Malam turun lebih cepat dari biasanya. Langit desa itu tampak kelam, awan tebal menutupi bintang, dan angin dingin berhembus menusuk tulang. Dari luar rumah kayu sederhana itu, suara dedaunan bergesekan menambah kesan mencekam.
Nayara duduk di tepi ranjang kayu, tangannya menggenggam erat selimut tipis yang ia tarik sampai ke dada. Pandangannya kosong menatap lantai, sementara pikirannya berputar kacau. Kata-kata Arga sore tadi masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku bukan orang biasa. Aku seorang CEO. Dan aku berhutang budi pada keluargamu." Setiap mengingatnya, Nayara merasa dadanya sesak. Di satu sisi, ada rasa syukur karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, seseorang yang siap melindungi. Namun di sisi lain, ada perasaan asing yang sulit dijelaskan—seolah Arga menyimpan banyak rahasia lain yang belum terungkap. Suara langkah kaki pelan terdengar dari ruang depan. Nayara menoleh spontan, jantungnya berdetak lebih cepat. Namun ia segera mengenali suara itu—langkah tenang, berat, teratur. Itu Arga. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk tiga kali. Tok. Tok. Tok. “Nayara?” suara Arga terdengar datar, tapi hangat. “Boleh aku masuk sebentar?” Nayara menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “I-iyah… silakan.” Pintu berderit saat terbuka. Arga masuk dengan wajah tenang seperti biasa, tapi sorot matanya jelas menyimpan kegelisahan. Di tangannya ada sebuah nampan berisi semangkuk sup hangat dan segelas air putih. Aroma kaldu yang lembut langsung memenuhi ruangan, sedikit mengurangi ketegangan yang sejak tadi menggantung. “Kamu belum makan sejak sore,” katanya sambil meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang. “Makanlah dulu. Kau butuh tenaga.” Nayara menatap sup itu sebentar, lalu menoleh pada Arga. “Terima kasih… tapi… kamu sendiri? Kamu tidak makan?” Arga tersenyum tipis. “Aku sudah makan. Jangan khawatir.” Nayara ragu sejenak sebelum akhirnya menyentuh sendok. Uap panas masih mengepul, dan rasa hangat menyentuh lidahnya begitu suapan pertama masuk. Sup itu sederhana, hanya sayuran dan sedikit daging, tapi rasanya menenangkan, seakan ada ketulusan yang ikut larut di dalamnya. Di seberang, Arga hanya duduk diam, memperhatikan tanpa banyak bicara. Tatapannya tajam tapi bukan mengintimidasi—lebih seperti seseorang yang sedang menimbang sesuatu dalam diam. Keheningan itu akhirnya dipatahkan Nayara. “Arga…” suaranya pelan, hampir berbisik. “Kalau kamu benar CEO dari perusahaan besar… kenapa kamu bisa sampai punya tempat persembunyian seperti tadi siang? Ruangan bawah tanah itu… penuh berkas dan… senjata. Itu… bukan hal biasa.” Arga terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Karena aku tidak hanya punya satu wajah dalam hidupku.” Nayara mengernyit. “Maksudmu?” Arga menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi. “Di dunia bisnis, aku dikenal dingin dan kejam. Tapi di balik itu… aku terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar rapat direksi atau saham. Aku berurusan dengan orang-orang yang… tidak segan menghabisi nyawa demi uang dan kekuasaan.” Nayara tercekat. Sendok di tangannya nyaris terjatuh. “Jadi… tadi siang… orang-orang itu…” “Ya,” potong Arga cepat. “Mereka bukan penagih hutang biasa. Mereka adalah orang suruhan dari salah satu kelompok bisnis bayangan. Dan aku yakin, Nayara… ada kaitannya dengan kehancuran keluargamu.” Darah Nayara serasa berhenti mengalir. Tubuhnya gemetar. “Jadi… selama ini… orang tuaku… mungkin mereka—” Arga segera menyentuh tangannya, menenangkan. “Belum tentu. Kita belum tahu pasti. Tapi aku berjanji, aku akan mencari tahu.” Tatapan mata mereka bertemu. Untuk sesaat, Nayara merasakan kekuatan yang berbeda dari pria itu—dingin, misterius, tapi juga bisa membuatnya merasa aman. Namun sebelum keheningan itu sempat bertahan lama, suara keras dari luar rumah membuat Nayara tersentak. BRAK! Seperti sesuatu yang jatuh atau dilempar ke dinding. Arga langsung berdiri. Wajahnya berubah tegang. Ia memberi isyarat dengan jari di depan bibir, menyuruh Nayara diam. Langkahnya cepat, senyap, saat ia mengambil sesuatu dari balik lemari—sebuah senjata api kecil, kali ini bukan pistol besar, tapi revolver ringkas. Ia menyelipkannya di balik kaos. Nayara menahan napas, tubuhnya kaku. Ia ingin bertanya, tapi tidak berani. Arga berjalan pelan ke arah pintu depan. Ia membuka sedikit celah, mengintip ke luar. Gelap. Hanya cahaya bulan samar yang menerangi halaman rumah. Namun Arga tahu, ada sesuatu di luar sana. Nalurinya, yang sudah terlatih bertahun-tahun menghadapi bahaya, berteriak waspada. Kemudian, samar-samar, terdengar suara ranting patah. Krek. Diikuti dengan bayangan bergerak cepat di balik pepohonan. Arga langsung menutup pintu, wajahnya dingin. Ia berbalik ke arah Nayara. “Bereskan barang-barangmu. Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama.” Nayara membelalak. “S-sekarang? Tapi—” “Sekarang, Nayara. Atau kita tidak akan pernah sempat keluar.” Nada suaranya tegas, tanpa ruang bantahan. Nayara, meski masih gemetar, akhirnya menurut. Ia bergegas memasukkan barang seadanya ke dalam tas kecil—beberapa pakaian, dompet, dan foto lama orang tuanya yang selalu ia simpan. Sementara itu, Arga mematikan semua lampu rumah, lalu membuka pintu belakang yang langsung mengarah ke jalan setapak kecil menuju hutan. Udara malam menusuk kulit, dan suara serangga malam terdengar semakin keras. “Pegang tanganku,” kata Arga, cepat tapi tenang. Nayara ragu sejenak sebelum akhirnya menggenggam tangan Arga. Kehangatan tangannya sedikit menenangkan, meski jantung Nayara berdegup liar. Mereka melangkah cepat di jalan gelap itu, hanya diterangi cahaya bulan. Di belakang, rumah kayu itu tampak sunyi… sampai tiba-tiba terdengar suara kaca pecah dari arah ruang depan. BRANG! Nayara terlonjak, hampir menjerit, tapi genggaman Arga semakin kuat. “Jangan bersuara,” bisiknya tegas. Suara langkah kaki kasar terdengar memasuki rumah. Beberapa suara pria berbicara lirih namun jelas terdengar marah. “Mereka sudah kabur! Cari ke luar!” Nayara menahan napas, tubuhnya gemetar hebat. Arga menundukkan tubuh mereka di balik semak tinggi, menunggu dengan sabar. Dari balik dedaunan, mereka bisa melihat tiga pria berjas hitam keluar dari rumah, masing-masing membawa senjata. Sorot mata mereka tajam, menyapu gelap malam dengan penuh kecurigaan. Arga memiringkan tubuhnya, menempelkan bibirnya ke telinga Nayara, berbisik begitu dekat hingga Nayara bisa merasakan hembusan napasnya. “Mereka memburumu lebih cepat dari yang kukira. Mulai sekarang, Nayara… tidak ada jalan kembali.” Nayara menutup mata rapat-rapat, berusaha menahan air mata. Hatinya berteriak takut, tapi genggaman tangan Arga membuatnya tetap bertahan. Dan malam itu, di jalan setapak desa kecil, dimulailah pelarian panjang yang akan menyeret mereka berdua ke dalam pusaran rahasia gelap, pengkhianatan, dan kebenaran yang lebih berbahaya dari apa pun yang Nayara bayangkan. Arga menunggu sampai sinar senter terakhir menggesek pepohonan, lalu menggiring Nayara menembus ilalang. Mereka menuruni tanggul irigasi yang licin. Air mengalir dangkal, memantulkan bulan kusam di permukaan. Dingin menusuk mata kaki, tapi Arga tidak memperlambat langkah. “Lewat saluran air, jejak kita susah diendus,” bisiknya. Nayara menggigil. “Kakiku… beku.” Arga menahan diri untuk tidak menoleh. “Tahan. Dua menit lagi ada pos aman.” Suara jangkrik menyatu dengan derit bambu. Sekali-dua, dari jauh, terdengar gonggongan anjing dan bentakan pendek—para pengejar menyisir arah rumah kontrakan yang baru saja mereka tinggalkan. Arga mengulurkan tangan, menuntun Nayara melompat dari bibir saluran ke tanah datar. Di depan sana, gelap memadat di bawah rumpun bambu tua. Siluet bangunan kayu samar muncul—lumbung padi tua dengan atap seng berkarat. “Masuk situ,” ucap Arga. Pintu lumbung tidak terkunci. Begitu didorong, bau gabah lama dan debu tebal menyergap. Di sudut, ada tangga kayu sempit menuju loteng kecil. “Ke atas,” perintah Arga, naik lebih dulu untuk memastikan aman. Kayu berderit pelan, tapi masih menanggung bobot. Loteng itu tidak luas. Hanya selembar lantai papan, beberapa karung goni kosong, dan satu jendela kecil yang menghadap persawahan gelap. Arga menurunkan tasnya, lalu berjongkok memeriksa sela-sela papan. Ia mengaitkan benang pancing tipis pada paku karatan di ambang pintu bawah, mengikat ujungnya pada kaleng rombeng yang ia temukan—alarm darurat seadanya. “Kalau ada yang naik, kita dengar,” katanya singkat. Nayara mengangguk, napas masih memburu. Ia duduk bersandar pada karung goni. Sesaat, rasa sakit menusuk betisnya. “Auh!” Arga spontan menoleh. “Kenapa?” “Sepertinya… ada lintah!” Nayara mengangkat kaki panik. Di pergelangan, seekor lintah kecil menempel, menghitam di kulitnya. Arga bergeser mendekat. “Diam. Jangan ditarik paksa.” Ia mengeluarkan korek gas dari saku. Cahaya kecil menyala, Arga mendekatkannya sebentar ke lintah. Hewan itu terlepas, jatuh ke papan. “Ya Tuhan…” Nayara menutup wajah, malu sendiri. “Aku… benar-benar menyusahkan, ya?” Sudut bibir Arga terangkat nyaris tak terlihat. “Baru lintah satu. Skor malam ini: kamu 1, hutan 0.” Nayara memelototinya, tapi gagal menahan tawa kecil gugup. Tawa itu menggantung sebentar di udara, sebelum lenyap disapu dingin malam. Dari bawah, samar-samar suara langkah menginjak rumput. Arga merayap ke jendela kecil, mengintip. Dua sinar senter menari di halaman lumbung. Ada suara laki-laki berbisik cepat dalam bahasa campuran, tegas dan terlatih. “Di sini bau jejak baru,” kata satu suara. “Cek atas.” Senter menyorot daun pintu. Arga kembali ke Nayara, meletakkan telunjuk di bibir. Napas mereka ditahan. Di bawah, engsel pintu berderit. Kaleng jebakan bergetar… tidak jatuh—mereka masih di bawah. Debu di loteng melayang-layang. Tiba-tiba—haa…—Arga menarik napas tajam; debu menggelitik hidungnya. Ia menahan bersin mati-matian, wajahnya menegang. Mata Nayara membulat—Jangan sampai dia bersin! Refleks, ia merangkak maju dan menutup mulut Arga dengan tangan. Dalam gerak panik itu, tangannya meleset. Bibirmu—bibirmu bertemu. Waktu membeku sesaat. Mata Nayara dan Arga saling terpaku, terlalu dekat, terlalu sadar. Jantung Nayara meledak di telinga sendiri. Arga menahan diri untuk tidak bergerak, tidak mengeluarkan suara—bahaya hanya sejengkal di bawah. Kaleng di pintu tiba-tiba ting! pelan. Sinar senter merayap ke tangga. Nayara—masih setengah menempel di wajah Arga—menarik nafas mungil melalui hidung. Ia baru sadar apa yang barusan terjadi. Panas memercik di pipinya. Arga miring sedikit, melepaskan bibir, lalu berbisik nyaris tanpa suara, napasnya menyapu kulitnya, “Napas lewat hidung. Tenang.” Langkah pertama menjejak anak tangga. Krik. Kayu berderit. Sinar senter naik selapis demi selapis. Arga menggenggam pergelangan tangan Nayara, menuntunnya mundur ke bayang paling gelap. Ia meraih pisau kecil lipat dari sepatu. Loteng seketika menjadi sempit dan padat—hanya ada nafas, dengung darah, dan suara derit. Anak tangga terakhir—krik—terlewati. Ujung senter menyorot ke atas, bergerak lambat. Sekali saja sinar itu menabrak mata mereka, semua selesai. Senter berhenti di tepian lantai—milimeter dari sepatu Arga yang tersembunyi di balik goni. Suara lelaki itu mendecak kesal. “Tak ada. Jejak mati.” “Pindah barat. Cepat.” Senter turun. Langkah-langkah menjauh. Pintu lumbung menutup lagi. Hening, perlahan, merembes kembali. Nayara baru berani mengeluarkan napas. Lututnya lemas. Ia terduduk, tangan masih gemetar. Arga tetap berjaga beberapa detik lagi, memastikan tak ada yang tertinggal. Barulah ia melepaskan pisau, duduk di hadapan Nayara. Keheningan panjang. Lalu—Arga mengangkat alis tipis, sangat tipis. “Cara membungkam yang… efektif.” Nayara menutup wajah dengan kedua telapak tangan, mendesis nyaris menangis. “Ya ampun, tolong lupakan itu. Otakku tidak sinkron. Aku—aku pikir kamu mau bersin. Aku—” “Memang,” jawab Arga datar. “Dan kalau aku bersin, kita terekam di neraka CCTV alam. Kamu bertindak cepat.” Nayara menurunkan tangan perlahan. “Jadi… kamu tidak marah?” Arga menatapnya beberapa detik, ada sesuatu yang lembut singgah sebentar di sudut matanya. “Marah? Tidak. Terganggu? Sejujurnya… sedikit.” “Karena…?” “Karena kamu membuatku hampir lupa kita sedang dikejar.” Kata-kata itu jatuh anteng, tapi jantung Nayara kembali berdentam. Ia mengalihkan pandangan, menatap jendela kecil agar tidak tenggelam dalam sorot mata itu. Kilat menyambar jauh di atas perbukitan. Hujan rintik mulai menabuh atap seng. Arga melepaskan jaketnya, meletakkannya di bahu Nayara. “Dingin. Pakai ini.” “Aku akan… kembalikan nanti.” “Tak perlu buru-buru.” Arga mengeluarkan ponsel kecil tanpa merek dari saku—model lama, lapisan matte, jelas bukan yang biasa dipakai orang kota. Ia membuka casing belakang, mencabut kartu SIM, menyelipkannya ke tempat terpisah. “Nomor ini sudah terbakar,” gumamnya. “Terbakar?” Nayara mengulang, bingung. “Sudah terpantau. Tak aman dipakai,” jelas Arga. Ia mengaktifkan perangkat lain—ponsel satelit berukuran lebih besar. Layar hijau tua menyala singkat. Ada satu pesan masuk, tanpa pengirim: “Kandang bocor. Paket di sumur tua, 04:10.” Arga menatap jam di pergelangan—02:47. “Kita punya satu jam lebih.” “Paket… apa?” Nayara menajamkan pendengarannya, separuh takut separuh penasaran. “Jawaban. Atau umpan.” Arga menoleh, menakar raut Nayara. “Kalau umpan, aku pastikan kamu tetap jauh.” Nayara menggigit bibir. “Aku tidak mau ditinggal.” “Kamu juga tidak kubawa ke bahaya yang tidak perlu.” “Arga,” Nayara menatap lurus, suara kecilnya memberanikan diri, “kalau kamu mau lindungi aku, izinkan aku memilih untuk berani berdiri di sampingmu. Aku… sudah terlalu lama jadi penonton dalam kekacauan hidupku sendiri.” Arga menahan tatapannya. Kilat kedua membelah langit, menorehkan garis pucat di irisnya. “Kau tidak tahu apa yang kau minta.” “Mungkin,” Nayara mengakui. “Tapi aku tahu lebih menyakitkan lagi kalau aku tidak melakukan apa-apa.” Senyum samar menyentuh sudut bibir Arga—bukan mengejek, melainkan… mengakui. “Baik.” Ia mengangguk kecil. “Kau ikut. Tapi dengar: satu perintah, kau patuh. Satu kata, kau bersembunyi. Setuju?” “Setuju,” jawab Nayara tanpa ragu, lalu menambahkan pelan, “Terima kasih.” Hujan menguat. Arga merobek karung goni, membaginya menjadi dua untuk alas—lantai loteng bocor tipis-tipis. Mereka duduk punggung-menempel pada dinding, berbagi kehangatan jaket dan sisa-sisa rasa malu yang belum hilang. “Arga…” Nayara membuka suara lagi, lebih lembut. “Waktu kamu bilang ‘kandang bocor’… itu artinya orangmu ada yang jadi pengkhianat?” “Mungkin. Atau ada perangkatku yang tertinggal ditandai,” jawabnya. “Tadi di halaman lumbung, aku melihat stempel kecil di tanah—jejak tali zip-tie dengan pola perusahaan keamanan yang aku kenal.” “Perusahaan siapa?” Arga menatap luar jendela, rahangnya mengeras. “Seruni Holdings punya anak perusahaan keamanan bayangan. Mereka tidak pernah mengakui, tapi aku pernah memotong kontrak gelap mereka tiga tahun lalu. Sejak itu, mereka menungguku lengah.” “Seruni… yang selama ini bersaing dengan perusahaan ayahku?” tanya Nayara, suara bergetar. Arga mengangguk. “Dan dengan punyaku.” Kilatan marah dan takut berbaur di dada Nayara. “Berarti… kemungkinan besar mereka yang—” “Kita tidak sebut nama sebelum bukti terkunci,” potong Arga halus. “Tapi ya—arahnya ke sana.” Angin malam menurunkan suhu. Nayara merapatkan jaket. Lalu, tanpa sadar, kepalanya miring, menyentuh bahu Arga. Keheningan lingkar-lingkar hujan mengapit mereka. Arga tidak bergerak menghindar; ia hanya memperbaiki posisi agar kepala Nayara bertumpu nyaman. “Kalau aku tertidur… bangunkan sebelum 04:00,” gumam Nayara, setengah malu. “Aku tidak tidur malam ini,” balas Arga. “Jangan sombong. Semua orang butuh tidur.” “Tidak ketika seseorang mengincarmu.” Nayara tertawa kecil yang hampir tidak terdengar. “Kamu selalu begini ya? Kalimatmu seperti… pisau. Pendek, tajam.” “Aku berusaha hemat kata.” “Kadang-kadang… kamu boleh boros.” Ia menahan jeda, memberanikan diri melanjutkan, “Seperti tadi. Untuk bilang kamu tidak marah.” Arga menatap titik gelap di langit-langit. “Nayara.” “Hmm?” “Tadi itu… bukan masalah.” “Bukan masalah?” “Justru masalahnya… aku mengingatnya.” Hening jatuh lagi—kali ini hangat, aneh, menyala pelan. Nayara memejamkan mata, membiarkan hujan menyanyikan lagu yang tak ia kenal. Di balik ketakutan dan kelelahan, ada sesuatu bertunas—kecil, membandel. --- 03:58. Arga menepuk pelan bahu Nayara. “Bangun.” Nayara mengucek mata. “Sudah?” “Belum. Tapi kita harus berangkat lebih dulu.” Arga merapikan alarm kaleng, menyalin kembali benang pancing—agar yang mengekor mengira mereka masih di atas. Ia menyodorkan sepasang sarung tangan kain dan topi hoodie. “Untuk apa?” “Jejak dan siluet.” Mereka turun dengan langkah setipis bayangan. Hujan tinggal gerimis. Tanah licin, udara bersih menusuk paru-paru. Arga memimpin melalui jalur yang nyaris tak terlihat—di sela rumpun pohon pisang, memotong parit, menapak batu sungai seperti piano gelap. Sumur tua berada di kebun kosong, tersembunyi di balik pagar hidup. Bibir sumur diselimuti lumut, sebelahnya ada bakul anyaman tertutup daun pisang. Arga memberi isyarat berhenti. Ia meraba udara—kebiasaan orang yang pernah hidup dari tanda-tanda kecil. Tidak ada bau rokok, tidak ada tanah baru terinjak dalam radius dekat. Aman untuk lima langkah. Ia membuka bakul perlahan. Di dalamnya, plastik bening tahan air berisi: ponsel burner lain, kunci USB, dan secarik kertas. Arga mengangkat kertas itu, membalik—tulisan tangan singkat: “Mawar putih bukan bunga, melainkan ruangan. Lantai 17, timur. T—.” Arga memucat tipis. “Mawar putih… White Rose… itu nama ruang rapat privat di gedung pusat Seruni.” “Berarti… ini dari orang dalam mereka?” Nayara menahan napas. “Atau orang dalamku yang menyusup ke mereka.” Arga menyelipkan USB dan ponsel ke saku jaket bagian dalam. “Kita pulang lumbung. Lalu kita—” Suara ranting patah memotong kalimatnya. Dari sisi lain kebun, sinar senter muncul—bukan satu, tapi tiga. Mereka datang dari dua arah sekaligus. “Jangan lari ke terbuka,” ujar Arga cepat. Ia menarik Nayara mundur merunduk, menempel pada pagar hidup. “Ikuti hitungan.” “Baik.” “Sekarang.” Mereka menyilang di bawah senter pertama, menggunakan batang pisang besar sebagai tirai. Arga memutar pergelangan—membuka kunci kecil di saku—menjatuhkan kelereng-kelereng baja ke tanah becek beberapa meter di kanan. Bunyi tek-tek-tek menjauh, memancing senter berbelok. “Ke kiri,” bisik Arga. “Tiga langkah. Berhenti.” Napas Nayara memburu. Di jarak delapan meter, seorang pria berhenti, menajamkan telinga. Senter mengarah tepat ke pagar tempat mereka berdua menempel. Sinar tinggal sejengkal. Jantung Nayara menendang dua rusuk. Pikirannya kosong. Panik naik, mematikan. Ia butuh jangkar. Ia menemukan satu—tatapannya bertemu mata Arga yang pekat. Arga mengangguk sekali. Aku di sini. Senter bergeser—menjauh. Suara dari radio genggam mereka terdengar: “Target bergerak ke utara. Kurangi area timur.” Arga menggerakkan tangan, memberi isyarat terakhir—mundur, balik, masuk jalur air. Mereka menyelinap lagi ke parit kecil, membiarkan gerimis menutup sisa-sisa jejak. Ketika lumbung sudah tampak dari balik bambu, Nayara menahan Arga. “Tunggu.” “Apa?” “Kamu… kedinginan?” Nayara menyentuh lengan bajunya yang basah. “Tidak.” “Kamu bohong. Tanganku saja sudah mati rasa.” Ia merapatkan tubuh, separuh untuk menghangatkan, separuh karena takut kehilangan kontak. “Kalau… kalau nanti kita selamat, aku janji akan belajar berjalan di lumpur tanpa drama.” “Target mulia,” sahut Arga datar. Nayara mengangkat dagu. “Dan… aku tidak akan menc—” Ia berhenti, pipinya memanas lagi. “Maksudku, aku tidak akan bikin kamu hampir bersin lagi.” Arga menatapnya, dan untuk pertama kalinya malam itu, senyum nyata menyelinap. “Itu bagian yang paling berbahaya dari misi.” Mereka sampai di lumbung. Arga memeriksa jebakan kaleng—utuh. Ia mengetuk tiga kali pola ganjil di dinding, menunggu. Dari balik kegelapan, suara ketukan balasan menyahut—dua pendek, satu panjang. “Kontak datang,” bisik Arga. “Nya—siapa?” Nayara menelan ludah. “Orang yang menaruh paket kita.” Pintu lumbung berderit tipis. Siluet kurus berkemeja basah masuk, topi menutupi wajah. Ia menutup pintu, menoleh, lalu—melepas topi. Nayara ternganga. “Mbak Sari?” Sari—penjual sayur yang tadi pagi menawar tomat terlalu pedas di pasar, perempuan dengan tawa mudah—kini menatap mereka dengan mata yang sama sekali berbeda: jernih, dingin, dan sangat sadar. “Waktumu mepet, Ga,” katanya pada Arga, seperti sudah lama akrab. “White Rose dijadwalkan besok. Mereka mau tutup berkas sementara untuk 90 hari.” “Dan selama itu—semua yang kita perlu bisa disapu,” sambung Arga. Sari mengangguk. “Betul. Aku hanya punya satu malam. Setelah ini, identitasku di sana… hangus.” Nayara memandang bergantian, kebingungan, kagum, takut jadi satu. “Mbak Sari… penjual sayur… kamu—” Sari tersenyum tipis. “Kalian pikir aku cuma jago nawar cabai? Santai, Naya. Besok kau akan lihat dunia yang membuat harga cabai terasa seperti candaan.” Arga menyandarkan bahu, menatap jam. “Kita berangkat saat fajar. Masuk kota lewat jalur selatan.” “Mobil?” tanya Sari. “Aku punya dua,” jawab Arga. “Satu untuk umpan.” Sari melirik Nayara, lalu kembali ke Arga. “Kamu yakin bawa dia?” Arga tidak menoleh. “Ya.” Sari mengangkat alis. “Karena hutang budi?” Arga menjawab pelan, tegas, “Karena keputusan.” Nayara merasakan sesuatu bergetar lembut di dadanya—bukan ketakutan, bukan malu—melainkan kepercayaan yang baru tumbuh, rapuh tapi nyata. Di luar, hujan berhenti. Angin membawa aroma tanah yang segar—seolah dunia memberi jeda satu menit sebelum badai yang lebih besar. Fajar tinggal beberapa jam. Kota menunggu dengan rahasia yang terkunci di lantai tujuh belas. Dan bibir yang tadi bersentuhan oleh panik—diam-diam menyimpan tanya lain yang tak kalah berbahaya.Fajar baru saja merekah. Cahaya oranye muda menembus celah-celah jendela bambu, menyingkap debu tipis yang berterbangan di udara. Suara ayam jantan dari kejauhan bersahut-sahutan, menandakan hari baru dimulai. Namun bagi Arga, pagi ini bukan sekadar awal biasa. Ia sudah terbangun sejak sebelum adzan Subuh. Tubuhnya tegap berdiri di teras rumah, kedua matanya menyapu ke arah jalan setapak yang masih sepi. Dari wajahnya, jelas terlihat kewaspadaan penuh. Semalam, setelah kejadian dua pria berjas itu, ia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Arga menegakkan punggungnya, lalu menghela napas panjang. Tangannya refleks meraih secangkir kopi hitam yang sudah dingin di meja bambu. “Mereka pasti balik,” gumamnya pelan. “Pertanyaannya… kapan?” --- Dari dalam kamar, Nayara baru saja bangun. Rambutnya masih kusut, matanya bengkak karena tangis semalam. Ia berjalan pelan keluar kamar, mengenakan cardigan tipis untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Ia mendapati Arga masih berdiri di teras d
Senja di desa itu terlihat berbeda sore ini. Langit memerah jingga, awan tipis berarak pelan seperti kapas yang terbakar cahaya. Burung-burung gereja pulang ke sarang, sementara dari kejauhan, suara kentongan tanda waktu Maghrib mulai terdengar sayup. Suasana tenang itu seolah kontras dengan hati Nayara yang sedang berkecamuk hebat. Ia duduk di bangku bambu depan rumah sederhana tempat ia menumpang. Tangannya sibuk mengusap-usap rok yang sudah agak kusut, namun pikirannya tidak ada di situ. Sejak insiden “cium tak disengaja” dengan Arga beberapa hari lalu, ia merasa hidupnya seperti berputar aneh. Ada rasa malu, ada rasa kesal, tapi juga ada sesuatu yang aneh… sebuah rasa hangat yang diam-diam mengganggunya. “Kenapa sih aku jadi kepikiran terus?” gumam Nayara, menunduk sambil menendang kerikil kecil di bawah kakinya. Tak jauh darinya, Arga muncul sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia tampak biasa saja, wajahnya tetap tenang, seolah tidak pernah terjadi insiden memalukan itu. Pada
Suara gedoran pintu semakin keras, menggema di seluruh ruangan kayu yang berdebu itu. Papan pintu bergetar seperti hampir copot dari engselnya. “Bukaaaa! Atau kami bakar rumah ini!” teriak seseorang dari luar, suaranya parau, penuh ancaman. Nayara terlonjak mendengar kata “bakar”. Dadanya sesak, tangannya spontan mencengkeram erat lengan Arga. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Arga tetap tenang, meski sorot matanya penuh waspada. Ia menoleh ke arah Sari. “Ambil kunci mobil dan siapkan jalan keluar. Kalau pintu depan jebol, kita harus lari lewat belakang.” Sari mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Nayara mendelik. “Bos? Kamu manggil dia bos?” Sari tersenyum kecut, buru-buru menghindar. “Eh… slip of the tongue. Pokoknya ikut aja, Nay!” Nayara makin bingung, tapi tak sempat bertanya. Karena detik berikutnya, jendela samping dihempas batu besar hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca beterbangan. “Aaaahhh!” Nayara menjerit kecil, tubuhnya reflek terlempar ke arah Arga. I
Mobil bak itu akhirnya keluar dari jalan hutan yang penuh bebatuan. Langit sudah mulai berubah warna, jingga senja perlahan merambat jadi biru tua, diselimuti awan tipis. Jalanan desa yang lebih rata sedikit memberi rasa lega, meski suasana hati mereka masih tegang setelah kejadian barusan. Sari yang menyetir mendengus panjang. “Rasanya, kalau hidup kita ini film, penontonnya pasti sudah lelah lihat kita dikejar-kejar terus.” “Kalau film, penontonnya juga pasti jatuh simpati sama tokoh perempuan yang… hmm, selalu terjerat masalah,” celetuk Arga tanpa menoleh. Nayara menoleh cepat. “Hei! Maksudmu aku?” Arga menahan senyum. “Aku nggak bilang gitu.” “Ya, tapi nadamu jelas-jelas mengarah ke aku.” Nayara memelototinya, meski wajahnya memerah karena sadar ia masuk ke perangkap kecil Arga. Sari terkekeh. “Hahaha, tenang, Naya. Kalau ini film, ratingnya pasti tinggi banget. Adegan romantisnya natural sekali.” “Diam, Sar!” Nayara langsung menutupi wajahnya dengan tangan, teringat kejadi
Suara ayam jantan samar-samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan kokok lain yang bersahut-sahutan. Embun masih tebal di daun bambu, jatuh pelan tiap kali angin pagi menyapu. Lumbung tua itu kini berfungsi seperti markas darurat—bau gabah basi dan kayu lembab bercampur dengan aroma tanah basah seusai hujan. Arga berdiri di depan jendela kecil loteng, matanya menatap lurus ke horizon. Langit belum sepenuhnya terang, hanya semburat oranye tipis yang mulai muncul. Dari cara bahunya menegang, jelas ia belum tidur sama sekali. Nayara mengusap wajah dengan tangan, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menggantung. Ia sempat tertidur sebentar dengan kepala di bahu Arga, dan itu membuat pipinya panas setiap kali mengingatnya. Namun, pagi ini ia memutuskan tidak akan menyinggungnya dulu. “Jam berapa sekarang?” tanyanya dengan suara serak. “05:02,” jawab Arga singkat tanpa menoleh. Nayara menarik nafas dalam, lalu berdiri dan merapatkan jaket yang semalam dipinjamkan Arga. Jak
Malam turun lebih cepat dari biasanya. Langit desa itu tampak kelam, awan tebal menutupi bintang, dan angin dingin berhembus menusuk tulang. Dari luar rumah kayu sederhana itu, suara dedaunan bergesekan menambah kesan mencekam. Nayara duduk di tepi ranjang kayu, tangannya menggenggam erat selimut tipis yang ia tarik sampai ke dada. Pandangannya kosong menatap lantai, sementara pikirannya berputar kacau. Kata-kata Arga sore tadi masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku bukan orang biasa. Aku seorang CEO. Dan aku berhutang budi pada keluargamu." Setiap mengingatnya, Nayara merasa dadanya sesak. Di satu sisi, ada rasa syukur karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, seseorang yang siap melindungi. Namun di sisi lain, ada perasaan asing yang sulit dijelaskan—seolah Arga menyimpan banyak rahasia lain yang belum terungkap. Suara langkah kaki pelan terdengar dari ruang depan. Nayara menoleh spontan, jantungnya berdetak lebih cepat. Namun ia segera mengenali suara