya tidak akan peduli. Maksud Shea, sekarang bahkan langit sudah senja. Perlahan akan berubah gelap. Alisa dan Kalina sudah pamit pulang dari sejam lalu. Tapi dia tidak menemukan pesan apapun dari Jerikho yang menanyakan keberadaannya. Itu artinya, Jeriko pun masih di kantor. Jadi akan sama saja kalau Shea berada di apartemen atau kampus, Shea hanya akan duduk sendirian. Bukan berarti dia berharap bisa mengobrol dengan suaminya, interaksi mereka masih canggung, tapi Jerikho selalu bersikap sopan. Apartemen juga selalu bersih, cleaning servis datang tiga kali seminggu, makan diantar catering, baju laundry. Jadi Shea hanya perlu mengurus urusannya sendiri dan fokus belajar. Laki-laki itu sudah menepati janjinya untuk memberikan tempat perlindungan, juga nama belakang untuk sang anak. Rasanya terlalu muluk kalau Shea berharap Jerikho akan menjadi suami sungguhan. Karena di saat yang sama, Jerikho juga melindungi adiknya, mungkin inilah alasan utama mereka. Jadi Shea tidak tahu, sampai kapan pernikahan ini akan bertahan, mungkin sampai bayinya lahir? “Jangan ke Jakarta dulu, jagain Mama sama Papa, kalau kamu juga pergi nanti keadaan mereka malah tambah parah.” Shea akhirnya menyahut tegas. Meminta izin untuk menutup sambungan telepon, karena ada nomor lain yang menghubunginya. Sebuah nomor tidak dikenal. Mungkin Jerikho? Untuk alasan yang tidak Shea pahami, jantungnya terasa berdegup cepat ketika menerima panggilan, namun suara asing justru terdengar menyapa. “Mohon maaf, Mba Shea di mana ya? Ini saya sudah nungguin di depan fakultas seni rupa dan desain dari tadi, tapi Mba nggak kelihatan? Mba sudah pulang atau masih di kampus ya?” Oh. Bukan Jerikho. “Maaf, maaf Pak, saya masih di kampus. Sebentar lagi saya keluar.” “Nggih Mba, saya tunggu ya.” Shea bergegas merapikan barang-barang. Menghampiri Pak Aidan yang sudah menunggu. Menyusuri jalan pulang yang terlalu jauh untuk disebut rumah. *** Hujan mengguyur begitu mobil mereka tiba di apartemen. Shea meminta didrop di depan gedungnya saja lalu berjalan cepat ke arah lift, lantai 14 tepat unit Jerikho berada. Tubuhnya menggigil, efek angin kencang dan udara lembab. Dia menatap pantulan dirinya sendiri dari kaca lift. Matanya mulai cekung, pipinya kehilangan rona. Luka di pelipisnya meninggalkan jejak samar. Shea berdecak, dia buru-buru keluar begitu lift sampai ke lantai yang dituju. Ingin segera mandi dan merebahkan diri. Namun langkahnya sontak melambat begitu menyadari sosok Adimas sedang berjalan ke arahnya. “Ngapain ke sini?” “Nggak usah kepedean, aku bukan mau menemui kamu. Ini juga tempat tinggal aku.” Dia menggidikkan kepala, persis di samping unit apartemen Jerikho. “Mulai sekarang aku akan tinggal di sana.” Shea melotot. “Kamu ngikutin kami?” “Unit itu memang udah lama jadi milik Abang, aku cuma nempatin sementara selama masa kehamilan kamu.” Tanpa sadar Shea menyentuh perutnya dengan posesif. “Bukannya kamu udah membuang dia Dim, ngapain kamu repot-repot mikirin kehamilan aku?” Adimas mengangkat bahu. “Aku cuma nggak mau menikahi kamu, tapi aku menginginkan bayi itu, Shea.” ***Mba Mala sangat luwes, sama halnya seperti Pram, sepanjang jalan dia tidak berhenti mengajak Shea mengobrol. Shea sangat menghargai niat baiknya agar suasana perjalanan mereka tidak terasa canggung, tapi tidak ada satupun dari kalimatnya yang mampu Shea simak.Dia terus memantau jalan, berharap bisa segera turun, tapi Pram jelas tidak akan berhenti kalau Shea minta drop di tengah jalan seperti ABG pacaran back street dan minta diantar jemput depan gang.“Jadi kamu ini mahasiswa fashon design ya? Wah, Mba belum pernah loh punya kenalan orang-orang fashion, kecuali influencer ya, tapi basicnya pasti beda banget kan? Berarti kalau kuliah yang dipelajari apa aja? Gambar-gambar baju gitu?” tanya Mba Mala tanpa malu-malu, melirik Shea yang duduk di kursi belakang dengan tegang.Kalau hanya gambar-gambar baju, Shea mungkin sudah menjadi Princess sejak TK. Sambil meringis dia menjawab otomatis. “Sebenarnya banyak Mba, mulai dari ngukur badan, b
Shea segera menyembunyikan hasil USG-nya dengan menjejalkannya ke dalam tote bag lalu memandang Pram.“Ha-halo, Pram.” Dia berkata canggung. “Kamu sendiri ngapain?”Tangan Shea mendadak dingin, tapi punggungnya terasa panas. Dia melihat Pram mengerutkan kening, memandang ke tempat hasil USG-nya disembunyikan.Tanpa sadar Shea menggenggam tasnya lebih erat, seakan takut dijambret.“Aku habis menemani Mba pemeriksaan rutin.” Dia menjawab.Secara bersamaan seorang wanita berambut sebahu dengan perut buncit muncul dari balik punggung Pram.“Pram udah semua nih, Mba minta di-print dua lembar hasilnya, nanti satunya dikirim ke Bunda, kamu—Oh, halo?” Perempuan itu menyadari kehadiran Shea dan langsung menyapa. “Siapa ini Pram?”“Shea.”“Shea?” ulang beliau, menyebutkan nama Shea seakan familier, matanya dengan terang-terangan memindai penampilan Shea lalu tersenyum. “Oh—”“Shea, ini Mba aku, Mala.” Pram seger
Ketika terbangun keesokan paginya, hal pertama yang Shea sadari adalah Jerikho sudah berangkat kerja. Laki-laki itu sepertinya memang tidak repot-repot akan membujuk atau peduli dengan kemarahan Shea. Mereka berasal dari satu darah yang sama meski beda ibu tapi Jerikho jelas sama brengseknya seperti Adimas. Shea buru-buru berjalan keluar, merasa perlu memastikan kalau Adimas sudah angkat kaki. Namun, baru knop diputar, Shea langsung mendengar sumpah serapah, melihat sekilas barang-barang yang dipindahkan. Dengan bijaksana Shea menutup kembali pintu apartemennya. Oke, Adimas sedang beberes. “Buka She.” Pintu diketuk brutal. Sial, sepertinya Adimas melihat Shea. “Kita harus bicara, anak kamu itu anak aku juga, jangan bersikap nggak adil.” Shea mendengus. “Jangan memaksa aku buat bertindak menggunakan kekerasan She. Kamu mau masuk rumah sakit lagi?” Perut Shea memberontak, bayangan hari itu ketika darah mengucur deras membasahi wajahnya, membuat Shea gemetar. Ada des
“Kalau tau batasan, harusnya Abang nggak membiarkan dia berada di sini, aku bahkan nggak mau ngelihat wajahnya di sekitar aku, apalagi sampai minta hak asuh untuk anak yang sedang aku kandung. Apa dia punya masalah dengan kewarasan?”Jerikho mematung di tengah-tengah jalan living room, memandang istrinya yang kini berdiri dengan wajah merah padam, tangan terkepal seolah siap bertempur.“Adimas?”“Persis di samping unit kita.”Dalam sekali pernyataan, Jerikho bisa memahami situasinya. Dengan tenang dia meletakkan tas kerja berisi kasus pidana di sofa, lalu menyusul duduk di sana, dan meminta Shea melakukan hal yang sama.“Kamu bisa bicara pelan-pelan.”Shea menolak nurut. “Abang yang mengusulkan supaya dia tinggal di sana?”“Untuk apa aku melakukan itu?”“Dia bilang kalau unit itu punya Abang, dia nggak mungkin ada di sana kalau Abang nggak mengizinkan, kan?”Sebenarnya unit yang Shea maksud milik keluar
Jangan mentang-mentang Adimas anak mafia migas secara turun menurun yang tidak tersentuh hukum sejak zaman presiden kedua Indonesia menjabat, lantas semua perempuan birahi sama dia. Mungkin itulah akibatnya dari memberi makan anak dengan uang haram, kelakuannya bikin ngelus dada. “Semoga kamu nggak kayak bapakmu, Nak,” bisik Shea sambil mengusap perut. “She?” “Ya?” Seorang laki-laki menjulang sedang berdiri menunduk menatapnya saat Shea menoleh. Jantung Shea langsung jumpalitan tapi dengan cara yang sangat berbeda. Shea segera menurunkan tangannya. Pram menangkap gerakan itu, dia tersenyum. “Jarang kelihatan di kampus akhir-akhir ini, sudah mulai nyusun tugas akhir?” “Belum masih niat, kamu udah?” “Baru judul. Ada kelas pagi ini?” Basa-basi, tapi ini adalah jenis basa-basi yang Shea suka. Agak mengerikan bagaimana Shea masih sangat berharap dengan Pram. Bahkan setelah semua yang terjadi. Perasaan Shea masih sama. Tapi mengingat statusnya saat ini, sekaligus anak
Sebulan setelah menikah, Shea menyadari kalau Jerikho sangat sibuk. Dia hampir jarang berada di apartemen. Pergi pagi, dan pulang larut. Mereka tidak pernah bertemu kecuali di meja sarapan. Itupun kadang Jerikho harus menginap di kantor karena mengurus persidangan. “Kamu mulai kuliah hari ini?” “Aku akan pulang sore.” Sebenarnya, dia tidak perlu memberi info kapan akan pulang, karena toh, Jerikho tidak akan repot-repot bertanya. Tapi sepertinya Jerikho menghargai niat baik Shea, sebab dia mengangguk. “Pak Aidan akan mengantar kamu kalau gitu.” Kemudian dia berdiri, membawa serta piring kotornya untuk dicuci. Shea megap-megap di meja makan. Dia tidak laporan untuk mendapatkan tumpangan. Selama ini, Shea sudah terbiasa pulang-pergi kampus bersama ojol tanpa bergantung dengan orang lain. “Aku nggak pa-pa,” kata Shea, akhirnya, menyusul Jerikho ke pantry. “Airlangga nggak jauh dari sini, aku nggak mau ngerepotin karyawan... Abang.” Ada jeda canggung di antara ucapan She