Bellia cepat-cepat menutupi lehernya. Padahal dia sudah berusaha menyembunyikannya dengan concealer, tapi Lisa ternyata masih bisa melihat tanda merah tersebut.
"Bukan apa-apa."
"Sungguh?" Lisa menatap Bellia penuh dengan selidik.
"I-iya, ini hanya bekas gigitan nyamuk."
Hanya orang bodoh yang percaya dengan ucapan Bellia. Sayangnya Lisa cukup pintar. Dia tahu kalau Bellia sedang membohonginya, tapi dia memilih diam.
Sepertinya memang terjadi sesuatu di antara Daniel dan Bellia semalam, dan tanda merah itu adalah buktinya. Lisa pikir Bellia gadis yang baik dan polos, tapi gadis itu ternyata tidak ada bedanya dengan jalang di luar sana.
Dan wanita itu menghabiskan malam dengan pria yang paling diinginkan di ibu kota! Lisa tidak bisa menahan kekesalannya pada Bellia.
Bellia sontak menoleh ketika mendengar pintu kamarnya terbuka. Dari arah pintu, Daniel datang bersama seorang dokter paruh baya.
Dokter itu langsung memeriksa kondisinya. Untung saja demamnya sudah turun, tapi dia tetap harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kepalamu masih pusing?"
Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat lalu menggeleng pelan. Jujur Bellia merasa sangat gugup sekarang, tetapi dia berusaha terlihat tenang dan bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu di antara dirinya dan Daniel.
Namun, melihat Daniel yang rela membuang waktunya hanya untuk Bellia, kepanikan semakin merajai dirinya.
Apa Daniel ingin mempermasalahkan soal tadi malam? Tetapi, untuk apa? Lelaki itu pasti sudah sering tidur bersama wanita, jadi tadi malam pasti hal yang biasa baginya. Lagi pula dia tidak berniat sedikit pun untuk menggoda lelaki itu.
"Terima kasih sudah membawa saya ke rumah sakit, Pak. Maaf merepotkan." Akhirnya Bellia bisa menguasai dirinya.
Daniel hanya mengangguk. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin dia bicarakan dengan Bellia. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat. Bellia sedang sakit dan dia tidak ingin membuat kondisi gadis itu semakin memburuk.
"Aku harus kembali sekarang. Jangan lupa habiskan makan siangmu dan minum obat. Aku akan kembali kalau acara kantor sudah selesai."
"Anda tidak perlu datang lagi, Pak."
"Tidak perlu?" Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah.
"Tolong jangan tersinggung, Pak. Saya cuma tidak ingin membuat Bapak semakin repot. Lagi pula saya bisa meminta tolong Lisa untuk menemani saya di sini. Kamu mau 'kan Lis temani aku?" Bellia menatap Lisa dengan penuh harap.
"Maaf, Bell. Anak-anak kekurangan anggota. Aku harus kembali ke acara gathering bersama Pak Daniel sekarang."
Bellia mengembuskan napas panjang. Dia hanya punya satu orang yang mungkin bisa dia mintai tolong untuk menjaganya di rumah sakit. Meskipun Bellia tidak yakin orang tersebut mau membantunya.
Akan tetapi, setidaknya dia bisa menggunakan orang tersebut sebagai alasan untuk menghindari Daniel.
"Bapak tenang saja. Saya bisa meminta tolong tante untuk menjaga saya di sini."
"Apa tantemu bisa dipercaya?"
Bellia terkejut mendengar pertanyaan Daniel barusan. Bellia sebenarnya tidak yakin tantenya mau datang ke rumah sakit karena adik ipar dari ibunya itu tidak pernah bertanya bagaimana kabarnya dan hanya menghubungi jika membutuhkan uang.
"Em, iya," jawab Bellia ragu.
"Baiklah. Jangan ragu untuk meneleponku kalau kamu butuh sesuatu." Daniel meninggalkan kartu namanya lalu segera kembali ke hotel bersama Lisa.
Kali ini dia membiarkan Lisa menemaninya duduk di belakang. Sepanjang jalan dia tidak pernah berhenti memikirkan Bellia.
Daniel penasaran, apakah Bellia adalah gadis yang bersamanya tadi malam? Melihat gadis itu tekejut setelah Daniel bertanya soal jepit rambut, Daniel yakin Bellia adalah gadis itu. Tetapi, untuk apa wanita itu bersikap seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka tadi malam?
Seluruh wanita yang pernah tidur dengannya, bahkan wanita-wanita yang baru ingin merangkak ke bawahnya selalu bangga karena pernah bersama dirinya walau hanya satu malam.
Mengapa wanita itu berbeda?
Apa wanita itu tidak senang dengan dirinya? Pemikiran itu membuat harga diri di dalam hatinya tergores.
Lamunan Daniel sontak buyar ketika Lisa menepuk lengannya pelan. "Mau minum, Pak? Kebetulan saya tadi membeli air mineral lebih di rumah sakit."
"Tidak perlu." Daniel kembali memperhatikan jalanan yang ada di sampingnya, sedetik kemudian dia kembali menatap Lisa.
"Itu ...," gumamnya sambil menunjuk benda berkilau yang menghiasi rambut Lisa.
"Jepit rambut ini?"
Tatapan Daniel berubah tajam. Jepit rambut yang dipakai Lisa sekarang sama persis dengan jepit rambut yang dia temukan di kamarnya tadi pagi. Dia juga baru menyadari kalau jepit rambut itu tidak ada di kantong celananya. Sepertinya jepit rambut tersebut jatuh ketika dia menggendong Bellia.
"Dari mana kamu mendapatkan jepit rambut itu?"
"Jepit rambut ini punya saya, Pak. Saya pikir jepit rambut ini hilang, tapi ternyata terjatuh di depan kamar."
"Sungguh?"
Lisa mengangguk. Tubuh gadis itu sontak menegang karena Daniel tiba-tiba menyibak rambutnya ke belakang. Jarak yang begitu dekat membuat Lisa tanpa sadar menahan napas, jantung pun berdebar hebat.
"Apa kamu berusaha membohongiku, Lisa?"
"Ma-maksud, Bapak?"
Tatapan Daniel dingin dan tajam. “Kamu sengaja ikut dan ingin menemani Bellia karena punya tujuan?”
“Saya ... saya tidak mengerti maksud Bapak.”
“Kenapa kamu ingin ikut menemani Bellia?”
“Itu ... karena ... Bellia teman ... teman saya.” Lisa meneguk ludah. Aura intimidasi dari Daniel sukses membuatnya kehilangan kata-kata.
“Bellia temanmu.” Daniel mengangguk seolah memahami ucapan Lisa, namun sejurus kemudian suara Daniel kembali berubah tegas. “Bukan karena kamu berpikir aku dan Bellia memiliki hubungan?”
Deg, Daniel terlalu pintar.
“Berhenti berbohong. Lepas jepit rambut itu dan berikan padaku!”
Setitik keringat dingin keluar membasahi pelipis Lisa. Lisa memang sengaja memakai jepit rambut Bellia agar Daniel percaya kalau jepit rambut ini miliknya, dan jika sejak tadi Daniel sedang mencari pemilik jepit rambut ini, Daniel akan mengira dia adalah gadis yang dicari lelaki itu.
Namun, sepertinya tindakannya ini salah.
"Dasar bodoh!" Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Vania setelah Daniel memberi tahu sang ayah tentang perbuatannya.Rasa panas sontak mejalari pipinya yang terlihat memerah. Sudut bibirnya bahkan robek dan mengeluarkan sedikit darah.Vania meringis pelan, meratapi karma yang begitu cepat dia dapatkan. Seperti badai yang datang tanpa peringatan. Tamparan sang ayah tidak hanya menghantam wajahnya, tapi juga harga dirinya, padahal baru saja menyerang Bellia di rumah sakit beberapa jam yang lalu.Vania berdiri kaku di tempat, air mata perlahan menetes dari sudut matanya. Bukan karena sakit di wajahnya, tapi kerena kekacauan yang dia buat sendiri, dan mau tidak mau dia harus menanggung semuanya sekarang."Bagaimana kamu bisa melakukan hal serendah ini, Vania?" Suara Bastian—ayah kandung Vania menggema, penuh amarah dan kekecewaan. "Papi sudah menyekolahkanmu tinggi-tinggi, tapi kamu malah mempermalukan Papi seperti ini. Dasar anak tidak tahu diri!"Daniel menyilangkan sebelah kakinya
Pintu kamar Marvell terbuka lebar dengan bunyi dentuman yang terdengar cukup keras, disusul langkah cepat Daniel yang langsung membeku di ambang pintu setelah melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih seketika.Bellia terduduk di lantai dengan rambut berantakan, pipinya merah karena tamparan yang baru saja mendarat di sana. Di sudut lain, Marvell menangis histeris di bawah tempat tidurnya dengan wajah penuh ketakutan. Sebuah vas bunga terjatuh dan pecah di lantai, kursi bergeser dari tempatnya. Jam dinding yang berdetik pelan, menjadi satu-satunya suara yang menyertai isak tangis Marvell.Sedangkan Vania berdiri di tengah-tengah mereka, tubuhnya masih gemetar karena amarah yang begitu membara. Tangan kanannya kembali terangkat, ingin melayangkan pukulan ke tubuh Bellia yang sudah tidak berdaya.Pandangan Daniel langsung berubah tajam, seperti pedang yang baru saja ditempa dalam bara api kemarahan. Berkilau, dingin, dan siap menebas siapa pun yang berani menyakiti orang yang
"Kamu masih tanya kenapa?" Vania tertawa jahat, seperti seorang psikopat yang menemukan kenikmatan di balik penderitaan orang lain.Tawanya nyaring, getir, dan penuh kebencian, menggema di antara dinding-dinding rumah sakit yang seketika berubah sempit dan dingin."Aku melakukan semua ini karena kamu terlalu naif, Bellia!""Terlalu naif?" gumam Bellia tidak mengerti. Selama ini dia selalu berusaha bersikap baik pada orang lain, bahkan pada tantenya sendiri. Dia tidak pernah membenci tante yang sudah memanfaatkan dan menghabiskan uangnya. Dia rela melakukan semua itu agar hubungannya dengan sang tante baik-baik saja.Namun, Vania tiba-tiba saja datang dan menyebut dirinya 'naif'. Padahal dia tidak pernah bertegur sapa dengan wanita itu.Dia pertama kali melihat Vania sekaligus untuk yang terakhir kalinya ketika ingin menemui Daniel di ruangannya. Kejadian itu pun sudah lama berlalu—mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu.Saat itu dia ingin memberi tahu Daniel tentang apa yang
Suasana kamar nomor 614 itu kembali hening selepas kepergian Cherry dan Seika. Bellia kembali ke dalam setelah menutup pintu lalu menghampiri Marvell yang duduk di atas ranjang.Marvell tampak murung, wajahnya terlihat tidak ceria saat bersama Cherry. Dan sebagai ibu, Bellia tentu saja menyadari hal itu."Ada apa, Sayang? Kenapa Marvell tiba-tiba sedih?" tanya Bellia terdengar penuh perhatian.Marvell melirik Bellia sekilas, setelah itu kembali memperhatikan gambar beruang yang belum selesai dia warnai. Jemarinya perlahan bergerak, memberi warna pada gambar tersebut agar terlihat lebih hidup.Bellia diam-diam memperhatikan apa yang Marvell lakukan lalu tersenyum tipis. Marvell memang dekat dengan Cherry semenjak masuk sekolah. Mereka selalu bermain dan belajar bersama.Di mana ada Marvell, di situ pasti ada Cherry.Ke mana pun Marvell pergi, Cherry selalu mengikuti. Seperti bayangan yang tidak bisa lepas dan dipisahkan.Saat Marvell bermain bola di halaman sekolah, Cherry akan duduk d
Kondisi Marvell berangsung-angsur membaik setelah dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Dokter yang merawatnya bahkan merasa heran karena Marvell bisa pulih lebih cepat dari waktu yang mereka perkirakan.Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, Daniel dan Bellia juga memiliki peran yang sangat penting di balik kesembuhannya. Mereka bergantian menjaga Marvell setiap malam. Daniel bahkan rela menunda pekerjaannya agar bisa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk Marvell.Sedangkan Bellia terpaksa menutup toko bunganya selama beberapa hari karena Dita sedang mengunjungi orang tuanya yang tinggal di luar kota. Untung saja para pelanggan mau memahami kondisinya yang sedang tertimpa musibah. Mereka bahkan turut mendoakan semoga Marvell lekas diberi kesembuhan.Marvell tidak pernah merasa kesepian selama dirawat. Setiap hari selalu ada teman sekolah yang datang menjenguknya, terutama Cherry.Anak perempuan cantik berumur empat tahun itu hari ini kembali datang menjenguk Marvell bersama de
Ruangan itu dipenuhi aroma karbol dan obat-obatan yang begitu menusuk hidung. Keheningan menggantung jelas di udara, seperti kabut tebal yang begitu menyesakkan.Daniel dan Bellia duduk berdampingan di salah salah satu kursi, sedangkan Mahes memilih berdiri di tempat yang agak jauh dari mereka.Kedua tangan Bellia terkepal erat di atas kedua pahanya. Wajahnya terlihat sangat tegang, seperti menahan beban yang begitu berat. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya, menahan perasaan takut sekaligus cemas yang berkecamuk di dalam dadanya.Marvell sudah masuk ke dalam ruang operasi sejak satu jam yang lalu, tepatnya setelah mendapat donor darah dari Daniel. Dokter ingin melakukan proses hematosis untuk menghentikan pendarahan yang dialami oleh Marvell.Bellia pikir, operasi Marvell tidak akan berjalan lama. Namun, lampu di atas pintu ruang operasi tersebut masih menyala sampai sekarang.Bellia tidak bisa bernapas dengan tenang, berbagai pikiran buruk terus melintas di pikira
Langit siang ini terlihat sedikit mendung, angin berembus pelan membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Daniel menikmati alunan lagu I Think They Call This Love yang dinyanyikan oleh Elliot James Reay di dalam mobilnya. Bibirnya yang tipis sesekali ikut menyenandungkan lirik lagu tersebut, seperti seorang remaja yang sedang dimabuk cinta.Wajah Bellia terus menari-nari di pikirannya, seperti cahaya hangat yang menyinari seluruh ruang di hatinya. Begitu lembut, memikat, dan tidak tergantikan. Dia bahkan tanpa sadar tersenyum ketika mengingat tatapan dan tawa kecil wanita itu. Hari-harinya yang dulu sunyi, terasa lebih berwarna semenjak bertemu dengan Bellia. Terlebih sekarang ada Marvell di antara mereka. Kini, kebahagiaannya terasa jauh lebih sempurna.Daniel tidak bisa menahan tawanya ketika lagu yang semula syahdu dan menangkan tiba-tiba berubah menjadi Baby Shark. Daftar lagu di dalam mobilnya sekarang memang beragam, bahkan lebih banyak lagu anak-anak semenjak Marvell se
Lorong rumah sakit siang ini terlihat ramai. Suara pelan dari speaker rumah sakit bergema samar, bersaing dengan langkah-langkah tergesa dokter dan perawat yang berlalu-lalang.Seorang pria berwajah tampan terlihat menuntun seorang wanita paruh baya yang wajahnya sedikit pucat."Mama tunggu di sini sebentar, ya? Mahes mau ke bagian administrasi sekaligus menebus obat.""Mama tidak berani di sini sendiri. Mama ikut kamu, ya?" Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menatap Mahes dengan penuh harap. Ada sedikit kekhawatiran di matanya."Mahes cuma sebentar, Ma. Mama tunggu di sini saja, ya?" ucap Mahes setelah itu dia bergegas pergi ke bagian administrasi.Dia berdiri tepat di depan loket pembayaran, menatap antrean panjang dan layar nomor antrean yang tidak kunjung berubah. Di seberangnya, seorang perawat mendorong brankar pasien menuju ruang UGD, sementara dua dokter terlihat membahas hasil rontgen dengan serius.Mahes menghela napas panjang, aroma obat-obatan bercampur denga
Sudah lewat dari tiga hari semenjak toko bunga milik Bellia mendapat supplier baru. Para pelanggan mulai banyak yang berdatangan, bahkan bertambah. Mereka selalu kembali ke D'Marvell Florist karena bunga yang dijual di toko tersebut selalu bagus dan segar. Selain itu pelayanannya juga baik dan ramah."Terima kasih sudah membeli bunga di toko kami." Bellia mengulurkan seikat bunga lili yang baru saja selesai dirangkai ke seorang pelanggan yang berdiri di hadapannya."Sama-sama, Nona," balas pelanggan tersebut sambil tersenyum ramah.Bellia merapikan mejanya yang sedikit berantakan, setelah itu membuang beberapa tangkai bunga yang rusak ke tempat sampah."Akhirnya toko kita bisa kembali normal ya, Bell."Bellia melirik Dita yang berdiri tepat di sebelahnya sekilas setelah itu mengangguk pelan. Jika diingat apa yang terjadi ke belakang, D'Marvell Florist mustahil bisa diselamatkan jika Daniel tidak membantunya.Berkat koneksi dan kekuasaan yang dimilikinya membuat Daniel bisa mendapatkan