Dengan satuan khusus yang ia bentuk sendiri serta pengamanan ketat yang nyaris sempurna, Mayor Altar akhirnya berhasil keluar dari Rumah Sakit Abdi Negara tanpa sedikit pun terendus oleh media atau musuh-musuhnya.
Konvoi kendaraan berjalan mulus menembus malam, hingga tiba di sebuah rumah mewah nan megah—kediaman pribadi Altar selama ini. Begitu turun, ia segera memberi perintah pada prajurit yang menggendong bayi mereka. “Bawa anakku ke kamar. Pastikan dia tertidur nyenyak.” Setelah sang prajurit berlalu, Altar menoleh pada Gianina. “Kamu juga istirahat, Gia.” Gianina hanya mengangguk pelan. Ia tak terbiasa dengan kemewahan ini, dan rasa lelah membuatnya sulit berkata apa-apa. Altar tersenyum tipis. Dalam hati, ia berjanji tidak akan pernah melepaskannya lagi. Namun saat Gianina hendak melangkah menuju kamar tamu, kakinya tersandung karpet tebal. Ia refleks meraih pegangan terdekat—yang ternyata adalah lengan Altar. Pria itu, yang sedang memutar tubuh untuk pergi, ikut terdorong hingga jarak mereka mendadak begitu dekat. Napas mereka hampir bertaut. Tatapan mereka bertemu—tatapan yang sama seperti sepuluh tahun lalu, sebelum takdir memisahkan keduanya. Gianina buru-buru melepas pegangannya, tapi Altar sempat menahan jemarinya sejenak, seolah tak ingin kehilangan momen itu. “Masih sama,” gumamnya lirih. “Apa?” tanya Gianina gugup. “Tatapanmu … masih sama seperti dulu.” Wajah Gianina memanas. Ia berusaha tertawa kecil untuk memecah suasana, namun getaran di dadanya terlalu nyata. Sementara Altar hanya tersenyum, lalu berjalan melewatinya—menyisakan aroma parfum yang dulu selalu ia ingat. Langkah Gianina terhenti di lorong, menyadari satu hal: sepuluh tahun ternyata tak cukup untuk menghapus perasaan itu. *** Pukul 11.00 siang. Gianina baru saja bangun setelah beristirahat cukup lama. Begitu juga dengan Altar, yang menghabiskan waktunya sejak pagi untuk membereskan sejumlah pekerjaan yang sempat tertunda. Tiba-tiba, pintu rumah besar itu terbuka. Masuklah seorang laki-laki dan perempuan, bersama seorang wanita yang usianya sedikit di atas Altar—kakaknya. Gianina segera sadar, mereka adalah orang tua dan kakak Altar. “Altar, apa maksud semua pemberitaan di media sosial itu? Orang-orang mengatakan kalau kamu sudah punya anak!” Nada suara sang ayah penuh tuntutan. Altar menghela napas berat, rahangnya mengeras. Media memang selalu pandai memelintir cerita, menambah bumbu hingga mengacaukan segalanya. Suasana memanas. Dan tepat di tengah ketegangan itu, Gianina muncul sambil menggenggam tangan putranya, Althafariz. Begitu melihatnya, ibu Altar tersentak. Tatapannya langsung melunak, lalu ia melangkah cepat ke arah bocah itu. “Cucuku?” Tanpa menunggu jawaban, ia meraih Fariz dari pelukan Gianina, lalu membawanya ke arah kakak Altar. Kakak Altar tersenyum lembut dan mengajaknya bermain di kamar. Namun, momen itu tak berlangsung lama. Altar akhirnya menceritakan semuanya—bagaimana dulu ia pernah bersikap bodoh, hanya mementingkan karier, bahkan sempat berpikir untuk menggugurkan kandungan Gianina. Mendengarnya, ibu Altar tampak murka. “Kamu sekarang seorang mayor, Altar. Tapi masa lalumu? Bagaimana bisa kamu menghamili Gianina lalu meminta dia menggugurkannya?! Gila kamu!” Tamparan mendarat di pipi Altar, diikuti dorongan yang membuatnya sedikit terhuyung. Gianina yang tak tahan melihat itu segera melangkah maju. “Tante … hentikan. Altar baru saja selesai operasi kemarin. Dia yang menyelamatkanku dan juga Fariz.” Kata-kata itu membuat ibu Altar terdiam. Ia menatap Gianina lama, lalu mendekat dan mencakup wajahnya. “Maafkan Ibu … atas semua kesalahan anak Ibu.” Gianina tersenyum tipis, walau hatinya masih terasa rumit. Tapi sekarang perasaannya tiba-tiba saja menghangat. Namun sebelum suasana sempat mencair, ayah Altar tiba-tiba bersuara dingin dari balik kursinya. “Kalau begitu … kapan kalian akan menikah?” Pertanyaan itu membuat seluruh ruangan terdiam. Gianina menoleh ke arah Altar—dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu lagi, tatapan Altar penuh dengan campuran rasa bersalah dan tekad yang sulit dibaca. Setelah makan siang yang penuh percakapan canggung dan tatapan menyelidik dari keluarga, Gianina pamit untuk istirahat di kamar tamu. Altar mengikutinya. Begitu pintu kamar tertutup, suasana mendadak hening, hanya terdengar napas pelan Fariz yang mulai terlelap. Gianina membetulkan selimut anaknya, lalu berbalik menghadap Altar. “Apa yang Ayahmu tanyakan tadi … kamu sudah tahu jawabannya, kan?” Altar menatapnya lama. “Gianina, aku tahu aku banyak salah. Aku tahu aku pernah membuatmu merasa sendirian. Tapi sekarang aku nggak mau lagi ada jarak di antara kita. Aku mau kita jadi keluarga yang utuh.” Gianina menghela napas, menatap lantai. “Kata-kata itu mudah diucapkan, Altar. Tapi kamu nggak ada waktu saat aku butuh. Bahkan saat aku memutuskan mempertahankan Fariz, aku sendirian.” Altar melangkah mendekat, jemarinya ragu menyentuh bahu Gianina. “Kalau saja aku bisa memutar waktu, aku akan ada di sana. Tapi sekarang … izinkan aku memperbaikinya. Untukmu. Untuk Fariz.” Gianina menatapnya, matanya berkaca-kaca—ada amarah, ada luka, tapi juga ada kerinduan yang tak bisa dipungkiri. “Kita lihat nanti, Altar. Aku nggak mau Fariz terluka karena kita.” Altar mengangguk pelan. “Kalau itu berarti aku harus membuktikan diriku setiap hari maka itu yang akan kulakukan.” Dari tempat tidur, Fariz tiba-tiba bergerak, menggenggam jemari ayahnya tanpa membuka mata. Sentuhan kecil itu seolah memberi tanda—bahwa meski masa lalu mereka berantakan, masa depan masih punya peluang. Meskipun wajah Altar tampak tenang, pikirannya penuh sesak. Lalu setelah putranya benar-benar terlelap dirinya segera pergi. Ia tahu, mengembalikan kepercayaan Gianina saja tidak cukup—ia juga harus mendapatkan restu dari kedua orang tua perempuan itu. Altar memanggil orang kepercayaannya, memerintahkan agar semua informasi tentang masa lalu Gianina dikumpulkan. Ia mendengarkan dengan saksama laporan yang mengisahkan betapa berat perjuangan wanita itu: membesarkan anak seorang diri, menjalani kehamilan di usia muda, bahkan harus mengorbankan bangku kuliah demi bertahan hidup. Setiap detail kisah itu membuat dada Altar semakin sesak. “Semua air mata yang dulu dia tumpahkan akan kubayar dengan kebahagiaan yang tak ada habisnya,” gumamnya, lebih seperti janji pada dirinya sendiri. Tangannya mengepal. Malam ini juga, ia akan mulai mengatur segalanya—dari langkah pertama meminta maaf kepada orang tua Gianina, hingga memastikan masa depan Fariz aman. Ia tak peduli berapa banyak pengorbanan yang harus dilakukan. *** Walaupun tadi ia dimarahi, dihina, bahkan ditampar oleh sang ibu, Altar justru merasa ada sedikit rasa lega. Bukan karena hukuman itu, tapi karena Gianina akhirnya mendapatkan penerimaan yang begitu hangat dari keluarganya. Ibunya memeluk Gianina dengan tulus, kakaknya juga terlihat akrab dengan Fariz, bahkan sudah membawa putrinya sendiri untuk bermain bersama anak dari sang adik itu. Di kediaman Altar yang besar dan mewah, lengkap dengan segala fasilitas, suasana keluarga terasa hangat. Namun, di tengah keceriaan itu, Gianina tetap terlihat canggung. Tatapannya kadang menghindar, tangannya sering menggenggam ujung bajunya sendiri—seperti seseorang yang belum yakin apakah ia benar-benar pantas berada di sana. Altar memperhatikannya dari kejauhan. Ia bukanlah pria yang mudah jatuh cinta. Tapi sekali hatinya terpaut—apalagi sejak awal—ia akan mengejar cinta itu sampai kapan pun. Dan kini, cintanya sudah bulat tertuju pada Gianina. Malam mulai turun, dan keluarga yang lain sudah mulai beristirahat. Altar mendekati Gianina yang sedang berdiri di balkon, menatap langit. “Kamu nyaman di sini?” tanyanya pelan. Gianina tersenyum samar, tapi sorot matanya mengisyaratkan banyak keraguan. “Aku nyaman tapi masih belum percaya kalau semua ini nyata.” Altar melangkah lebih dekat, suaranya rendah namun mantap. “Kalau ini mimpi … biar aku yang memastikan kamu nggak pernah bangun.” Gianina menunduk, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin percaya, tapi bayangan masa lalu belum juga pudar. Di balik kehangatan malam itu, ia tahu perjalanan mereka baru saja dimulai, dan tidak semua orang di luar sana akan merestui hubungan ini.Gianina menutup pintu itu dengan perasaan campur aduk. Matanya panas, dadanya sesak. Ada kerinduan yang berteriak di dalam dirinya, tapi luka yang ditorehkan keluarganya masih terlalu dalam. Rasanya seperti berperang dengan hatinya sendiri—antara rindu dan sakit yang tak kunjung sembuh.Di ruang belajar, Althafariz tetap fokus menyalin catatan, sama sekali tak menyadari pergolakan hati ibunya. Suara pensil yang beradu dengan kertas menjadi satu-satunya bunyi yang menenangkan di tengah kekacauan batin Gianina.Malam semakin larut ketika Altar baru saja pulang bekerja. Wajahnya terlihat letih, seragamnya masih melekat di tubuh. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Bu Rusmala masih duduk di ruang tamu, mata bengkak karena menangis.Tanpa sungkan, Bu Rusmala langsung berjongkok di hadapan Altar, menatapnya dengan penuh harap. Suaranya bergetar, pecah oleh tangis yang tertahan.“Altar izinkan Ibu menginap di sini malam ini. Aku … aku benar-benar merindukan anakku.” Matanya menoleh seki
Bu Rusmala masih terguncang. Ia tidak menyangka, suami yang selama ini ia hormati dan percayai ternyata menyimpan rahasia kelam. Kaisar pun terpukul-selama ini ia membela Kamelia dengan sepenuh hati, bahkan memusuhi Gianina, namun kenyataannya justru ia dibutakan oleh kebohongan.Pak Wibowo terdiam pucat. Wajahnya penuh penyesalan dan rasa malu yang dalam. Sementara itu, Gianina hanya menunduk. Air matanya jatuh, bukan karena bahagia, melainkan karena luka lamanya kembali terbuka."Maaf, Tuan Wibowo," ucap Altar tenang namun tegas. "Saya tidak bermaksud lancang membuka aib keluarga Anda. Tapi Anda sendiri yang selama ini keras kepala, menutup telinga dari kebenaran, hingga Gianina harus menanggung semua penderitaan. Maka, biarlah malam ini semuanya terbongkar."Altar menggenggam tangan Gianina dengan penuh kelembutan, seolah berkata bahwa kini ia tidak lagi sendirian. Dengan langkah pasti, Altar mengajak Gianina dan Althafariz meninggalkan gedung mewah itu. Bu Widya serta Alenta menyu
Hari itu adalah hari yang seharusnya penuh kebahagiaan—hari pernikahan Kamelia dengan perwira Gunawan. Istana megah sudah dipenuhi tamu undangan dari kalangan pejabat tinggi, perwira, hingga kerabat dekat. Namun di sisi lain, di rumah Altar, suasana justru berat dan penuh gejolak.Sejak pagi, Gianina duduk termenung di kursinya. Tatapannya kosong, seolah menolak semua ajakan. Altar sudah berulang kali mencoba membujuknya.“Gia kumohon. Hanya kali ini saja. Aku tahu hatimu sakit, tapi kau tidak sendirian. Aku ada di sampingmu.”Namun Gianina menggeleng pelan. Suaranya serak menahan emosi.“Mereka menghapusku, Al bahkan dari kartu keluarga. Mereka bilang aku tidak pantas lagi menampakkan wajahku di hadapan mereka. Bagaimana mungkin aku bisa melangkah ke sana seolah-olah semua baik-baik saja?”Altar meraih tangannya, menggenggam erat.“Justru karena itu kita harus datang. Biarkan mereka melihat siapa dirimu sebenarnya, dan siapa yang selama ini mereka buang. Mereka harus tahu.”Alenta ya
Kaisar akhirnya membuka mulut, suaranya datar namun penuh tuduhan.“Gianina, dia itu sangat boros. Kau tahu? Karena sifatnya itu, keluarga hampir jatuh miskin. Dia tak pernah puas, selalu ingin lebih, seolah-olah uang tidak ada artinya. Kau kira aku bisa diam saja melihat itu?”Altar terdiam. Hatinya bergejolak, tapi ia menahan diri. Sejak dulu, ia tahu betul siapa Gianina. Gadis itu bahkan terlalu sederhana—belanja hanya seperlunya, hidup apa adanya, dan selalu mendahulukan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Tuduhan Kaisar jelas tidak masuk akal. Ada sesuatu yang janggal. Apakah ini kesalahpahaman besar atau ulah seseorang yang sengaja merusak citra Gianina? Nama Kamelia sempat melintas di pikirannya, namun ia tidak ingin berspekulasi tanpa bukti.Dengan nada tegas, ia akhirnya bertanya,“Apakah kau melihat sendiri Gianina boros? Apakah kau melihat sendiri ia berfoya-foya sampai-sampai menghancurkan perusahaan keluarga? Atau hanya mendengar dari orang lain?”Pertanyaan itu membuat
Di dalam mobil, setelah keheningan hangat itu, tiba-tiba Gianina menoleh dengan tatapan setengah menyipit. Ada nada manja sekaligus getir di suaranya.“Altar .…”“Hm?” Altar menoleh sekilas, keningnya berkerut.“Banyak sekali perempuan yang mengidolakan kamu, ya? Pasti kamu senang banget dikelilingi banyak yang suka. Rasanya aku yang di sampingmu ini kalah saing.”Altar menahan senyum. Ia sudah hafal benar—Gianina memang gampang sekali cemburu. Sekilas ia teringat dulu, bagaimana Gianina bisa merajuk berjam-jam hanya karena seorang rekan perempuannya menyapa terlalu akrab.“Jadi kamu lagi cemburu?” Altar menggoda dengan nada tenang.“Cemburu apanya? Aku cuma bilang apa adanya.” Gianina pura-pura mengalihkan pandangan ke luar jendela, tapi pipinya bersemu merah.Altar menghela napas kecil, lalu mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Gianina. “Tapi kan, wanita yang aku cintai cuma kamu.”Gianina langsung menoleh, tatapannya tajam tapi suaranya bergetar. “Alah kalau cuma ngomong doang m
Gianina tak mampu lagi menahan sesak di dadanya. Senyum tipis yang ia paksakan di hadapan Kamelia akhirnya runtuh. Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit dari kursinya, melangkah cepat ke arah toilet.Di balik pintu yang terkunci, tubuhnya gemetar. Air matanya pecah begitu saja. “Kenapa aku selalu harus kalah? Kenapa harus dia yang selalu lebih baik di mata semua orang?” bisiknya lirih, suara tertahan di kerongkongan.Tangannya meraba perutnya sendiri, seolah masih mengingat masa-masa ketika ia sendirian membawa janin Althafariz di dalam kandungan, ditolak keluarga, diusir tanpa belas kasihan. Kenangan itu seperti belati yang menusuk kembali. Kini, saat Kamelia berdiri anggun dengan undangan pernikahan, luka itu makin terasa dalam.Sementara itu, di meja utama, Altar menahan diri. Tatapannya tetap tenang menatap Kamelia, meski di dalam dadanya amarah dan rasa bersalah bergejolak. Ia tahu Gianina sedang terluka, tapi ia juga sadar: ini bukan waktunya untuk gegabah. Kamelia jelas sedang mema