Share

Bab 3

Author: Fazluna
Ravi sangat khawatir, buruan mendekati: “Chinta, kamu kenapa?”

Chinta muntah sampai pusing, sudah beberapa saat pun masih belum pulih.

Dia nggak ngerti.

Kenapa Ravi yang begitu mencintainya bisa selingkuh.

Apakah nggak takut ketahuan sama dia?

Atau Ravi ngerasa dia sudah sangat menutupi, bisa selamanya menyembunyikannya?

Angin malam menghembus, Chinta jadi lumayan sadar.

Ravi menanyainya: “Nggak papakan Chinta? Kalau tidak enak badan aku bawa ke rumah sakit.”

“Nggak perlu, mungkin tadi malam salah makan.”

“Kalau gitu, besok kamu ke perusahaan cari aku, kita makan bareng.”

Chinta senyum dingin.

Ke perusahaan lihat pertempuran kamu dan Nanda?

Chinta tiba-tiba mau isengin mereka.

“Ok, kalau gitu besok pagi aku ikut kamu ke perusahaan nemanin kamu kerja, baru makan bareng, malamnya pulang sama-sama.”

Ravi nggak sangka dia bisa setuju, mukanya jadi sedikit terpaksa: “Tapi belakangan ini kerjaku sibuk, mungkin tidak bisa temanin kamu terus.”

“Nggak papa, aku nunggu kamu di kantor.”

“...Baiklah.”

Sesampai di rumah, Ravi bilang mau bantuin Chinta siapin air hangat langsung ke kamar mandi, tetapi mengunci pintunya.

Chinta turun tangga, dan kembali duduk di mobil.

Setelah menyalakan mobil, layarnya langsung muncul obrolan terbaru.

Ravi Kaden: Ada perubahan, besok kita nggak bisa di kantor.

Kucing Kecil Ngemil: Ah, sedikit kecewa.

Ravi Kaden: Kucing genit jangan kecewa, abang bawa kamu ke atap gedung, makin menantang dan seru.

Kucing Kecil Ngemil: Hihihihi, abang paling hebat.

Saat Chinta balik ke kamar, Ravi keluar dari kamar mandi: “Chinta, air mandinya sudah disiapkan, pergi rendamlah.”

“Nggak perlu, aku mau istirahat.”

“Baiklah, kalau ngantuk tidurlah. Oh iya, kado yang kamu letak di atas meja boleh aku bukain sekarang?”

Chinta bilang: “Seminggu lagi baru kamu buka.”

“Kenapa harus tunggu seminggu? Aku mau sekarang lihat kado yang dipersiapkan Chintaku.”

“Karena......”

Karena seminggu lagi, akau akan pergi darimu selamanya.

“Karena seminggu lagi, kado ini baru bermakna.”

Ravi mencium keningnya: “Baik, dengar katamu.”

Esok paginya, handphone Ravi jam 6 sudah berbunyi.

Dia matiin lalu balikin badan peluk Chinta: “Biarin, tidur lagi sebentar.”

Tapi handphonenya terus-menerus berbunyi.

Ravi dengan jengkel mengkerutkan dahinya: “Belum waktu kerja, pagi-pagi sudah mendesak terus, suatu hari aku akan suruh kelompok eksekutif nggak berguna ini pergi.”

Dan matiin lagi.

Saat handphone berbunyi ke 3 kalinya, Ravi dengan emosi bangun, “Chinta kamu tidur lagi, aku nanyain masalah apa cari aku.”

Chinta iyain.

Berbalik badan, menghadapkan punggung ke dia.

Ravi mengambil handphonenya dan keluar dari kamar.

Nggak lama, sosoknya muncul di depan pintu lantai 1.

Luar berdiri seorang pengantar makan, kasih ke dia sekantong barang.

Ravi mengambilnya, tapi saat balik tangannya malah kosong.

Chinta menanyainya: “Masalah perusahaan sangat serius?”

Ravi menjawabnya: “Nggak terlalu, Chinta kamu jangan khawatir, istirahat dengan tenang, aku buatin sarapan.”

Nggak tahu karena merasa bersalah atau benaran khawatir dia salah makan, sarapan yang disiapin Ravi sangatlah mewah.

Susu, telur, roti, selai dan ada bubur gandum kesukaannya.

“Kedepannya kamu nggak boleh sembarangan makan lagi, aku bantu cariin mbak aja, tiap hari buatin makan.”

“Nggak perlu.”

“Dengar perkataan aku Chinta, kalau nggak aku nggak tenang saat kerja.”

“Ravi, bisa nggak aku tanyain sesuatu?”

“Tanya saja.”

Chinta meletakkan pisau dan garpu, dengan tenang bertanya: “Menurutmu benar nggak setelah 7 tahun nikah adalah fase atau momen terberat?”

Ravi langsung menunjukkan eskpresi sangat benci: “Itu hanyalah alasan para cowok untuk beralih cinta, aku berbeda, seumur hidup aku hanya mencintai Chintaku.”

“Seumur hidup hanya cinta aku?”

“Iya benar.”

“Kalau kamu suka cewek lain?”

“Kalau gitu aku akan disambar petir, mati dengan nggak tenang.”

Chinta senyum dengan sindir: “Sumpah yang begitu berat, kamu nggak takut benaran terjadi?”

“Yang aku ngomongin semuanya benar, untuk apa aku takutin?”

Chinta mengambil lagi pisau dan garpunya, mengoles selai ke rotinya.

Ravi bilang: “Chinta, kamu harus percaya sama aku.”

Chinta hanya bilang: “Makanlah.”

“Kamu masih nggak percaya aku? Apa harus aku kasih lihat hatiku baru kamu mau percaya?”

“Perusahaan masih ada yang menunggumu, jangan sampai telat.”

Ravi akhirnya merasa lega, duduk di depannya Chinta: “Biarin mereka tunggu, sekelompok orang nggak guna, aku akan pecat mereka.”

“Pecat dia, kamu tega?”

Yang dimaksud Chinta itu “dia” bukan “mereka”.

Chinta nggak tahu Ravi ngerti nggak maksudnya, cuman dengar dia menjawab: “Selain kamu, nggak ada yang aku nggak tega.”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Romantis Bagaikan Buih   Bab 21

    Harus diakui, penampilan Ravi di dalam video sangat mempengaruhi, walaupun orang luar negeri yang tidak mengerti bahasanya juga bisa merasakan keputusasaannya dari ekspresinya dan teks.“Tidak.” Chinta memeluk kucing kecil dengan matanya melihat ke bawah dan bilang, “Setiap orang itu individu mandiri, tidak ada yang harus bergantung pada siapa baru bisa hidup. Kalau dengan begini dia menyerah, itu juga hal yang nggak bisa di apa-apain, nggak mungkin mengorbankan orang lain untuk kebahagiaan dia.”Dia sudah nekad, walaupun Ravi berdiri di depannya menangis separah apapun, dia juga tidak akan balik.Lisa hanya senyum: “Baiklah, kamu dengan tenang tinggal di sini saja. Belakangan ini dalam hutan sering turun salju lebat, jalan menuju kota terdekat pada ditutup, walaupun ada orang yang mengira kalian orang yang sama, juga nggak ada kesempatan untuk hubungi mereka.”Hati Chinta kerasa hangat, dia mencoba mencicipi kue kering yang barusan dibuat, dengan mata merah berkata: “Makasih, kuenya s

  • Cinta Romantis Bagaikan Buih   Bab 20

    Rasionalitasnya sudah dihancurkan sama keputusasaannya, sampai orang tersebut menyebutkan alamat di dalam negeri dengan nggak jelas, Ravi baru dengan senyum pahit menutupkan teleponnya. Di dalam dugaan, orang tersebut membohonginya.Tapi Ravi tidak mempermasalahkannya, karena hatinya sudah capek.Sesudah hari itu, panggilan yang sama tiada henti meneleponnya terus.Pada bilang di tempat mana melihat Chinta, lalu meminta bayaran sama Ravi.Dia tahu di antara mereka banyak penipu, tetapi tetap mentransfernya hanya untuk menangkap harapan yang sangat kecil.Bayarannya seperti batu yang tenggelam di dalam laut, bahkan tidak ada gelombangnya.Tapi Ravi tidak memedulikannya, dia sekarang hanya bisa bertahan hidup dengan harapan kecil itu. Bahkan jika ada yang meminta untuk bertemu langsung, dia juga pergi menemuinya.Kondisi ini biasanya adalah wanita, semuanya pada berpenampilan sangat menggoda dan memiliki niat lain, dengan terus terang berkata: “Pak Ravi, aku masih punya banyak teman, kal

  • Cinta Romantis Bagaikan Buih   Bab 19

    Kualitas kertas yang di lantai sama dengan surat yang ditinggalkan Chinta. Ravi memindahkan buku yang tersisa di ruang baca ke kamar tidur dan menulisnya terus selama beberapa hari.Saat ini, kehilangan makna waktu.Ibu Ravi dengan menangis berkata: “Chinta tidak mau menemuimu, apa gunanya kamu menulis surat minta maaf serumah? Kamu harus bilang langsung ke dia.”Ravi merenungkannya dan mengakui yang dibilang ibunya itu benar, tapi dia sudah terjebak dalam pikirannya tidak bisa keluar. Dia mengangkat matanya yang sudah merah dan bersikeras berkata: “Dia akan tahu, asalkan aku menulisnya sampai habis dia akan maafin aku, iya benar, aku harus dengan sungguh-sungguh......”Suaranya serak, tapi terkesan begitu semangat, bahkan matanya terlihat sangat teguh sampai aneh. Ucapannya sampai setengah, tibaa-tiba dia berdiri dan merebut bukunya, terus menulis dengan tangannya yang gemetar, sambil menulis dan bicara tanpa henti.“Chinta, aku bersalah, kamu pasti akan maafin aku kan? Asal aku tulis

  • Cinta Romantis Bagaikan Buih   Bab 18

    Dia sangat gelisah, tapi visa dan tiket pesawat tidak bisa diselesaikan dengan cepat.Tunggu dia sampai di Norwegia, menghubungi kedutaan dan kantor polisi setempat untuk mencari keberadaan Chinta sudah 3 hari berlalu.Ravi mengetuk pintu apartemen, memanggil Chinta dan berusaha masuk, tapi dihalangin sama pemilik apartemen yang sedang membereskan kamar, dengan penuh waspada: “Kamu siapa?”“Aku mencari Chinta Luna.” Begitu selesai ngomong, takut orangnya nggak ngerti jelasin lagi, “Dia istriku, kami ada salah paham, jadi aku mau menjelaskannya.”Pemilik apartemen langsung melambaikan tangannya dan berkata: “Sini nggak ada orang yang kamu cariin.”“Namanya Chinta Luna.”Pemilik apartemen bilang: “Penyewaku namanya Cahya Arjuna, bukan orang yang kamu sebutin, kamu salah orang.”Cahya Arjuna?Ravi terdiam sejenak dan bingung.“Anda nggak salah ingat?”Pemilik apartemen tidak senang: “Kalau kamu nggak percaya ya sudah.”Sambil ngomong mau menutupin pintunya.Ravi tidak rela membiarkan petu

  • Cinta Romantis Bagaikan Buih   Bab 17

    Seorang tante yang nggak lama ini baru cerai dengan suaminya yang selingkuh, maju menghalangi jalannya dan memarahinya: “Kamu masih muda bisa kerja yang lain, kenapa mesti jadi pelakor merusak hubungan orang lain? Benaran, dasar pelakor!”Nanda melihat orang asing juga memarahinya, membalasnya dengan keras: “Tante, dengan mukamu gini mau jadi pelakor juga nggak bisa, bilang aku pelakor, apa jangan-jangan kamu di buang karena tidak bisa mendapatkan hati cowok?”“Dasar, itu juga lebih baik dari kamu telanjang gini dan dikeluarin!” Tante emosi sampai mau menariknya.Seketika situasi jadi sangat berantakan.Tante tinggal di sekitar sini, sangat cepat sudah memanggil sekelompok temannya untuk datang memarahi Nanda pelakor yang nggak tahu malu, dan orang yang melihat keributan ini juga menyuruh teman-temannya datang melihat, dengan cepat sudah dikerumunin banyak orang.Keributannya sampai di dalam villa pun kedengaran, tapi Ravi mengabaikannya dan fokus dalam dunia sendiri tidak mau keluar.

  • Cinta Romantis Bagaikan Buih   Bab 16

    “Kamu tidak ada hak untuk menilai Chinta, lagi pula kalau fotonya tersebar bukannya impianmu? Kamu fotoin aku dengan jelas, tapi kamu sendiri malah nggak masuk ke kamera, jangan kira aku nggak tahu, kamu dari awal sudah mau dengan cara ini memaksa Chinta untuk pergi kan?”Ravi sekarang sangat sadar, tapi sudah terlambat.Nanda masih ingin beralasan, tapi Ravi sudah sangat benci dengannya, tidak memberikan kesempatan langsung menelepon ke satpam villa dan memberi perintah: “Keluarkan orang yang seharusnya nggak di sini.”Satpam villa selalu siap dalam 24 jam, setelah menerima perintah langsung datang.Nanda tidak mau pergi dengan mereka, masih berusaha melawan: “Ravi, kamu yang suruh aku datang, sekarang kamu mau aku pergi, aku akan langsung pergi, tapi kamu tidak bisa memperlakukan aku seperti ini......”Ravi membalikkan badannya dan jalan menuju dalam rumah, bahkan tidak menoleh sedikitpun berkata: “Jangan sampai aku melihatmu lagi.”“Ravi......”Dengan begitulah Nanda diseret keluar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status