Share

Kepergian

last update Last Updated: 2025-06-02 08:24:05

Aku lemas di depan makam ibu. Ibu pergi tanpa ada aku di dekatnya. Tetangga bilang, mereka menemukan ibu dalam kondisi duduk di dekat telepon, saat dipanggil tidak menyahut padahal pintu terbuka lebar di depan.

"Ayu, kita pulang saja, ya! Hari sudah mulai mendung. Khawatir hujan nanti," ucap Mas Ali sembari membantuku berdiri.

Meskipun masih berat meninggalkan makam ibu, aku tidak menampik ucapan suamiku itu karena memang benar kalau mendung semakin menghitam.

Aku dan dia pulang dengan berjalan kaki karena jarak rumah dan pemakaman tidak terlalu jauh. Dia terus menggenggam tanganku sampai kami tiba di rumah.

"Makasih, Mas. Udah bantuin semuanya." Aku terduduk lemas di kursi ruang tamu. Masih dengan tatapan bayangan ibu. Tak pernah kusangka ibu pergi begitu cepat.

"Sudah kewajibanku, Yu, sebagai suami kamu. Oh ya, maaf aku mau bilang kalau ibuku tidak bisa datang."

Begitu Mas Ali mengatakan hal itu, aku mendadak ingat sesuatu. Ibu meninggal di kursi dekat telepon. Dengan cepat, aku langsung berlari ke arah di mana telepon berkabel ada di sana. Sampai membuat Mas Ali kaget.

"Ayu, kamu mau ke mana?" Dia panik lalu mengejarku.

Aku tidak menjawab pertanyaan pria berbaju hitam itu. Melainkan langsung memeriksa panggilan terakhir di sana. Dan, betapa terkejut saat melihat deretan nomor telepon yang tertera.

"Mas, ini nomor rumah kita, kan?" Aku menatap Mas Ali.

Dia mengernyit sambil memastikan. "Iya. Ini nomor rumah kita, Sayang. Memangnya kenapa?"

Aku ternganga lalu merem4s kepala sambil histeris. Tangisku pecah lagi karena kecurigaanku mengarah pada mertuaku sendiri.

"Ini nomor yang terakhir telepon, Mas! Berarti ibu kamu yang telpon ke ibu tadinya." Aku mendorong tubuh Mas Ali karena pikiran kacau.

"Maksud kamu apa, Yu? Aku enggak ngerti."

"Jangan-jangan karena ucapan ibumu, ibuku jadi langsung kena serangan jantung, Mas! Paru-parunya kambuh lagi."

"Cukup, Ayu! Ibumu meninggal karena sudah takdir! Jangan mencari kambing hitam di balik kejadian ini! Aku kecewa sama kamu, Yu! Kamu menuduh ibuku mengatakan apa? Sampai membuat ibumu meninggal!"

"Bisa saja ibumu bilang kalau kamu akan menikah lagi dengan Dinda! Padahal aku saja mewanti-wanti agar ibu tidak mendengar kabar itu."

"Enggak mungkin! Jangan mengada-ada, Ayu!"

Aku menatapnya dengan heran. "Terserah, Mas! Yang jelas siapa lagi yang bisa menelpon dari nomor itu kalau bukan ibumu? Tadinya kita kan ke toko. Di rumah pasti hanya ada ibumu."

"Cukup! Sejak ibu mengatakan keinginannya itu, aku tau sejak itu juga kamu benci dengan ibuku. Tapi, bukan begini juga kamu menjadikan ibuku sebagai pelampiasan atas musibah ini."

"Aku tidak melampiaskan musibah ini pada beliau. Tapi ...."

"Sudahlah! Aku tidak suka kamu menuduh ibuku seperti itu. Aku tau bagaimana sakitnya kamu saat aku diminta menikahi Dinda. Tapi tidak dengan cara begini kamu menyalahkan ibu!" Dia memotong ucapanku dengan argumennya yang panjang lebar.

Setelah perdebatan itu, aku dan dia sama-sama saling bungk4m. Aku dan dia tidak lagi bicara malam itu. Tepat pukul delapan malam, ada tamu yang mengetuk pintu. Aku yang tadinya masih berbaring di kamar pun langsung bangkit.

Tapi, kudengar Mas Ali yang membukakan pintu. Ada suara wanita di luar sana. Siapa? Siapa yang datang?

"Ayu, ada tamu." Mas Ali masuk ke kamar, memintaku keluar.

Aku tidak menjawab, melainkan langsung keluar. Setelah keluar dari kamar, kulihat seorang wanita dengan dres selutut sudah duduk di kursi tamu. Dia berbincang-bincang dengan Mas Ali.

"Yu, ada Dinda. Dia ikut bela sungkawa katanya," ucap Mas Ali sambil menatapku yang duduk di kursi tunggal sendirian. Sementara dia duduk di kursi panjang di sebelahnya ada Dinda yang mengulas senyuman padaku.

"Iya, Yu. Aku ikut berduka cita ya. Semoga ibumu diterima di sisi Allah," lanjut Dinda.

"Makasih." Kujawab dengan singkat. "Kalian ngobrol aja duluan. Aku mau ke dapur sebentar." Sebagai tuan rumah, tidak pantas membiarkan tamu tanpa suguhan.

Membuat teh saja aku sambil melamun. Rasanya masih tidak percaya atas kepergian ibu. Setelah selesai membuat secangkir teh, aku kembali ke depan. Namun, pemandangan apa yang kulihat membuat dada ini kembali membara.

"Mas, kamu yang sabar, ya. Semoga mertuamu sudah bahagia di sana. Kita sama-sama kehilangan." Dinda memegang tangan suamiku dengan percaya dirinya. Padahal dia tahu, aku sudah berdiri di ambang pintu dapur yang menghadap ke arah ruang tamu.

Sementara Mas Ali dengan bod8hnya diam saja. Kukira dia paham agama. Bersentuhan dengan yang bukan mahram tahu hukumnya. Tapi, ini malah terlihat seperti menikmati saja.

"Ini Din minumnya." Aku menyodorkan secangkir teh tadi ke depannya.

"Makasih, Yu." Setelah mengatakan itu, dia dengan santainya kembali beralih pada Mas Ali. Seolah tidak menganggapku ada. "Aku akan selalu ada untukmu, Mas, jika kamu butuh bantuan. Keluargamu sudah sangat baik padaku."

Dengan rasa sakit yang luar biasa, aku langsung menyahut, " Dinda-Dinda. Belum juga selesai masa Iddahmu, kamu sudah berani sekali menggoda suami orang. Aku kira kamu sahabat terbaikku. Nyatanya yang dekat itu yang berbahaya."

Dia langsung mendelik menatapku. "Apa maksudmu, Yu?"

"Tidak usah berlaku lugu! Kamu tau enggak, kamu sama suamiku itu bukan mahram. Ngapain kamu genggam tangan suamiku sampai begitunya? Aku tau, kamu sebentar lagi bakal menikah dengannya. Tapi, apakah pantas kelakuanmu seperti ini? Aku yakin, almarhum suami kamu pasti sangat sedih melihat ini."

"Ayu ...." Mas Ali menggeleng kepalanya.

"Kenapa, Mas? Aku sudah hancur. Enggak usah tanggung-tanggung lagi. Aku tidak mau hancur sendirian. Kalau calon istri kedua kamu itu tidak tau tata krama bertamu atau berteman, maka aku sendiri yang akan mengajarinya."

"Ayu, jangan mulai lagi. Aku lelah bertengkar terus. Aku mohon, mengertilah keadaan Dinda. Dia juga baru saja kehilangan suaminya. Jika ada salah dari dia, maafkanlah. Aku minta maaf juga kalau sikapnya padamu tidak membuatmu nyaman," ujar suamiku itu.

"Hebat kamu, Mas, bisa-bisanya membela wanita lain di hadapan istrimu sendiri. Kamu bisa ngertiin dia, tapi tidak bisa ngertiin aku. Kamu bisa memberikan segalanya pada dia, termasuk perhatian, tapi tidak bisa memberikan perhatian sedikit saja pada istri sendiri. Kalian memang cocok sekali. Silakan lanjut obrolan romantisnya, aku tunggu kata talak darimu, Mas, daripada harus hidup dengan pria sepertimu. Oh ya, maafkan aku juga. Aku tidak bisa menjadi seperti Dinda. Wanita yang kamu puja-puja itu."

Kutinggalkan mereka berdua di ruang tamu. Lalu pergi ke kamar dengan luka hati yang begitu dalam. Jika aku diberikan kesempatan untuk memilih, lebih baik aku hidup sendirian daripada harus tersiksa batin hidup dengan pria yang belum selesai dengan masa lalunya.

"Ayu!" Mas Ali menggedor pintu. "Yu, dengarkan dulu! Kenapa sih kamu sekarang itu mudah marah sekali? Enggak mau mendengarkan penjelasanku dulu. Buka, Yu, buka pintunya!"

"Pulanglah ke rumah ibumu, Mas! Antar calon istrimu itu pulang! Aku tidak ingin melihat kalian di rumah ibuku lagi!" teriakku dengan perasaan hancur.

bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama Mas Ali    Hampir Kelepasan

    Pesawat dari Hongkong baru saja mendarat dengan mulus. Rasa kantuk masih menempel di wajah Bian, tapi detik itu juga menguap lenyap begitu ia membayangkan seseorang yang menunggunya di luar. Aisyah. Gadis cerewet, kocak, dan manis yang beberapa minggu terakhir berhasil bikin dunianya jungkir balik.Bian menuruni tangga pesawat dengan langkah panjang. Sesekali ia melirik jam tangan, seolah-olah waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Di dalam kepalanya, adegan bertemu Aisyah diputar ulang berkali-kali.“Gue peluk aja kali ya? Ah, tapi malu. Nanti dilihatin orang. Tapi … udah dua hari gak ketemu, rasanya lama banget.”Sesampainya di area kedatangan, matanya langsung bergerak cepat menyapu kerumunan orang-orang. Banyak penjemput berdiri sambil memegang papan nama. Tapi ada satu sosok yang tak bisa salah lagi. Aisyah.Gadis itu berdiri sambil melambai-lambaikan tangan, wajahnya sumringah, tapi ada sesuatu yang lain juga: ekspresi setengah malu, setengah kesal karena menunggu terlalu la

  • Cinta Pertama Mas Ali    Romansa

    Di ruang tamu, Aisyah langsung melempar tubuhnya ke sofa. Ia mengambil bantal, memeluknya erat-erat, lalu menyembunyikan wajahnya. Bian mendekat, duduk di sebelahnya, lalu menarik bantal itu pelan. “Eh! Jangan diambil, Bang. Aku lagi malu,” protes Aisyah sambil menahan bantal. Bian tersenyum, menatapnya dengan penuh kasih. “Malu kenapa? Karena wajahmu merah kayak tomat?” Aisyah makin menyembunyikan wajahnya. “Halah, Abang seneng banget godain aku.” “Aku bukan godain. Aku cuma … terharu.” Bian menarik napas dalam, suaranya lebih pelan. “Aisyah, kamu tahu nggak? Selama ini aku pikir aku cuma bakal hidup datar, kerja, tidur, kerja lagi. Tapi sejak ada kamu, hidupku jadi berwarna. Aku bisa ketawa lagi, bisa ngerasa dicintai lagi.” Aisyah perlahan menurunkan bantal dari wajahnya. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum. “Bang … jangan bikin aku nangis. Aku kan nggak suka drama.” Bian mengusap pipinya lembut. “Ini bukan drama. Ini janji kecil aku. Aku janji, aku bakal selalu jag

  • Cinta Pertama Mas Ali    Cemburu

    Aisyah menarik tangannya yang masih digenggam Bian, lalu bersandar ke kursi dengan tangan terlipat di dada. Senyumnya kecut, tapi suaranya tetap dibuat jenaka. “Bang, aku jadi kayak penonton sinetron ya. Adegan mantan datang, ngomong ‘aku masih mikirin kamu’. Kurang backsound aja nih.” Beberapa orang di meja sebelah sempat melirik, mendengar nada suara Aisyah yang cukup keras. Bian merasa wajahnya memanas. Ia tahu Aisyah sedang cemburu, tapi sengaja menutupinya dengan gaya kocak. “Aisyah .…” Suara Bian lirih, ingin menenangkan. Namun Lia menyela cepat, menatap Aisyah dengan sorot menantang. “Aku nggak bermaksud ganggu kalian. Aku cuma … masih punya sesuatu yang belum selesai sama Bian.” Aisyah mengangkat alis, matanya berkilat. “Belum selesai? Maaf, Mbak, kalau yang belum selesai itu hutang, bisa dibayar ke kasir. Tapi kalau soal perasaan, sorry banget, sudah tutup buku.” Bian hampir tersedak mendengar celetukan itu. Di tengah suasana panas, Aisyah masih bisa melontarkan

  • Cinta Pertama Mas Ali    Aisyah dan Lia

    Langit sore Jakarta mulai merona jingga ketika Biantara menepikan mobilnya di depan sebuah rumah makan sederhana yang terkenal dengan soto betawinya. Aisyah sudah sejak tadi merajuk, mengeluh lapar, dan merengek seperti anak kecil yang minta jajan.“Bang, kalau Abang terus cuekin aku, jangan salahin aku kalau aku pingsan di jalan,” ancam Aisyah sambil memegang perutnya.Bian menggeleng sambil menahan tawa. “Ya ampun, Sayang. Dari tadi kita baru keluar rumah satu jam, udah kayak nggak makan tiga hari aja.”"Dih, pake acara sayang-sayangan lagi." Aisyah mencebik. Bian hanya tertawa.“Emang rasanya gitu! Perutku kosong melompong. Lagian, Abang lupa ya? Katanya mau traktir aku kalau aku selesai kerja lembur semalam.”“Oh iya?” Bian pura-pura mikir. “Aku lupa, kayaknya bukan traktir, tapi ngajak makan bareng … terus bayar patungan.”Aisyah langsung melotot. “Patungan? Hah, Abang tega banget. Mana ada calon suami model gini coba? Baru juga mau nikah, udah ngajak patungan. Hadeuh!”Bian akh

  • Cinta Pertama Mas Ali    Cemburu

    Mobil segera Bian tancap tanpa rem. Membuat gadis di sebelahnya mendelik karena kelakuan calon suaminya."Lah, atasanku mau bicara, Bang. Kenape main tancap aja?" "Udah waktunya pulang. Dahlah, kamu diem aja." Wajah Bian agak bersungut. "Nape? Cemburu?" sindir Aisyah. "Bilang aje udeh mulai suka sama gue.""Diem!" kesal Bian. Suasana sore itu agak mendung, langit Jakarta seperti menahan tangisnya. Biantara duduk di kursi kemudi mobilnya dengan wajah kaku, rahang tegang, dan tatapan lurus ke jalanan macet. Tangannya menggenggam erat kemudi seakan ingin menyalurkan kekesalan lewat kulit setir.Di sebelahnya, Aisyah masih duduk santai, menggoyang-goyangkan kaki sambil memainkan kancing tasnya. Ia melirik ke arah Bian, lalu menahan senyum. Dari raut wajah pria itu, jelas sekali ada bara yang membara.“Bang,” Aisyah mencoba memecah keheningan yang terasa mencekik.Bian hanya menggeram pelan, suaranya keluar seperti gumaman mesin tua. “Hmm.”“Abang kenapa sih? Macet aja kayaknya lebih sa

  • Cinta Pertama Mas Ali    Ada Yang Menaruh Hati

    Siang itu, terik matahari menyinari halaman depan gedung tempat Aisyah bekerja. Kantor itu tidak terlalu besar, namun cukup bergengsi. Aisyah baru saja turun dari angkot, menenteng tas kerja yang mulai usang tapi tetap ia rawat dengan baik. Senyum tipis terbit di wajahnya, mengingat semalam keluarga Bian begitu hangat menyambutnya.Namun, langkah kakinya terhenti ketika seorang wanita berpenampilan glamor berdiri di dekat pintu masuk. Wanita itu memakai kacamata hitam besar, gaun pas badan, dan tas branded yang jelas bukan sembarang. Begitu Aisyah mendekat, wanita itu menurunkan kacamatanya, menatap tajam.“Eh, jadi ini ya cewek kampung yang katanya mau nikahin Bian?” Ucapan wanita itu penuh sarkasme. "Cuman kerja di kantor kek gini? Enggak malu lu sama keluarga Bian? Ngaca dong!" Aisyah tersentak. “Mbak Lia?”Lia melipat tangan di dada, bibirnya menyungging senyum sinis. “Wih, pinter juga kamu. Masih inget aku. Aku Lia, mantan yang jauh lebih pantas buat Bian dibanding kamu. Tapi te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status