Home / Romansa / Cinta Pertama Pak Mayor / Pertanyaan Wartawan

Share

Pertanyaan Wartawan

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-07-25 17:05:48

Gianina terisak, menarik anaknya ke pojok ruangan. Entahlah pertemuan dengan Altar selalu mampu mengubah segalanya.

Direnggut, dihancurkan, ditinggalkan lalu sekarang?

“Tuhan apa yang kau bawa ke hidup kami, Altar?”

Altar memandangi wanita itu—wanita yang ia sakiti, wanita yang ia cintai, wanita yang kini menggenggam hidupnya di ujung luka.

“Aku bawa bahaya, iya. Tapi aku juga akan bawa kita keluar dari neraka ini.”

“Aku tak akan lari lagi. Tidak sekarang. Tidak saat kalian ada di tanganku.”

Terdengar suara langkah berat—sepatu bot menghantam lantai semen di depan pintu rumah tua itu. Altar berdiri tegak, tubuhnya menjadi tembok terakhir yang memisahkan Gianina dan putranya dari maut. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski hawa malam terasa dingin menusuk.

"Maaf, Gia, tapi ini adalah janjiku aku akan tetap melindungimu."

Ia menengok sekali ke belakang—tatapan Gianina bertemu dengan tatapannya. Di mata wanita itu, ada ribuan rasa yang tak sempat terucap: marah, takut, kecewa, dan cinta yang masih mengendap di antara reruntuhan luka.

“Pegang tangan anakmu, Gia. Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan. Aku akan hadang mereka.”

“Altar, jangan—!”

“Tolong, aku mohon lindungi dia. Untukku. Untuk kita.”

BRAK!

Pintu terhempas. Bayangan pria bersenjata menyelinap masuk, bergerak cepat seperti bayangan kegelapan yang membawa maut.

Altar bergerak lebih cepat—ia menyergap satu dari mereka, merebut senjatanya dan menjatuhkannya ke lantai. Satu tembakan dilepaskan, memecahkan kaca jendela dan membuat Gianina menjerit.

Tapi dalam kekacauan itu—DOR!

Satu peluru menembus bahu kiri Altar.

Tubuhnya terhuyung, darah langsung menyembur membasahi seragam yang ia kenakan. Ia mundur, menahan luka, tapi masih berdiri. Matanya merah, wajahnya tegang menahan sakit yang mengiris hingga ke tulang.

“Altar!!” jerit Gianina, berdiri setengah bangkit.

“Tetap di tempatmu!” teriak Altar, matanya tetap mengawasi musuh.

Dengan satu tangan yang masih kuat, Altar melempar meja kayu ke arah penyerang kedua, membuatnya tersandung. Ia melompat, menghantamkan tubuhnya ke pria itu, lalu merebut kembali senjatanya.

Darah menetes deras dari lukanya, tapi Altar bertahan.

“Kalian nggak akan menyentuh mereka. Selama aku masih berdiri, kalian nggak akan pernah lewat dari sini!”

Suara tembakan kembali meletus—DOR! DOR!—mengenai dinding belakang. Gianina berteriak, memeluk Fariz yang gemetaran.

“Om Altar berdarah, Bu. Dia berdarah.”

“Jangan lihat, Sayang. Jangan lihat .…” suara Gianina parau, air matanya tak berhenti jatuh.

Altar akhirnya berhasil menjatuhkan kedua penyerang—satu pingsan, satu lainnya menyerah dengan tangan gemetar. Tapi tubuhnya limbung. Lututnya nyaris goyah. Napasnya berat dan tak beraturan.

Dengan tangan berlumur darah, ia berjalan ke arah Gianina dan Fariz, terhuyung namun penuh tekad.

“Aku bilang aku akan lindungi kalian dan aku akan buktikan itu meski harus mati.”

Gianina memeluk tubuhnya yang berdarah. Ia tak peduli lagi pada kemarahan, dendam, atau masa lalu. Di hadapannya hanya ada pria yang terlambat datang, tapi tidak terlambat untuk menyelamatkan.

Bagaimana pun juga Altar adalah ayah dari putranya. Orang yang paling ia cintai.

“Kau bodoh, kau gila,” bisik Gianina, air matanya jatuh ke bahu Altar.

“Tapi Tuhan, aku tidak ingin kehilangan kau lagi.”

Tangisannya benar-benar pecah seketika itu juga.

Altar tersenyum lemah. Darah menetes dari bibirnya, tapi matanya penuh damai. Ia menyentuh kepala Fariz dengan tangan bergetar.

Tak menyangka janin yang ia minta gugurkan, kini tumbuh seperti duplikatnya.

“Kamu punya ibu paling hebat dan mulai hari ini ayahmu juga takkan pernah pergi lagi.”

Darah pun sudah membanjiri kemana-mana.

Sirine terdengar di kejauhan. Pasukan bantuan akhirnya datang. Tapi dunia Altar mulai mengabur. Suara Gianina dan Fariz terdengar seperti gema dari lorong panjang yang gelap.

“Altar! Tolong bertahan! Tolong jangan tinggalkan kami lagi!”

“Aku, aku di sini, Gia. Aku pulang…”

Tubuhnya jatuh perlahan ke pelukan Gianina, darah membasahi baju wanita itu. Malam membeku. Waktu seperti berhenti.

Tapi jantungnya masih berdetak.

Malam akhirnya pecah oleh gemuruh sirine yang melolong panjang. Di tengah jalan berkerikil, sebuah mobil tua yang disulap menjadi kendaraan darurat melaju kencang menuju rumah sakit. Di dalamnya, Gianina menggenggam tangan Altar yang penuh darah. Wajah pria itu pucat, tapi matanya tetap terbuka, menatapnya seakan tak ingin kehilangan sedetik pun.

“Kau akan selamat. Kau harus selamat, Altar,” bisik Gianina sambil menyeka darah dari wajahnya.

“Fariz anak kita. Dia butuh kau, aku juga.”

Altar tersenyum samar meski tubuhnya mulai dingin. Benar jika anak lelaki itu adalah darah dagingnya.

“Aku sudah pernah mati, Gia. Tapi malam ini aku merasa hidup lagi karena kau.”

Tangannya perlahan melemah, dan Gianina panik.

“JANGAN TIDUR! AL-TAR! Dengar aku! Jangan tidur!”

“Aku tak pernah ingin pergi lagi,” gumamnya lirih, lalu matanya tertutup pelan.

Sesaat kemudian, mobil itu berhenti di depan RS Abdi Negara. Pintu dibuka paksa, para perawat langsung menarik ranjang dorong, mengevakuasi tubuh Altar yang berlumuran darah.

“Luka tembak di bahu kiri, kemungkinan ada pendarahan dalam!”

“Cepat ke ruang bedah! Panggil dr. Satria!”

Gianina berlari di samping ranjang sambil menggenggam tangan Fariz yang menangis mungkin syok akan kejadian malam ini. Seluruh lorong rumah sakit menjadi hiruk-pikuk. Tapi belum sempat ia masuk ke dalam.

“FLASH! FLASH! FLASH!”

Kilatan cahaya kamera mendadak menyambar wajah mereka.

“Itu dia! Altar Wijaya Rafendra! Dia masih hidup!”

“Siapa wanita itu? Apakah dia istri rahasia Mayor Altar?”

“Dan anak itu? Apakah itu putra kandungnya?”

Wartawan mengepung. Seolah-olah jika Gianina adalah santapan pemberitaan yang begitu sangat hangat, tentu saja hal tersebut akan menjadi trending apalagi altar memang tidak pernah jauh dari yang namanya wartawan.

Seorang pria berkamera bahkan nyaris menyentuh wajah Fariz dengan lensanya. Gianina reflek memutar tubuhnya, memeluk anaknya erat, bahkan ia pun menutupi wajah putranya itu, jika sampai wartawan melihat wajah anaknya hal tersebut tentu saja akan sangat mudah diketahui. Matanya memerah—tak karena malu, tapi karena amarah yang lama dipendam.

“Tolong menjauh dari kami! Kami bukan tontonan!”

“Nona! Tolong jawab, apakah benar anak itu hasil hubungan tersembunyi dengan Mayor Altar?”

Para wartawan langsung saja mencerca habis Gianina dengan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan bahkan pertanyaan yang termasuk jebakan.

“Apakah Anda wanita yang disebut dalam laporan rahasia operasi Militer Selatan?”

"Saya tidak ada hubungan apa-apa!" Tapi tetap saja wartawan tidak ada yang percaya.

Setelah bercerai kisah cinta dari Altar selalu menjadi trending utama. Walaupun ia memang sudah lama menduda.

Satpam dan polisi rumah sakit akhirnya datang membubarkan kerumunan, tapi satu pertanyaan dari wartawan terakhir menggantung di udara, seperti peluru tak kasat mata yang menembus dada Gianina.

“Siapa sebenarnya Anda bagi Mayor Altar?”

Gianina terdiam. Kilatan kamera terus menyala. Matanya menatap lurus ke depan, ke ruang operasi tempat pria itu bertaruh nyawa demi dirinya dan anak mereka.

“Saya ....” suara Gianina nyaris tak terdengar.

“Saya adalah—”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Pertanyaan Wartawan

    Gianina terisak, menarik anaknya ke pojok ruangan. Entahlah pertemuan dengan Altar selalu mampu mengubah segalanya.Direnggut, dihancurkan, ditinggalkan lalu sekarang?“Tuhan apa yang kau bawa ke hidup kami, Altar?”Altar memandangi wanita itu—wanita yang ia sakiti, wanita yang ia cintai, wanita yang kini menggenggam hidupnya di ujung luka.“Aku bawa bahaya, iya. Tapi aku juga akan bawa kita keluar dari neraka ini.”“Aku tak akan lari lagi. Tidak sekarang. Tidak saat kalian ada di tanganku.”Terdengar suara langkah berat—sepatu bot menghantam lantai semen di depan pintu rumah tua itu. Altar berdiri tegak, tubuhnya menjadi tembok terakhir yang memisahkan Gianina dan putranya dari maut. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski hawa malam terasa dingin menusuk."Maaf, Gia, tapi ini adalah janjiku aku akan tetap melindungimu."Ia menengok sekali ke belakang—tatapan Gianina bertemu dengan tatapannya. Di mata wanita itu, ada ribuan rasa yang tak sempat terucap: marah, takut, kecewa, da

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Misi Penyelamatan

    Altar mengintip cepat dari sisi jendela, lalu meraih telepon genggamnya dan memencet tombol darurat.“Kode Merah. Serangan mendadak. Koordinat: Apartemen Grand Lestari, Unit 313. Kirim tim sekarang!” suaranya rendah namun tegas, penuh komando.Sementara itu, Gianina menunduk, tubuhnya bergetar. Ia memeluk anaknya lebih erat, menahan tangis, tak percaya ketenangan malam itu berubah menjadi mimpi buruk.“Kenapa ini terjadi, Altar?” bisiknya dengan suara gemetar.“Ssst—mereka bukan cuma mengincarku bisa jadi kalian juga jadi target.”Wajah Altar berubah kaku. Pikirannya langsung bekerja cepat. Ini bukan serangan acak. Ini terencana. Dan waktu mereka terbatas.Tiba-tiba, suara pintu didobrak dari bawah apartemen terdengar. Tangga darurat bergemuruh. Penyerang sedang naik—dan mereka tak punya banyak waktu.“Kita harus keluar dari sini,” gumam Altar. Ia meraih anak Gianina, lalu menatap wanita itu dalam-dalam. “Ikut aku. Percayakan keselamatan kalian padaku.”Gianina ragu sejenak, tapi mel

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Pertemuan

    Air mata menggenang di pelupuk mata Gianina. Bahunya bergetar, hatinya porak-poranda. Tapi ia berusaha menguatkan suaranya.“Lalu kenapa kau di sini? Mau apa, Altar? Mau menebus dosa? Semudah itu?”Altar menunduk sebentar, sebelum kembali menatap Gianina dengan mata yang kini memerah.“Aku di sini karena aku masih mencintaimu. Karena aku ingin menebus semua kesalahanku. Aku tahu, aku mungkin takkan pernah kau maafkan. Tapi setidaknya beri aku kesempatan bicara.”Gianina memejamkan mata, air matanya jatuh satu per satu. Tangannya masih memegang gagang pintu—antara ingin menutup, atau membiarkannya terbuka.Di belakang, terdengar suara langkah kaki kecil. Bocah itu muncul, matanya mengantuk, rambutnya sedikit berantakan.“Ibu … siapa itu?”Hati Altar seolah ditarik dan diremukkan. Matanya menatap anak itu—begitu dekat, hanya terpisah beberapa langkah. 'Tuhan, hanya sekali saja biarkan aku berbicara dengan mereka.'Koridor itu terasa begitu sempit, udara seolah menolak mengalir. Gianina

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Menemukan

    Mayor Altar Wijaya Rafendra kini tak lagi hanya berdiri di sisi panggung kekuasaan. Ia bertugas di Kementerian Sekretariat Negara, menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam Kabinet Merdeka. Jabatan baru itu membuatnya tak lagi menjadi ajudan presiden—melainkan sosok penting yang mengatur dan memastikan kelancaran setiap detik acara kenegaraan.Hari ini, tugasnya begitu krusial. Presiden akan menyampaikan pidato penting di hadapan para pejabat tinggi, media nasional, dan tamu undangan kehormatan. Tak boleh ada kesalahan. Segalanya harus berjalan sempurna.Di balik wajahnya yang tenang dan bahu yang tegak, hati Altar bergemuruh. Pikirannya masih terbelah oleh bayangan Gianina—dan terutama oleh tatapan polos anak lelaki yang begitu mirip dengannya. Luka lama yang baru saja terkoyak kembali terasa perih, menekan dadanya.'Fokus, Altar … Fokus! Ini bukan soal kau, ini soal negara.',Tangannya mengepal erat, menahan getaran halus yang muncul setiap kali kenangan itu menyusup. Ia menoleh sek

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Luka Lama

    Langkah-langkah tegap Mayor Altar mendadak terhenti. Napasnya tercekat, seolah paru-parunya menolak bekerja. Di tengah kerumunan aula yang ramai—penuh suara sepatu berderit, obrolan terbata, dan dentingan gelas—pandangan Altar terpaku pada sosok yang tak pernah sanggup ia kubur dari ingatannya. Gianina. Wanita itu berdiri memunggunginya, satu tangan melingkari bahu seorang anak lelaki. Dan saat bocah itu menoleh, napas Altar serasa terhenti. Wajahnya terlalu mirip. Terlalu seperti dirinya saat kecil. "Apakah benar itu dia?" Waktu seolah berhenti. Dada Altar bergemuruh, rasa bersalah menyesakkan lebih keras daripada dentuman meriam. Semua yang bertahun-tahun coba ia kubur: kenangan, dosa, dan penyesalan—meledak dalam sekejap, memenuhi dadanya hingga nyaris membuatnya limbung. Tatapan mereka bertemu. Mata Gianina keras, menyala oleh luka lama yang tak pernah sembuh. Sejenak, semua suara di aula lenyap. Hanya ada mereka dua orang yang dulu saling mencintai, kini berdiri di hadap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status