Share

6. Obrolan di kantor

    “Gak apa-apa, Bu. Nisa hanya kesal karena baca buku aja,” kilah Nisa pada ibunya beralasan.

    “Oh, ya sudah kalau memang kamu tidak kenapa-kenapa, ibu pikir kamu sedang marah sama orang,” sahut Ibu lagi, Nisa pun hanya nyengir lebar saja, agar tidak membuat ibunya curiga bahwa ia baru saja melakukan hal yang tak semestinya dilakukan dengan Dani.

    “Ya sudah kalau gitu kamu tidur, sana!” Ibunya menyuruh Nisa untuk masuk kembali ke kamarnya, dan Nisa pun hanya menganggukkan kepalanya juga.

    ***

[Gimana, Bu? Kapan kita bisa bertemu?] tanya seorang lelaki melalui pesan singkat pada Nisa, yang memang sudah satu bulan ini keduanya menjalin hubungan komunikasi jarak jauh.

Ya lebih tepatnya lelaki tersebut yang sepertinya memang tertarik kepada Nisa meski belum pernah saling bertemu secara langsung.

Nisa menghela nafasnya panjang ketika mendapati pesan seperti itu dari Roni, lelaki yang dikenalkan oleh Deden kepadanya, akan tetapi sepertinya Nisa sama sekali tidak tertarik ia hanya sebatas membalas pesan yang memang perlu untuk dibalas saja.

Sedangkan jika lelaki itu meminta untuk melakukan panggilan suara atau pun panggilan video, Nisa selalu menolaknya, wanita lugu itu selalu menunjukkan dengan jelas jika ia tidak suka kepada seseorang.

“Eh, nanti dulu, ya! Aku masih belum sempat, maaf.” Nisa mengirimkan balasan pesan kepada lelaki tersebut, alasan yang sudah sangat klasik sekali, akan tetapi selalu dapat diterima oleh Roni, yang memang setia menunggu.

[Oh, ya sudah kalau begitu. Aku akan terus menunggu Bu Nisa sampai kapan pun kok, karena aku setia, he he he.] balasnya lagi, akan tetapi Nisa sudah tidak lagi membalas isi pesan tersebut.

Meski sudah dijelaskan oleh Deden, bahwa temannya itu cukup matang usianya dan juga mapan dalam segi ekonomi, akan tetapi tetap saja Nisa tidak tertarik, entahlah! Saat ini hatinya hanya milik satu orang saja, yaitu Dani. 

Dani Susanto, seorang lelaki usia 32 tahun, PNS, akan tetapi sudah memiliki istri dan dua orang anak, Nisa sendiri tidak pernah menyangka bahwa ia akan jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada lelaki yang salah dan keliru.

Sebab memang di usia Nisa yang terlambat sekali untuk puber, tentu saja lebih mengedepankan cinta dari pada kemapanan seseorang, padahal tentu saja cinta bukanlah satu-satunya hal yang mendasar pada pernikahan.

“Awas, jangan ngelamun! Ayamku juga kemarin mati karena kebanyakan ngelamun. Ha ha ha.” Riri berkelakar yang diselingi dengan tawa setelah menggoda Nisa, sehingga wanita lugu itu kini hanya mengernyitkan dahinya saja dan bibir yang mengerucut.

“Isshh! Apaan sih?” Nisa menjawabnya dengan tangannya yang sudah melemparkan gulungan kertas kepada Riri, akan tetapi berhasil ditepis oleh wanita tersebut.

“Lagian, ya kamu ini kenapa sih ngelamun terus, padahal masih pagi, astaga! Kayak gak ada kerjaan aja!” Riri berseru dengan wajahnya yang penuh tanda tanya.

Nisa terdiam sejenak lagi, ia menatap kosong ke depan, memikirkan nasib cintanya yang sepertinya memang akan berakhir dengan kandas, karena Dani, lelaki yang ia cinta dan sudah berhasil merebut hatinya, sama sekali tidak punya nyali untuk meresmikan hubungannya.

“Masih mikirin si Mas?” Riri menebak, menatap Nisa, menunggu jawaban dari sahabatnya itu yang sebenarnya sudah ia tahu pula jawabannya.

“Apaan sih Mas, Mas aja yang sejak kemarin dibahas. Mas siapa sih?” sambung Wahyu yang kini nimbrung dan menghempaskan tubuhnya di sofa dekat Riri.

Sontak Nisa dan Riri kini menatap lelaki tersebut, lelaki yang bagi Nisa amat sangat menyebalkan akan tingkahnya yang konyol dan juga selengean.

“Bukan urusan kamu!” Riri menjawab dengan nada ketus karena memang hampir semua guru di sana sebal kepada Wahyu, dengan sikapnya yang masa bodoh dan terus menerus meninggalkan kewajibannya mengajar, maka menjadikan guru lain di sana ikut dongkol.

“Iya, urusin saja sana anak-anak! Kalau ngajar tuh di sana, di kelas aja! Jangan asal main tinggalin aja anak-anaknya, cuma ngasih tugas, udah gitu keluar! Kalau gitu doang sih, anak SMP juga bisa jadi guru!” Nisa bersungut-sungut.

Wanita polos itu bahkan kini habis-habisan memberikan komentar pedas kepada Wahyu, atas sikapnya yang memang abai terhadap tanggung jawabnya sendiri.   

Nisa sebenarnya wanita yang cukup lugu dan pendiam, akan tetapi ketika ia sudah kenal dekat dengan seseorang, tentu saja sifat naluriahnya sebagai wanita yang banyak omong akan keluar! Termasuk kepada Dani, yang sama sekali sudah tidak ada rahasia lagi.

Nisa mencurahkan semua isi hatinya kepada Dani, termasuk dengan masalahnya, akan tetapi selama tiga bulan ini, komunikasinya yang terjalin antara keduanya sangat minim.

Sebab Dani selalu saja meminta Nisa melayani nafsu bejadnya melalui sambungan video atau telephone. Dan mirisnya, Nisa yang memang sudah dibutakan oleh cinta, mau saja mengikuti kemauan lelaki tersebut.

Apa memang cinta selalu membuat orang, hilang akal sehatnya?

“Ha ha ha. Rasain tuh! Udah sana ke kelas lagi, anak-anak suka ribut kalau ditinggal gurunya ke luar,” timpal Riri yang kini ikut berkomentar pula atas ucapan Nisa.

“Santai aja sih, Bu! Lagian, ya mereka itu biar belajar mandiri, harus dibiasakan sejak SMP ditinggal, biar nanti pas di SMA mereka bisa belajar sendiri!” Wahyu beralasan dengan santainya seraya ia memainkan ponselnya.

Nisa menepuk dahinya pelan ketika mendengar jawaban dari Wahyu yang sama sekali tidak bijak dan lari dari tanggung jawab.

“Belajar mandiri bukan seperti itu konsepnya, Pak Wahyu! Kalau ninggalin anak di kelas ketika jam mengajar namanya TIDAK BERTANGGUNG JAWAB.” Nisa menegaskan, bahkan menitikberatkan pada kalimat ‘tanggung jawab.’

“Udahlah, Bu Nis! Santai aja sih! Yang penting aku akan tanggung jawab kalau Bu Nisa mau menikah dengan aku, he he he.” Dengan percaya diri Wahyu mengatakan demikian, padahal sudah jelas dan secara terang-terangan pula bahwa Nisa menolak.

Bahkan wanita lugu itu kini merasa jijik ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya Wahyu, tubuh Nisa bergidik.

 “Gak usah mimpi, kamu Pak Wahyu! Nisa itu seleranya bukan kamu yang suka ninggalin tanggung jawab. Ha ha ha.” Riri kembali beraksi lagi menimpali ucapannya Wahyu yang memang terdengan sedikit menyebalkan.

“Ya namanya juga nyareat, Bu! Siapa tahu dengan usaha keras aku ini, akhirnya Bu Nisa luluh juga, atau kalau memang nanti usaha kerasanya gagal, kan masih ada jalan pintas, he he he,” sambung Wahyu lagi yang masih saja percaya diri.

Nisa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja ketika ia mendengar kilahan dari Wahyu, sepertinya memang percakapannya itu dengan Wahyu harus segera dihentikan, sebab tidak akan ada habisnya.

Nisa melangkahkan kakinya, meninggalkan kantor itu menuju ke luar, entah mau ke mana.

“Eh, Bu! Mau ke mana? Aku belum selesai nih ngobrolnya!” Wahyu sedikit berteriak memanggil Nisa, akan tetapi tentu saja Nisa tidak menggubris lelaki itu sama sekali, ia hanya tetapo focus pada langkahnya di depan.

“Ha ha ha.” Riri pun ikut tertawa dengan wajah sebal Wahyu ketika ditinggal oleh Nisa begitu saja.

“Dih, jahat kamu malah mentertawakan aku!” Wahyu bersungut-sungut kepada Riri dengan wajah kesal yang saat ini malah terkekeh.

“BUUUUUU, PAKKKKK,” terdengar suara teriakan anak-anak yang kini sudah berhamburan ke luar, bahkan sudah melapor juga ke kantor kepada Riri dan Wahyu yang memang saat itu sedang di kantor.

“Eh, ada apa?” tanya Riri yang langsung saja terkesiap ketika mendengar teriakan dari muridnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status