Share

Perdebatan Alex dan Alana

"Kalian sudah bosan bekerja disini?"

Madam Helen menghampiri Almira dan Ani dengan langkah tegap dan tatapan menyorot tajam. Rahangnya yang runcing dengan bibir tipis membentuk garis datar menambah kesan betapa garangnya kepala pelayan keluarga Atmaja itu.

"Kalian disini bukan untuk bergosip, tapi bekerja. Kamu!" Telunjuk kurusnya menunjuk ke arah Ani. Membuat Ani seketika menunduk dengan ekspresi bersalah.

"Apa dengan bergosip masakan kamu jadi lebih enak? bahkan dengan tak tahu dirinya kamu menggosipkan majikan kamu sendiri. Saya tidak suka punya anak buah seperti itu!"

"Ma-maaf Ma-madam! Saya janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Ani terbata-bata. Tentu saja Ani takut jika dipecat oleh madam Helen. Mencari pekerjaan jaman sekarang susah, apalagi dengan gaji yang cukup besar seperti yang diberikan oleh rumah ini. Walaupun hanya seorang pelayan, tetapi gaji disini bahkan bisa mengalahkan gaji karyawan kantoran.

Madam Helen mengibaskan tangannya dengan tidak sabar.

"Dan kamu!" Telunjuk Madam Helen berpindah ke arah Almira.

"Bukannya kamu pekerja baru disini? Belum ada sebulan kamu sudah bertingkah. Baru saja kamu saya beri peringatan tetapi sudah membuat ulah lagi, jika memang tidak berniat bekerja di rumah ini, silahkan keluar!" 

"Maaf Madam, kami tidak sengaja," ujar Almira dengan kepala tertunduk seperti Ani.

Madam Helen berkacak pinggang.

"Saya paling tidak suka ada pelayan yang tidak profesional. Kalian digaji mahal tetapi berulah. Ini peringatan terakhir saya. Jika sampai saya melihat kejadian seperti ini lagi, dalam waktu satu jam tinggalkan rumah ini. Camkan itu!" 

Madam Helen memutar tumitnya dan berbalik keluar dapur dengan langkah tegak dan dagu terangkat.

Keangkuhan tergambar di wajahnya. Menjadi kepala pelayan di rumah keluarga Atmaja membutuhkan waktu lama dan loyalitas yang tinggi. Madam Helen sendiri sampaidi usianya yang paruh baya tidak menikah. Sudah hampir dua puluh tahun Madam Helen mengabdikan dirinya di rumah ini.

Dulunya Madam Helen pun pelayan biasa. Tetapi karena kecekatannya dalam bekerja, membuat Nyonya Arumi mengangkatnya menjadi kepala pelayan sejak sepuluh tahun yang lalu, menggantikan kepala pelayan sebelumnya yang mengundurkan diri.

"Yah, kena omel kanjeng mami lagi," keluh Ani pelan.

"Sssttt … udah yuk, cepat selesaikan. Keburu siang!"

Almira enggan menanggapi keluhan Ani.

"Iya iya!"

Mereka pun menyelesaikan kegiatan masak yang sempat tertunda.

***

"Kakak nggak kerja?" Alana menyelonong masuk ke kamar Alex yang berada di lantai dua. 

Saat itu Alex tengah memainkan ponselnya, bersandar santai di sofa kamar. Hanya mengangkat kepala sekilas lalu kembali melanjutkan kegiatannya.

"Males ketemu sama sekretaris sampah itu!"

"Kakakkkkk!" Alana memprotes kakaknya. 

Tentu saja Alana tidak suka dengan julukan yang diberikan oleh Alex pada Dion. Bagi Alana Dion adalah perwujudan pangeran berkuda putih untuknya.

"Dion nggak sejelek itu, Kak! Kakak yang terlalu iri sama dia jadi merasa tersaingi."

"Untuk apa kakak iri sama sampah itu? anak yang nggak jelas asal-usulnya. Entah guna-guna apa yang dia gunakan pada papa dan mama sampai bisa menganggapnya seperti anak sendiri, bahkan melebihi aku ahli waris yang sah," sahut Alex dengan ekspresi marah. Dibantingnya ponsel yang dia pegang ke sisi sofa.

Alana pun kesal dan menghempaskan tubuhnya di sisi lain sofa.

"Papa pasti punya pertimbangan sampai menyerahkan urusan perusahaan ke Dion. Dan lagi Dion lebih cakap dalam bekerja daripada kakak. Kakak kan selalu kalah tender jika mewakili perusahaan," celetuk Alana.

"Kamu meremehkan kakak?" Alex melotot ke arah adiknya.

"Bukan meremehkan, memang kenyataan! Kakak selalu sibuk sama kesenangan kakak yang nggak jelas. Mabuk, main perempuan, bikin skandal, wajarlah papa nggak percaya." Alana mencibir ke arah Alex.

Alex menatap Alana sengit. Hatinya merasa geram. Bahkan adiknya pun lebih membela Dion.

"Jadi kamu kesini cuma mau menyalahkan kakak? Coba sekali-kali ngaca. Memang kamu sudah benar jadi anak perempuan?"

"Kakak kok malah balik nyerang aku sih?" Alana protes tidak terima diserang balik.

"Bukannya kamu yang nyerang kakak duluan? kamu yang meremehkan kakak. Apa kamu merasa hebat mentang-mentang sudah jadi model terkenal? apa bedanya kamu dengan wanita-wanita kakak?"

"Kakak! apa-apaan sih? tega sekali kakak bicara kayak gitu sama aku?"

"Lalu kamu apa? mencintai laki-laki yang jelas bermasalah dengan keluarga kamu!"

Alana menatap Alex nanar.

"Setidaknya aku masih dianggap di rumah ini dan bukan cuma dianggap anak tak berguna seperti kakak!"

" Masih dianggap? memang selama ini mama perhatian sama kamu? bukannya mama juga mengabaikan kamu? Tapi wajarlah Mama cuek sama kamu. Kamu jadi perempuan senang ngemis perhatian laki-laki. Kayak gadis murahan aja!"

Plakkk! …

Alana menabok lengan Alex kesal. 

"Kakak ngeselin!" Alana bangkit dengan kesal dan berjalan keluar kamar Alex. Langkah kakinya terdengar keras dan sengaja dihentakkan. Dibantingnya pintu kamar kakaknya itu dengan keras.

Alex lebih memilih mengacuhkannya. Moodnya sendiri sudah buruk. Ditambah berdebat dengan Alana membuatnya semakin merasa jengkel.

"Lebih baik aku mencari hiburan!" gumam Alex lalu bergegas menuju ruang ganti baju.

Celana jeans, kemeja lengan panjang yang dilipat hingga ke siku sewarna dengan celana yang dia gunakan. Rambutnya pun telah tersisir rapi. Membuat ketampanannya semakin meningkat. 

Alex meraung kunci mobil kesayangannya. Sebuah mobil sport mewah berwarna biru metalik. Semakin menambah nilai plus untuknya.

Alex pun turun tangga setelah memastikan penampilannya sekali lagi. Melangkah dengan pasti menuruni anak tangga dengan ponsel di tangan. Lalu …,

Brugghhh!

Ponsel Alex terlempar dan pecah berantakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status