Beranda / Romansa / Cinta Perlahan Sang Pengacara / Bab 5: Teori & Kritik Fashion

Share

Bab 5: Teori & Kritik Fashion

Penulis: Titi Chu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-01 17:28:04

Jangan mentang-mentang Adimas anak mafia migas secara turun menurun yang tidak tersentuh hukum sejak zaman presiden kedua Indonesia menjabat, lantas semua perempuan birahi sama dia.

Mungkin itulah akibatnya dari memberi makan anak dengan uang haram, kelakuannya bikin ngelus dada.

“Semoga kamu nggak kayak bapakmu, Nak,” bisik Shea sambil mengusap perut.

“She?”

“Ya?”

Seorang laki-laki menjulang sedang berdiri menunduk menatapnya saat Shea menoleh. Jantung Shea langsung jumpalitan tapi dengan cara yang sangat berbeda.

Shea segera menurunkan tangannya. Pram menangkap gerakan itu, dia tersenyum.

“Jarang kelihatan di kampus akhir-akhir ini, sudah mulai nyusun tugas akhir?”

“Belum masih niat, kamu udah?”

“Baru judul. Ada kelas pagi ini?”

Basa-basi, tapi ini adalah jenis basa-basi yang Shea suka. Agak mengerikan bagaimana Shea masih sangat berharap dengan Pram. Bahkan setelah semua yang terjadi. Perasaan Shea masih sama.

Tapi mengingat statusnya saat ini, sekaligus anak di kandungan. Shea terpaksa harus mundur teratur.

“Ini mau masuk, duluan Pram.”

Tanpa menunggu sahutan, Shea menaiki undakan menuju kelasnya berada, meninggalkan laki-laki itu. Mendesak perasaannya untuk dikubur dalam-dalam.

“Kalau siang ini ada kelas She?”

Shea ingin mengumpat.

“Aku habis kelas praktikum mau ke studio. Kalau kamu nggak ada jadwal...” Pram mendongak. “Mau ikut?”

Mereka sudah membahas ini sebulan yang lalu setelah malam nahas itu. Pram ada di sana, di sampingnya, menghibur dan menenangkan ketika Shea menangis sendirian, ketakutan, malu... Mungkin dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia bersikap sangat manis sebagai teman.

Pram adalah mahasiswa DKV, memiliki galeri seni, tempatnya menumpahkan ide. Studio yang dimaksud adalah tempat proses karya-karyanya dibuat. Pram berjanji untuk membawa Shea ke sana, membujuk seakan Shea adalah bocah. Tapi Shea suka.

“Nanti aku hubungin ya?”

“Maaf, aku nggak bisa, Pram, mau riset buat kebutuhan tugas akhir.”

Pram kelihatan kecewa, tapi dia tidak memaksa. “Oh, oke.”

Shea merasa ada yang remuk ketika akhirnya justru laki-laki itu yang pergi.

***

Kelas Teori & Kritik Fashion selesai kurang dari estimasi karena Bu Winda, dosennya sedang ada runaway mahasiswa TA.

Memanfaatkan waktu agar tidak terluntang-lantung di kampus. Shea mojok di kantin, mencoba menyiapkan bahan untuk konsep moodboard yang akan dikumpulkan ke pembimbing. Targetnya adalah sebuah bridal line project.

Entahlah, mungkin alasannya sedikit sentimental, belajar dari bagaimana pernikahan impiannya yang tidak bisa terealisasi, Shea ingin menumpahkan itu dalam bentuk karya seni.

Dia juga bolak-balik bertukar kabar dengan Sidra, menanyakan keadaan orang tuanya, berharap Papa akan bicara.

“Mama abis pulang dari pengajian Mba, tapi langsung masuk kamar terus nangis. Aku juga nggak tahu kenapa. Papa tensinya naik lagi, tadi baru dibawa ke RS, sekarang lagi istirahat di kamar, disuruh dokter kurangin makan-makanan berminyak.”

Hati Shea mencelos.

“Papa sebenarnya udah mau keluar Mba, udah mulai rajin lagi jamaah di mushola. Tapi langsung pulang, nggak ikut-ikut kegiatan pengajian Bapak-bapak. Kemarin juga sempat ikut olahraga buat lansia. Ini Mama juga ngeluh sakit kepala terus, besok gantian mau periksa.”

“Vertigonya kambuh?”

“Mungkin, telat makan juga.”

“Beliin apa yang Mama suka Sid, buat dongkrak napsu makan.”

“Udah Mba, tapi ya gitu, cuma dilihatin doang. Gimana, aku juga bingung.”

Shea menelan ludah untuk menelan kembali gumpalan di tenggorokan.

“Mba di sana gimana? Sehat?”

Shea hanya menggumam tidak jelas.

“Kapan wisuda? Aku udah nggak sabar pengin main ke Jakarta.”

“Kamu kalau mau main, tinggal main aja, biasanya juga langsung ke sini.”

Sidra terdengar mendecapkan lidah. “Yah, Mba kan, udah punya suami, aku nggak enak kalau tiba-tiba datang.”

Jerikho sepertinya tidak akan peduli.

Maksud Shea, sekarang bahkan langit sudah senja. Perlahan akan berubah gelap. Alisa dan Kalina sudah pamit pulang dari sejam lalu. Tapi dia tidak menemukan pesan apapun dari Jerikho yang menanyakan keberadaannya. Itu artinya, Jeriko pun masih di kantor. Jadi akan sama saja kalau Shea berada di apartemen atau kampus, Shea hanya akan duduk sendirian.

Bukan berarti dia berharap bisa mengobrol dengan suaminya, interaksi mereka masih canggung, tapi Jerikho selalu bersikap sopan. Apartemen juga selalu bersih, cleaning servis datang tiga kali seminggu, makan diantar catering, baju laundry. Jadi Shea hanya perlu mengurus urusannya sendiri dan fokus belajar.

Laki-laki itu sudah menepati janjinya untuk memberikan tempat perlindungan, juga nama belakang untuk sang anak. Rasanya terlalu muluk kalau Shea berharap Jerikho akan menjadi suami sungguhan.

Karena di saat yang sama, Jerikho juga melindungi adiknya, mungkin inilah alasan utama mereka. Jadi Shea tidak tahu, sampai kapan pernikahan ini akan bertahan, mungkin sampai bayinya lahir?

“Jangan ke Jakarta dulu, jagain Mama sama Papa, kalau kamu juga pergi nanti keadaan mereka malah tambah parah.” Shea akhirnya menyahut tegas. Meminta izin untuk menutup sambungan telepon, karena ada nomor lain yang menghubunginya.

Sebuah nomor tidak dikenal.

Mungkin Jerikho?

Untuk alasan yang tidak Shea pahami, jantungnya terasa berdegup cepat ketika menerima panggilan, namun suara asing justru terdengar menyapa.

“Mohon maaf, Mba Shea di mana ya? Ini saya sudah nungguin di depan fakultas seni rupa dan desain dari tadi, tapi Mba nggak kelihatan? Mba sudah pulang atau masih di kampus ya?”

Oh. Bukan Jerikho.

“Maaf, maaf Pak, saya masih di kampus. Sebentar lagi saya keluar.”

“Nggih Mba, saya tunggu ya.”

Shea bergegas merapikan barang-barang. Menghampiri Pak Aidan yang sudah menunggu. Menyusuri jalan pulang yang terlalu jauh untuk disebut rumah.

***

Hujan mengguyur begitu mobil mereka tiba di apartemen. Shea meminta didrop di depan gedungnya saja lalu berjalan cepat ke arah lift, lantai 14 tepat unit Jerikho berada.

Tubuhnya menggigil, efek angin kencang dan udara lembab. Dia menatap pantulan dirinya sendiri dari kaca lift. Matanya mulai cekung, pipinya kehilangan rona. Luka di pelipisnya meninggalkan jejak samar.

Shea berdecak, dia buru-buru keluar begitu lift sampai ke lantai yang dituju. Ingin segera mandi dan merebahkan diri.

Namun langkahnya sontak melambat begitu menyadari sosok Adimas sedang berjalan ke arahnya.

“Ngapain ke sini?”

“Nggak usah kepedean, aku bukan mau menemui kamu. Ini juga tempat tinggal aku.” Dia menggidikkan kepala, persis di samping unit apartemen Jerikho. “Mulai sekarang aku akan tinggal di sana.”

Shea melotot. “Kamu ngikutin kami?”

“Unit itu memang udah lama jadi milik Abang, aku cuma nempatin sementara selama masa kehamilan kamu.”

Tanpa sadar Shea menyentuh perutnya dengan posesif. “Bukannya kamu udah membuang dia Dim, ngapain kamu repot-repot mikirin kehamilan aku?”

Adimas mengangkat bahu. “Aku cuma nggak mau menikahi kamu, tapi aku menginginkan bayi itu, Shea.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 145: Terkunci

    Ada dua kebetulan di dunia ini, kebetulan biasa, dan kebetulan yang membawa pada takdir. Menurut Gisa, perjalanan orang tuanya adalah kebetulan yang kedua. Kisah mereka membuktikan kalau cinta kita dengan pasangan setara, maka semua kesulitan pasti bisa dilewati. Masalahnya, bagaimana Gisa bisa mendapatkan keberuntungan yang sama kalau pria yang ia suka, jangankan membalas, menganggapnya sebagai perempuan dewasa saja tidak. "Nduk." See? Gisa sudah cantik banget begini mengenakan kebaya kutubaru, rambut disanggul rapi, tapi pria itu, masih saja memanggilnya seperti bocah. "Ya ampun, sudah besar ya sekarang?" Nyatanya, Gisa bukan hanya besar, tapi tubuhnya masuk kategori semampai, thanks to Papa yang mewariskan gen jangkung dalam keluarga mereka. Hanya saja, mereka baru ketemu kemarin banget, dan Naga menatap Gisa seakan mereka sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Wajar Gisa merasa jengkel. Karena itu hanya mengkonfirmasi kalau selama ini Naga memang tidak pernah be

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 144: 12 Kilo

    Masa kehamilan Shea kali ini terasa berjalan sangat cepat. Seperti baru kemarin dia sibuk memilih tone warna yang cocok untuk kamar si bayi, berdebat dengan suaminya karena susah minum susu, lalu sibuk menyulam, menyiapkan pakaiannya. Tau-tau kandungan Shea sudah memasuki usia tujuh bulan. Mereka mengadakan syukuran di rumah, sekalian doa bersama untuk rumah baru mereka yang sudah selesai didesain. Dihadiri keluarga besar suaminya dan para tetangga. Berat badan Shea langsung melonjak drastis, naik sampai 12 kilo. Ini adalah momen paling magical dalam hidupnya, apalagi di waktu-waktu mereka akan pergi kontrol dan mendengar detak jantung si bayi, meski saat trisemester pertama, Shea sempat merasa trauma, takut menemukan bercak cokelat, dan sedikit stres karena terus waspada. Tapi syukurlah mereka bisa melewati masa-masa itu, walaupun bukan berarti Shea mengendurkan kewaspadaan. Shea rasa keterlibatan suami juga berpengaruh. Tidak henti-hentinya Shea memuji dan berterima kasih

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 143: War Is Over

    "Masya Allah, beneran Shea?""Masa aku bohong, sih, Ma?""Kamu sudah periksa?""Aku bahkan udah lihat hasilnya.""Gimana kata dokter?""Dia sehat, detak jantungnya udah terdengar dan udah jalan 6 minggu.""Sebulan lebih? Shea, kamu ngapain aja sampai nggak sadar? Kurang-kurangin kerjaan itu, mulai fokus sama kesehatan, jaga pola makan, jaga pola tidur, jangan ambil kegiatan yang terlalu berat.""Makasih Mama.""Nduk, Mama yang makasih, makasih sudah mau kasih Mama sama Papa cucu. Selamat ya sayang, selamat buat Abang. Kalian akan menjadi orang tua."Mata Shea dengan cepat kembali berembun. Tapi dadanya mengembang gembira. Dari latar belakang, dia bisa mendengar suara lain yang saling bersahut-sahutan, suara Papa dan Sidra serta Mas Gilang, ART di rumah.Mereka tidak henti-hentinya mengucap syukur. Shea merasa malu karena sudah suudzon, berpikir kalau Tuhan memberinya hukuman, tapi hadiah untukn

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 142: Husband

    "Kok lemes banget sih, Bu. Semangat dong, kan besok weekend." Yah, Andin sudah pasti gembira, karena ini minggu pertama awal bulan yang artinya sore nanti akan gajian. Sementara Shea pusing memikirkan pengeluaran, karena beberapa pendapatannya masih berbentuk modal, dan menjadi kain-kain di tim produksi. Tapi tidak masalah, toh Shea sudah berjanji niatnya rebranding Velora juga sebab ingin membuka lapangan pekerjaan. Jadi kalau sudah begini, untuk membangkitkan mood, Shea sengaja minta dipesankan pizza, hitung-hitung sebagai rewards untuk diri sendiri. "De Luca ya, Bu?" "Yang khusus jual pizza aja, Ndin." Andin cekikikan, perempuan muda itu memang baru lulus SMA, tidak heran kalau tingkahnya sedikit kekanak-kanakan yang celetukannya kadang bikin Shea istigfar. "Kirain, Bu." Hari ini tidak seramai

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 141: Modern Tropical

    Shea senang sekali bertemu Pram.Dia memancarkan aura glow up yang sesungguhnya dari seseorang yang pernah 'hilang'. Rambutnya yang dulu agak gondrong, kini terpangkas rapi, selera pakainnya lebih maskulin, tubuhnya lebih berisi dengan rahang tegas. Usia telah membawa Pram tampak lebih matang."Ini kamu banget, Shea."Belum apa-apa, Shea sudah meringis mendengar komentarnya."Maksud kamu full pink?""Lebih tepatnya warna-warni."Tawa Shea berderai halus ketika Pram mengedarkan pandangan, binar kagum tampak di matanya, tapi sejak dulu, dia memang tipikal orang yang mudah memberikan pujian, bukan?"Mba Mala pernah bilang, kalau dia suka sekali dengan selera pakaian kamu, dan selalu sibuk tanya, kira-kira kamu beli di mana. Sekarang dia nggak perlu khawatir lagi ke mana harus cari outfit itu." Senyumnya melebar. "Kamu sudah bikin satu rasa penasaran dia jadi terobati.""Aku belum ketemu Mba Mala lagi, gimana kabarn

  • Cinta Perlahan Sang Pengacara   Bab 140: DP 50%

    "Kamu mau brownies?" Shea menggeleng, menyurukkan wajahnya di bantal, memeluk guling. Satu-satunya cahaya di kamar dari layar TV tampak memantulkan wajahnya yang murung. "Kimbab? Aku buatkan ya?" Kepalanya menggeleng lagi. "Mau apa? Kamu belum makan dari siang tadi. Pilih yang kamu suka, Shea." Istrinya diam saja, dia menonton Gossip Girls, tapi matanya tampak kosong. Jerikho sebenarnya malas kalau Shea sudah badmood begini, karena dia tahu karena apa istrinya jadi murung. Mereka sudah berusaha, dan Jerikho juga tidak pernah mempermasalahkan kenapa sampai sekarang Shea belum hamil. Ini menjadi topik yang sensitif semenjak mereka merayakan anniversary. Anak adalah amanah yang besar, sulit untuk menjaga mereka, dari segi finansial dan mental. Bahkan Jerikho setuju dengan pendapat kalau memiliki anak tanpa persiapan adalah dosa. Karena Jerikho tidak ingin menjadi orang tu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status