LOGINLampu portable yang ada di dalam tas Althafariz pun sedikit membantu menerangi ruangan yang sempit. Putranya juga segera memakai jaket tebal yang ternyata ada di dalam tasnya — untung saja Gia selalu rapi menyusun barang-barang anaknya.Jam sudah larut, udara semakin dingin. Altar melihat Gia yang masih duduk tegak, memandang gelap di luar pondok sederhana itu. "Kamu tidak bisa tidur, ya Gia?" tanyanya lembut, mendekat dan duduk di sampingnya.Gia mengangguk perlahan, matanya penuh ketakutan. "Aku takut ... ada ular atau hewan lain yang masuk." Dia melihat Fariz yang sudah tertidur nyenyak di tengah mereka, ditutupi dengan jaketnya. "Aku khawatir sesuatu menyentuh dia."Altar memegang tangannya dengan lembut. "Jangan khawatir. Aku sudah memeriksa seluruh pondok, dan aku akan berjaga semalaman. Tidak akan ada yang menyentuh kalian berdua." "Kamu tau nggak, pas lagi jadi tentara, aku pernah bertemu ular besar di hutan. Tapi aku tahu cara menghindarinya — cukup jaga jarak dan jangan gan
Ia tidak bisa gegabah, takut jika mereka adalah sindikat berbahaya.Dirinya mengikuti arah CCTV yang menunjukkan mobil CRV hitam itu. Jalan semakin sempit dan terjal, menuju kawasan hutan yang jarang dilalui. Udara menjadi sejuk dan penuh bau dedaunan basah. Saat ia hampir mencapai mobil itu yang berdiri di pinggir hutan, tiba-tiba BOOOM! — mobil itu meledak dengan ledakan besar yang menyemprotkan api dan puing ke segala arah.Kekerasan ledakan itu memukul badannya, membuatnya terpental ke belakang dan jatuh ke lorong tebing yang dalam. Tubuhnya bergeser di permukaan batu kasar, menabrak bebatuan satu per satu sampai akhirnya mendarat di tanah datar di bawah. Saat ia mencoba bangkit, tangannya kiri tertusuk oleh sebatang kayu yang tajam yang bersarang di antara batu. Darah memancar keluar, tapi ia tidak mempedulikan rasa sakit yang menyengat. Hanya satu hal yang ada di benaknya: anak dan istrinya.Dengan tangan yang berdarah ia menopang dirinya berdiri, melangkah dengan langkah yang g
Gianina tersenyum, ia mengantarkan Sang putra ke sekolah. Altar memang sudah jauh lebih dulu berangkat ke istana negara karena banyak sekali persoalan pemerintah yang perlu dirinya selesai.Hari ini dirinya akan menemui Tuan Wibowo. Jika ada pemilihan orang paling bijak, tentu saja Altarlah yang akan menjadi juaranya. Lelaki itu menasehatinya tentang kedua orang tua dan juga keluarganya.Bagaimanapun juga kesalahan seperti apa yang telah mereka perbuat, tetap saja darah Tuan Wibowo mengalir juga di dalam tubuhnya.Altar juga telah mengatur janji antara anak dan ayah itu.Gianina terlihat gelisah, dirinya bolak-balik mengetukkan jari di meja. Dulu dirinya sangat ingin disayangi dan juga dicintai oleh sang ayah, tapi karena rasa sayangnya dan rasa cintanya itu justru ia harus terpukul ke dalam jurang cemburu bahkan rasa sakit hati yang mendalam. "Gia."Suara serak, khas sang ayah. Membuat hati dari Gianina, terenyuh. Sebelum menoleh ia memejamkan mata sebentar lalu menghembuskan napas.
Setelah urusan di rumah selesai, Altar bersiap berangkat menuju Istana Kepresidenan. Seragamnya rapi, wajahnya serius, meski dalam hatinya masih teringat pada Gia dan Fariz.Namun sebelum mobil dinasnya melaju, ia mendapat laporan langsung dari pihak TNI Angkatan Darat. Informasi itu membuat langkahnya terhenti sejenak.“Komandan, izin melapor. Gunawan resmi diturunkan dari pangkat perwira ke tingkat paling rendah. Semua hak dan fasilitasnya dicabut. Keputusan ini mutlak setelah audit militer menemukan banyak pelanggaran serius,” ujar seorang prajurit dengan nada tegas.Altar mengangguk singkat. Akhirnya roda keadilan itu bergerak juga, pikirnya.Tak berhenti di situ, kabar lain pun datang.“Kemudian, Kamelia Yasmin Wibowo sedang diburu oleh media. Kasus prostitusi yang menyeret namanya kini ramai di kalangan pejabat. Bahkan beberapa tokoh yang pernah memiliki hubungan dengannya sedang diincar aparat dan wartawan.”Altar terdiam, matanya menajam. Ia tahu cepat atau lambat, kebenaran a
Gianina menutup pintu itu dengan perasaan campur aduk. Matanya panas, dadanya sesak. Ada kerinduan yang berteriak di dalam dirinya, tapi luka yang ditorehkan keluarganya masih terlalu dalam. Rasanya seperti berperang dengan hatinya sendiri—antara rindu dan sakit yang tak kunjung sembuh.Di ruang belajar, Althafariz tetap fokus menyalin catatan, sama sekali tak menyadari pergolakan hati ibunya. Suara pensil yang beradu dengan kertas menjadi satu-satunya bunyi yang menenangkan di tengah kekacauan batin Gianina.Malam semakin larut ketika Altar baru saja pulang bekerja. Wajahnya terlihat letih, seragamnya masih melekat di tubuh. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Bu Rusmala masih duduk di ruang tamu, mata bengkak karena menangis.Tanpa sungkan, Bu Rusmala langsung berjongkok di hadapan Altar, menatapnya dengan penuh harap. Suaranya bergetar, pecah oleh tangis yang tertahan.“Altar izinkan Ibu menginap di sini malam ini. Aku … aku benar-benar merindukan anakku.” Matanya menoleh seki
Bu Rusmala masih terguncang. Ia tidak menyangka, suami yang selama ini ia hormati dan percayai ternyata menyimpan rahasia kelam. Kaisar pun terpukul-selama ini ia membela Kamelia dengan sepenuh hati, bahkan memusuhi Gianina, namun kenyataannya justru ia dibutakan oleh kebohongan.Pak Wibowo terdiam pucat. Wajahnya penuh penyesalan dan rasa malu yang dalam. Sementara itu, Gianina hanya menunduk. Air matanya jatuh, bukan karena bahagia, melainkan karena luka lamanya kembali terbuka."Maaf, Tuan Wibowo," ucap Altar tenang namun tegas. "Saya tidak bermaksud lancang membuka aib keluarga Anda. Tapi Anda sendiri yang selama ini keras kepala, menutup telinga dari kebenaran, hingga Gianina harus menanggung semua penderitaan. Maka, biarlah malam ini semuanya terbongkar."Altar menggenggam tangan Gianina dengan penuh kelembutan, seolah berkata bahwa kini ia tidak lagi sendirian. Dengan langkah pasti, Altar mengajak Gianina dan Althafariz meninggalkan gedung mewah itu. Bu Widya serta Alenta menyu







