Gianina terisak, menarik anaknya ke pojok ruangan. Entahlah pertemuan dengan Altar selalu mampu mengubah segalanya.
Direnggut, dihancurkan, ditinggalkan lalu sekarang? “Tuhan apa yang kau bawa ke hidup kami, Altar?” Altar memandangi wanita itu—wanita yang ia sakiti, wanita yang ia cintai, wanita yang kini menggenggam hidupnya di ujung luka. “Aku bawa bahaya, iya. Tapi aku juga akan bawa kita keluar dari neraka ini.” “Aku tak akan lari lagi. Tidak sekarang. Tidak saat kalian ada di tanganku.” Terdengar suara langkah berat—sepatu bot menghantam lantai semen di depan pintu rumah tua itu. Altar berdiri tegak, tubuhnya menjadi tembok terakhir yang memisahkan Gianina dan putranya dari maut. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski hawa malam terasa dingin menusuk. "Maaf, Gia, tapi ini adalah janjiku aku akan tetap melindungimu." Ia menengok sekali ke belakang—tatapan Gianina bertemu dengan tatapannya. Di mata wanita itu, ada ribuan rasa yang tak sempat terucap: marah, takut, kecewa, dan cinta yang masih mengendap di antara reruntuhan luka. “Pegang tangan anakmu, Gia. Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan. Aku akan hadang mereka.” “Altar, jangan—!” “Tolong, aku mohon lindungi dia. Untukku. Untuk kita.” BRAK! Pintu terhempas. Bayangan pria bersenjata menyelinap masuk, bergerak cepat seperti bayangan kegelapan yang membawa maut. Altar bergerak lebih cepat—ia menyergap satu dari mereka, merebut senjatanya dan menjatuhkannya ke lantai. Satu tembakan dilepaskan, memecahkan kaca jendela dan membuat Gianina menjerit. Tapi dalam kekacauan itu—DOR! Satu peluru menembus bahu kiri Altar. Tubuhnya terhuyung, darah langsung menyembur membasahi seragam yang ia kenakan. Ia mundur, menahan luka, tapi masih berdiri. Matanya merah, wajahnya tegang menahan sakit yang mengiris hingga ke tulang. “Altar!!” jerit Gianina, berdiri setengah bangkit. “Tetap di tempatmu!” teriak Altar, matanya tetap mengawasi musuh. Dengan satu tangan yang masih kuat, Altar melempar meja kayu ke arah penyerang kedua, membuatnya tersandung. Ia melompat, menghantamkan tubuhnya ke pria itu, lalu merebut kembali senjatanya. Darah menetes deras dari lukanya, tapi Altar bertahan. “Kalian nggak akan menyentuh mereka. Selama aku masih berdiri, kalian nggak akan pernah lewat dari sini!” Suara tembakan kembali meletus—DOR! DOR!—mengenai dinding belakang. Gianina berteriak, memeluk Fariz yang gemetaran. “Om Altar berdarah, Bu. Dia berdarah.” “Jangan lihat, Sayang. Jangan lihat .…” suara Gianina parau, air matanya tak berhenti jatuh. Altar akhirnya berhasil menjatuhkan kedua penyerang—satu pingsan, satu lainnya menyerah dengan tangan gemetar. Tapi tubuhnya limbung. Lututnya nyaris goyah. Napasnya berat dan tak beraturan. Dengan tangan berlumur darah, ia berjalan ke arah Gianina dan Fariz, terhuyung namun penuh tekad. “Aku bilang aku akan lindungi kalian dan aku akan buktikan itu meski harus mati.” Gianina memeluk tubuhnya yang berdarah. Ia tak peduli lagi pada kemarahan, dendam, atau masa lalu. Di hadapannya hanya ada pria yang terlambat datang, tapi tidak terlambat untuk menyelamatkan. Bagaimana pun juga Altar adalah ayah dari putranya. Orang yang paling ia cintai. “Kau bodoh, kau gila,” bisik Gianina, air matanya jatuh ke bahu Altar. “Tapi Tuhan, aku tidak ingin kehilangan kau lagi.” Tangisannya benar-benar pecah seketika itu juga. Altar tersenyum lemah. Darah menetes dari bibirnya, tapi matanya penuh damai. Ia menyentuh kepala Fariz dengan tangan bergetar. Tak menyangka janin yang ia minta gugurkan, kini tumbuh seperti duplikatnya. “Kamu punya ibu paling hebat dan mulai hari ini ayahmu juga takkan pernah pergi lagi.” Darah pun sudah membanjiri kemana-mana. Sirine terdengar di kejauhan. Pasukan bantuan akhirnya datang. Tapi dunia Altar mulai mengabur. Suara Gianina dan Fariz terdengar seperti gema dari lorong panjang yang gelap. “Altar! Tolong bertahan! Tolong jangan tinggalkan kami lagi!” “Aku, aku di sini, Gia. Aku pulang…” Tubuhnya jatuh perlahan ke pelukan Gianina, darah membasahi baju wanita itu. Malam membeku. Waktu seperti berhenti. Tapi jantungnya masih berdetak. Malam akhirnya pecah oleh gemuruh sirine yang melolong panjang. Di tengah jalan berkerikil, sebuah mobil tua yang disulap menjadi kendaraan darurat melaju kencang menuju rumah sakit. Di dalamnya, Gianina menggenggam tangan Altar yang penuh darah. Wajah pria itu pucat, tapi matanya tetap terbuka, menatapnya seakan tak ingin kehilangan sedetik pun. “Kau akan selamat. Kau harus selamat, Altar,” bisik Gianina sambil menyeka darah dari wajahnya. “Fariz anak kita. Dia butuh kau, aku juga.” Altar tersenyum samar meski tubuhnya mulai dingin. Benar jika anak lelaki itu adalah darah dagingnya. “Aku sudah pernah mati, Gia. Tapi malam ini aku merasa hidup lagi karena kau.” Tangannya perlahan melemah, dan Gianina panik. “JANGAN TIDUR! AL-TAR! Dengar aku! Jangan tidur!” “Aku tak pernah ingin pergi lagi,” gumamnya lirih, lalu matanya tertutup pelan. Sesaat kemudian, mobil itu berhenti di depan RS Abdi Negara. Pintu dibuka paksa, para perawat langsung menarik ranjang dorong, mengevakuasi tubuh Altar yang berlumuran darah. “Luka tembak di bahu kiri, kemungkinan ada pendarahan dalam!” “Cepat ke ruang bedah! Panggil dr. Satria!” Gianina berlari di samping ranjang sambil menggenggam tangan Fariz yang menangis mungkin syok akan kejadian malam ini. Seluruh lorong rumah sakit menjadi hiruk-pikuk. Tapi belum sempat ia masuk ke dalam. “FLASH! FLASH! FLASH!” Kilatan cahaya kamera mendadak menyambar wajah mereka. “Itu dia! Altar Wijaya Rafendra! Dia masih hidup!” “Siapa wanita itu? Apakah dia istri rahasia Mayor Altar?” “Dan anak itu? Apakah itu putra kandungnya?” Wartawan mengepung. Seolah-olah jika Gianina adalah santapan pemberitaan yang begitu sangat hangat, tentu saja hal tersebut akan menjadi trending apalagi altar memang tidak pernah jauh dari yang namanya wartawan. Seorang pria berkamera bahkan nyaris menyentuh wajah Fariz dengan lensanya. Gianina reflek memutar tubuhnya, memeluk anaknya erat, bahkan ia pun menutupi wajah putranya itu, jika sampai wartawan melihat wajah anaknya hal tersebut tentu saja akan sangat mudah diketahui. Matanya memerah—tak karena malu, tapi karena amarah yang lama dipendam. “Tolong menjauh dari kami! Kami bukan tontonan!” “Nona! Tolong jawab, apakah benar anak itu hasil hubungan tersembunyi dengan Mayor Altar?” Para wartawan langsung saja mencerca habis Gianina dengan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan bahkan pertanyaan yang termasuk jebakan. “Apakah Anda wanita yang disebut dalam laporan rahasia operasi Militer Selatan?” "Saya tidak ada hubungan apa-apa!" Tapi tetap saja wartawan tidak ada yang percaya. Setelah bercerai kisah cinta dari Altar selalu menjadi trending utama. Walaupun ia memang sudah lama menduda. Satpam dan polisi rumah sakit akhirnya datang membubarkan kerumunan, tapi satu pertanyaan dari wartawan terakhir menggantung di udara, seperti peluru tak kasat mata yang menembus dada Gianina. “Siapa sebenarnya Anda bagi Mayor Altar?” Gianina terdiam. Kilatan kamera terus menyala. Matanya menatap lurus ke depan, ke ruang operasi tempat pria itu bertaruh nyawa demi dirinya dan anak mereka. “Saya ....” suara Gianina nyaris tak terdengar. “Saya adalah—”Gianina menutup pintu itu dengan perasaan campur aduk. Matanya panas, dadanya sesak. Ada kerinduan yang berteriak di dalam dirinya, tapi luka yang ditorehkan keluarganya masih terlalu dalam. Rasanya seperti berperang dengan hatinya sendiri—antara rindu dan sakit yang tak kunjung sembuh.Di ruang belajar, Althafariz tetap fokus menyalin catatan, sama sekali tak menyadari pergolakan hati ibunya. Suara pensil yang beradu dengan kertas menjadi satu-satunya bunyi yang menenangkan di tengah kekacauan batin Gianina.Malam semakin larut ketika Altar baru saja pulang bekerja. Wajahnya terlihat letih, seragamnya masih melekat di tubuh. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Bu Rusmala masih duduk di ruang tamu, mata bengkak karena menangis.Tanpa sungkan, Bu Rusmala langsung berjongkok di hadapan Altar, menatapnya dengan penuh harap. Suaranya bergetar, pecah oleh tangis yang tertahan.“Altar izinkan Ibu menginap di sini malam ini. Aku … aku benar-benar merindukan anakku.” Matanya menoleh seki
Bu Rusmala masih terguncang. Ia tidak menyangka, suami yang selama ini ia hormati dan percayai ternyata menyimpan rahasia kelam. Kaisar pun terpukul-selama ini ia membela Kamelia dengan sepenuh hati, bahkan memusuhi Gianina, namun kenyataannya justru ia dibutakan oleh kebohongan.Pak Wibowo terdiam pucat. Wajahnya penuh penyesalan dan rasa malu yang dalam. Sementara itu, Gianina hanya menunduk. Air matanya jatuh, bukan karena bahagia, melainkan karena luka lamanya kembali terbuka."Maaf, Tuan Wibowo," ucap Altar tenang namun tegas. "Saya tidak bermaksud lancang membuka aib keluarga Anda. Tapi Anda sendiri yang selama ini keras kepala, menutup telinga dari kebenaran, hingga Gianina harus menanggung semua penderitaan. Maka, biarlah malam ini semuanya terbongkar."Altar menggenggam tangan Gianina dengan penuh kelembutan, seolah berkata bahwa kini ia tidak lagi sendirian. Dengan langkah pasti, Altar mengajak Gianina dan Althafariz meninggalkan gedung mewah itu. Bu Widya serta Alenta menyu
Hari itu adalah hari yang seharusnya penuh kebahagiaan—hari pernikahan Kamelia dengan perwira Gunawan. Istana megah sudah dipenuhi tamu undangan dari kalangan pejabat tinggi, perwira, hingga kerabat dekat. Namun di sisi lain, di rumah Altar, suasana justru berat dan penuh gejolak.Sejak pagi, Gianina duduk termenung di kursinya. Tatapannya kosong, seolah menolak semua ajakan. Altar sudah berulang kali mencoba membujuknya.“Gia kumohon. Hanya kali ini saja. Aku tahu hatimu sakit, tapi kau tidak sendirian. Aku ada di sampingmu.”Namun Gianina menggeleng pelan. Suaranya serak menahan emosi.“Mereka menghapusku, Al bahkan dari kartu keluarga. Mereka bilang aku tidak pantas lagi menampakkan wajahku di hadapan mereka. Bagaimana mungkin aku bisa melangkah ke sana seolah-olah semua baik-baik saja?”Altar meraih tangannya, menggenggam erat.“Justru karena itu kita harus datang. Biarkan mereka melihat siapa dirimu sebenarnya, dan siapa yang selama ini mereka buang. Mereka harus tahu.”Alenta ya
Kaisar akhirnya membuka mulut, suaranya datar namun penuh tuduhan.“Gianina, dia itu sangat boros. Kau tahu? Karena sifatnya itu, keluarga hampir jatuh miskin. Dia tak pernah puas, selalu ingin lebih, seolah-olah uang tidak ada artinya. Kau kira aku bisa diam saja melihat itu?”Altar terdiam. Hatinya bergejolak, tapi ia menahan diri. Sejak dulu, ia tahu betul siapa Gianina. Gadis itu bahkan terlalu sederhana—belanja hanya seperlunya, hidup apa adanya, dan selalu mendahulukan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Tuduhan Kaisar jelas tidak masuk akal. Ada sesuatu yang janggal. Apakah ini kesalahpahaman besar atau ulah seseorang yang sengaja merusak citra Gianina? Nama Kamelia sempat melintas di pikirannya, namun ia tidak ingin berspekulasi tanpa bukti.Dengan nada tegas, ia akhirnya bertanya,“Apakah kau melihat sendiri Gianina boros? Apakah kau melihat sendiri ia berfoya-foya sampai-sampai menghancurkan perusahaan keluarga? Atau hanya mendengar dari orang lain?”Pertanyaan itu membuat
Di dalam mobil, setelah keheningan hangat itu, tiba-tiba Gianina menoleh dengan tatapan setengah menyipit. Ada nada manja sekaligus getir di suaranya.“Altar .…”“Hm?” Altar menoleh sekilas, keningnya berkerut.“Banyak sekali perempuan yang mengidolakan kamu, ya? Pasti kamu senang banget dikelilingi banyak yang suka. Rasanya aku yang di sampingmu ini kalah saing.”Altar menahan senyum. Ia sudah hafal benar—Gianina memang gampang sekali cemburu. Sekilas ia teringat dulu, bagaimana Gianina bisa merajuk berjam-jam hanya karena seorang rekan perempuannya menyapa terlalu akrab.“Jadi kamu lagi cemburu?” Altar menggoda dengan nada tenang.“Cemburu apanya? Aku cuma bilang apa adanya.” Gianina pura-pura mengalihkan pandangan ke luar jendela, tapi pipinya bersemu merah.Altar menghela napas kecil, lalu mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Gianina. “Tapi kan, wanita yang aku cintai cuma kamu.”Gianina langsung menoleh, tatapannya tajam tapi suaranya bergetar. “Alah kalau cuma ngomong doang m
Gianina tak mampu lagi menahan sesak di dadanya. Senyum tipis yang ia paksakan di hadapan Kamelia akhirnya runtuh. Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit dari kursinya, melangkah cepat ke arah toilet.Di balik pintu yang terkunci, tubuhnya gemetar. Air matanya pecah begitu saja. “Kenapa aku selalu harus kalah? Kenapa harus dia yang selalu lebih baik di mata semua orang?” bisiknya lirih, suara tertahan di kerongkongan.Tangannya meraba perutnya sendiri, seolah masih mengingat masa-masa ketika ia sendirian membawa janin Althafariz di dalam kandungan, ditolak keluarga, diusir tanpa belas kasihan. Kenangan itu seperti belati yang menusuk kembali. Kini, saat Kamelia berdiri anggun dengan undangan pernikahan, luka itu makin terasa dalam.Sementara itu, di meja utama, Altar menahan diri. Tatapannya tetap tenang menatap Kamelia, meski di dalam dadanya amarah dan rasa bersalah bergejolak. Ia tahu Gianina sedang terluka, tapi ia juga sadar: ini bukan waktunya untuk gegabah. Kamelia jelas sedang mema