[“Lho, kok kamu malah diam aja, Nis? Terus kok malah ditutup lagi sih bajunya? Padahal aku masih memandangi keindahan dua balon air itu, sayang, yang lebih besar dari milik istriku”] tanya Dani di ujung sana dengan memasang wajah kecewa kepada Nisa, dan tentunya sinar mata memelas.
“Duh, Mas, bukannya aku gak mau ngelakuin ini, tapi kan buat apa juga? Percuma! Gak ada kerjaan, kayak orang gila gak sih kita ngelakuin ini?” balas Nisa kepada Dani bersungut-sungut menganggap hal yang dilakukannya itu adalah hal gila. Akan tetapi sebaliknya, tentunya hal gila yang menurut Dani malah seperti mainan yang ia sukai saja, bisa melihat tubuh polos di balik pakaian yang selalu ditutup rapat oleh sang pemiliknya, bukankah yang tertutup itu selalu membuat penasaran? Wajah Dani semakin memelas, sorot matanya menggambarkan bahwa lelaki itu sedang terangsang untuk melakukan hubungan badan, entahlah apa yang sebenarnya ada di dalam benak lelaki tersebut, benak seorang guru yang seharusnya tidak layak melakukan hal demikian. Mungkin karena dia belum dapat jatah dari istrinya makanya menjadikan Nisa sebagai alat untuk memuaskan dirinya saja? Wajahnya memelas, penuh tuntutan kepada Nisa, seolah ia sudah tidak kuat lagi menahan gejolak hasratnya malam ini, terlebih tadi dada Nisa sudah terlihat, sehingga menjadikan lelaki itu semakin meninggi saja libidonya. Ahh, naluriah saja sebagai lelaki, siapa pula yang tidak tergoda dan terangsang jika melihat dua gundukan kenyal dan besar itu? terkadang melihat belahannya saja sudah terangsang, apalagi ketika melihatnya dengan utuh. [“Please, Nis! Kali ini saja, ya! Aku udah gak kuat nih, temanin aku, ya untuk mengeluarkannya,”] ucapnya lagi pada Nisa memelas. Nisa menggelengkan kepalanya lagi pertanda ia menolak permintaan Dani untuk memperlihatkan bagian sensitivenya, bahkan yang tadi sudah dibuka pun, ia tutup kembali. “Aku kangen sama Mas, pengin lihat wajah Mas aja, gak mau begituan!” Dani tidak menjawab, ia masih menatap Nisa dengan sorot mata memelas, penuh harapan agar permintaannya itu dilakukan oleh Nisa sesuai dengan apa yang biasanya mereka lakukan selama tiga bulan ini. “Udahlah, Mas! Lebih baik kita ngobrol masalah lain aja, ya. Kayak tadi sebelumnya, dan kayak dulu-dulu, gak usah bahas begituan lagi, aku gak suka!” Nisa masih menolak, mencari-cari alasan meski pada awalnya Nisa sudah nampak takluk kepada Dani.Tapi ternyata salah, kali ini Nisa masih mengulurnya, karena wanita lugu itu masih belum terima sepenuhnya jika ia dibuang begitu saja, lalu ketika ada maunya, didatangi lagi. Mungkin jika Dani tidak memblokir kontaknya, dan pergi begitu saja ketika Rika melabrak Nisa, tentu saja gadis polos itu akan melakukannya dengan senang hati, meski awalnya terpaksa juga.[“Iya, Nis, nanti setelah aku puas, kita bisa lanjutkan ngobrolnya lagi, ya. Kan kamu tahu sendiri kalau pacarmu ini punya libido yang tinggi, dan istriku tidak bisa mengimbanginya, hanya kamulah yang bisa mengimbanginya jika dilihat dari cara bagaimana posture tubuh kamu.”]Dani kembali merayu Nisa dengan jurus pamungkas yang lainnya, mengangkat hatinya dan membandingkan dirinya dengan istrinya, tentu saja itu akan membuatnya kembali luluh, Dani yakin akan hal itu, sebab memang naluriah wanita akan suka jika ia dipuji, terlebih ketika dibandingkan denan rifalnya.Dalam proses video call tersebut, biasanya memang Nisa memperlihatkan bagian tubuhnya kepada Dani, yang saat itu entah ia melakukan apa kepada alat kelelakiannya, yang jarang sekali diperlihatkan kepada Nisa, sebab Dani tahu bahwa Nisa enggan untuk melihatnya.Entahlah Nisa sendiri merasa takut dan jijik ketika mellihat alat vital Dani, bahkan ia akan mual dan muntah-muntah ketika lelaki itu dengan sengaja menggodanya, mengirimkan photo kejantanannya sendiri, jangankan melihat alat vital Dani, melihat punyanya sendiri pun dia akan mual dan muntah.Atau sesekali Nisa dibimbing oleh Dani untuk menyentuh bagian sensitivenya saja, atau melakukan sesuatu, akan tetapi tetapi Nisa tidak pernah benar-benar melakukannya karena Nisa selalu merasa ngeri dan takut jika bagian sensitivenya di bawah sana disentuh, sekali pun oleh tangannya sendiri.Dani sudah dikendalikan oleh hasratnya yang memang tinggi itu, akan tetapi dengan sikapnya yang tunduk kepada istri, maka ia hanya menjadikan Nisa sebagai bahan klimaksnya saja melalui video atau photo, tidak pernah punya nyali untuk melakukan hal tersebut.Dan Nisa yang memang sangat cinta kepada lelaki tesrebut, terkadang ia harus mengesampingkan akal sehatnya dan menuruti apa yang diinginkan lelaki tersebut.[“Please, Nis! Tolong aku, ya! Aku janji malam ini akan menemani kamu sampai tertidur, karena memang istriku juga tidak ada di rumah. Katanya kamu kangen sama aku, kan? Ayolah, Nis!”] Dani masih merayu Nisa, menjanjikan akan menemani Nisa sampai tertidur.Nisa memang senang sekali jika ia tidur ada yang menemani di ujung sana, seolah sedang dibacakan dongeng saja hingga terlelap.Nisa menghela nafasnya panjang, ia berpikir lagi dan menimbang-nimbang keinginan Dani, apa memang ia harus kembali menurutinya? Padahal dulu ketika masa PDKT satu tahun, Dani tak pernah meminta hal ini.Ia selalu menjadi pendengar setia bagi Nisa dan sering kali menemani dirinya sampai tertidur pulas, itulah yang membuat gadis polos itu menjadi nyaman kepada Dani, dan dari kenyamanan itulah timbul yang namanya cinta.Bukankan rasa nyaman itu lebih berbahaya dari pada cinta sendiri? begitu katanya, ah entahlah, saat ini Nisa sendiri tidak bisa membedakannya apa yang dirasakan Dani kepadanya, apa benar ia mencintainya? Atau memang benar dengan kata hatinya bahwa lelaki itu hanya sebatas mempermainkan dirinya saja?Nalar Nisa sendiri kini tidak bisa bekerja dengan normal karena sudah dibutakan oleh yang namanya cinta.“Baiklah kalau memang begitu, tapi janji, ya setelah ini kamu harus menemani aku, Mas.” Nisa meminta syarat juga kepada Dani, sehingga kini wajah yang tadi penuh rasa kecewa dan sedih, kini berubah menjadi cerah.Kini Nisa sungguh sudah melucuti semua pakaian yang menutupi tubuhnya itu, semuanya hingga polos, tak ada satu helai benang pun. Mata Dani pun kini mulai bersinar-sinar dengan expresinya yang memang seperti sedang menahan kenikmatan seraya tangannya di bawah sana tidak berhenti.[“Aku pengin lihat ke bawah, Nis,”] pintanya lagi semakin menjadi, Nisa terdiam sejenak, hingga akhirnya ia pun kini mengarahkan kamera ponselnya itu ke arah bawahnya, sesuai dengan yang diminta oleh kekasih gelapnya.[“Nis, coba sentuh dan masukan kedua jarimu ke sana, ya! Aku pengin lihat,”] pintanya lagi dengan suara yang sedikit sudah terengah-engah.“Duh, Mas! Kamu kamu tahu bahwa aku takut untuk melakukan apa pun pada alat vitalku, karena aku trauma dan ngeri sendiri ketika melihat khasus pembunuhan beberapa tahun lalu pada wanita muda yang mati karena dimasukkan gagang pacul dari alat vitalnya.”Nisa memberikan alasan dan memang alasan itu benar adanya, dan Dani pun sudah tahu akan hal tersebut, maka ia pun dapat memakluminya, hingga akhirnya kini terdengar bahwa nafas lelaki itu semakin menderu saja.Yaaa, Dani sudah mendapatkan pelepasannya, dan ketika ia hubungan video call pun terputus.“Ihh, dasar! Kebiasaan! Kalau udah puas dan enak aja, dimatiin begitu aja, kabur!” Nisa menggerutu ketika ia sadar bahwa hubungan video call itu dengan Dani sudah terputus.“Ada apa, Nisa? Teriak-teriak begitu!” terdengar suara tanya dari luar sana, yang tak lain adalah ibunya Nisa sendiri.Nisa tersentak ketika ibunya ternyata masih ada di ruang tamu, yang mana kamarnya berhadapan langsung dengan ruang tamu itu, ia khawatir jika apa yang tadi diucapkan dan dilakukannya itu dengan Dani diketahui oleh ibunya.“Nisa, Nis! Kamu kenapa?” tanya ibu lagi, kini wanita itu seraya mengetuk pintu kamar Nisa.“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul