Share

Ibumu

last update Huling Na-update: 2025-06-02 08:22:51

Aku bergegas menghapus air mata yang memenuhi mata dan wajah. Dua orang itu mendekat dengan buah tangan yang langsung diletakkan di atas meja dekat ranj4ng ibu.

"Assalamualaikum, Mbak Ana? Bagaimana kabar kondisinya?" tanya mertuaku itu lalu aku segera berdiri dan mempersilakan beliau duduk.

"Wa'alaykumsalam, Mbak El. Alhamdulillah, saya jauh lebih baik. Gimana kabar Mbak El?" tanya ibu ganti.

"Alhamdulillah juga aku baik. Semoga, Mbak Ana segera bisa pulang dan beraktivitas lagi. Oh ya, aku datang ke sini untuk memberikan kabar bahagia."

Demi apa pun, semoga ibunya Mas Ali tidak bicara yang macam-macam. Semoga saja dia tidak memberitahu ibu soal Mas Ali dan Dinda yang kabarnya akan menikah.

"Buk, maaf. Ibu saya belum bisa menerima kabar-kabar sensitif. Saya harap, Ibu mengerti kondisi ibu saya," selaku sebelum semuanya terlambat.

Mas Ali tiba-tiba menyentuh tanganku. Pria berjaket hitam itu menarikku agar menjauhi mereka. Dia mengajakku duduk di sofa dalam, yang agak jauh dari dua wanita sepuh tadi.

Aku sempat memelototi Mas Ali karena sikapnya yang kuanggap egois. Padahal aku hanya ingin menjaga kondisi ibuku.

"Yu, ibu hanya ingin bicara soal bisnis perkebunan teh mereka. Bukan yang lainnya," ujar Mas Ali. Tapi, jujur aku tidak percaya. Cepat atau lambat, pasti ibunya akan membahasnya juga.

"Mas, aku hanya ingin menjaga ibuku! Lepaskan tanganku!" lirihku dengan nada kasar.

Setelah keadaan tenang, ibunya Mas Ali mulai bicara dengan ibu. Aku terus memantau apa saja yang mereka bicarakan. Bukan karena berburuk sangka, lebih tepatnya aku hanya ingin ibu tetap dalam kondisi membaik.

Sejauh ini, setelah sekitar setengah jam ternyata memang tidak ada pembahasan soal Mas Ali dan Dinda. Ibu mertuaku itu berdiri, lantas pamit pada ibuku.

"Aku pulang dulu, Mbak. Semoga lekas sehat lagi," katanya.

"Makasih banyak Mbak El." Ibu menyalami besannya.

Aku pun segera berdiri juga. Lalu menyalami ibunya Mas Ali. "Makasih, Buk. Sudah menjenguk ibu saya."

"Hem." Ibunya Mas Ali hanya menyunggingkan senyum tipis. Itu pun kulihat sepertinya beliau terpaksa.

Ya, mungkin karena sejak awal aku sudah menunjukkan sikap tak sopan padanya. Tapi, semua itu karena aku tak tahan jika melihat mereka. Apalagi teringat ucapan mereka beberapa jam lalu. Rasa benci itu tiba-tiba saja muncul.

"Ayu, Mas antar ibu dulu, ya. Nanti Mas jemput kamu." Mas Ali mengusap lenganku.

"Enggak usah. Temani saja wanita itu. Aku tidak butuh siapa-siapa. Aku hanya butuh ibuku," jawabku ketus.

"Sayang, jangan begitu. Bagaimanapun juga, aku masih suami kamu. Sampai kapan pun, kita akan tetap bersama," katanya lagi lalu mengekor di belakang ibunya.

***

Malam itu, aku duduk menyandar sofa dalam ruangan ibu sambil terus berpikir yang tiada ujungnya. Aku bingung dan tidak punya teman cerita.

Kulihat ibu sudah memejamkan matanya. Namun, tangannya masih terus menggulir butiran tasbih peninggalan almarhum bapak. Tak terasa, air mata luruh melihatnya. Andai saja Mas Ali punya sifat seperti bapak. Yang setia pada ibu sampai akhir hayat.

Sudah pukul sembilan malam, perut tiba-tiba terasa keroncongan. Aku lupa makan. Bahkan minum saja tidak terpikirkan. Badan lemas, pikiran kacau, aku tidak memerhatikan kondisi tubuhku sendiri. Aku berdiri berniat untuk mencari minum di luar.

Berjalan dengan gontai dan tatapan melamun, aku baru ingat kalau Dinda juga dirawat di sini. Entah kenapa rasa panas itu kembali mencuat. Aku sengaja lewat lorong depan kamarnya hanya untuk memastikan apakah Mas Ali ada di sana.

"Mas, jangan tinggalkan aku! Aku takut sendirian di sini."

"Dinda, aku harus bertemu dengan istriku juga. Aku tau, kamu baru saja berduka dan kondisimu juga masih sakit, tapi ... aku juga harus ...."

"Mas, tolonglah. Aku merasa badanku semuanya sakit. Mas Rangga sudah meninggal, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Lagipula, ibumu sendiri kan yang menyuruhmu menemaniku di sini."

"Tapi, Din ...."

Oh, ternyata begini mereka di belakangku. Ruangan yang tak tertutup rapat itu membuatku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Dinda terus menggenggam tangan Mas Ali. Dia memaksa Mas Ali untuk tinggal.

"Ayu tidak akan marah, Mas, kalau kamu semalam saja di sini untuk menemaniku. Dia kan baik. Dia sahabat baikku. Kami sudah lama berteman dan tidak mungkin dia salah paham," rengek Dinda lagi.

Sekarang aku sangat membencinya. Padahal, dahulu aku selalu membelanya jika dia dengan suaminya sedang bertengkar. Namun, apa balasan darinya untukku?

"Dinda, tapi Ayu juga kasihan. Aku tidak tau apakah dia sudah makan atau belum. Tadi dia marah padaku."

"Dia pasti sudah makan, Mas. Dia wanita mandiri. Dia pasti bisa mengurus dirinya sendiri."

Tak tahan lagi, aku segera meninggalkan tempat itu. Aku keluar dengan air mata menganak sungai. Berjalan menyeberang ke minimarket yang masih buka untuk membeli air mineral dan sepotong roti.

Setelah membayar di kasir, aku duduk di depan minimarket itu untuk menikmatinya sambil menatap lalu lalang kendaraan yang lewat. Kenapa harus aku yang mengalami nasib seperti ini? Ibu mertua yang selalu kujunjung tinggi dan kuanggap orang tua kedua ternyata malah meminta anaknya untuk menikah lagi. Hanya karena aku belum hamil juga.

Setelah selesai, aku kembali lagi ke rumah sakit. Keadaan tidak seramai tadi. Makin malam, makin sepi. Bahkan lorong utama kini tidak ada orang. Aku berjalan terus menuju kamar ibu. Akan tetapi, saat setelah membelok salah satu lorong lagi, malah berpapasan dengan Mas Ali dan Dinda yang baru saja keluar dari kamar rawat.

Mereka melihatku, begitu sebaliknya. Mas Ali memegangi tubuh Dinda yang tampak tak bisa berdiri tegak. Aku terus berjalan maju dan tak mengindahkan mereka. Sengaja seolah-olah tak melihat ada orang.

"Ayu!" Mas Ali mencegah langkahku. "Yu, Mas harap kamu tidak salah paham lagi."

"Enggak, kok. Aku enggak akan salah paham lagi. Selamat ya, yang sebentar lagi mau menikah. Dan untukmu, Dinda, selamat sudah membuat suamiku harus terus menemanimu. Meskipun istrinya sendiri butuh dia," sindirku.

Dinda terkejut sampai matanya melebar. Dia menunduk seketika. Lalu, aku langsung berjalan lagi. Meskipun Mas Ali terus memanggilku, aku tidak lagi menoleh.

"Yu! Ayu!"

Masih kudengar mereka bicara. "Dinda, aku harus mengejar istriku. Kamu bisa jalan sendiri, kan?"

"Tapi, Mas ...." Dinda mengiba sambil mencekal tangan suamiku. Ah, rasanya aku ingin mem4kinya saja. Di mana rasa malumu, Dinda?

"Kali ini saja. Tolong, Ayu juga butuh aku."

Mas Ali berlari mengejarku. Dia mencekal tanganku lalu membuatku berhenti. "Maafkan aku, Yu. Aku bingung harus apa. Tolong mengertilah."

"Iya, Mas. Aku mengerti keadaanmu. Rawatlah calon istrimu itu! Aku bisa sendiri, kok. Dari dulu aku sudah mandiri." Aku memutar badan hendak pergi. Tapi, pria itu kembali mencegah.

"Aku dan dia hanya ...."

"Mas!"

Belum sempat Mas Ali bicara lagi, dari ujung sana Dinda memanggil sambil meringis seperti orang menahan sakit.

bersambung ....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Pertama Mas Ali    Setelah Reuni

    Gawat, kenapa aku lupa mematikan panggilan tadi? Ayu dengar apa tidak ya tadi? Jika dengar, dia pasti sangat sedih. Dia pasti merasa sangat hancur. Hujan tak kunjung reda, aku makin tak bisa tidur. Harusnya makin lelap, tapi pikiranku selalu tertuju pada Ayu. Akhirnya, aku bangun lagi lalu meraih jaket hitam yang tersangkut pada gagang lemari. Saat aku menuruni anak tangga, ternyata ada ibu di bawah. Beliau sedang membaca koran dengan kacamata bertengger di atas hidungnya. "Mau ke mana, Al? Sudah malam begini," ucap ibu tiba-tiba. Padahal niatnya aku pergi lewat pintu samping. Malah ketahuan juga. "Anu, Buk ... Ali mau ke rumah Ayu. Bagaimanapun juga, dia istri Ali. Butuh Ali juga." Aku membalas dengan gugup. Khawatir ibu melarang karena alasan sudah malam.Kudengar ibu menghela napas panjang. Lalu meletakkan koran di atas meja lagi. Satu kakinya yang tadinya menopang, kini turun lalu berjalan menghampiriku. "Kamu enggak tau ini sudah malam?""Tapi, Buk ....""Hujan belum reda. Ba

  • Cinta Pertama Mas Ali    Mertua

    Wajahnya tampan, matanya sedikit sipit dan juga tak kalah seperti aktor drama di film-film yang aku sukai. Ya, dia pria yang melamarku bersama ayahnya tujuh bulan lalu. Pertemuan kami berawal dari saat aku bekerja di toko Mang Ujang, dia dan ayahnya membeli kue untuk acara di kantornya. Ayahnya meminta alamat rumahku, beliau bilang ingin bertemu dengan orang tuaku. Awalnya aku terkejut, tapi melihat Mas Ali, aku tidak lagi ragu. Kuterima lamarannya, selang sebulan kami menikah dengan acara sederhana. Lalu, resepsi besar-besaran di gedung sewaan. Itu juga atas permintaan ayahnya. Dia memang sosok pria yang banyak diidamkan banyak wanita. Tidak pernah aku kekurangan nafkah materi darinya. Tapi, untuk urusan waktu bersama, aku selalu mengalah karena berusaha menjadi istri yang pengertian. Tapi, akhir-akhir ini banyak sekali ujian diantara kami. Ternyata temanku sendiri yang dahulu akan dia nikahi. Saat tengah melamun, aku dikagetkan dengan getaran ponsel. Ada yang mengirim pesan pada

  • Cinta Pertama Mas Ali    Kepergian

    Aku lemas di depan makam ibu. Ibu pergi tanpa ada aku di dekatnya. Tetangga bilang, mereka menemukan ibu dalam kondisi duduk di dekat telepon, saat dipanggil tidak menyahut padahal pintu terbuka lebar di depan. "Ayu, kita pulang saja, ya! Hari sudah mulai mendung. Khawatir hujan nanti," ucap Mas Ali sembari membantuku berdiri. Meskipun masih berat meninggalkan makam ibu, aku tidak menampik ucapan suamiku itu karena memang benar kalau mendung semakin menghitam. Aku dan dia pulang dengan berjalan kaki karena jarak rumah dan pemakaman tidak terlalu jauh. Dia terus menggenggam tanganku sampai kami tiba di rumah. "Makasih, Mas. Udah bantuin semuanya." Aku terduduk lemas di kursi ruang tamu. Masih dengan tatapan bayangan ibu. Tak pernah kusangka ibu pergi begitu cepat. "Sudah kewajibanku, Yu, sebagai suami kamu. Oh ya, maaf aku mau bilang kalau ibuku tidak bisa datang." Begitu Mas Ali mengatakan hal itu, aku mendadak ingat sesuatu. Ibu meninggal di kursi dekat telepon. Dengan cepat, a

  • Cinta Pertama Mas Ali    Calon Istrimu

    "Calon istrimu memanggil, tuh, Mas. Aku duluan, ya." Saat aku hendak pergi lagi, Mas Ali terus mencegah dengan menggenggam tanganku. "Yu ...."Kami sama-sama menatap Dinda yang berjalan dengan agak pincang sambil membawa gagang besi yang ada kantung infusnya. Setelah dia sampai, hanya Mas Ali yang dia tatap. "Aku duluan, Mas. Ibuku menunggu di kamar." Aku mencoba melepaskan tanganku lagi. "Ayu ... aku ingin bicara denganmu," celetuk Dinda. Hingga membuatku harus mengurungkan langkah. "Maaf, Dinda. Yang kamu butuhkan Mas Ali. Bukan aku. Silakan saja kalau kalian ingin berduaan lagi," ketusku seraya melengos karena tak tahan melihat wajah sahabat yang sudah berkhianat itu. "Bukan itu yang ingin aku bicarakan denganmu, Yu. Lebih baik kita duduk dulu saja. Aku minta waktumu sebentar saja. Tolonglah, Yu!" Dengan wajah melas dia mengiba. "Ayu, kasihanilah Dinda. Dia hanya ingin tidak ada kesalahpahaman diantara kalian," imbuh Mas Ali. Aku tidak menjawab lagi. Kuberi mereka kesempatan

  • Cinta Pertama Mas Ali    Ibumu

    Aku bergegas menghapus air mata yang memenuhi mata dan wajah. Dua orang itu mendekat dengan buah tangan yang langsung diletakkan di atas meja dekat ranj4ng ibu. "Assalamualaikum, Mbak Ana? Bagaimana kabar kondisinya?" tanya mertuaku itu lalu aku segera berdiri dan mempersilakan beliau duduk. "Wa'alaykumsalam, Mbak El. Alhamdulillah, saya jauh lebih baik. Gimana kabar Mbak El?" tanya ibu ganti. "Alhamdulillah juga aku baik. Semoga, Mbak Ana segera bisa pulang dan beraktivitas lagi. Oh ya, aku datang ke sini untuk memberikan kabar bahagia." Demi apa pun, semoga ibunya Mas Ali tidak bicara yang macam-macam. Semoga saja dia tidak memberitahu ibu soal Mas Ali dan Dinda yang kabarnya akan menikah. "Buk, maaf. Ibu saya belum bisa menerima kabar-kabar sensitif. Saya harap, Ibu mengerti kondisi ibu saya," selaku sebelum semuanya terlambat. Mas Ali tiba-tiba menyentuh tanganku. Pria berjaket hitam itu menarikku agar menjauhi mereka. Dia mengajakku duduk di sofa dalam, yang agak jauh dari

  • Cinta Pertama Mas Ali    Kau dan Dia

    "Kalian ...." Jantungku hampir saja terlepas dari tempatnya ketika melihat suami dan sahabat sendiri berpelukan di sebuah ruangan dalam rumah sakit. Tadinya aku ingin menjenguk Dinda, sahabat yang sejak kecil begitu dekat denganku. Bahkan rumah kami hanya sebatas pagar saja. Dia kecelakaan mobil bersama suaminya kudengar. Namun, kini kudapati kenyataan kalau pria yang baru saja menghalalkanku enam bulan lalu itu tengah berpelukan dengan dia. Sekujur tubuhku bergetar melihat mereka yang tak berkutik sama sekali. Dinda melihatku, tapi dia menunduk dan malah semakin mengeratkan pelukannya. Sementara Mas Ali, dia dalam posisi memunggungiku. "Tega sekali kalian!" Barulah setelah aku membentak dengan suara tinggi dan membanting buah tangan terbungkus plastik yang kubeli di supermarket tadi, Mas Ali baru menoleh. "Ayu!" Mas Ali memekik namaku. Wajahnya memucat seketika. "Tunggu, kamu salam paham.""Aku tidak butuh penjelasan dari dua orang pengkhianat seperti kalian!" Air mataku tumpah s

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status