Share

Kenzo Murka

"Gimana kerjamu hari ini?" tanya Kenzo yang menjemputku. 

"Tadi sempet bersitegang, cuma keburu bel. Pasti besok rame," jawabku. 

"Loh, kamu ribut sama siapa? bilang, dia ngapain kamu? "

Aku kaget melihat reaksi Kenzo, dia kenapa

ya. 

"Gak, Ken. Orang lain yang kena, bukan aku."

"Oh, kalo ada yang jahatin kamu, bilang ya,"

"Mana ada, Ken. ah"

"Kali saja"

Lama kami terdiam di mobil, cuma sesekali saling pandang. 

"Ken," panggilku. 

"Iya"

"Kamu gak cape antar jemput aku?"

Ngiiiik  ... Kenzo mengerem mobil secara tiba-tiba. 

"Kamu bosen?" 

Astaga kenapa dia malah melempar pertanyaan seperti itu. 

"Bu--"

"Turun sana!" Bentaknya sedikit kasar. Sungguh, adrenalinku terpacu sekali. Ada apa dengan Kenzo. 

"Ken, aku tak bermaksud. Tolong dengerin dulu." Kutautkan kedua telapak tangan memohon padanya. 

"Turun!" sekali lagi dia membentakku. Akupun mengikuti perintahnya dengan berat hati. Kenapa Kenzo jadi sekasar itu? 

Bagaimana kalau dia mengadu pada ayah, ya Tuhan ada apa ini. Siapa sebenarnya calon suamiku itu. 

Kenzo menurunkan aku di jalanan, ah, pria macam apa kamu. 

Tiba-tiba langit muram, titik-titik air mulai turun. Ya Tuhan, mulai menggigil aku membayangkan hujan besar dilengkapi petir yang bersahutan. 

Ah, terlalu kau Tita. Santai saja, dibawa happy. Pikiranku mulai kudoktrin dengan hal hal yang baik. 

Namun, duarrrr  ...! 

"Ayaaaah," jeritku duduk dengan melingkarkan tangan pada kaki yang kulipat. Masih dalam guyuran hujan dan rasa takut yang memuncak, kuberanikan berdiri saat mataku tertumpu pada dua orang lelaki bertato yang kuyakini teman Kenzo. Mau apa mereka, pikirku. 

Mereka mengendarai motor berboncengan, berhenti dekat tong sampah samping pohon mangga. 

Kupaksa seret langkahku sedikit mendekat, hujan mulai mereda tapi bajuku lumayan basah. 

Dua orang berbadan tegap itu mengambil bungkusan dalam tong sampah, tak mungkin mereka pemulung. Apa yang mereka ambil, bungkusan itu rapi seperti baru terbungkus. 

Lalu, 

Oh My God, Rio menghampiri dua orang tersebut. Sepintas kulihat dua orang yang tadi mengambil bungkusan berbincang dengan Rio lalu mereka memberikan uang lumayan banyak kepada Rio. Apa yang mereka lakukan? pikirku. Mereka melakukan transaksi apa. Teman-teman Kenzo dengan Rio, apa hubungannya? Aku sedikit membungkuk takut Rio melihatku. 

Aku sembunyi di balik pohon besar, memantau mereka. 

Hanya sebentar, mereka lantas pergi. Apa sebenarnya usaha Kenzo, siapa juga Rio. Pertahananku mulai oleng, dingin menyergap menusuk pori- pori kulitku. penglihatanku sedikit mengabur karena pusing yang dahsyat, dan brakk  ...! 

Entah bagaimana ceritanya, aku tersadar sudah berada di kamarku sendiri. kulihat sekeliling, ayah dan ibu tersenyum menyambutku. 

"Tita kenapa, Yah?"

"Gak papa, Sayang. Kamu hanya pingsan,"

"Siapa yang antar aku pulang?"

"Kenzo,"

Kenzo? dia tidak ada di tempat waktu itu. Kenapa bisa dia yang mengantarku pulang. Kuraih ponselku, ku kirim message ke nomor Kenzo. 

[Ken, Thanks ya, dah nganterin aku pulang]

Hmm, ceklis satu. Dia off, tumben amat. 

Hampir 20 menit tak ada balasan dari Kenzo. 

[Lain kali gak usah ujanan] akhirnya dia balas juga. 

[Iya, terimakasih]

[Aku otewe ke sana, tunggu]

[Iya, Hati-hati]

[Sip]

aku yakin Kenzo orang baik, kemarin mungkin sedang kecewa urusan pekerjaan. Tapi, apa pekerjaan dia sebenarnya? 

"Makan, nih, "

Kenzo datang bawa makanan, dia itu perhatian sekali. 

"Makasih,"

Ingin sekali aku bertanya apa hubungan dengan Rio dengan pekerjaannya. 

Aku takut dia marah seperti kemarin, lagipula ada ayah di rumah takut beliau kepikiran. 

"Eh, ada nak Kenzo," sapa ayah menghampiri. Kenzo langsung menyalami tangan ayah. Ya Allah, aku semakin bimbang. dia sopan pada orangtuaku, tapi kemarin  ..., 

"Ayah ke luar dulu, kalian lanjut ya"

"Iya, Yah," jawab Kenzo masih sangat sopan sekali. 

"Ta, soal kemarin aku--"

"Gak papa, Ken,"

"Aku lagi pusing kemarin,"

"Sabar ya,"

"makasih, ta,

Kuperhatikan gestur tubuhnya saat dia menerima pesan yang entah dari siapa. 

Dia gugup, terkesan marah juga. Lalu dia menelpon seseorang. 

"Bawa dia, jangan jadiin tumbal dulu. Dia harus dapat balasan dari gue"

Sontak aku kaget mendengar itu, apa ada hubungannya dengan kejadian tadi. Ada apa dengan mereka, apa tumbal yang dimaksud Kenzo. 

***

Pagi kembali hadir, membuatku semangat menjalani hari kembali ceria. Kenzo izin tidak mengantarku ke tempat kerja, dan aku harus bawa motor sendiri ke pabrik. 

"Hati-hati, Nak," ujar ayah dan ibu saat ku pamit. 

"Iya, Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam"

Dengan hati-hati kukendarai motor yang kubeli dari hasil kerjaku, lumayan, meski second tapi layak dipakai. Daripada aku harus kredit motor baru bikin pusing kepala juga riba dan pantang bagiku. 

Di depan ruanganku sudah kulihat sosok tinggi dan putih yang tak lain Mister Lee, masya Allah pasti dia bakal bahas soal sampel kemarin. Ah, Lisa kamu harus kena wejangan dari mister Lee. Ngeyel si, sudah kukasih pola yang dah di Acc mister malah buat sendiri sesuai idemu. Nyari penyakit saja. 

"Pagi, Mister," sapaku. 

"Pagi, mana Lisa?"

Kan, dia kalau belum tuntas marahnya pasti dilanjut episode berikutnya. 

"Belum datang, kayaknya, Mister,"

"Pengawas macam apa dia hah, hari siang sudah belum datang" katanya kebolak-balik. 

"Macet, barangkali"

"Ada mana jam macet hari pagi," serunya belepotan, maklum dia belum sepenuhnya menguasai bahasa Indonesia. 

"Ya saya tidak tahu, Mister,"

"Lagi kamu saja ada ada,"

Ya Tuhan, ada-ada saja kali. Dasar mister bloon. Untung cakep, kalau jelek pengen tak toyor. 

Aku celingak-celinguk mencari Rio, tumben sekali dia belum datang. Biasanya dia on time, dan selalu menyapaku. Astaga, bagaimana jika yang dimaksud Kenzo itu Rio yang akan dijadikan tumbal. Ah, tak mungkin. 

"Melamun malah kamu," mister menarik ujung jilbabku.

"Sorry, Mister, saya keingetan sesuatu tadi"

"Pacar hah"

"Bukan,"

Kepo banget si mister Lee itu. Lisa kulihat dia seperti tegang memasuki ruangan kerja, hampir saja aku tertawa meledeknya.

"Ini jam masuk baru, kemana pergi dulu?" tanya mister Lee. 

"Maaf, Mister. Tadi ban motor saya bocor, jadi saya tambal dulu," jawab Lisa sedikit menundukan pandangannya. 

"Sudah, kamu kemarin kerja cara apa hah? Tita kamu kasih sampel betul kenapa salah kamu buat hah?"

"Tita salah ngasih pola kali," eits playing victim. 

"Kalau gue salah kasih pola, sampel gue sudah pasti salah jahit peak," cecarku. 

"Marah kenapa jadi kamu Tita, biar saja saya buat dia marah"

"Maaf, Mister, mungkin mesin ganti tensyen"

Astaga, alasan apalagi. Macam anak kecil saja tingkahnya. Harusnya dia akui saja kalau dia salah, kelar urusan. Ini malah muter-muter tak jelas kemana arah pembicaraannya. 

"Masih kerja mau di sini? "

"Masih, Mister,"

"Buat macam Tita sekarang."

Mister Lee mendorong sedikit tubuh Lisa, saling kesal kuyakin. Lisa menatapku penuh benci, kubalas tatapannya sambil menyeru "Ape lu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status