LOGINSebelum Gianina sempat menjawab satu pun pertanyaan media, sebuah tangan tegap menariknya menjauh. Seorang tentara perempuan dengan seragam lapangan, wajahnya tegas namun matanya penuh simpati, berdiri sebagai tameng hidup di depannya.
"Tolong ikut saya, Nyonya Altar. Mayor Altar baru saja selesai menjalani sesi operasi," ucapnya, suaranya mantap namun terkesan mendesak. Gianina hanya mampu mengangguk, masih memeluk Althafariz erat-erat. Sang putra, yang sejak tadi diam dengan mata bulat penuh tanda tanya, juga langsung digiring menjauh dari kerumunan wartawan dan kilatan kamera yang terasa seperti peluru tak kasatmata. Mereka melewati lorong rumah sakit yang sepi, langkah-langkah sepatu tentara itu bergema di lantai. Hingga akhirnya, pintu sebuah kamar VIP terbuka. kamar VIP yang sejuk dan tenang. Seorang perawat segera datang membawa minuman hangat dan selimut tebal, sementara sang tentara perempuan memastikan pintu terkunci dari dalam. Althafariz, yang sejak tadi menahan kantuk, akhirnya memeluk lengan ibunya. "Ibu aku mau tidur. Tapi ibu temani, ya ...." suaranya lirih, matanya mulai berat. Gianina tersenyum tipis, menepuk pipinya pelan, lalu berbaring di sebelah putranya. Anak itu mulai bercerita di antara hembusan napas mengantuknya. "Hari ini ... seru banget. Ada tentara, ada suara tembakan dan ternyata aku punya ayah yang keren banget. Dia nyelametin kita." Gianina hanya diam. Setiap kata yang keluar dari mulut anaknya seperti memaku jantungnya. Senyumnya kaku, matanya basah. Karena kenyataannya selama ini ia membiarkan Althafariz percaya bahwa ayahnya hanyalah sosok yang "tidak ada" - bukan seorang prajurit, bukan seorang pahlawan, dan bukan seseorang yang pernah ia cintai dengan seluruh hidupnya. Kini, semua itu terbongkar di depan mata sang anak. Gianina menatap wajah mungil itu, terlelap tanpa tahu badai yang sesungguhnya sedang menunggu di luar pintu. Dan dalam keheningan itu, ia berbisik pada dirinya sendiri: "Tuhan apa yang harus kulakukan sekarang?" *** Beberapa jam sebelumnya, di ruang operasi yang tegang, Mayor Altar sempat membuka mata di sela kesadarannya yang memudar. Dengan suara lemah, ia memberi instruksi terakhir kepada seorang bawahan yang paling ia percayai-tentara perempuan yang kini menjaga Gianina-untuk "pastikan mereka selamat lindungi mereka dengan nyawamu." Setelah itu, kegelapan menelannya. Pasca operasi, perlahan kesadaran Mayor Altar kembali. Kepalanya terasa berat, bahunya ngilu luar biasa. Tangannya refleks memegangi luka tembak di bahu kiri, sementara suara dokter militer terdengar di dekatnya. "Mayor ... Anda beruntung. Peluru itu nyaris mengenai arteri utama. Kalau satu centimeter saja meleset ke dalam kita bicara hal yang lain." Altar hanya mendengar setengah dari kalimat itu. Bukan karena tak mengerti, tapi karena pikirannya sepenuhnya dipenuhi satu hal: Gianina. Ketakutan terdalamnya bukan kematian, tapi kehilangan Gianina dan Althafariz untuk kedua kalinya. Ia belum menebus kesalahan belum meminta maaf untuk semua luka yang pernah ia tinggalkan. "Bawa aku ke mereka. Sekarang," ucapnya lirih namun tegas. Dokter sempat menolak, tapi tatapan Altar-dingin dan penuh tekad-membuatnya menyerah. Tentara perempuan itu muncul, mengangguk, lalu memandu Mayor Altar melewati lorong sunyi menuju pintu belakang kamar VIP. Pintu dibuka perlahan. Di dalam, cahaya lampu temaram menyinari pemandangan yang membuat napasnya tercekat. Gianina duduk bersandar di tepi ranjang, kepalanya menunduk dengan rambut terurai, sambil memeluk Althafariz yang terlelap di pangkuannya. Wajah anak itu damai, tanpa tahu betapa dekatnya mereka dengan maut beberapa jam lalu. Mayor Altar berdiri terpaku di ambang pintu. Seluruh keributan, tembakan, dan darah yang tadi membanjiri pikirannya kini lenyap-terganti oleh keheningan ini. Namun, di balik ketenangan itu, ia tahu badai yang sesungguhnya belum datang. Mayor Altar melangkah pelan, seolah takut suara langkahnya akan memecahkan ketenangan malam itu. Namun, lantai tetap berderit halus. Gianina tersadar. Matanya terbuka perlahan, sedikit sayu, lalu menatap ke arah sosok berseragam yang berdiri di ujung ranjang. Butuh beberapa detik baginya untuk benar-benar menyadari siapa yang ada di depannya. "Altar?" suaranya nyaris hanya bisikan, ragu apakah ini nyata atau sekadar mimpi. Mayor Altar menahan napas. Luka di bahunya terasa seperti tak ada artinya dibandingkan rasa sesak di dadanya. Ia mengangguk perlahan. "Ya ... ini aku, Gia." Gianina menunduk, matanya bergetar. Tangannya refleks memeluk Althafariz lebih erat, seperti perlindungan terakhir yang ia punya. "Kenapa baru sekarang? Setelah semua yang kamu lakukan?" Altar menunduk, suaranya berat. "Karena aku bodoh. Karena aku pengecut. Dan karena aku pikir dunia akan lebih aman untukmu tanpa aku." Ia mendekat, lalu berlutut di sisi ranjang, sejajar dengan mata Gianina. "Tapi aku salah sangat salah. Dan kali ini, aku tidak akan pergi. Bahkan jika itu berarti menghadapi semua yang kau benci dariku." Gianina tak menjawab, hanya menatapnya lama. Di matanya ada marah, ada luka, tapi juga ada sisa-sisa rasa yang tak mau ia akui. Althafariz menggeliat sebentar, lalu kembali terlelap, kepalanya masih di pelukan ibunya. Mayor Altar menatap anak itu, bibirnya bergetar. "Dia mirip sekali denganku," ucapnya lirih. "Tapi aku janji dia tidak akan pernah tumbuh dengan cerita ayahnya sebagai pengecut." Sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar. Gianina akhirnya menarik napas panjang. "Kalau kau berani menghilang lagi, Altar ... demi Tuhan, aku sendiri yang akan mencarimu dan memastikan kau menyesal." Mayor Altar tersenyum tipis, matanya memerah. Ia tahu itu bukan sepenuhnya maaf, tapi itu pintu yang terbuka sedikit. Dan untuknya, itu sudah cukup untuk bertahan. Mayor Altar meringis pelan, rasa nyeri dari bekas operasi menusuk hingga ke tulang. Gerak sekecil apapun terasa seperti menarik jahitan di bahunya. "Al?" suara Gianina terdengar cemas namun masih berusaha tegar. Mayor Altar tidak ingin Gianina melihatnya lemah. Ia tahu, jika ia menunjukkan rasa sakit, Gianina akan khawatir dan itu akan membuat jarak di antara mereka terasa semakin besar. Maka, ia langsung mengatur napas, lalu memilih duduk tegak meski nyerinya menggigit. "Ambilkan aku air itu," katanya sambil menunjuk botol di meja. Gianina mengangkat alis, ekspresinya setengah kesal. "Kamu itu ya tetap keras kepala! Waktu senang, sikapnya biasa saja. Sekarang lagi sakit begini, bukannya istirahat, malah maksa datang ke aku!" Mayor Altar tidak tersinggung sedikit pun. Justru, bibirnya terangkat tipis. Omelan itu-dengan nada ceplas-ceplos khas Gianina-adalah hal yang diam-diam ia rindukan selama ini. Sesuatu yang tak pernah ia dapat dari wanita lain, yang selalu menjaga citra dan kata-kata mereka. "Aku lebih pilih dengar kamu marah-marah daripada dengar suara orang lain yang cuma pura-pura manis," ucapnya pelan, namun matanya menatap Gianina dalam-dalam. Gianina sempat terdiam, lalu buru-buru memalingkan wajah, menyerahkan botol air sambil bergumam. "Jangan sok romantis. Minum." Mayor Altar menerima botol itu, menyesap sedikit, lalu berkata lirih-nyaris seperti janji. "Aku kembali bukan untuk pergi lagi, Gia apa pun yang akan terjadi." Gianina tak menjawab, tapi jemarinya yang tanpa sadar merapikan selimut di pangkuan Altar mengatakan lebih banyak daripada kata-kata. Beberapa menit keduanya terdiam dalam keheningan. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Mayor Altar akhirnya meraih ponsel di saku celananya, lalu menekan nomor cepat. "Siapkan kendaraan. Jemput aku dan mereka berdua sekarang," suaranya dingin namun tegas. Ia memutus panggilan, lalu menatap Gianina. "Kita akan pergi dari sini. Tempat ini tidak aman." Gianina menelan ludah, pandangannya meredup. "Aku nggak bisa ikut sama kamu. Apa kata orang tuamu? Atasanmu? Bawahanmu? Tentang statusku?" Mayor Altar tidak butuh waktu lama untuk menjawab. "Istriku." Singkat, padat, dan tegas. Gianina menggeleng, suaranya bergetar. "Jangan gila, Altar. Kamu duda terhormat, sedangkan aku-hamil di luar nikah, diusir keluarga, bahkan namaku sudah dihapus dari kartu keluarga. Kita terlalu jauh." Mayor Altar menatapnya dalam, lalu mendekat. "Keselamatan kalian berdua tanggung jawabku. Aku tidak peduli mau dunia mencap aku apa. Yang terpenting kamu dan anak kita berada di sisiku, aman." Gianina menarik napas berat, dadanya sesak oleh rasa takut bercampur harapan. "Kamu nggak sadar? Kamu sedang di puncak karier. Apa yang akan terjadi kalau media tahu kamu punya anak di luar nikah?" Senyum tipis muncul di wajah Altar, senyum yang lebih mirip pengakuan tulus daripada jawaban diplomatis. "Aku tidak peduli yang terpenting kamu." Kata-kata itu seperti membongkar benteng yang Gianina bangun selama ini. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun sebelum ia sempat merespons, suara langkah tergesa terdengar di luar pintu. Tentara perempuan yang tadi membantu mereka masuk dengan napas terengah. "Mayor ... mereka sudah menemukan jejak kita. Kita harus pergi sekarang." Mayor Altar berdiri, meringis menahan nyeri, namun tetap tegak. Ia mengulurkan tangan pada Gianina. "Pilihanku tetap sama. Ikut aku atau kita berdua akan menyesal selamanya." Gianina menatap tangannya-dan dalam hitungan detik yang terasa seperti selamanya-ia akhirnya menggapainya.Lampu portable yang ada di dalam tas Althafariz pun sedikit membantu menerangi ruangan yang sempit. Putranya juga segera memakai jaket tebal yang ternyata ada di dalam tasnya — untung saja Gia selalu rapi menyusun barang-barang anaknya.Jam sudah larut, udara semakin dingin. Altar melihat Gia yang masih duduk tegak, memandang gelap di luar pondok sederhana itu. "Kamu tidak bisa tidur, ya Gia?" tanyanya lembut, mendekat dan duduk di sampingnya.Gia mengangguk perlahan, matanya penuh ketakutan. "Aku takut ... ada ular atau hewan lain yang masuk." Dia melihat Fariz yang sudah tertidur nyenyak di tengah mereka, ditutupi dengan jaketnya. "Aku khawatir sesuatu menyentuh dia."Altar memegang tangannya dengan lembut. "Jangan khawatir. Aku sudah memeriksa seluruh pondok, dan aku akan berjaga semalaman. Tidak akan ada yang menyentuh kalian berdua." "Kamu tau nggak, pas lagi jadi tentara, aku pernah bertemu ular besar di hutan. Tapi aku tahu cara menghindarinya — cukup jaga jarak dan jangan gan
Ia tidak bisa gegabah, takut jika mereka adalah sindikat berbahaya.Dirinya mengikuti arah CCTV yang menunjukkan mobil CRV hitam itu. Jalan semakin sempit dan terjal, menuju kawasan hutan yang jarang dilalui. Udara menjadi sejuk dan penuh bau dedaunan basah. Saat ia hampir mencapai mobil itu yang berdiri di pinggir hutan, tiba-tiba BOOOM! — mobil itu meledak dengan ledakan besar yang menyemprotkan api dan puing ke segala arah.Kekerasan ledakan itu memukul badannya, membuatnya terpental ke belakang dan jatuh ke lorong tebing yang dalam. Tubuhnya bergeser di permukaan batu kasar, menabrak bebatuan satu per satu sampai akhirnya mendarat di tanah datar di bawah. Saat ia mencoba bangkit, tangannya kiri tertusuk oleh sebatang kayu yang tajam yang bersarang di antara batu. Darah memancar keluar, tapi ia tidak mempedulikan rasa sakit yang menyengat. Hanya satu hal yang ada di benaknya: anak dan istrinya.Dengan tangan yang berdarah ia menopang dirinya berdiri, melangkah dengan langkah yang g
Gianina tersenyum, ia mengantarkan Sang putra ke sekolah. Altar memang sudah jauh lebih dulu berangkat ke istana negara karena banyak sekali persoalan pemerintah yang perlu dirinya selesai.Hari ini dirinya akan menemui Tuan Wibowo. Jika ada pemilihan orang paling bijak, tentu saja Altarlah yang akan menjadi juaranya. Lelaki itu menasehatinya tentang kedua orang tua dan juga keluarganya.Bagaimanapun juga kesalahan seperti apa yang telah mereka perbuat, tetap saja darah Tuan Wibowo mengalir juga di dalam tubuhnya.Altar juga telah mengatur janji antara anak dan ayah itu.Gianina terlihat gelisah, dirinya bolak-balik mengetukkan jari di meja. Dulu dirinya sangat ingin disayangi dan juga dicintai oleh sang ayah, tapi karena rasa sayangnya dan rasa cintanya itu justru ia harus terpukul ke dalam jurang cemburu bahkan rasa sakit hati yang mendalam. "Gia."Suara serak, khas sang ayah. Membuat hati dari Gianina, terenyuh. Sebelum menoleh ia memejamkan mata sebentar lalu menghembuskan napas.
Setelah urusan di rumah selesai, Altar bersiap berangkat menuju Istana Kepresidenan. Seragamnya rapi, wajahnya serius, meski dalam hatinya masih teringat pada Gia dan Fariz.Namun sebelum mobil dinasnya melaju, ia mendapat laporan langsung dari pihak TNI Angkatan Darat. Informasi itu membuat langkahnya terhenti sejenak.“Komandan, izin melapor. Gunawan resmi diturunkan dari pangkat perwira ke tingkat paling rendah. Semua hak dan fasilitasnya dicabut. Keputusan ini mutlak setelah audit militer menemukan banyak pelanggaran serius,” ujar seorang prajurit dengan nada tegas.Altar mengangguk singkat. Akhirnya roda keadilan itu bergerak juga, pikirnya.Tak berhenti di situ, kabar lain pun datang.“Kemudian, Kamelia Yasmin Wibowo sedang diburu oleh media. Kasus prostitusi yang menyeret namanya kini ramai di kalangan pejabat. Bahkan beberapa tokoh yang pernah memiliki hubungan dengannya sedang diincar aparat dan wartawan.”Altar terdiam, matanya menajam. Ia tahu cepat atau lambat, kebenaran a
Gianina menutup pintu itu dengan perasaan campur aduk. Matanya panas, dadanya sesak. Ada kerinduan yang berteriak di dalam dirinya, tapi luka yang ditorehkan keluarganya masih terlalu dalam. Rasanya seperti berperang dengan hatinya sendiri—antara rindu dan sakit yang tak kunjung sembuh.Di ruang belajar, Althafariz tetap fokus menyalin catatan, sama sekali tak menyadari pergolakan hati ibunya. Suara pensil yang beradu dengan kertas menjadi satu-satunya bunyi yang menenangkan di tengah kekacauan batin Gianina.Malam semakin larut ketika Altar baru saja pulang bekerja. Wajahnya terlihat letih, seragamnya masih melekat di tubuh. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Bu Rusmala masih duduk di ruang tamu, mata bengkak karena menangis.Tanpa sungkan, Bu Rusmala langsung berjongkok di hadapan Altar, menatapnya dengan penuh harap. Suaranya bergetar, pecah oleh tangis yang tertahan.“Altar izinkan Ibu menginap di sini malam ini. Aku … aku benar-benar merindukan anakku.” Matanya menoleh seki
Bu Rusmala masih terguncang. Ia tidak menyangka, suami yang selama ini ia hormati dan percayai ternyata menyimpan rahasia kelam. Kaisar pun terpukul-selama ini ia membela Kamelia dengan sepenuh hati, bahkan memusuhi Gianina, namun kenyataannya justru ia dibutakan oleh kebohongan.Pak Wibowo terdiam pucat. Wajahnya penuh penyesalan dan rasa malu yang dalam. Sementara itu, Gianina hanya menunduk. Air matanya jatuh, bukan karena bahagia, melainkan karena luka lamanya kembali terbuka."Maaf, Tuan Wibowo," ucap Altar tenang namun tegas. "Saya tidak bermaksud lancang membuka aib keluarga Anda. Tapi Anda sendiri yang selama ini keras kepala, menutup telinga dari kebenaran, hingga Gianina harus menanggung semua penderitaan. Maka, biarlah malam ini semuanya terbongkar."Altar menggenggam tangan Gianina dengan penuh kelembutan, seolah berkata bahwa kini ia tidak lagi sendirian. Dengan langkah pasti, Altar mengajak Gianina dan Althafariz meninggalkan gedung mewah itu. Bu Widya serta Alenta menyu







