Gianina terisak, menarik anaknya ke pojok ruangan. Entahlah pertemuan dengan Altar selalu mampu mengubah segalanya.Direnggut, dihancurkan, ditinggalkan lalu sekarang?“Tuhan apa yang kau bawa ke hidup kami, Altar?”Altar memandangi wanita itu—wanita yang ia sakiti, wanita yang ia cintai, wanita yang kini menggenggam hidupnya di ujung luka.“Aku bawa bahaya, iya. Tapi aku juga akan bawa kita keluar dari neraka ini.”“Aku tak akan lari lagi. Tidak sekarang. Tidak saat kalian ada di tanganku.”Terdengar suara langkah berat—sepatu bot menghantam lantai semen di depan pintu rumah tua itu. Altar berdiri tegak, tubuhnya menjadi tembok terakhir yang memisahkan Gianina dan putranya dari maut. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski hawa malam terasa dingin menusuk."Maaf, Gia, tapi ini adalah janjiku aku akan tetap melindungimu."Ia menengok sekali ke belakang—tatapan Gianina bertemu dengan tatapannya. Di mata wanita itu, ada ribuan rasa yang tak sempat terucap: marah, takut, kecewa, da
Altar mengintip cepat dari sisi jendela, lalu meraih telepon genggamnya dan memencet tombol darurat.“Kode Merah. Serangan mendadak. Koordinat: Apartemen Grand Lestari, Unit 313. Kirim tim sekarang!” suaranya rendah namun tegas, penuh komando.Sementara itu, Gianina menunduk, tubuhnya bergetar. Ia memeluk anaknya lebih erat, menahan tangis, tak percaya ketenangan malam itu berubah menjadi mimpi buruk.“Kenapa ini terjadi, Altar?” bisiknya dengan suara gemetar.“Ssst—mereka bukan cuma mengincarku bisa jadi kalian juga jadi target.”Wajah Altar berubah kaku. Pikirannya langsung bekerja cepat. Ini bukan serangan acak. Ini terencana. Dan waktu mereka terbatas.Tiba-tiba, suara pintu didobrak dari bawah apartemen terdengar. Tangga darurat bergemuruh. Penyerang sedang naik—dan mereka tak punya banyak waktu.“Kita harus keluar dari sini,” gumam Altar. Ia meraih anak Gianina, lalu menatap wanita itu dalam-dalam. “Ikut aku. Percayakan keselamatan kalian padaku.”Gianina ragu sejenak, tapi mel
Air mata menggenang di pelupuk mata Gianina. Bahunya bergetar, hatinya porak-poranda. Tapi ia berusaha menguatkan suaranya.“Lalu kenapa kau di sini? Mau apa, Altar? Mau menebus dosa? Semudah itu?”Altar menunduk sebentar, sebelum kembali menatap Gianina dengan mata yang kini memerah.“Aku di sini karena aku masih mencintaimu. Karena aku ingin menebus semua kesalahanku. Aku tahu, aku mungkin takkan pernah kau maafkan. Tapi setidaknya beri aku kesempatan bicara.”Gianina memejamkan mata, air matanya jatuh satu per satu. Tangannya masih memegang gagang pintu—antara ingin menutup, atau membiarkannya terbuka.Di belakang, terdengar suara langkah kaki kecil. Bocah itu muncul, matanya mengantuk, rambutnya sedikit berantakan.“Ibu … siapa itu?”Hati Altar seolah ditarik dan diremukkan. Matanya menatap anak itu—begitu dekat, hanya terpisah beberapa langkah. 'Tuhan, hanya sekali saja biarkan aku berbicara dengan mereka.'Koridor itu terasa begitu sempit, udara seolah menolak mengalir. Gianina
Mayor Altar Wijaya Rafendra kini tak lagi hanya berdiri di sisi panggung kekuasaan. Ia bertugas di Kementerian Sekretariat Negara, menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam Kabinet Merdeka. Jabatan baru itu membuatnya tak lagi menjadi ajudan presiden—melainkan sosok penting yang mengatur dan memastikan kelancaran setiap detik acara kenegaraan.Hari ini, tugasnya begitu krusial. Presiden akan menyampaikan pidato penting di hadapan para pejabat tinggi, media nasional, dan tamu undangan kehormatan. Tak boleh ada kesalahan. Segalanya harus berjalan sempurna.Di balik wajahnya yang tenang dan bahu yang tegak, hati Altar bergemuruh. Pikirannya masih terbelah oleh bayangan Gianina—dan terutama oleh tatapan polos anak lelaki yang begitu mirip dengannya. Luka lama yang baru saja terkoyak kembali terasa perih, menekan dadanya.'Fokus, Altar … Fokus! Ini bukan soal kau, ini soal negara.',Tangannya mengepal erat, menahan getaran halus yang muncul setiap kali kenangan itu menyusup. Ia menoleh sek
Langkah-langkah tegap Mayor Altar mendadak terhenti. Napasnya tercekat, seolah paru-parunya menolak bekerja. Di tengah kerumunan aula yang ramai—penuh suara sepatu berderit, obrolan terbata, dan dentingan gelas—pandangan Altar terpaku pada sosok yang tak pernah sanggup ia kubur dari ingatannya. Gianina. Wanita itu berdiri memunggunginya, satu tangan melingkari bahu seorang anak lelaki. Dan saat bocah itu menoleh, napas Altar serasa terhenti. Wajahnya terlalu mirip. Terlalu seperti dirinya saat kecil. "Apakah benar itu dia?" Waktu seolah berhenti. Dada Altar bergemuruh, rasa bersalah menyesakkan lebih keras daripada dentuman meriam. Semua yang bertahun-tahun coba ia kubur: kenangan, dosa, dan penyesalan—meledak dalam sekejap, memenuhi dadanya hingga nyaris membuatnya limbung. Tatapan mereka bertemu. Mata Gianina keras, menyala oleh luka lama yang tak pernah sembuh. Sejenak, semua suara di aula lenyap. Hanya ada mereka dua orang yang dulu saling mencintai, kini berdiri di hadap