Share

Cinta Pertama Mas Ali
Cinta Pertama Mas Ali
Author: Goresan Pena93

Kau dan Dia

last update Last Updated: 2025-06-02 08:21:26

"Kalian ...." Jantungku hampir saja terlepas dari tempatnya ketika melihat suami dan sahabat sendiri berpelukan di sebuah ruangan dalam rumah sakit.

Tadinya aku ingin menjenguk Dinda, sahabat yang sejak kecil begitu dekat denganku. Bahkan rumah kami hanya sebatas pagar saja. Dia kecelakaan mobil bersama suaminya kudengar. Namun, kini kudapati kenyataan kalau pria yang baru saja menghalalkanku enam bulan lalu itu tengah berpelukan dengan dia.

Sekujur tubuhku bergetar melihat mereka yang tak berkutik sama sekali. Dinda melihatku, tapi dia menunduk dan malah semakin mengeratkan pelukannya. Sementara Mas Ali, dia dalam posisi memunggungiku.

"Tega sekali kalian!" Barulah setelah aku membentak dengan suara tinggi dan membanting buah tangan terbungkus plastik yang kubeli di supermarket tadi, Mas Ali baru menoleh.

"Ayu!" Mas Ali memekik namaku. Wajahnya memucat seketika. "Tunggu, kamu salam paham."

"Aku tidak butuh penjelasan dari dua orang pengkhianat seperti kalian!" Air mataku tumpah seketika.

Aku bergegas pergi dari sana dengan berlari. Dadaku sesak, dan perih seperti baru saja terkena goresan benda taj4m, lalu dialiri cairan asam. Aku berlari sampai di dekat sepeda motor. Kulihat Mas Ali berlari ke arahku, tapi aku tak peduli lagi. Kutinggalkan dia di sana sendirian.

"Ayuu!" teriaknya dan sengaja kuabaikan.

Sambil mengusap wajah yang sudah sembab, aku terus melajukan kendaraan roda dua yang kubeli dari hasil jerih payah kerja selama satu tahun lamanya.

Sesampainya di rumah yang kutinggali bersama Mas Ali, aku langsung pergi ke kamar. Kubuka lemari dan mengeluarkan semua barang-barang dengan tangis yang semakin kencang.

"Kamu jahat banget, Mas!" Saat napas semakin sesak, aku terduduk sejenak sambil mengulang apa yang kulihat tadi.

Belum lama aku menata pakaian ke dalam koper, kudengar suara langkah kaki masuk ke dalam rumah. Aku tahu siapa yang datang. Dan aku, tak peduli lagi.

"Ayu!" Mas Ali mencegah tanganku yang tengah menata pakaian. Namun, aku segera menghempaskannya. "Kamu salah paham, Yu! Dengarkan aku dulu!"

"Salah paham? Kamu kira aku tuli, Mas? Aku dengar semua yang kamu katakan tadi sama Dinda! Kamu akan jagain dia kan? Setelah suaminya meninggal? Silakan!" Aku kembali menatap pakaian.

"Iya tapi maksudnya ...." Nyatanya dia tidak bisa menjelaskan padaku dengan sejelas-jelasnya.

"Maksudnya kamu bersedia menikahi dia, kan? Begitu? Silakan! Aku enggak apa-apa. Asalkan Mas melepaskan aku."

"Tidak, Yu! Aku tidak akan melepaskanmu. Meskipun aku punya amanah besar itu. Aku tidak bisa jauh darimu," katanya lagi sambil mengiba.

"Mas tau, ciri-ciri lelaki egois? Ya, dia punya sifat seperti Mas! Sudah, temani saja dia di sana! Dan biarkan aku pergi. Talak aku sekarang! Daripada harus melihat suami dan sahabat sendiri berpelukan dan diam-diam mengikat janji! Aku mu4k!"

Aku mendorong tubuh pria berkemeja putih itu. Lalu berdiri hendak pergi. Namun, Mas Ali tetap mencegahku. Dia memeluk dari belakang dengan begitu erat.

"Tolonglah, Yu! Ngertiin keadaannya. Bukan aku yang menginginkan semua itu."

"Lantas siapa yang menginginkan itu? Dia? Atau almarhum suaminya?"

Saat kami masih berdebat, tiba-tiba ibunya Mas Ali muncul. "Ibu yang menginginkan itu."

Seketika mataku melebar mendengar suara wanita tua yang selama ini cukup dekat denganku itu. Tanganku semakin dingin dan kaku saat melihat sosok sepuh itu di hadapanku. "Kenapa, Bu?" Tangisku pecah lagi karena tak pernah menyangkanya.

"Sudah enam bulan kalian menikah, tapi belum juga dikaruniai keturunan. Biarkan Ali menikah lagi dengan Dinda. Ibu kenal baik dengan dia. Dia anaknya baik. Ibu yakin, dia pasti subur." Wanita tua dengan kacamata besar bertengger di atas hidungnya itu begitu yakin sekali dengan ucapannya.

"Apa itu artinya Ayu enggak subur, Bu? Pernikahan kami belum ada setahun, Bu. Kami butuh waktu dan proses." Aku sampai terjatuh di lantai lagi, dan Mas Ali berusaha memegangi kedua lenganku.

"Keputusan Ibu sudah bulat. Ibu juga tidak tega sama Dinda yang baru saja ditinggal mati suaminya. Biarkan Ali menjaganya. Lagipula, kamu kan juga sibuk mengurus ibumu yang sakit di rumah sakit enggak sembuh-sembuh."

Makin menyayat hati ucapan mertuaku ini. "Ibunya Ayu memang sakit-sakitan, Buk. Itu karena memang sakit paru-paru stadium 4. Memang harus dirawat intensif. Meskipun begitu, Ayu tidak pernah lalai dari mengurus Mas Ali. Semua keperluan dia Ayu yang urus. Kapan pun Mas Ali butuh Ayu, Ayu siap, Buk. Tapi kenapa ini balasannya?"

Ibunya Mas Ali tidak menjawab lagi. Wanita tua dengan tongkat kayu itu pergi begitu saja. Sementara aku hanya bisa meratapi nasib sambil terus menangisi kondisi ibu yang tiba-tiba membuatku lemas lagi.

"Yu, kamu dengar sendiri, kan? Bukan maunya Mas semua itu. Mas enggak bisa menolak kemauan ibu." Mas Ali menyentuh lenganku lagi. Akan tetapi, aku menolaknya. Aku menjauh darinya.

"Tolong, Mas, jangan siks4 aku. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Kalian sudah membuatku hancur dan hilang rasa percaya."

"Mas enggak ada niat seperti itu, Yu."

"Aku enggak percaya lagi sama kamu, Mas. Tidak ada yang bisa kupercaya saat ini selain ibuku sendiri. Tega sekali kalian. Aku juga enggak nyangka, ibumu bisa seperti itu, Mas."

Mas Ali meraih tubuhku lalu memeluknya. "Maafkan aku, Yu. Aku belum bisa jadi suami yang baik."

Aku segera menjauh darinya. Lalu kembali bersiap-siap karena teringat ibu. Aku harus memastikan kondisi ibu di rumah sakit.

"Kamu mau ke mana?" tanya Mas Ali dengan ekspresi khawatir.

"Aku butuh waktu, Mas. Jangan sentuh aku!" Setelah mengatakan itu, aku langsung bergegas keluar lagi. Kutekan starter motor, lalu melaju keluar halaman rumah besar itu.

***

Apa yang harus kukatakan pada ibu kalau Mas Ali diminta menikah lagi oleh ibunya. Lebih baik, ibu tidak tahu dan biarkan menjadi rahasia keluarga Mas Ali saja.

Aku berjalan sambil berpikir menuju ke kamar ibu. Setelah kubuka, ibu ternyata baru saja selesai salat Ashar. Aku pun mendekatinya lalu duduk di kursi tunggal yang tersedia dekat brankar.

"Buk," panggilku setelah ibu selesai salam. Entah apa yang memenuhi dadaku saat ini. Tiba-tiba aku tak tahan lagi menghentikan air mata yang tiba-tiba mengalir. Aku segera memeluk ibu yang masih terbaring dengar tasbihnya.

"Ayu, kamu kenapa, Nak? Kamu sedih?" tanya ibu dengan suara serak.

"Ayu cuman kangen ibu," jawabku sekenanya.

"Ibu baik-baik saja, Nak. Suster di sini baik-baik. Mengurus Ibu dengan lemah lembut."

"Alhamdulillah kalau begitu, Buk. Ibu udah makan?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.

"Udah tadi makan siang." Ibu menghela napas panjang. "Kamu kenapa? Ceritalah, Yu! Ibu enggak mau jadi beban kamu. Jika kamu sedih karena memikirkan Ibu yang tak kunjung sembuh, maka Ibu enggak apa-apa dirawat di rumah."

Hati anak mana yang tidak tersayat mendengarnya? Air mataku kembali tumpah dan aku kembali memeluk ibu. "Ibu harus dirawat di rumah sakit. Ayu enggak mau Ibu kenapa-kenapa lagi. Ibu harus sehat lagi."

Belum lama setelah aku bicara begitu tadi, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangan rawat ini. Saat kulihat ke belakang, ternyata Mas Ali dan ibunya datang.

bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
mrrtua gila dan jahat baru 6 bulan laki murahan dan egois jgn jumawa ali mandul ,ayu cerai yg terbaik dpt suami yg lebih baik
goodnovel comment avatar
solehatun rayhan
yg terhormat ibunya mas Ali pernikahan kalian baru 6bulan msh banyak mereka yg bertaun taun belum ada di kasih keturunan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta Pertama Mas Ali    Hampir Kelepasan

    Pesawat dari Hongkong baru saja mendarat dengan mulus. Rasa kantuk masih menempel di wajah Bian, tapi detik itu juga menguap lenyap begitu ia membayangkan seseorang yang menunggunya di luar. Aisyah. Gadis cerewet, kocak, dan manis yang beberapa minggu terakhir berhasil bikin dunianya jungkir balik.Bian menuruni tangga pesawat dengan langkah panjang. Sesekali ia melirik jam tangan, seolah-olah waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Di dalam kepalanya, adegan bertemu Aisyah diputar ulang berkali-kali.“Gue peluk aja kali ya? Ah, tapi malu. Nanti dilihatin orang. Tapi … udah dua hari gak ketemu, rasanya lama banget.”Sesampainya di area kedatangan, matanya langsung bergerak cepat menyapu kerumunan orang-orang. Banyak penjemput berdiri sambil memegang papan nama. Tapi ada satu sosok yang tak bisa salah lagi. Aisyah.Gadis itu berdiri sambil melambai-lambaikan tangan, wajahnya sumringah, tapi ada sesuatu yang lain juga: ekspresi setengah malu, setengah kesal karena menunggu terlalu la

  • Cinta Pertama Mas Ali    Romansa

    Di ruang tamu, Aisyah langsung melempar tubuhnya ke sofa. Ia mengambil bantal, memeluknya erat-erat, lalu menyembunyikan wajahnya. Bian mendekat, duduk di sebelahnya, lalu menarik bantal itu pelan. “Eh! Jangan diambil, Bang. Aku lagi malu,” protes Aisyah sambil menahan bantal. Bian tersenyum, menatapnya dengan penuh kasih. “Malu kenapa? Karena wajahmu merah kayak tomat?” Aisyah makin menyembunyikan wajahnya. “Halah, Abang seneng banget godain aku.” “Aku bukan godain. Aku cuma … terharu.” Bian menarik napas dalam, suaranya lebih pelan. “Aisyah, kamu tahu nggak? Selama ini aku pikir aku cuma bakal hidup datar, kerja, tidur, kerja lagi. Tapi sejak ada kamu, hidupku jadi berwarna. Aku bisa ketawa lagi, bisa ngerasa dicintai lagi.” Aisyah perlahan menurunkan bantal dari wajahnya. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum. “Bang … jangan bikin aku nangis. Aku kan nggak suka drama.” Bian mengusap pipinya lembut. “Ini bukan drama. Ini janji kecil aku. Aku janji, aku bakal selalu jag

  • Cinta Pertama Mas Ali    Cemburu

    Aisyah menarik tangannya yang masih digenggam Bian, lalu bersandar ke kursi dengan tangan terlipat di dada. Senyumnya kecut, tapi suaranya tetap dibuat jenaka. “Bang, aku jadi kayak penonton sinetron ya. Adegan mantan datang, ngomong ‘aku masih mikirin kamu’. Kurang backsound aja nih.” Beberapa orang di meja sebelah sempat melirik, mendengar nada suara Aisyah yang cukup keras. Bian merasa wajahnya memanas. Ia tahu Aisyah sedang cemburu, tapi sengaja menutupinya dengan gaya kocak. “Aisyah .…” Suara Bian lirih, ingin menenangkan. Namun Lia menyela cepat, menatap Aisyah dengan sorot menantang. “Aku nggak bermaksud ganggu kalian. Aku cuma … masih punya sesuatu yang belum selesai sama Bian.” Aisyah mengangkat alis, matanya berkilat. “Belum selesai? Maaf, Mbak, kalau yang belum selesai itu hutang, bisa dibayar ke kasir. Tapi kalau soal perasaan, sorry banget, sudah tutup buku.” Bian hampir tersedak mendengar celetukan itu. Di tengah suasana panas, Aisyah masih bisa melontarkan

  • Cinta Pertama Mas Ali    Aisyah dan Lia

    Langit sore Jakarta mulai merona jingga ketika Biantara menepikan mobilnya di depan sebuah rumah makan sederhana yang terkenal dengan soto betawinya. Aisyah sudah sejak tadi merajuk, mengeluh lapar, dan merengek seperti anak kecil yang minta jajan.“Bang, kalau Abang terus cuekin aku, jangan salahin aku kalau aku pingsan di jalan,” ancam Aisyah sambil memegang perutnya.Bian menggeleng sambil menahan tawa. “Ya ampun, Sayang. Dari tadi kita baru keluar rumah satu jam, udah kayak nggak makan tiga hari aja.”"Dih, pake acara sayang-sayangan lagi." Aisyah mencebik. Bian hanya tertawa.“Emang rasanya gitu! Perutku kosong melompong. Lagian, Abang lupa ya? Katanya mau traktir aku kalau aku selesai kerja lembur semalam.”“Oh iya?” Bian pura-pura mikir. “Aku lupa, kayaknya bukan traktir, tapi ngajak makan bareng … terus bayar patungan.”Aisyah langsung melotot. “Patungan? Hah, Abang tega banget. Mana ada calon suami model gini coba? Baru juga mau nikah, udah ngajak patungan. Hadeuh!”Bian akh

  • Cinta Pertama Mas Ali    Cemburu

    Mobil segera Bian tancap tanpa rem. Membuat gadis di sebelahnya mendelik karena kelakuan calon suaminya."Lah, atasanku mau bicara, Bang. Kenape main tancap aja?" "Udah waktunya pulang. Dahlah, kamu diem aja." Wajah Bian agak bersungut. "Nape? Cemburu?" sindir Aisyah. "Bilang aje udeh mulai suka sama gue.""Diem!" kesal Bian. Suasana sore itu agak mendung, langit Jakarta seperti menahan tangisnya. Biantara duduk di kursi kemudi mobilnya dengan wajah kaku, rahang tegang, dan tatapan lurus ke jalanan macet. Tangannya menggenggam erat kemudi seakan ingin menyalurkan kekesalan lewat kulit setir.Di sebelahnya, Aisyah masih duduk santai, menggoyang-goyangkan kaki sambil memainkan kancing tasnya. Ia melirik ke arah Bian, lalu menahan senyum. Dari raut wajah pria itu, jelas sekali ada bara yang membara.“Bang,” Aisyah mencoba memecah keheningan yang terasa mencekik.Bian hanya menggeram pelan, suaranya keluar seperti gumaman mesin tua. “Hmm.”“Abang kenapa sih? Macet aja kayaknya lebih sa

  • Cinta Pertama Mas Ali    Ada Yang Menaruh Hati

    Siang itu, terik matahari menyinari halaman depan gedung tempat Aisyah bekerja. Kantor itu tidak terlalu besar, namun cukup bergengsi. Aisyah baru saja turun dari angkot, menenteng tas kerja yang mulai usang tapi tetap ia rawat dengan baik. Senyum tipis terbit di wajahnya, mengingat semalam keluarga Bian begitu hangat menyambutnya.Namun, langkah kakinya terhenti ketika seorang wanita berpenampilan glamor berdiri di dekat pintu masuk. Wanita itu memakai kacamata hitam besar, gaun pas badan, dan tas branded yang jelas bukan sembarang. Begitu Aisyah mendekat, wanita itu menurunkan kacamatanya, menatap tajam.“Eh, jadi ini ya cewek kampung yang katanya mau nikahin Bian?” Ucapan wanita itu penuh sarkasme. "Cuman kerja di kantor kek gini? Enggak malu lu sama keluarga Bian? Ngaca dong!" Aisyah tersentak. “Mbak Lia?”Lia melipat tangan di dada, bibirnya menyungging senyum sinis. “Wih, pinter juga kamu. Masih inget aku. Aku Lia, mantan yang jauh lebih pantas buat Bian dibanding kamu. Tapi te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status