Wanita bernama Sindy itu berjalan ke depan sambil menghentakkan kakinya dengan keras. Wajahnya cemberut, bibirnya maju dua senti, rasanya aku ingin tertawa tapi khawatir dia sadar. Sepanjang jalan, Mas Dimas tak pernah melepaskan genggaman tangannya pada tanganku. Tak peduli wanita di jok depan itu terus melirik pada kami. Aku malah semakin membuatnya kepanasan dengan memeluk lengan suamiku. Belajar dari yang sudah-sudah, aku tak mau kelihatan lemah lagi. Aku bukan Ayu yang dulu. Ayu yang dulu sudah pergi bersama masa lalu yang buruk. Kini, tinggal Ayu yang akan terus menggandeng suaminya. "Mas, pulangnya nanti aku nebeng lagi, ya," ujar wanita itu di tengah jalan. Karena malas mendengar obrolan mereka, aku hendak melepaskan tangan yang masih dalam genggaman lelaki itu. Namun, Mas Dimas tak mau. Dia malah makin erat. "Aku sama Ayu ada urusan, Sin. Jadi, mungkin kita enggak bisa barengan lagi. Atau, biar sopir aku aja yang antar kamu ke Jakarta lagi nanti. Biarkan aku sama Ayu naik
"Oh, gitu ceritanya." Aku manggut-manggut setelah lelaki itu bercerita. "Iya gitu lah. Aku harap, kamu enggak ketemu dia lagi. Aku enggak mau ada sisa perasaan dia padamu dan makin tumbuh seiring kalian sering bertemu," ungkapnya. "Mas percaya sama aku? Kenapa enggak tanya, aku masih punya perasaan sama dia apa enggak?" Sengaja aku ingin tahu bagaimana reaksinya. "Aku percaya sama kamu. Aku yakin kamu paham dan selalu menjaga hatiku." Dia mendekati wajahku. Namun, aku menjauh karena merasa di tempat terbuka seperti ini, kurang nyaman saja. "Aku bekas. Aku tidak seperti dulu lagi. Kenapa Mas memilihku? Padahal, ada banyak ribuan wanita yang masih bersih dan jauh lebih cantik.""Bersih gimana? Memangnya kamu enggak? Perempuan yang sudah tidak perawan karena dia menikah dengan sah itu tetap suci, Sayang. Meskipun dia sudah bercerai. Aku tidak peduli meskipun kamu bekas orang. Aku tidak mau tau lagi, meskipun kamu pernah mencintai lelaki mana pun. Yang penting sekarang, masa depan kit
Aku tidak lagi membalas. Bahkan aku memblokir kontak lelaki itu. Aku takut. Takut ada fitnahan lagi. Belum kelar sakit hati karena ucapan ibu-ibu di sini, malah datang masalah baru nanti. "Dek," panggil Mas Dimas. Dan saat itu juga, kedua pundakku berjingat. "Eh, udah mandi, Mas?" tanyaku balik. "Udah. Oh ya, enggak usah bawakan sarapan, ya. Aku langsung berangkat. Ada pasien gawat darurat." Lelaki itu merapikan kemejanya sambil menjawab. Aku berdiri, lalu membantu lelaki itu merapikan pakaiannya juga. Dia beralih ke kaca lemari dalam kamar Bella, sambil melihat penampilannya yang terlihat paripurna. "Udah, jangan ganteng-ganteng. Nanti banyak yang naksir," ujarku setengah cemburu buta. Lelaki berparas tampan itu tertawa. "Meskipun banyak yang suka, tapi hanya kamu yang ada di hatiku. Percaya, kan?""Hem." Aku menunduk. Spontan, tangan lelaki itu menarik daguku. Namun, adegan yang hampir terlihat tanpa jarak itu harus tertunda karena Bella terdengar sudah keluar dari kamar mand
Akhirnya, aku menuruti apa kata lelaki itu. Untuk yang pertama kalinya, aku mencium kedua pipinya. Sampai-sampai, dia tampak begitu menikmatinya. "Udah, ah! Buruan, Mas, cariin!" Aku mendorong lembut lengan kekar itu. "Kenapa ... rasanya jadi berat ya, mau keluar?" Dia tertawa. "Nanti aku minta dicium lagi, boleh?" "Lah." Aku ikut tertawa. "Sini, aku cium ganti!" Dia menarik kepalaku, lalu kening ini ia kecup begitu lama. "Makasih, ya.""Iya." Maklumlah, pengantin baru memang sedang dilanda manis-manis kebersamaan. Lelaki dewasa itu lantas berjalan keluar kamar setelah dia kuminta berulangkali. Malam beranjak begitu cepat, setelah mendapatkan apa yang kubutuhkan, aku kembali turun ke lantai bawah bersama Bella karena dia sudah bangun. Ada beberapa orang di bawah yang masih duduk bersama Mas Dimas. Mereka mengobrol dan terlihat orang-orang itu sepertinya orang terdekat keluarga ini. "Ayu, kenalkan, ini Tante Bianca dan suaminya, Om Indra," ujar Mas Dimas setelah melihatku turun
"Sah.""Sah.""Alhamdulillah."Bergetar tubuhku, sekujur badan merinding dan keluar keringat dingin saat mendengar suara akad nikah telah dilantunkan dengan lancar. Setelah beberapa detik, aku diminta maju untuk duduk bersebelahan dengan lelaki yang kini telah menjadi suamiku. Dia tersenyum manis, lalu mulai mengulurkan tangannya. Dalam keadaan tangan yang dingin dan tubuh mendadak meriang, aku menerima uluran tangannya. Lalu mencium punggung tangan itu. Dilanjutkan dengan menandatangani berkas, dan buku nikah. Ya Allah, aku tidak pernah menyangka akan menjadi istri seorang dokter. Setelah perpisahan menyakitkan itu, semoga kali ini rumah tanggaku bisa sampai tua dan sampai Jannah. Begitu penghulu memberikan nasihat sedikit, kami berdua mengangguk paham. Mereka langsung pulang dan tak menunggu acara makan dulu, dengan alasan sudah mendung dan mulai turun hujan. "Dek," panggil lelaki berjas hitam itu. Aku pun langsung menoleh. "Iya, Mas?"Dia memberikan isyarat senyuman. Entah ap
Aku memberanikan diri ke sana paginya. Turun dari busway, langsung terlihat bekas kecelakaan semalam. Masih ada bekas darah mengering dan koran-koran sobekan. Merinding rasanya. Tepat di sebelah kejadian, gapura masuk ke dalam komplek tempat tinggal Dokter Dimas dan keluarganya. Selain daripada rindu dengan Bella, aku berniat berbelasungkawa. Aku tidak bisa diam begitu saja karena bagaimanapun juga, Nyonya Dini pernah baik padaku. Entah hanya pura-pura atau tidak. "Maaf, Pak, apa benar semalam ada kecelakaan di sini?" tanyaku pada satpam komplek. Lelaki berseragam biru itu menatapku. "Benar, Mbak. Penghuni komplek ini juga. Sekarang, rumahnya sedang ramai, banyak orang melawat," balasnya. "Oh, terima kasih, Pak. Saya juga mau ke sana. Duluan, Pak." "Silakan, Mbak."Aku berjalan dengan langkah cepat sambil membenahi jilbab hitamku. Setelah sampai di depan rumah itu, benar saja ada banyak karangan bunga di sana. Tampak ramai orang keluar masuk dan terlihat wajah-wajah sedih mereka.