Altar mengintip cepat dari sisi jendela, lalu meraih telepon genggamnya dan memencet tombol darurat.
“Kode Merah. Serangan mendadak. Koordinat: Apartemen Grand Lestari, Unit 313. Kirim tim sekarang!” suaranya rendah namun tegas, penuh komando. Sementara itu, Gianina menunduk, tubuhnya bergetar. Ia memeluk anaknya lebih erat, menahan tangis, tak percaya ketenangan malam itu berubah menjadi mimpi buruk. “Kenapa ini terjadi, Altar?” bisiknya dengan suara gemetar. “Ssst—mereka bukan cuma mengincarku bisa jadi kalian juga jadi target.” Wajah Altar berubah kaku. Pikirannya langsung bekerja cepat. Ini bukan serangan acak. Ini terencana. Dan waktu mereka terbatas. Tiba-tiba, suara pintu didobrak dari bawah apartemen terdengar. Tangga darurat bergemuruh. Penyerang sedang naik—dan mereka tak punya banyak waktu. “Kita harus keluar dari sini,” gumam Altar. Ia meraih anak Gianina, lalu menatap wanita itu dalam-dalam. “Ikut aku. Percayakan keselamatan kalian padaku.” Gianina ragu sejenak, tapi melihat keseriusan di mata Altar, ia mengangguk cepat. Mereka bertiga berlari menuju balkon, Altar membuka pintu geser, lalu melirik ke bawah. “Lima lantai,” gumamnya pelan. “Terlalu tinggi untuk lompat. Tapi—” Matanya menangkap saluran pipa besi besar di sisi bangunan—cukup kuat untuk menopang tubuh. Tanpa ragu, ia melepas sabuk dan mengaitkannya di sekitar pipa, membuat jalur turun darurat. “Aku dulu. Setelah aku turun, kau giring dia turun perlahan. Ikuti perintahku, Gia. Sekarang bukan waktunya takut.” Dengan cepat, Altar menuruni pipa besi, lalu mengulurkan tangannya dari bawah. “Sekarang, Gia!” Dengan tangan gemetar, Gianina memegangi anaknya dan menurunkannya perlahan. Altar menangkap bocah itu dengan kuat, menempatkannya aman di sisi dinding. “Gianina, sekarang kau!” Ia ragu sejenak, menatap ke dalam apartemen—ruang yang menyimpan semua memori perjuangannya selama sepuluh tahun. Tapi suara dentingan sepatu mendekat dari lorong membuyarkan semuanya. Gianina turun dengan susah payah. Begitu kakinya menyentuh tanah, Altar langsung menarik mereka menjauh dari gedung. Tak lama kemudian, terdengar ledakan kecil dari dalam apartemen—mungkin tembakan yang mengenai peralatan listrik atau bahan mudah terbakar. Cahaya merah menyemburat di jendela unit mereka. Malam itu Jakarta terasa asing. Suara klakson dan deru kendaraan masih ramai, tapi dunia di sekitar mereka seperti terbelah. Di sisi gelap kota, Altar menggenggam tangan anaknya dan Gianina erat. “Aku janji, aku akan lindungi kalian. Mulai malam ini, apapun yang terjadi kalian bukan sendirian lagi.” Udara malam terasa tajam, menusuk paru-paru. Langit Jakarta menggantung kelabu, dilapisi awan dan sirine yang meraung dari kejauhan. Di tengah gelap dan hiruk-pikuk jalan tikus ibu kota, Mayor Altar akhirnya menemukan tempat berlindung—sebuah rumah tua peninggalan rekan lamanya, tersembunyi di balik gang sempit di wilayah Tanah Abang, tak terdeteksi oleh sistem intelijen mana pun. Dengan napas memburu, mereka bertiga masuk. Gianina menggenggam tangan anaknya, sementara Altar sigap mengunci semua pintu dan jendela, menurunkan tirai tebal, dan menyalakan alarm senyap militer yang ia sembunyikan di bawah meja kayu reyot. Althafariz, bocah itu, duduk di atas sofa usang tanpa sedikit pun takut di wajahnya. Matanya justru berbinar penasaran, menatap Altar seperti pahlawan dari komik yang sering ia baca. “Keren, Om! Tadi waktu lompat dari balkon, Om kayak di film!” “Fariz! Ini bukan permainan!” bentak Gianina tiba-tiba, suaranya gemetar, nyaris menangis. Altar menoleh, melihat Gianina berdiri di tengah ruangan—wajahnya merah, matanya penuh amarah yang terbakar oleh rasa takut. “Lihat apa yang kau bawa ke hidup kami, Altar!” “Gianina, aku—” “Kau pikir cuma karena kau datang membawa pengakuan dan janji manis, hidup kami akan berubah jadi bahagia?!” “Bukan itu maksudku—aku hanya ingin melindungi—” “Lindungi?! Dari apa?! Dari ancaman yang datang justru karena kau muncul lagi?! Dulu kau menyuruhku hilangkan anak kita, dan sekarang sekarang kau menyeret kami ke dalam dunia penuh peluru dan ketakutan!” Suara Gianina pecah. Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. Ia memeluk Althafariz erat-erat, seolah dunia akan merenggut anaknya kapan saja. “Aku sudah cukup kehilangan! Sepuluh tahun aku membesarkannya sendirian. Menyembunyikan siapa ayahnya. Menahan tanya demi tanya saat dia berkata, ‘Semua temanku punya ayah, Bu, aku kenapa enggak?’” “Dan sekarang sekarang kau datang dan membiarkan dia nyaris mati!” Altar berdiri kaku. Setiap kata Gianina seperti peluru yang ditembakkan tepat ke jantungnya. Ia ingin berkata. Tapi tak ada kata-kata yang cukup layak untuk menebus luka itu. Akhirnya, ia hanya berkata lirih. “Aku tahu aku membawa bahaya. Tapi lebih dari itu, Gia … aku membawa kebenaran. Dan kebenaran ini, meski pahit, adalah satu-satunya jalan untuk membuat kita bebas.” Gianina tertawa kecil, getir. Ia melepaskan pelukannya dari Fariz, menatap Altar tajam. “Bebas? Atau hancur bersama?” Altar menunduk. Dalam hening, terdengar dentingan tetesan air dari wastafel bocor. Waktu berjalan pelan seperti siksaan. Fariz, bocah polos itu, menatap mereka berdua—bingung, tapi diam. Ia lalu berdiri pelan, berjalan ke arah Altar. “Om, kamu ayahku, ya?” Altar tertegun. Matanya langsung menatap Gianina. Wanita itu diam, membeku di tempat. “Aku dengar tadi Ibu nangis dan bilang soal waktu aku di perut. Apa kamu ayahku?” tanya Fariz polos, matanya besar penuh cahaya kejujuran. Altar berlutut, menatap langsung anak itu, dan suaranya keluar pelan—penuh air mata. “Iya, kalau Ibumu izinkan, aku ingin jadi ayahmu. Meski aku datang terlambat. Meski aku bodoh karena dulu takut. Tapi kalau aku diberi kesempatan aku ingin menebus semuanya.” Fariz tersenyum kecil. “Kalau kamu ayahku berarti kamu harus jagain kami, ya?” Air mata menetes di pipi Altar. “Iya, Nak. Ayah janji.” Dan tiba-tiba—DOR!! Suara tembakan lagi. Kali ini dari luar. Altar langsung bangkit, tubuhnya menutupi Gianina dan Fariz. Ia meraih pistol yang tergantung di balik sabuk, matanya tajam kembali seperti prajurit di medan tempur. “Mereka sudah menemukan kita!” Gianina berteriak pelan, menahan tubuh Fariz agar tetap di belakangnya. Suara langkah kaki terdengar berat, menyusuri gang sempit, menginjak genangan air dan kerikil. Mereka mengepung—perlahan tapi pasti. Altar merapat ke jendela kecil, mengintip di sela tirai. “Tiga orang. Persenjataan lengkap. Ada sniper di atap gedung depan.” Jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh pada Gianina. “Ambil tas hitam di bawah sofa. Ada dokumen, uang tunai, dan peta rute pelarian.” Gianina buru-buru menarik tas besar itu, tangannya gemetar. Fariz menatap sang ayah dengan campuran kagum dan takut. “Om, kita bakal selamat kan?” Altar menatap anak itu dengan tatapan yang tak bisa dibohongi penuh cinta dan kekhawatiran. “Ayah akan pastikan kalian keluar hidup-hidup.” BOOOM!! Sebuah granat kejut dilempar ke halaman belakang, menghantam kaca jendela kecil dan meledak dalam semburan cahaya putih menyilaukan. Altar menggertakkan gigi, merangkul dua orang yang ia cintai dan menggiring mereka ke ruang bawah—pintu kayu tersembunyi di lantai ruang makan, menuju lorong evakuasi lama yang nyaris terlupakan. Di luar, suara instruksi militer terdengar jelas. “Target ada di dalam! Masuk perlahan, hidup-hidup kalau bisa!” “Tembak kalau melawan!”Gianina menutup pintu itu dengan perasaan campur aduk. Matanya panas, dadanya sesak. Ada kerinduan yang berteriak di dalam dirinya, tapi luka yang ditorehkan keluarganya masih terlalu dalam. Rasanya seperti berperang dengan hatinya sendiri—antara rindu dan sakit yang tak kunjung sembuh.Di ruang belajar, Althafariz tetap fokus menyalin catatan, sama sekali tak menyadari pergolakan hati ibunya. Suara pensil yang beradu dengan kertas menjadi satu-satunya bunyi yang menenangkan di tengah kekacauan batin Gianina.Malam semakin larut ketika Altar baru saja pulang bekerja. Wajahnya terlihat letih, seragamnya masih melekat di tubuh. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Bu Rusmala masih duduk di ruang tamu, mata bengkak karena menangis.Tanpa sungkan, Bu Rusmala langsung berjongkok di hadapan Altar, menatapnya dengan penuh harap. Suaranya bergetar, pecah oleh tangis yang tertahan.“Altar izinkan Ibu menginap di sini malam ini. Aku … aku benar-benar merindukan anakku.” Matanya menoleh seki
Bu Rusmala masih terguncang. Ia tidak menyangka, suami yang selama ini ia hormati dan percayai ternyata menyimpan rahasia kelam. Kaisar pun terpukul-selama ini ia membela Kamelia dengan sepenuh hati, bahkan memusuhi Gianina, namun kenyataannya justru ia dibutakan oleh kebohongan.Pak Wibowo terdiam pucat. Wajahnya penuh penyesalan dan rasa malu yang dalam. Sementara itu, Gianina hanya menunduk. Air matanya jatuh, bukan karena bahagia, melainkan karena luka lamanya kembali terbuka."Maaf, Tuan Wibowo," ucap Altar tenang namun tegas. "Saya tidak bermaksud lancang membuka aib keluarga Anda. Tapi Anda sendiri yang selama ini keras kepala, menutup telinga dari kebenaran, hingga Gianina harus menanggung semua penderitaan. Maka, biarlah malam ini semuanya terbongkar."Altar menggenggam tangan Gianina dengan penuh kelembutan, seolah berkata bahwa kini ia tidak lagi sendirian. Dengan langkah pasti, Altar mengajak Gianina dan Althafariz meninggalkan gedung mewah itu. Bu Widya serta Alenta menyu
Hari itu adalah hari yang seharusnya penuh kebahagiaan—hari pernikahan Kamelia dengan perwira Gunawan. Istana megah sudah dipenuhi tamu undangan dari kalangan pejabat tinggi, perwira, hingga kerabat dekat. Namun di sisi lain, di rumah Altar, suasana justru berat dan penuh gejolak.Sejak pagi, Gianina duduk termenung di kursinya. Tatapannya kosong, seolah menolak semua ajakan. Altar sudah berulang kali mencoba membujuknya.“Gia kumohon. Hanya kali ini saja. Aku tahu hatimu sakit, tapi kau tidak sendirian. Aku ada di sampingmu.”Namun Gianina menggeleng pelan. Suaranya serak menahan emosi.“Mereka menghapusku, Al bahkan dari kartu keluarga. Mereka bilang aku tidak pantas lagi menampakkan wajahku di hadapan mereka. Bagaimana mungkin aku bisa melangkah ke sana seolah-olah semua baik-baik saja?”Altar meraih tangannya, menggenggam erat.“Justru karena itu kita harus datang. Biarkan mereka melihat siapa dirimu sebenarnya, dan siapa yang selama ini mereka buang. Mereka harus tahu.”Alenta ya
Kaisar akhirnya membuka mulut, suaranya datar namun penuh tuduhan.“Gianina, dia itu sangat boros. Kau tahu? Karena sifatnya itu, keluarga hampir jatuh miskin. Dia tak pernah puas, selalu ingin lebih, seolah-olah uang tidak ada artinya. Kau kira aku bisa diam saja melihat itu?”Altar terdiam. Hatinya bergejolak, tapi ia menahan diri. Sejak dulu, ia tahu betul siapa Gianina. Gadis itu bahkan terlalu sederhana—belanja hanya seperlunya, hidup apa adanya, dan selalu mendahulukan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Tuduhan Kaisar jelas tidak masuk akal. Ada sesuatu yang janggal. Apakah ini kesalahpahaman besar atau ulah seseorang yang sengaja merusak citra Gianina? Nama Kamelia sempat melintas di pikirannya, namun ia tidak ingin berspekulasi tanpa bukti.Dengan nada tegas, ia akhirnya bertanya,“Apakah kau melihat sendiri Gianina boros? Apakah kau melihat sendiri ia berfoya-foya sampai-sampai menghancurkan perusahaan keluarga? Atau hanya mendengar dari orang lain?”Pertanyaan itu membuat
Di dalam mobil, setelah keheningan hangat itu, tiba-tiba Gianina menoleh dengan tatapan setengah menyipit. Ada nada manja sekaligus getir di suaranya.“Altar .…”“Hm?” Altar menoleh sekilas, keningnya berkerut.“Banyak sekali perempuan yang mengidolakan kamu, ya? Pasti kamu senang banget dikelilingi banyak yang suka. Rasanya aku yang di sampingmu ini kalah saing.”Altar menahan senyum. Ia sudah hafal benar—Gianina memang gampang sekali cemburu. Sekilas ia teringat dulu, bagaimana Gianina bisa merajuk berjam-jam hanya karena seorang rekan perempuannya menyapa terlalu akrab.“Jadi kamu lagi cemburu?” Altar menggoda dengan nada tenang.“Cemburu apanya? Aku cuma bilang apa adanya.” Gianina pura-pura mengalihkan pandangan ke luar jendela, tapi pipinya bersemu merah.Altar menghela napas kecil, lalu mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Gianina. “Tapi kan, wanita yang aku cintai cuma kamu.”Gianina langsung menoleh, tatapannya tajam tapi suaranya bergetar. “Alah kalau cuma ngomong doang m
Gianina tak mampu lagi menahan sesak di dadanya. Senyum tipis yang ia paksakan di hadapan Kamelia akhirnya runtuh. Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit dari kursinya, melangkah cepat ke arah toilet.Di balik pintu yang terkunci, tubuhnya gemetar. Air matanya pecah begitu saja. “Kenapa aku selalu harus kalah? Kenapa harus dia yang selalu lebih baik di mata semua orang?” bisiknya lirih, suara tertahan di kerongkongan.Tangannya meraba perutnya sendiri, seolah masih mengingat masa-masa ketika ia sendirian membawa janin Althafariz di dalam kandungan, ditolak keluarga, diusir tanpa belas kasihan. Kenangan itu seperti belati yang menusuk kembali. Kini, saat Kamelia berdiri anggun dengan undangan pernikahan, luka itu makin terasa dalam.Sementara itu, di meja utama, Altar menahan diri. Tatapannya tetap tenang menatap Kamelia, meski di dalam dadanya amarah dan rasa bersalah bergejolak. Ia tahu Gianina sedang terluka, tapi ia juga sadar: ini bukan waktunya untuk gegabah. Kamelia jelas sedang mema