“Kamu dengar nggak Jeri?”
Pertanyaan itu terdengar di telinga Jerikho tapi dia seperti kehilangan fokus. Jerikho hanya mengerjap dan akhirnya mengangguk otomatis. Livia mendesah. “Kamu kenapa? Kalau nggak bisa malam ini kita bisa—” “Aku nggak bisa mengambil kasus ini.” “Jer.” “Terlalu beresiko,” tanpa menengok dari layar proyektor dengan pandangan menerawang, dia menambahkan. “Mr. Lenox memang terlibat melakukan pelanggaran, ini akan sulit.” “Tapi kamu sudah berjanji—” “Aku belum memutuskan apapun,” sela Jerikho tajam, menoleh pada Livia. Meja rapat mendadak menjadi hening. “Jangan mendesak, kalau kita kalah dalam persidangan, reputasi Mahendra juga dipertaruhkan, jadi lebih baik kita menghindar. Saat ini aku belum menemukan celah hukum untuk memenangkannya.” “Jujur ini bukan jawaban yang ingin saya dengar dari kamu. Tapi kalau memang keputusannya sudah final...” P"Masya Allah Nduk, Mama pikir siapa yang bertamu malam-malam. Apa nggak punya sopan santun. Ternyata kamu..." Tubuh Shea langsung masuk ke dalam dekapan Mama, harum, hangat, rumah. Masih dalam balutan sarung dan kaos kusut, Papa menyusul di belakangnya. Wajah beliau kelihatan sekali sudah mengantuk, tapi matanya seketika melebar begitu menemukan Shea. "Sama siapa?" tanyanya. "Kamu sendirian aja?" sambar Mama. Shea gantian mengecupi punggung tangan Papa, dan membiarkan kopernya dibawa oleh Aji, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumahnya. "Iya Ma, Abang sibuk." Shea segera beralsan dengan mulus. Lalu berpura-pura celingak-celinguk. "Mana Sidra?" "Ada di dalam kamar, kayaknya udah tidur. Kenapa nggak ngomong dulu kalau mau pulang Shea, kan bisa dijemput." Shea meringis. "N
"Mama benar-benar minta tolong, Jeri." Baiklah, seumur hidup baru kali ini Jerikho merasa iba dengan permohonan Tante Gina. Beliau memang tidak pernah membentak atau meninggikan suara tapi biasanya yang ia ucapkan hanya tuntutan. Namun rasa iba Jerikho bukan berasal dari ucapannya melainkan usahanya yang memesan restoran paling mewah dengan makanan yang disajikan seperti anggota kerajaan. Karena semua ini pada akhirnya akan mubazir dan tersia-sia. "Penangkapan Adimas sangat nggak manusiawi. Dia adik kamu Jeri, dia pasti merasa ketakutan sekarang." "Ini baru berjalan beberapa jam, terakhir kali aku lihat dia baik-baik saja." "Tapi gimana dengan besok? Dan hari-hari berikutnya? Kenapa kamu bersikap keras kepala? Hanya karena dia melukai satu orang bukan berarti dia nggak bisa berubah. Kasih dia kesempatan, Jeri." "Kenyataanya dia melukai lebih dari satu orang.
Seseorang—tidak lebih tepatnya segerombolan orang terdengar mendekat dengan langkah-langkah berat. "Polisi, sebaiknya Anda menyerah saja Mister," seru seorang pria berwibawa, lalu beliau berbicara pada microphone. "Kami sudah berhasil mengamankan pelaku."Adimas panik, tapi mereka tidak membiarkannya bergerak, dengan gesit salah satu pria berseragam lengkap menahan kedua tangannya di balik punggung. Adimas sontak meraung."Kalian nggak tahu siapa saya?!"Jawabannya datang ketika kepalanya terasa diinjak dengan sepatu bot tebal. Adimas memekik kesakitan, udara terasa menipis di sekelilingnya."Le-lepass!" jeritnya ketakutan.Dari dunianya yang rendah, Adimas melihat seorang pria dengan wajah yang sudah ia kenal betul melenggang mendekat. Tatapannya datar tanpa simpati lalu berlahan berjongkok di depannya."Saya sudah berusaha untuk bersabar Dim, tapi kamu melangkah terlalu jauh. Dan mulai sekarang, kamu akan menerima apa
"Cukup Bang, maaf..." Jerikho maju selangkah, menyerat tongkat baseball bersamanya. Matanya tajam. Adimas semakin mundur, kakinya terpeleset karpet dan jatuh terduduk di lantai. Namun Jerikho tidak berhenti. "Bang, tolong..." Rasa takut mulai menghantuinya. "Jangan gini, Bang, aku minta maaf, aku janji nggak akan sentuh Shea lagi." Tubuh Jerikho yang besar kini berdiri di hadapan Adimas, praktis memblok cahaya, hingga menyisakan bayangan gelap. Gigi-gigi Adimas bergemeletuk. "Maaf Abang, maaf..." Mata Jerikho memerah, telinganya seperti sudah tersumpal tanpa menyisakan belas kasihan. Kedua rahangnya mengatup ketat. Suaranya terdengar muak dan mengandung kemarahan. "Untuk kali ini, nggak ada kata maaf atas tindakan kamu, Dim." Perlahan tangan Jerikho yang menggenggam tongkat baseball terangkat. Adimas melotot panik, tepat ketika benda itu berayun kenc
Dunia Shea runtuh. Kenapa dia tidak menyadari ini sebelumnya? Kenapa Shea masih tidak paham? Suaminya sangat ambisius, Jerikho akan melakukan apa saja untuk membuat lawannya mati kutu. Korban AR benar, Jerikho orang yang tanpa belas kasihan. Pram benar, Jerikho adalah yang terburuk dari keluarga Lomana. Selama ini, Shea menutup telinga, tidak ingin mendengar nasihat orang lain mengenai Jerikho. Tapi semua kini terbuka dengan sendirinya. Shea benar-benar hanya korban bagian dari balas dendam Jerikho untuk menghancurkan keluarganya. "Abang nggak ada pembelaan?" Rasanya dia sudah puas meraung, memukul, bahkan menampar suaminya. Tapi Jerikho diam saja, hingga Shea lelah sendiri. Serta akhirnya mengurung diri di kamar. Mereka praktis tidak bicara, dada Shea sakit karena menangis semalaman. Jerikho tidak paham bagaimana ketakutannya Shea ketika pertama kali menemukan kalau dirinya me
Shea ketiduran. Mungkin karena kepalanya terlalu sakit memikirkan kata-kata Adimas, dan menunggu kepulangan suaminya, Shea jatuh tertidur begitu saja. Lalu terbangun dengan suara ketukan di pintu. Jantungnya berdegup kencang. "Shea?" Suara Jerikho. Perlahan Shea beringsut bangkit, menyingkap selimut, merasakan udara dingin menusuk kulit dari gorden jendela. "Kamu sudah tidur?" "Sebentar." Begitu pintu kamar ia buka, Shea terkesiap mendapati suaminya yang basah kuyup. Jasnya sudah ditanggalkan, menyisakan kemeja kusut yang menempel di kulit. Jerikho menyugar rambutnya yang basah lalu perlahan mengulas senyum lebar. "Maaf, aku pulang telat." Pandangan Shea dengan cepat memburam. Dia tidak ingin kelihatan lembek, tapi rekaman Adimas langsung terputar di k