Share

Mertua

last update Last Updated: 2025-06-02 08:24:45

Wajahnya tampan, matanya sedikit sipit dan juga tak kalah seperti aktor drama di film-film yang aku sukai. Ya, dia pria yang melamarku bersama ayahnya tujuh bulan lalu.

Pertemuan kami berawal dari saat aku bekerja di toko Mang Ujang, dia dan ayahnya membeli kue untuk acara di kantornya. Ayahnya meminta alamat rumahku, beliau bilang ingin bertemu dengan orang tuaku.

Awalnya aku terkejut, tapi melihat Mas Ali, aku tidak lagi ragu. Kuterima lamarannya, selang sebulan kami menikah dengan acara sederhana. Lalu, resepsi besar-besaran di gedung sewaan. Itu juga atas permintaan ayahnya.

Dia memang sosok pria yang banyak diidamkan banyak wanita. Tidak pernah aku kekurangan nafkah materi darinya. Tapi, untuk urusan waktu bersama, aku selalu mengalah karena berusaha menjadi istri yang pengertian. Tapi, akhir-akhir ini banyak sekali ujian diantara kami.

Ternyata temanku sendiri yang dahulu akan dia nikahi. Saat tengah melamun, aku dikagetkan dengan getaran ponsel. Ada yang mengirim pesan padaku pagi itu. Sebuah kiriman makanan dari ojek online mengatas namakan aku.

"Siapa yang kirim, Pak?" tanyaku setelah membuka pintu pagi itu.

"Atas nama Pak Ali. Tapi, untuk Bu Ayu katanya. Benar ini alamatnya, kan, Buk?" Pria berjaket hijau itu mengulang pertanyaannya.

"Iya benar. Dia suami saya. Makasih ya, Pak. Ini udah dibayar?"

"Sudah, Buk. Terima kasih kembali."

"Pak!" Kupanggil dia lagi.

"Iya, Buk." Pria itu tak jadi pergi.

"Ini sudah saya terima. Tapi, makanannya buat Bapak aja, ya. Atau buat siapa gitu. Keluarga Bapak juga boleh." Kusodorkan bungkusan plastik tadi padanya.

"Loh, kok gitu, Buk? Kenapa?"

"Soalnya saya sudah makan. Sudah masak banyak. Nanti enggak ada yang makan kan sayang." Aku terpaksa berbohong. Aku tak tahu, kenapa aku seberani ini.

"Wah, serius, Buk? Terima kasih banyak."

Aku mengangguk lalu menatap pria itu sampai pergi lagi. Pagi yang cerah, rumah sudah dalam keadaan sepi. Pasti mereka semalam sudah pergi. Atau ... entahlah, aku tidak mau lagi ingat dengan mereka.

Setelah masuk lagi ke kamar, aku mencoba melihat ponsel lagi. Ada pesan dari Mang Ujang. Aku langsung fokus pada kalimat menohok.

"Yu, aku sama yang lain turut berduka atas kepergian ibumu, ya. Oh ya, karena berhubung kamu sering libur, aku ganti di bagian dapur sama si Wulan. Sekaligus aku mau bilang, kemarin suami kamu ke sini bilang kalau kamu jangan boleh kerja lagi."

Apa-apaan ini Mas Ali malah jadi seperti ini. Aku tahu, aku memang masih tanggung jawab dia. Dia masih wajib menafkahiku. Tapi, dia sudah berkali-kali menyakitiku.

Kalau sudah begini, aku harus apa? Diam di rumah sambil meratapi nasib tanpa mengerjakan apa-apa? Apa sih sebenarnya mau dia?

***

Hari ini, Mas Ali sama sekali tidak menghubungiku. Dia juga seharian tidak ada datang. Malam ini mungkin adalah awal aku dan dia pisah ranj4ng. Tapi, aku tidak apa-apa. Aku harus membiasakannya.

Sejak kepergian ibu, mertuaku juga tidak pernah lagi menghubungiku. Tidak biasanya seperti itu. Bahkan sebelum masalah Dinda mencuat, mertuaku itu begitu perhatian. Selalu mengingatkanku soal kesehatan. Namun, kini hanya tinggal bayangan.

Apakah ini awal dari ujian rumah tangga? Apakah aku kuat menghadapinya? Ingin rasanya segera melupakan mereka. Beberapa menit berlalu, ponselku berbunyi. Ada panggilan dari Mas Ali.

"Hallo."

"Assalamualaikum, Yu. Bagaimana kabarmu?"

"Wa'alaykumsalam. Baik."

"Maaf, malam ini di sini hujan deras. Aku tidak bisa menyusulmu."

"Aku udah biasa mandiri."

"Jangan gitu, Yu. Bagaimanapun juga, kamu masih istriku."

"Iya, Maaf. Aku bukan istri yang baik tapi. Tidak tau cara menghormati suami."

"Kamu masih marah terus?"

"Aku capek, Mas. Aku enggak bisa juga tinggal di sana. Enggak bisa juga menyaksikan kamu menikah lagi. Lebih baik ...."

"Maafkan aku, Yu."

"Enggak apa-apa. Kalian berhak bersama, berhak bahagia. Sudah sekian lama kalian terpisah, kini waktunya kembali dan memulai semuanya dari awal lagi."

"Sudah, Yu. Sebenarnya aku sudah mencintaimu sejak kita menikah."

"Tapi Dinda bilang, Mas bakal nikahi dia setelah Mas nikahi aku."

"Ceritanya panjang, Yu. Aku tidak bisa menjelaskan padamu karena itu aib. Tapi ketahuilah, bahwa aku hanya menyimpan perasaan padamu."

"Lantas dia bagaimana? Kasian dia kalau menikah sama pria yang tidak mencintai dia."

Di tengah obrolan kami, aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Ada suara ibunya Mas Ali sepertinya sedang mendekati putranya.

"Al, kamu belum tidur?"

"Belum, Bu."

"Kebetulan Ibu mau bicara sama kamu."

"Apa, Bu?"

"Ibu rasa, pernikahan kamu sama Dinda dipercepat saja."

Sampai di sana, napasku rasanya sesak. Dadaku penuh dengan beban yang begitu berat. Sanggupkah aku menyaksikan suamiku menikah lagi dengan sahabatku sendiri?

"Tapi, Bu ...."

"Ibu sudah yakin. Ibu sudah sholat meminta jalan. Dan Ibu rasa, Dinda gadis yang tepat. Dia cantik, cerdas, lulusan luar negeri dan juga satu lagi ... dia enggak malu-maluin."

"Maksud Ibu gimana?"

"Ya gimana ... maksud Ibu dia itu berkelas. Satu kantor juga sama kamu. Bibit bobot bebet dia bagus."

"Tapi Ali mencintai Ayu, Buk."

"Ayu tidak bisa kasih kamu anak. Buktinya dia enggak hamil-hamil juga. Jangan-jangan mandul!"

"Buk ...."

"Sudahlah, Ibu akan urus pernikahan kamu sama Dinda setelah dia selesai masa Iddah. Kamu enggak usah khawatir lagi. Lagian, sejak dulu Ibu sukanya sama Dinda. Dia cinta pertama kamu, kan?"

Tak ada suara lagi, mungkin Mas Ali sadar kalau ponselnya masih menyala. Aku masih mendengar dengan jelas obrolan mereka tadi.

Tubuhku jadi panas dingin, semalam suntuk rasanya meriang. Untuk jalan ke kamar mandi juga susah karena kepalaku pusing. Kutekan kontak Mita, rekan kerja di toko Mang Ujang. Setelah lima kali panggilan, dia baru mengangkatnya.

"Hallo, Yu. Tumben nelpon. Ada apa?"

"Mit, anterin aku ke klinik. Aku gemeteran panas dingin. Mual-mual juga."

"Ya Allah, Yu! Ya udah, kamu tunggu di sana bentar. Kamu di rumah, kan? Aku ke sana segera, ya."

"Iya, Mit. Aku di rumah. Makasih ya, udah mau aku repotin."

"Kagak. Kagak ngerepotin. Aku otw sekarang!"

Selama menunggu Mita, aku menahan sakit yang luar biasa di perut bagian atas. Rasanya begitu perih dan sakitnya hanya berjeda dua menitan. Pintu di depan terdengar gedoran, itu pasti Mita.

Dengan sisa tenaga yang ada, aku berjalan keluar kamar. Lalu membuka pintu. Terlihat Mita datang dengan wajah panik. "Ya Allah, Yu, pucet banget mukamu."

"Berangkat sekarang aja ya, Mit?"

"Iya. Tapi, kamu bisa enggak bonceng? Secara aku adanya motor."

"Aku bisa, kok."

"Ya ampun, Yu, kamu keringetan kayak gini. Sakit apa kamu?" Mita masih terlihat panik saat aku meraih tasku di atas kursi. Lalu membantuku menaiki motornya.

Aku sudah tak bisa menjawab lagi, lemas bercampur dengan rasa sakit yang luar biasa. Mataku terpejam sambil berpegangan memeluk Mita karena saking lemas.

bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
semoga ali mandul lakor selingkuh ayu ketemu jodoh yg lebih baik ,mual jijikblihatvali
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta Pertama Mas Ali    Hampir Kelepasan

    Pesawat dari Hongkong baru saja mendarat dengan mulus. Rasa kantuk masih menempel di wajah Bian, tapi detik itu juga menguap lenyap begitu ia membayangkan seseorang yang menunggunya di luar. Aisyah. Gadis cerewet, kocak, dan manis yang beberapa minggu terakhir berhasil bikin dunianya jungkir balik.Bian menuruni tangga pesawat dengan langkah panjang. Sesekali ia melirik jam tangan, seolah-olah waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Di dalam kepalanya, adegan bertemu Aisyah diputar ulang berkali-kali.“Gue peluk aja kali ya? Ah, tapi malu. Nanti dilihatin orang. Tapi … udah dua hari gak ketemu, rasanya lama banget.”Sesampainya di area kedatangan, matanya langsung bergerak cepat menyapu kerumunan orang-orang. Banyak penjemput berdiri sambil memegang papan nama. Tapi ada satu sosok yang tak bisa salah lagi. Aisyah.Gadis itu berdiri sambil melambai-lambaikan tangan, wajahnya sumringah, tapi ada sesuatu yang lain juga: ekspresi setengah malu, setengah kesal karena menunggu terlalu la

  • Cinta Pertama Mas Ali    Romansa

    Di ruang tamu, Aisyah langsung melempar tubuhnya ke sofa. Ia mengambil bantal, memeluknya erat-erat, lalu menyembunyikan wajahnya. Bian mendekat, duduk di sebelahnya, lalu menarik bantal itu pelan. “Eh! Jangan diambil, Bang. Aku lagi malu,” protes Aisyah sambil menahan bantal. Bian tersenyum, menatapnya dengan penuh kasih. “Malu kenapa? Karena wajahmu merah kayak tomat?” Aisyah makin menyembunyikan wajahnya. “Halah, Abang seneng banget godain aku.” “Aku bukan godain. Aku cuma … terharu.” Bian menarik napas dalam, suaranya lebih pelan. “Aisyah, kamu tahu nggak? Selama ini aku pikir aku cuma bakal hidup datar, kerja, tidur, kerja lagi. Tapi sejak ada kamu, hidupku jadi berwarna. Aku bisa ketawa lagi, bisa ngerasa dicintai lagi.” Aisyah perlahan menurunkan bantal dari wajahnya. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum. “Bang … jangan bikin aku nangis. Aku kan nggak suka drama.” Bian mengusap pipinya lembut. “Ini bukan drama. Ini janji kecil aku. Aku janji, aku bakal selalu jag

  • Cinta Pertama Mas Ali    Cemburu

    Aisyah menarik tangannya yang masih digenggam Bian, lalu bersandar ke kursi dengan tangan terlipat di dada. Senyumnya kecut, tapi suaranya tetap dibuat jenaka. “Bang, aku jadi kayak penonton sinetron ya. Adegan mantan datang, ngomong ‘aku masih mikirin kamu’. Kurang backsound aja nih.” Beberapa orang di meja sebelah sempat melirik, mendengar nada suara Aisyah yang cukup keras. Bian merasa wajahnya memanas. Ia tahu Aisyah sedang cemburu, tapi sengaja menutupinya dengan gaya kocak. “Aisyah .…” Suara Bian lirih, ingin menenangkan. Namun Lia menyela cepat, menatap Aisyah dengan sorot menantang. “Aku nggak bermaksud ganggu kalian. Aku cuma … masih punya sesuatu yang belum selesai sama Bian.” Aisyah mengangkat alis, matanya berkilat. “Belum selesai? Maaf, Mbak, kalau yang belum selesai itu hutang, bisa dibayar ke kasir. Tapi kalau soal perasaan, sorry banget, sudah tutup buku.” Bian hampir tersedak mendengar celetukan itu. Di tengah suasana panas, Aisyah masih bisa melontarkan

  • Cinta Pertama Mas Ali    Aisyah dan Lia

    Langit sore Jakarta mulai merona jingga ketika Biantara menepikan mobilnya di depan sebuah rumah makan sederhana yang terkenal dengan soto betawinya. Aisyah sudah sejak tadi merajuk, mengeluh lapar, dan merengek seperti anak kecil yang minta jajan.“Bang, kalau Abang terus cuekin aku, jangan salahin aku kalau aku pingsan di jalan,” ancam Aisyah sambil memegang perutnya.Bian menggeleng sambil menahan tawa. “Ya ampun, Sayang. Dari tadi kita baru keluar rumah satu jam, udah kayak nggak makan tiga hari aja.”"Dih, pake acara sayang-sayangan lagi." Aisyah mencebik. Bian hanya tertawa.“Emang rasanya gitu! Perutku kosong melompong. Lagian, Abang lupa ya? Katanya mau traktir aku kalau aku selesai kerja lembur semalam.”“Oh iya?” Bian pura-pura mikir. “Aku lupa, kayaknya bukan traktir, tapi ngajak makan bareng … terus bayar patungan.”Aisyah langsung melotot. “Patungan? Hah, Abang tega banget. Mana ada calon suami model gini coba? Baru juga mau nikah, udah ngajak patungan. Hadeuh!”Bian akh

  • Cinta Pertama Mas Ali    Cemburu

    Mobil segera Bian tancap tanpa rem. Membuat gadis di sebelahnya mendelik karena kelakuan calon suaminya."Lah, atasanku mau bicara, Bang. Kenape main tancap aja?" "Udah waktunya pulang. Dahlah, kamu diem aja." Wajah Bian agak bersungut. "Nape? Cemburu?" sindir Aisyah. "Bilang aje udeh mulai suka sama gue.""Diem!" kesal Bian. Suasana sore itu agak mendung, langit Jakarta seperti menahan tangisnya. Biantara duduk di kursi kemudi mobilnya dengan wajah kaku, rahang tegang, dan tatapan lurus ke jalanan macet. Tangannya menggenggam erat kemudi seakan ingin menyalurkan kekesalan lewat kulit setir.Di sebelahnya, Aisyah masih duduk santai, menggoyang-goyangkan kaki sambil memainkan kancing tasnya. Ia melirik ke arah Bian, lalu menahan senyum. Dari raut wajah pria itu, jelas sekali ada bara yang membara.“Bang,” Aisyah mencoba memecah keheningan yang terasa mencekik.Bian hanya menggeram pelan, suaranya keluar seperti gumaman mesin tua. “Hmm.”“Abang kenapa sih? Macet aja kayaknya lebih sa

  • Cinta Pertama Mas Ali    Ada Yang Menaruh Hati

    Siang itu, terik matahari menyinari halaman depan gedung tempat Aisyah bekerja. Kantor itu tidak terlalu besar, namun cukup bergengsi. Aisyah baru saja turun dari angkot, menenteng tas kerja yang mulai usang tapi tetap ia rawat dengan baik. Senyum tipis terbit di wajahnya, mengingat semalam keluarga Bian begitu hangat menyambutnya.Namun, langkah kakinya terhenti ketika seorang wanita berpenampilan glamor berdiri di dekat pintu masuk. Wanita itu memakai kacamata hitam besar, gaun pas badan, dan tas branded yang jelas bukan sembarang. Begitu Aisyah mendekat, wanita itu menurunkan kacamatanya, menatap tajam.“Eh, jadi ini ya cewek kampung yang katanya mau nikahin Bian?” Ucapan wanita itu penuh sarkasme. "Cuman kerja di kantor kek gini? Enggak malu lu sama keluarga Bian? Ngaca dong!" Aisyah tersentak. “Mbak Lia?”Lia melipat tangan di dada, bibirnya menyungging senyum sinis. “Wih, pinter juga kamu. Masih inget aku. Aku Lia, mantan yang jauh lebih pantas buat Bian dibanding kamu. Tapi te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status