Share

6. Positif?!

Author: Aeris Park
last update Last Updated: 2024-10-10 12:49:33

"Kenapa Bapak di sini?"

Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika Daniel berjalan mendekatinya. Rasanya dia ingin sekali kabur dari hadapan Daniel sekarang, tapi tubuhnya masih terasa lemas.

"Kamu baik-baik saja?"

Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia berusaha keras agar terlihat tenang meskipun dia merasa sangat gugup sekarang.

Bellia tidak pernah menyangka Daniel akan kembali ke rumah sakit secepat ini, padahal Daniel tadi mengatakan kalau dia ingin mengikuti acara gathering kantor.

"Saya baik-baik saja."

"Sungguh?"

"I-iya." Bellia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak tahan melihat mata Daniel yang terus menatapnya dalam-dalam, seolah-olah takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya.

Apa lelaki itu mengkhawatirkannya?

Bellia tanpa sadar meremas selimutnya semakin erat untuk menahan perasaan hangat yang menjalari dadanya. Dia tidak boleh merasa senang dengan perhatian kecil yang Daniel berikan.

"Aku pikir kamu habis menangis," ucap Daniel santai sambil meletakkan buah stroberi yang dibawanya di atas meja samping tempat tidur Bellia.

"Ba-Bapak bilang apa?" Bellia sontak menatap Daniel.

Apa terlihat jelas kalau dia habis menangis?

Bellia cepat-cepat merapikan penampilannya dan mengubah raut wajahnya agar terlihat lebih segar. Namun, sepertinya percuma karena Daniel sepertinya sempat mendengarnya menangis saat berbicara dengan Rianty di telepon tadi.

"Sudahlah lupakan. Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Daniel dengan nada lembut yang tidak biasa hingga membuat Bellia kembali gugup.

"Em, tidak." Bellia menggeleng pelan. "Kenapa Bapak ke sini? Bukankah acara kantor belum selesai?"

Bellia diam-diam merutuki mulutnya yang asal bicara. Seharusnya dia tidak bertanya agar Daniel cepat pergi dari kamarnya. Jujur saja berada di dekat Daniel membuat Bellia merasa tidak nyaman.

"Kenapa kamu terus bertanya? Apa kamu tidak senang melihatku?"

Bellia refleks mengangguk, sedetik kemudian dia menggeleng cepat setelah menyadari raut wajah Daniel yang berubah tidak senang. "Ti-tidak. Maksud saya bukan begitu, saya cuma—"

"Cuma apa?"

Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Daniel.

"Maaf." Bellia menunduk, tidak berani menatap Daniel.

Daniel menarik sebuah kursi yang ada di dekat ranjang Bellia lalu mendudukkan diri di sana.

"Di mana tantemu? Apa dia belum datang?"

Pertanyaan Daniel barusan sukses membuat Bellia tergagap. Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia memberi tahu Daniel kalau tantenya tidak akan pernah datang?

Tidak.

Dia tidak boleh mengatakan yang sebenarnya karena Daniel akan terus berada di sini jika tahu tantenya tidak mau menemaninya di rumah sakit.

"Ta-tante saya sedang berada di jalan, mungkin sebentar lagi datang."

"Jawab pertanyaanku dengan jelas, aku tidak mau mendengar jawaban ragu-ragu seperti itu." Daniel bersandar lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang iris hitam miliknya menatap Bellia dengan lekat.

"Se-setengah jam. I-iya, setengah jam lagi."

"Kalau begitu aku akan menunggu di sini sampai tantemu datang."

"A-apa?!"

Bellia ingin menolak, tapi Daniel paling tidak suka jika ada seseorang yang membantahnya. Akhirnya Bellia hanya bisa parah dan berharap semoga ada keajaiban yang bisa membuat Daniel pergi dari hadapannya.

Waktu tiga puluh menit terasa sangat lama bagi Bellia. Bellia tidak tahu mengapa Daniel memilih menemaninya di rumah sakit padahal lelaki itu terus mendapat telepon dari sekretarisnya untuk membahas pekerjaan.

Apa Daniel memang peduli pada dirinya?

Tidak.

Bellia lagi-lagi memilih menahan perasaannya, tidak ingin menganggap perhatian kecil Daniel seperti hal yang istimewa.

"Baiklah, segera kirim dokumennya padaku kalau kamu sudah selesai memperbaikinya." Daniel memasukkan ponselnya ke dalam saku celana lalu kembali menghampiri Bellia.

"Sekarang sudah jam lima lewat tiga puluh menit. Sepertinya tantemu tidak datang ...." Daniel menahan ucapannya, ingin melihat bagaimana ekspresi Bellia.

"Atau memang tidak ingin datang," ucapnya tenang, berbanding terbalik dengan Bellia yang merasa sangat gugup sekarang. Seperti seekor kancil yang ketahuan mencuri timun.

"Ka-kalau Bapak ingin kembali sekarang tidak apa-apa. Saya bisa di sini sendiri. Terima kasih sudah menemani saya."

"Kamu mengusirku?" Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah.

"Bu-bukan begitu." Bellia menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan wajah. "Saya cuma tidak ingin membuat Bapak semakin repot."

Daniel hanya diam, kedua matanya menatap Bellia dengan pandangan yang sulit diartikan membuat perasaan Bellia mendadak tidak tenang.

"Kamu benar-benar tidak mengingatnya?"

Deg.

Tubuh Bellia menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar pertanyaan Daniel barusan.

Bellia sengaja bersikap biasa, seolah-olah tidak terjadi sesuatu di antara dirinya dan Daniel untuk melindungi perasaannya sendiri. Lagi pula tadi malam adalah kesalahan, dan Bellia takut jika Daniel tahu soal tadi malam, atasannya mungkin akan memecatnya atau bahkan menuntutnya.

"Maksud, Bapak?" Bellia pura-pura tidak mengerti.

Senyum tipis terangkat di salah satu sudut bibir Daniel melihat reaksi Bellia. "Masih belum mau mengaku rupanya.” Daniel meraih tangan Bellia, lalu meletakkan sebuah jepit rambut di atas telapak tangan gadis itu. “Ini, aku kembalikan padamu." 

Bellia bergeming di tempat. Dia hanya diam melihat Daniel yang berjalan meninggalkan kamarnya dengan air mata yang perlahan jatuh membasahi pipinya.

***

Waktu begitu cepat berlalu, Bellia kembali bekerja di kantor seperti biasa meskipun sebulan terakhir dia harus bermain kucing-kucingan dengan Daniel. Dia selalu menghindar jika tidak sengaja bertemu dengan lelaki itu. Entah di lorong, lobi, atau kantin.

Daniel tahu apa yang dilakukan Bellia dan itu membuat Daniel merasa sangat kesal. Dia bingung mengapa Bellia tiba-tiba berubah dan semakin menjauhinya. Gadis itu selalu memiliki alasan untuk menghindar setiap kali dia ingin mendekat.

"Bell, Pak Daniel minta kamu untuk menyelesaikan laporan ini."

"Lagi?" Bellia terkejut melihat tumpukan berkas yang Lisa taruh di atas meja kerjanya. "Tapi sebentar lagi jam pulang, Lis."

Lisa mengangkat bahu acuh tak acuh. "Aku juga tidak tahu, Pak Daniel tadi cuma bilang kalau kamu harus menyelesaikan laporan ini malam ini juga."

Bellia menghela napas panjang, lagi-lagi Daniel sengaja memberinya banyak pekerjaan. Lelaki itu bahkan tidak segan memarahinya di depan karyawan, padahal dia cuma melakukan kesalahan kecil. Jujur saja Bellia merasa sangat lelah, tapi dia tidak punya pilihan selain mengerjakan laporan tersebut.

Setelah menyelesaikan laporan-laporan itu, Bellia tiba di rumah saat hari sudah gelap, tetapi tiba-tiba saja perut bagian bawahnya terasa kram, seperti ada yang meremasnya dengan kuat.

Bellia berjalan menuju kamarnya sambil berpegangan pada tembok lalu duduk di tepi ranjang. Perutnya memang sering sakit saat akan datang bulan, tapi rasa sakitnya kali ini agak berbeda. Dia bahkan sering mual, apa lagi ketika pagi.

Tubuh Bellia tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Wajahnya pun seketika berubah pucat ketika sadar kalau dia belum datang bulan sampai sekarang.

Apa mungkin ....

Bellia beranjak dari tempat duduknya. Dia langsung pergi ke apotek untuk membeli test pack dan hasilnya ternyata .... positif. 

Dia hamil.

Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Apa yang dia dan Daniel lakukan malam itu telah menghadirkan sebuah kehidupan baru di rahimnya.

Apa yang harus Bellia lakukan? Haruskah dia memberi tahu Daniel kalau dia mengandung anaknya?

Akan tetapi, bagaimana jika Daniel menolak? Apakah dia siap?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   87. Pelajaran Untuk Vania

    "Dasar bodoh!" Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Vania setelah Daniel memberi tahu sang ayah tentang perbuatannya.Rasa panas sontak mejalari pipinya yang terlihat memerah. Sudut bibirnya bahkan robek dan mengeluarkan sedikit darah.Vania meringis pelan, meratapi karma yang begitu cepat dia dapatkan. Seperti badai yang datang tanpa peringatan. Tamparan sang ayah tidak hanya menghantam wajahnya, tapi juga harga dirinya, padahal baru saja menyerang Bellia di rumah sakit beberapa jam yang lalu.Vania berdiri kaku di tempat, air mata perlahan menetes dari sudut matanya. Bukan karena sakit di wajahnya, tapi kerena kekacauan yang dia buat sendiri, dan mau tidak mau dia harus menanggung semuanya sekarang."Bagaimana kamu bisa melakukan hal serendah ini, Vania?" Suara Bastian—ayah kandung Vania menggema, penuh amarah dan kekecewaan. "Papi sudah menyekolahkanmu tinggi-tinggi, tapi kamu malah mempermalukan Papi seperti ini. Dasar anak tidak tahu diri!"Daniel menyilangkan sebelah kakinya

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   86. Luka dan Dendam

    Pintu kamar Marvell terbuka lebar dengan bunyi dentuman yang terdengar cukup keras, disusul langkah cepat Daniel yang langsung membeku di ambang pintu setelah melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih seketika.Bellia terduduk di lantai dengan rambut berantakan, pipinya merah karena tamparan yang baru saja mendarat di sana. Di sudut lain, Marvell menangis histeris di bawah tempat tidurnya dengan wajah penuh ketakutan. Sebuah vas bunga terjatuh dan pecah di lantai, kursi bergeser dari tempatnya. Jam dinding yang berdetik pelan, menjadi satu-satunya suara yang menyertai isak tangis Marvell.Sedangkan Vania berdiri di tengah-tengah mereka, tubuhnya masih gemetar karena amarah yang begitu membara. Tangan kanannya kembali terangkat, ingin melayangkan pukulan ke tubuh Bellia yang sudah tidak berdaya.Pandangan Daniel langsung berubah tajam, seperti pedang yang baru saja ditempa dalam bara api kemarahan. Berkilau, dingin, dan siap menebas siapa pun yang berani menyakiti orang yang

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   85. Melempar Kesalahan

    "Kamu masih tanya kenapa?" Vania tertawa jahat, seperti seorang psikopat yang menemukan kenikmatan di balik penderitaan orang lain.Tawanya nyaring, getir, dan penuh kebencian, menggema di antara dinding-dinding rumah sakit yang seketika berubah sempit dan dingin."Aku melakukan semua ini karena kamu terlalu naif, Bellia!""Terlalu naif?" gumam Bellia tidak mengerti. Selama ini dia selalu berusaha bersikap baik pada orang lain, bahkan pada tantenya sendiri. Dia tidak pernah membenci tante yang sudah memanfaatkan dan menghabiskan uangnya. Dia rela melakukan semua itu agar hubungannya dengan sang tante baik-baik saja.Namun, Vania tiba-tiba saja datang dan menyebut dirinya 'naif'. Padahal dia tidak pernah bertegur sapa dengan wanita itu.Dia pertama kali melihat Vania sekaligus untuk yang terakhir kalinya ketika ingin menemui Daniel di ruangannya. Kejadian itu pun sudah lama berlalu—mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu.Saat itu dia ingin memberi tahu Daniel tentang apa yang

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   84. Kenyataan yang Menyakitkan

    Suasana kamar nomor 614 itu kembali hening selepas kepergian Cherry dan Seika. Bellia kembali ke dalam setelah menutup pintu lalu menghampiri Marvell yang duduk di atas ranjang.Marvell tampak murung, wajahnya terlihat tidak ceria saat bersama Cherry. Dan sebagai ibu, Bellia tentu saja menyadari hal itu."Ada apa, Sayang? Kenapa Marvell tiba-tiba sedih?" tanya Bellia terdengar penuh perhatian.Marvell melirik Bellia sekilas, setelah itu kembali memperhatikan gambar beruang yang belum selesai dia warnai. Jemarinya perlahan bergerak, memberi warna pada gambar tersebut agar terlihat lebih hidup.Bellia diam-diam memperhatikan apa yang Marvell lakukan lalu tersenyum tipis. Marvell memang dekat dengan Cherry semenjak masuk sekolah. Mereka selalu bermain dan belajar bersama.Di mana ada Marvell, di situ pasti ada Cherry.Ke mana pun Marvell pergi, Cherry selalu mengikuti. Seperti bayangan yang tidak bisa lepas dan dipisahkan.Saat Marvell bermain bola di halaman sekolah, Cherry akan duduk d

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   83. Teman Istimewa

    Kondisi Marvell berangsung-angsur membaik setelah dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Dokter yang merawatnya bahkan merasa heran karena Marvell bisa pulih lebih cepat dari waktu yang mereka perkirakan.Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, Daniel dan Bellia juga memiliki peran yang sangat penting di balik kesembuhannya. Mereka bergantian menjaga Marvell setiap malam. Daniel bahkan rela menunda pekerjaannya agar bisa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk Marvell.Sedangkan Bellia terpaksa menutup toko bunganya selama beberapa hari karena Dita sedang mengunjungi orang tuanya yang tinggal di luar kota. Untung saja para pelanggan mau memahami kondisinya yang sedang tertimpa musibah. Mereka bahkan turut mendoakan semoga Marvell lekas diberi kesembuhan.Marvell tidak pernah merasa kesepian selama dirawat. Setiap hari selalu ada teman sekolah yang datang menjenguknya, terutama Cherry.Anak perempuan cantik berumur empat tahun itu hari ini kembali datang menjenguk Marvell bersama de

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   82. Kabar Baik

    Ruangan itu dipenuhi aroma karbol dan obat-obatan yang begitu menusuk hidung. Keheningan menggantung jelas di udara, seperti kabut tebal yang begitu menyesakkan.Daniel dan Bellia duduk berdampingan di salah salah satu kursi, sedangkan Mahes memilih berdiri di tempat yang agak jauh dari mereka.Kedua tangan Bellia terkepal erat di atas kedua pahanya. Wajahnya terlihat sangat tegang, seperti menahan beban yang begitu berat. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya, menahan perasaan takut sekaligus cemas yang berkecamuk di dalam dadanya.Marvell sudah masuk ke dalam ruang operasi sejak satu jam yang lalu, tepatnya setelah mendapat donor darah dari Daniel. Dokter ingin melakukan proses hematosis untuk menghentikan pendarahan yang dialami oleh Marvell.Bellia pikir, operasi Marvell tidak akan berjalan lama. Namun, lampu di atas pintu ruang operasi tersebut masih menyala sampai sekarang.Bellia tidak bisa bernapas dengan tenang, berbagai pikiran buruk terus melintas di pikira

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status