Share

Pertemuan

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-07-25 16:02:14

Air mata menggenang di pelupuk mata Gianina. Bahunya bergetar, hatinya porak-poranda. Tapi ia berusaha menguatkan suaranya.

“Lalu kenapa kau di sini? Mau apa, Altar? Mau menebus dosa? Semudah itu?”

Altar menunduk sebentar, sebelum kembali menatap Gianina dengan mata yang kini memerah.

“Aku di sini karena aku masih mencintaimu. Karena aku ingin menebus semua kesalahanku. Aku tahu, aku mungkin takkan pernah kau maafkan. Tapi setidaknya beri aku kesempatan bicara.”

Gianina memejamkan mata, air matanya jatuh satu per satu. Tangannya masih memegang gagang pintu—antara ingin menutup, atau membiarkannya terbuka.

Di belakang, terdengar suara langkah kaki kecil. Bocah itu muncul, matanya mengantuk, rambutnya sedikit berantakan.

“Ibu … siapa itu?”

Hati Altar seolah ditarik dan diremukkan. Matanya menatap anak itu—begitu dekat, hanya terpisah beberapa langkah.

'Tuhan, hanya sekali saja biarkan aku berbicara dengan mereka.'

Koridor itu terasa begitu sempit, udara seolah menolak mengalir. Gianina membuka matanya, menatap Altar dengan pandangan luka yang dalam.

“Altar, kalau aku biarkan kau bicara jangan kau lukai kami lagi.”

Suara Gianina serak, pelan, hampir seperti bisikan yang pecah oleh tangis.

Perlahan, sangat perlahan, Gianina membuka pintu lebih lebar. Mata Altar membasah. Ia melangkah masuk, menahan napas—karena ia tahu, kesempatan ini mungkin adalah yang terakhir.

Pintu itu terbuka perlahan. Derit engselnya seperti ratapan masa lalu yang enggan dilupakan. Mayor Altar berdiri kaku sejenak, seolah tak percaya bahwa Gianina benar-benar mengizinkannya masuk.

Langkah kakinya terasa berat saat menyentuh lantai apartemen yang hangat namun dingin dalam kesunyian. Cahaya lampu temaram dari ruang tamu membuat ruangan itu tampak seperti dunia lain—dunia yang selama ini tak ia miliki.

Anak lelaki itu berdiri tak jauh dari pintu, memandangi Altar dengan rasa penasaran yang berselimut gugup. Ia memegangi sisi piyamanya, matanya mengerjap-ngerjap mengusir kantuk.

“Siapa kamu?” tanyanya pelan.

Altar menunduk, tersenyum kaku. Suaranya tercekat.

“Aku, aku teman lama ibumu.”

Gianina menoleh cepat dengan tatapan tajam, penuh peringatan. Altar langsung mengangguk pelan—ia tahu, belum waktunya mengungkap kebenaran.

“Sayang, masuk ke kamar dulu, ya,” ucap Gianina lembut, membelai kepala anak itu. “Ibu mau bicara sebentar.”

Anak itu mengangguk kecil, lalu berjalan ke arah kamar, sesekali menoleh ke belakang. Pintu kamar tertutup perlahan, menyisakan keheningan yang menegangkan.

Altar berdiri di tengah ruangan, seperti orang asing yang tersesat di rumah kenangan. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan gemetar yang terus menyerang.

Gianina berjalan ke arah dapur kecil, mengambil segelas air, lalu kembali sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ia berdiri beberapa langkah dari Altar—jauh, tapi cukup dekat untuk saling menyakiti dengan kata-kata.

“Bicara sekarang, Altar. Tapi jangan beri aku harapan.”

Altar mengangguk, perlahan duduk di tepi sofa. Nafasnya berat, seperti baru saja menempuh medan perang yang jauh lebih menyakitkan dari medan manapun.

“Aku tahu aku tak punya hak. Tapi tolong dengarkan aku, walau hanya lima menit.”

Gianina diam. Wajahnya kosong, matanya sembap tapi tetap tajam.

“Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Gia,” ujar Altar dengan suara yang nyaris patah. “Tapi aku pengecut. Aku takut kehilangan karir, takut kehilangan citra, dan aku … aku biarkan kau pergi. Itu kesalahan terbesarku.”

Matanya memerah. Suaranya bergetar.

“Aku menyuruhmu menggugurkan anak kita dan aku hidup dengan rasa bersalah itu setiap hari. Tapi waktu berjalan dan aku coba mencarimu. Aku bersumpah, Gia. Aku coba—aku benar-benar coba. Tapi kau menghilang. Semua jejakmu lenyap.”

Gianina menghela napas panjang. Tangannya mencengkeram gelas hingga jemarinya memutih.

“Aku bersembunyi karena aku harus. Karena kalau aku tetap tinggal, aku akan mati. Bukan mati karena tak bisa makan, tapi mati karena dunia menuduhku wanita murahan, pembawa aib.”

Ia menatap Altar, matanya penuh luka.

“Dan ketika aku melahirkan anak itu aku bersumpah tak akan pernah membiarkan dia tahu betapa buruknya dunia ini. Betapa ayahnya membuangnya sebelum dia lahir.”

Altar menunduk. Matanya basah. Hatinya seperti dilindas kendaraan berat—terburai, hancur, tak bersisa.

“Tapi sekarang aku melihatnya dan aku tahu. Dia anak kita, kan?”

Gianina tak menjawab. Tapi air matanya mulai mengalir lagi.

“Dia anakku, Altar. Dan aku yang membesarkannya. Aku yang mendengar dia demam dan menangis tengah malam. Aku yang mengajarinya membaca, berjalan, bicara.”

Suaranya pecah.

“Kau tidak berhak mengakuinya sekarang hanya karena kau melihat kemiripan di wajahnya!”

Altar berdiri perlahan, berjalan mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya.

“Aku tidak ingin merebutnya. Aku hanya ingin jika ada ruang—sekecil apapun—biarkan aku jadi bagian dari hidupnya. Mungkin bukan sebagai ayah tapi sebagai seseorang yang peduli. Yang menyesal. Yang ingin memperbaiki semuanya.”

Gianina menatap Altar. Wajah itu wajah yang pernah ia cintai mati-matian, yang pernah ia benci sedalam neraka. Kini di hadapannya, memohon.

“Kau terlambat, Altar.”

Altar mengangguk. Senyum kecil, getir, tersungging di wajahnya.

“Aku tahu. Tapi meski terlambat. Aku tetap datang.”

Keheningan menggantung. Waktu terasa melambat. Hanya suara detak jam dinding dan napas mereka yang terdengar.

Pintu kamar terbuka perlahan.

Anak itu muncul lagi.

“Bu … aku nggak bisa tidur.”

Gianina buru-buru menyeka air matanya. Ia berjongkok, memeluk anak itu. Tapi anak itu menatap Altar dengan penasaran yang kini berubah menjadi rasa nyaman entah kenapa.

“Kamu siapa sebenarnya?”

Altar menatap Gianina. Ia ingin bicara. Tapi tak ingin melukai.

Gianina memegang bahu anak itu, menatapnya.

“Nak, ini teman lama Ibu. Namanya om Altar.”

Anak itu mengangguk. “Namanya keren.”

Altar tersenyum, hatinya mencubit.

Anak itu maju satu langkah, lalu berkata polos.

“Apa kamu mau main sepak bola sama aku besok sore? Soalnya aku nggak punya ayah untuk diajak main.”

Altar menatap Gianina. Air mata Gianina mengalir pelan, tapi ia tidak menghentikan anaknya.

“Kalau Ibumu mengizinkan … aku mau.”

Anak itu tersenyum lebar.

“Ibu?”

Tiba-tiba, suara DOR! menggema keras di lorong apartemen. Kaca vas bunga di meja dekat jendela pecah seketika, serpihannya beterbangan, menghantam lantai dan dinding. Gianina menjerit tertahan, sementara anaknya memeluk ibunya erat dengan tubuh gemetar.

Mayor Altar bereaksi cepat. Dalam sepersekian detik, ia langsung menarik Gianina dan putranya ke lantai, melindungi mereka di balik tubuhnya yang besar. Jantungnya berdetak liar, matanya menyisir sekeliling, mencari sumber serangan.

“Diam di sini! Jangan bergerak!” bisiknya cepat, tegas, sambil merapatkan tubuh mereka ke balik sofa.

Suara langkah kaki berlari di luar lorong terdengar samar, diikuti deretan suara sepatu menghantam ubin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Pertanyaan Wartawan

    Gianina terisak, menarik anaknya ke pojok ruangan. Entahlah pertemuan dengan Altar selalu mampu mengubah segalanya.Direnggut, dihancurkan, ditinggalkan lalu sekarang?“Tuhan apa yang kau bawa ke hidup kami, Altar?”Altar memandangi wanita itu—wanita yang ia sakiti, wanita yang ia cintai, wanita yang kini menggenggam hidupnya di ujung luka.“Aku bawa bahaya, iya. Tapi aku juga akan bawa kita keluar dari neraka ini.”“Aku tak akan lari lagi. Tidak sekarang. Tidak saat kalian ada di tanganku.”Terdengar suara langkah berat—sepatu bot menghantam lantai semen di depan pintu rumah tua itu. Altar berdiri tegak, tubuhnya menjadi tembok terakhir yang memisahkan Gianina dan putranya dari maut. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski hawa malam terasa dingin menusuk."Maaf, Gia, tapi ini adalah janjiku aku akan tetap melindungimu."Ia menengok sekali ke belakang—tatapan Gianina bertemu dengan tatapannya. Di mata wanita itu, ada ribuan rasa yang tak sempat terucap: marah, takut, kecewa, da

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Misi Penyelamatan

    Altar mengintip cepat dari sisi jendela, lalu meraih telepon genggamnya dan memencet tombol darurat.“Kode Merah. Serangan mendadak. Koordinat: Apartemen Grand Lestari, Unit 313. Kirim tim sekarang!” suaranya rendah namun tegas, penuh komando.Sementara itu, Gianina menunduk, tubuhnya bergetar. Ia memeluk anaknya lebih erat, menahan tangis, tak percaya ketenangan malam itu berubah menjadi mimpi buruk.“Kenapa ini terjadi, Altar?” bisiknya dengan suara gemetar.“Ssst—mereka bukan cuma mengincarku bisa jadi kalian juga jadi target.”Wajah Altar berubah kaku. Pikirannya langsung bekerja cepat. Ini bukan serangan acak. Ini terencana. Dan waktu mereka terbatas.Tiba-tiba, suara pintu didobrak dari bawah apartemen terdengar. Tangga darurat bergemuruh. Penyerang sedang naik—dan mereka tak punya banyak waktu.“Kita harus keluar dari sini,” gumam Altar. Ia meraih anak Gianina, lalu menatap wanita itu dalam-dalam. “Ikut aku. Percayakan keselamatan kalian padaku.”Gianina ragu sejenak, tapi mel

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Pertemuan

    Air mata menggenang di pelupuk mata Gianina. Bahunya bergetar, hatinya porak-poranda. Tapi ia berusaha menguatkan suaranya.“Lalu kenapa kau di sini? Mau apa, Altar? Mau menebus dosa? Semudah itu?”Altar menunduk sebentar, sebelum kembali menatap Gianina dengan mata yang kini memerah.“Aku di sini karena aku masih mencintaimu. Karena aku ingin menebus semua kesalahanku. Aku tahu, aku mungkin takkan pernah kau maafkan. Tapi setidaknya beri aku kesempatan bicara.”Gianina memejamkan mata, air matanya jatuh satu per satu. Tangannya masih memegang gagang pintu—antara ingin menutup, atau membiarkannya terbuka.Di belakang, terdengar suara langkah kaki kecil. Bocah itu muncul, matanya mengantuk, rambutnya sedikit berantakan.“Ibu … siapa itu?”Hati Altar seolah ditarik dan diremukkan. Matanya menatap anak itu—begitu dekat, hanya terpisah beberapa langkah. 'Tuhan, hanya sekali saja biarkan aku berbicara dengan mereka.'Koridor itu terasa begitu sempit, udara seolah menolak mengalir. Gianina

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Menemukan

    Mayor Altar Wijaya Rafendra kini tak lagi hanya berdiri di sisi panggung kekuasaan. Ia bertugas di Kementerian Sekretariat Negara, menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam Kabinet Merdeka. Jabatan baru itu membuatnya tak lagi menjadi ajudan presiden—melainkan sosok penting yang mengatur dan memastikan kelancaran setiap detik acara kenegaraan.Hari ini, tugasnya begitu krusial. Presiden akan menyampaikan pidato penting di hadapan para pejabat tinggi, media nasional, dan tamu undangan kehormatan. Tak boleh ada kesalahan. Segalanya harus berjalan sempurna.Di balik wajahnya yang tenang dan bahu yang tegak, hati Altar bergemuruh. Pikirannya masih terbelah oleh bayangan Gianina—dan terutama oleh tatapan polos anak lelaki yang begitu mirip dengannya. Luka lama yang baru saja terkoyak kembali terasa perih, menekan dadanya.'Fokus, Altar … Fokus! Ini bukan soal kau, ini soal negara.',Tangannya mengepal erat, menahan getaran halus yang muncul setiap kali kenangan itu menyusup. Ia menoleh sek

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Luka Lama

    Langkah-langkah tegap Mayor Altar mendadak terhenti. Napasnya tercekat, seolah paru-parunya menolak bekerja. Di tengah kerumunan aula yang ramai—penuh suara sepatu berderit, obrolan terbata, dan dentingan gelas—pandangan Altar terpaku pada sosok yang tak pernah sanggup ia kubur dari ingatannya. Gianina. Wanita itu berdiri memunggunginya, satu tangan melingkari bahu seorang anak lelaki. Dan saat bocah itu menoleh, napas Altar serasa terhenti. Wajahnya terlalu mirip. Terlalu seperti dirinya saat kecil. "Apakah benar itu dia?" Waktu seolah berhenti. Dada Altar bergemuruh, rasa bersalah menyesakkan lebih keras daripada dentuman meriam. Semua yang bertahun-tahun coba ia kubur: kenangan, dosa, dan penyesalan—meledak dalam sekejap, memenuhi dadanya hingga nyaris membuatnya limbung. Tatapan mereka bertemu. Mata Gianina keras, menyala oleh luka lama yang tak pernah sembuh. Sejenak, semua suara di aula lenyap. Hanya ada mereka dua orang yang dulu saling mencintai, kini berdiri di hadap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status