Share

7. Terpuruk

Penulis: Aeris Park
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-11 18:48:04

Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.

Bellia terlihat ... sangat menyedihkan.

Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya.

Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.

Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil.

"Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar putus asa.

Rasanya Bellia ingin sekali kembali ke masa sebelum kekacauan ini terjadi. Namun, dia tidak mungkin bisa melakukannya.

Getaran dari ponsel yang tergeletak di atas meja menyentak lamunan Bellia. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya ketika melihat notifikasi pesan dari Rianty yang muncul di layar. Seperti biasa tantenya selalu minta uang tanpa mau peduli dengan keadaannya.

Bellia meletakkan kembali ponselnya di atas meja setelah mengirim pesan balasan untuk Rianty. Tantenya pasti marah karena dia mengatakan tidak bisa mengirim uang, padahal dia ingin memberinya secara langsung sekaligus menengok neneknya.

Keesokan harinya Bellia pergi ke rumah Rianty yang berada di pinggir kota. Dia berangkat pukul 7 pagi dan tiba di sana ketika hari sudah menjelang siang. Dia langsung menghampiri neneknya yang terbaring lemah di atas ranjang.

"Nek ...."

Kesedihan terpancar jelas dari kedua sorot mata Bellia ketika menatap neneknya. Neneknya dulu sangat kuat dah penuh semangat, tapi wanita tua itu sekarang tidak banyak bicara, tatapan matanya terkadang kosong seolah-olah dunia di sekitarnya tidak lagi nyata.

"Bellia minta maaf ...." Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk mata Bellia. Mati-matian dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh di depan neneknya.

"Maaf karena Bellia tidak bisa menjaga diri."

Sang nenek hanya diam, tatapannya lurus ke depan. Penyakit dimensia yang diderita nenek dua tahun lalu membuat wanita itu sering kali tidak mengenali orang-orang yang ada di dekatnya, termasuk Bellia. Nenek seolah-olah terjebak di dunianya sendiri hingga tidak bisa memahami curahan hatinya.

"Bellia hamil, Nek ...." Air mata itu akhirnya jatuh membasahi pipi Bellia. Kedua tangannya tanpa sadar mencengkeram pinggiran ranjang neneknya dengan erat.

"Bellia takut, Nek. Bellia tidak tahu harus melakukan apa karena Pak Daniel juga belum tahu tentang kehamilan Bellia. Bagaimana kalau Pak Daniel menolak anak ini, Nek? Bellia takut ...."

Tangis Bellia seketika pecah, isakannya terdengar keras. Bellia terlihat begitu rapuh dan butuh dekapan hangat neneknya untuk menguatkan dirinya. Namun, neneknya hanya diam, menatap pun tidak.

Bunyi pintu yang dibuka cukup keras menyantak Bellia.

Rianty tiba-tiba datang menghampirinya dengan wajah masam. "Apa yang kamu lakukan di sini? Nangis lagi?"

Bellia cepat-cepat menyeka air matanya, berusaha menenangkan diri meskipun hatinya masih kacau. "Bellia kangen sama Nenek, Tante ...."

Rianty mendengus sinis. "Kamu pikir masalahmu bisa selesai dengan menangis di sini? Tidak, Bellia. Kamu lihat sendiri nenekmu yang tidak berguna itu sudah diambang hidup dan mati. Dia tidak akan peduli dengan apa pun yang terjadi padamu."

Bellia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, berusaha meredam amarahnya agar tidak meledak melihat Rianty yang tertawa senang setelah menghinanya. Bellia sadar kondisi neneknya setiap hari semakin memburuk. Akan tetapi, Rianty seharusnya tidak mengatakan hal sekasar itu pada dirinya. Apa lagi di depan neneknya.

"Mana uangku!"

"Uang, Tante?" Bellia menatap Rianty dengan kening berkerut dalam.

"Jangan berlagak bodoh, Bellia. Aku kemarin sudah memintamu untuk mengirim uang. Jadi, mana uangku! Aku harus membeli popok dan kebutuhan lain untuk wanita tua ini."

Bellia cepat-cepat menghapus air mata yang jatuh membasahi pipinya lalu tersenyum pada Rianty. Senyum yang tidak sampai ke matanya dan penuh dengan luka. "Tante minta uang untuk kebutuhan Nenek atau modal anak Tante berjudi?"

"Kamu ...?!" Rianty menunjuk Bellia.

Bellia tersenyum miris, kesabarannya sudah habis. "Apa Tante pikir Bellia tidak tahu kalau uang yang selama ini Bellia kirim sebagian besar Tante berikan ke Anton untuk modal judi? Bellia tahu, Tante. Tapi Bellia memilih diam karena cuma Tante harapan Bellia satu-satunya untuk menjaga Nenek!"

Rianty terkejuk mendengarnya, tapi dia tidak boleh terlihat lemah di depan Bellia. "Kamu berani melawanku sekarang?"

Bellia menghela napas panjang lalu kembali menatap neneknya. "Bellia pulang dulu ya, Nek. Maaf karena belum bisa menjadi cucu yang baik. Bellia sayang Nenek."

Bellia mengecup kening neneknya dengan penuh sayang sebelum pergi. Namun, Rianty malah mencengkeram pergelangan tangannya.

"Berikan dulu uangku!" desis Rianty menatap Bellia tajam.

Bellia dengan berani melepas tangannya dari cengkeraman Rianty lalu membalas tatapan wanita itu tidak kalah tajam. "Tidak ada uang lagi untuk bulan ini. Bellia pergi dulu, Tante. Permisi ...," ucapnya sebelum pergi.

"Argh, sialan! Aku pasti akan membuatmu menyesal karena berani melawanku, Bellia!"

Bellia terus melangkah, tidak peduli dengan Rianty yang berteriak seperti orang tidak waras di belakang sana.

***

Bellia pikir perasaannya akan sedikit membaik setelah menceritakan masalahnya pada sang nenek. Akan tetapi, perasannya ternyata tetap tidak tenang. Bayi yang berada di dalam perutnya seolah-olah memaksa dirinya agar mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah.

Haruskah dia menemui Daniel?

Sepanjang hari Bellia hanya menatap kosong layar monitornya. Pikiran dan hatinya sangat tidak tenang. Berulang kali Bellia berpikir apakah lebih baik jika dia memberitau Daniel? Namun, jika dia memberitahu Daniel, pria itu akan melakukan apa?

“Bellia, kamu dipanggil Pak Daniel,” ucap Anita, atasan Bellia di divisi pemasaran.

Bellia tersentak langsung berdiri menatap Anita. “Kenapa … kenapa saya dipanggil Pak Daniel, Bu?”

Tanpa menatap Bellia dan fokus pada layar monitor, Anita berkata santai, “Saya juga nggak tahu. Tapi daripada kamu dimarahi Pak Daniel, jadi lebih baik kamu ke ruangannya sekarang.”

Pandangan Bellia kosong selama berjalan menuju ruangan Daniel. Mengapa lelaki itu memintanya datang ke ruangannya?

Jantung Bellia berdegup kencang ketika dirinya sudah berada di dekat ruangan Daniel. Bellia juga tidak memastikan untuk apa Daniel memanggilnya pada sekretarisnya karena Khaisar tidak ada di tempatnya.

Bellia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Bellia mengetuk pintu ruangan Daniel beberapa kali karena tidak ada sahutan dari dalam, hingga Bellia memberanikan diri untuk membuka pintu itu perlahan.

Namun, tenggorokannya tercekat dan tubuhnya berhenti di ambang pintu ketika melihat Daniel bersama seorang wanita. Daniel bahkan melingkarkan kedua tangannya di pinggang wanita itu lalu mencium wanita itu dengan mesra.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   87. Pelajaran Untuk Vania

    "Dasar bodoh!" Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Vania setelah Daniel memberi tahu sang ayah tentang perbuatannya.Rasa panas sontak mejalari pipinya yang terlihat memerah. Sudut bibirnya bahkan robek dan mengeluarkan sedikit darah.Vania meringis pelan, meratapi karma yang begitu cepat dia dapatkan. Seperti badai yang datang tanpa peringatan. Tamparan sang ayah tidak hanya menghantam wajahnya, tapi juga harga dirinya, padahal baru saja menyerang Bellia di rumah sakit beberapa jam yang lalu.Vania berdiri kaku di tempat, air mata perlahan menetes dari sudut matanya. Bukan karena sakit di wajahnya, tapi kerena kekacauan yang dia buat sendiri, dan mau tidak mau dia harus menanggung semuanya sekarang."Bagaimana kamu bisa melakukan hal serendah ini, Vania?" Suara Bastian—ayah kandung Vania menggema, penuh amarah dan kekecewaan. "Papi sudah menyekolahkanmu tinggi-tinggi, tapi kamu malah mempermalukan Papi seperti ini. Dasar anak tidak tahu diri!"Daniel menyilangkan sebelah kakinya

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   86. Luka dan Dendam

    Pintu kamar Marvell terbuka lebar dengan bunyi dentuman yang terdengar cukup keras, disusul langkah cepat Daniel yang langsung membeku di ambang pintu setelah melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih seketika.Bellia terduduk di lantai dengan rambut berantakan, pipinya merah karena tamparan yang baru saja mendarat di sana. Di sudut lain, Marvell menangis histeris di bawah tempat tidurnya dengan wajah penuh ketakutan. Sebuah vas bunga terjatuh dan pecah di lantai, kursi bergeser dari tempatnya. Jam dinding yang berdetik pelan, menjadi satu-satunya suara yang menyertai isak tangis Marvell.Sedangkan Vania berdiri di tengah-tengah mereka, tubuhnya masih gemetar karena amarah yang begitu membara. Tangan kanannya kembali terangkat, ingin melayangkan pukulan ke tubuh Bellia yang sudah tidak berdaya.Pandangan Daniel langsung berubah tajam, seperti pedang yang baru saja ditempa dalam bara api kemarahan. Berkilau, dingin, dan siap menebas siapa pun yang berani menyakiti orang yang

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   85. Melempar Kesalahan

    "Kamu masih tanya kenapa?" Vania tertawa jahat, seperti seorang psikopat yang menemukan kenikmatan di balik penderitaan orang lain.Tawanya nyaring, getir, dan penuh kebencian, menggema di antara dinding-dinding rumah sakit yang seketika berubah sempit dan dingin."Aku melakukan semua ini karena kamu terlalu naif, Bellia!""Terlalu naif?" gumam Bellia tidak mengerti. Selama ini dia selalu berusaha bersikap baik pada orang lain, bahkan pada tantenya sendiri. Dia tidak pernah membenci tante yang sudah memanfaatkan dan menghabiskan uangnya. Dia rela melakukan semua itu agar hubungannya dengan sang tante baik-baik saja.Namun, Vania tiba-tiba saja datang dan menyebut dirinya 'naif'. Padahal dia tidak pernah bertegur sapa dengan wanita itu.Dia pertama kali melihat Vania sekaligus untuk yang terakhir kalinya ketika ingin menemui Daniel di ruangannya. Kejadian itu pun sudah lama berlalu—mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu.Saat itu dia ingin memberi tahu Daniel tentang apa yang

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   84. Kenyataan yang Menyakitkan

    Suasana kamar nomor 614 itu kembali hening selepas kepergian Cherry dan Seika. Bellia kembali ke dalam setelah menutup pintu lalu menghampiri Marvell yang duduk di atas ranjang.Marvell tampak murung, wajahnya terlihat tidak ceria saat bersama Cherry. Dan sebagai ibu, Bellia tentu saja menyadari hal itu."Ada apa, Sayang? Kenapa Marvell tiba-tiba sedih?" tanya Bellia terdengar penuh perhatian.Marvell melirik Bellia sekilas, setelah itu kembali memperhatikan gambar beruang yang belum selesai dia warnai. Jemarinya perlahan bergerak, memberi warna pada gambar tersebut agar terlihat lebih hidup.Bellia diam-diam memperhatikan apa yang Marvell lakukan lalu tersenyum tipis. Marvell memang dekat dengan Cherry semenjak masuk sekolah. Mereka selalu bermain dan belajar bersama.Di mana ada Marvell, di situ pasti ada Cherry.Ke mana pun Marvell pergi, Cherry selalu mengikuti. Seperti bayangan yang tidak bisa lepas dan dipisahkan.Saat Marvell bermain bola di halaman sekolah, Cherry akan duduk d

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   83. Teman Istimewa

    Kondisi Marvell berangsung-angsur membaik setelah dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Dokter yang merawatnya bahkan merasa heran karena Marvell bisa pulih lebih cepat dari waktu yang mereka perkirakan.Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, Daniel dan Bellia juga memiliki peran yang sangat penting di balik kesembuhannya. Mereka bergantian menjaga Marvell setiap malam. Daniel bahkan rela menunda pekerjaannya agar bisa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk Marvell.Sedangkan Bellia terpaksa menutup toko bunganya selama beberapa hari karena Dita sedang mengunjungi orang tuanya yang tinggal di luar kota. Untung saja para pelanggan mau memahami kondisinya yang sedang tertimpa musibah. Mereka bahkan turut mendoakan semoga Marvell lekas diberi kesembuhan.Marvell tidak pernah merasa kesepian selama dirawat. Setiap hari selalu ada teman sekolah yang datang menjenguknya, terutama Cherry.Anak perempuan cantik berumur empat tahun itu hari ini kembali datang menjenguk Marvell bersama de

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   82. Kabar Baik

    Ruangan itu dipenuhi aroma karbol dan obat-obatan yang begitu menusuk hidung. Keheningan menggantung jelas di udara, seperti kabut tebal yang begitu menyesakkan.Daniel dan Bellia duduk berdampingan di salah salah satu kursi, sedangkan Mahes memilih berdiri di tempat yang agak jauh dari mereka.Kedua tangan Bellia terkepal erat di atas kedua pahanya. Wajahnya terlihat sangat tegang, seperti menahan beban yang begitu berat. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya, menahan perasaan takut sekaligus cemas yang berkecamuk di dalam dadanya.Marvell sudah masuk ke dalam ruang operasi sejak satu jam yang lalu, tepatnya setelah mendapat donor darah dari Daniel. Dokter ingin melakukan proses hematosis untuk menghentikan pendarahan yang dialami oleh Marvell.Bellia pikir, operasi Marvell tidak akan berjalan lama. Namun, lampu di atas pintu ruang operasi tersebut masih menyala sampai sekarang.Bellia tidak bisa bernapas dengan tenang, berbagai pikiran buruk terus melintas di pikira

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status