Risko datang tepat jam 2. Ia mengetuk pintu. Sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, masih tidak ada jawaban. Akhirnya Risko membuka pintu dan masuk ke dalam, sesuai dengan pesan yang diterimanya dari Valerie.
Warna monokrom langsung memenuhi penglihatan Risko. Semua barang yang ada di rumah Valerie hanya memiliki 3 warna. Hitam, putih dan abu-abu. Itupun abu-abu hanya sedikit sekali, hitam dan putih yang mendominasi segalanya.
Tatanan ruang tamu Valerie sangat rapih, tidak ada satupun barang yang tidak pada tempatnya. Lebih tepatnya, tidak terlalu banyak barang di ruangan itu. Hanya sofa berukuran sedang 2 buah, dengan lemari buku di sampingnya. Sisanya hanya terbentang karpet bulu berwarna hitam. Suasana yang nyaman untuk ngobrol tanpa terkesan formal.
Kemudian bergeser sedikit ada sebuah meja makan besar berbentuk bulat, dan 3 buah kursi yang mengelilinginya. Juga sebuah kulkas di dekatnya.
Risko duduk di sofa sambil masih mengamati ruangan ini. Di depan ruangan yang sedang di dudukinya ada 3 buah pintu. Yang 2 berjajar dan 1 pintu membentuk letter L. Risko menebak itu adalah kamar, kamar mandi dan sebuah dapur.
“Udah belom nganalisis rumah saya?” tanya Valerie yang baru saja keluar dari kamar. Dengan kondisi rambut yang basah, dan hanya memakai kaos oblong dan celana santai sebetis membuat Valerie berbeda 180 derajat dengan yang Risko lihat ketika meeting.
“Sekarang, analisis saya?” tanya Valerie lagi.
“Eh, sorry sorry,” Risko terkekeh. Ia benar-benar tidak sadar bahwa dirinya terbengong-bengong memandang Valerie.
“Mau langsung makan?” tanya Val.
“Boleh,” jawab Risko.
“Btw kamu kenapa formal banget sih kerumah saya doang,” Valerie mengamati Risko yang memakai celana semi jeans warna hitam dengan kaos berkerah warna hitam.
“Hahahaha, iya ya salah kostum saya. Besok-besok pake yang lebih santai aja deh,” ujar Risko.
“Yaudah yuk ke meja makan.”
Valerie berjalan mendahului Risko menuju meja makan. Ia mengambil 2 porsi spageti yang terlihat menggiurkan. Asap masih mengepul dari spageti itu, menambah lapar perut Risko. Valerie memberi topping bumbu spageti yang ia olah, warna merah dari topping itu, ditambah irisan smoke beef benar-benar menggoda.
Risko menelan ludah. Partner bisnisnya yang satu ini tidak main-main. Lekukan tubuhnya yang tercetak jelas dibalik kaos oblong yang digunakannya, kelihaian tangannya menyiapkan makanan ditambaah rambut basahnya yang habis mandi, bersatu menjadi penggoda iman paling besar.
“Sabar ya Pak Risko, mukanya laper banget,” Valerie lagi-lagi bisa membaca pikiran Risko.
“Kayaknya kamu jurusan psikologi ya kuliahnya, bukan bisnis. Selalu tau apa yang saya pikirin,” Risko terkekeh.
“Silahkan,” Valerie menyerahkan satu piring spagrti lengkap yang sudah ia racik. Aromanya menguar, menusuk hidung Risko.
“Wangi banget, saya makan yaa,” kata Risko.
“Silahkan,” balas Valerie.
Risko berbinar. Ini hanya spageti, tapi entah mengapa spageti ini terasa enak sekali.
“Enak banget beneran,” kata Risko.
“Terimakasih, saya tersanjung,” kata Valerie. Ia bisa melihat ketulusan dari wajah Risko. Risko benar-benar menikmati makanannya. Valerie tersenyum senang dan melanjutkan makam spagetinya sendiri.
Selesai makan, Valerie membawanya piring kotor, masuk ke pintu yang menghadap meja makan membentuk letter L. Benar dugaan Risko bahwa itu adalah dapur. Ia melihat Valerie membersihkan piring mereka berdua. Risko cukup surprise karna Valerir mencuci piring sendiri, tidak ada bantuan asisten rumah tangga.
“Kita ngobrol di karpet aja yuk, apa kamu masih laper dan mau laangsung main course?” tanya Valerie. Lagi-lagi ia seperti bisa membaca pikiran Risko.
“Hahahaha yaudah tunggu ya, saya siapin dulu,” kata Valerie.
“May i help you?” tanya Risko.
“My pleasure,” kata Valerie.
Risko akhirnya membantu Valerie menyiapkan makanan utama mereka, nasi hangat dengan ayam bakar dan bumbu rujak. Risko membantu menyiapkan alat makan, piring, sendok, dan lain-lain. Sedangkan Valerie menyiapkan makanannya. Mereka seperti sudah sangat lama kenal, padahal bertemu saaja baru kemarin, itupun hanya untuk kepperluan pekerjaan.
Satu ekor ayam yang dipotong 8, yang sudah di bakar sudah tersedia di meja makan. Bumbu rujak menghiasi di mangkok di samping ayam. Lalapan mentah tidak terlupakan. Dan yang paling penting, nasi hangat yang baru saja matang.
“Silahkan Pak Risko,” ujar Valerie.
“Hahaha, baik Ibu Valerie,” Risko mengambil sedikit nasi, namun banyak sekali lalapan. Ia mengambil ayam bakar potongan dada, dan bumbu rujak yang dibuat Valerie.
Risko makan ayam bakar dengan nasi, kembali matanya berbinar. Valerie tertawa kecil. Risko yang ia kenal di kantor sangat berbeda dengan Risko yang ia lihat hari ini. Tidak ada urat yang menyembul di jidatnya, tidak ada bahu tegap yang diperlihatkan di meeting. Yang ada hanya seorang pria yang sedang santai sambil menikmati hidangan yang ia masak.
Tidak ada yang bersuara selama mereka makan. Risko dan Valerie sama-sama menikmati hidangan. Ayam yang Valerie bakar bahkan sampai habis 5 potong, lalapan dan sambal rujak habis. Valerie benar-benar senang karna ia merasa masakannya di hargai oleh Risko.
Makan sudah selesai, Risko dan Valerie sudah kenyang. Risko kembali membantu Valerie untuk merapihkan dan mencuci alat-alat makan yang mereka gunakan.
“Harusnya kamu gausah bantuin juga gapapa sih, kan kamu tamu” kata Valerie.
“Tapi saya ga mau makan gratis,” ujar Risko.
Valerie tertawa.
“Man pride nya tergores ya kalo makan gratis pake uang perempuan,” ujar Valerie sambil menaruh piring di tempatnya.
“Hahahha, bisa aja,” kata Risko.
Valerie dan Risko sudah selesai merapihkan peralatan makan. Mereka berjalan menuju ruang depan tadi. Valerie duduk di bawah, di karpet berbulu hitam, Risko duduk di sampingnya, sedikit bersandar ke sofa.
“So, kenapa kamu tiba-tiba kemaren wa saya nanya kayak gitu?” tanya Valerie.
“You are so obvoius,” ujar Risko.
“Hahaha, just like you,” kata Valerie.
“Jujur saya tertarik sama kamu. Kamu cantik Val, kamu juga pinter. Kalo kita bisa lebih dari sekedar bussines partner, It will so great buat saya,” ujar Risko.
“To be honest, so do I. Kamu pinter, kamu juga cakep, kamu tegas jadi laki-laki. And one thing yang paling saya suka dari kamu adalah, kamu ga banyak basa-basi. I really hate someone yang kalo ngomong banyak basa-basi,” ujar Valerie.
“Wah terimakasih saya tersanjung,” ujar Risko.
“Hahahaha bisa aja,” ujar Valerie.
“So, Valerie, are you living alone here?” tanya Risko.
“Yes I am. My parents ada di Inggiris, saya anak satu-satunya. Ya jadi saya tinggal sendiri di sini,” ujar Valerie.
“Kamu ga mau ikut ke Inggris sama orangtua kamu? Bukannya di sana lebih menjanjikan ya? Pekerjaannya, lingkungannya?” tanya Risko.
“Nope. Saya sangat suka di sini. Saya suka kota ini, saya suka Negara ini. Pokoknya saya suka di sini. Saya gak mau pindah,” kata Valerie.
“And how about you? And your family?” tanya Valerie.
“Ga ada yang spesial, saya anak kedua dari 2 bersaudara. Saya punya 1 kakak yang sekarang tinggal di Amsterdam sama keluarganya, saya tinggal sama orangtua saya. Orangtua saya punya usaha jual beli hamburger…” Risko diam sebentar, ia melihat ekspresi Valerie yang tiba-tiba terlihat sumringah.
“Kamu kenapa?” tanya Risko.
“Jadi gini Bu Valerie..”Faris mendengarkan di depan pintu dengan Valerie yang ada di tempat tidur.“Ibu pernah punya histori radang tenggorokan ya?” tanya Dokter Ali.“Iya dok,” jawab Valerie.“Nah radang tenggorokannya itu kumat bu, jadi demam, enggak enak badan. Lidah juga pahit. Ini enggak apa-apa kok. Cuma butuh istirahat aja, makan juga jangan sembarangan dulu ya bu. Trus banyakin minum air putih.”Valerie mengangguk-angguk. Sudah bukan hal baru dirinya terkena radang tenggorokan. Biasanya jika ia banyak pikiran, atau tubuhnya sedang lelah, radangnya bisa memerah dan membuatnya tidak enak badan.Namun kali ini, sakitnya luar biasa. Mungkin karena ia benar-benar tidak memperhatikan makanan atau minuman apa yang ia konsumsi belakangan, ditambah lagi dengan aktifitasnya yang tidak ada behentinya.“Ini saya buat resep untuk radang tenggorokannya ya, nanti bisa ditebus di apotik. Kalo 3 hari be
Pukul 4 pagi, Valerie dan Faris baru sampai di rumah. Tubuh mereka sudah lelah dan mengantuk.“Kamu apa aku yang mandi duluan?” tanya Valerie.“Kamu aja dulu, abis itu baru aku,” jawab Faris.Setelah Valerie dan Faris mandi, keduanya langsung tertidur. Namun, kali ini Valerie merasa dingin yang dirasakan berbeda dari dingin yang biasanya.“Pasti gara-gara mandi abis begadang nih,” pikirnya.Valerie merapatkan selimutnya dan menaikkan suhu AC nya agar tidak terlalu dingin. Tapi ternyata tidak membantu sama sekali, tubuhnya menggigil saking dinginnya. Faris yang merasakan ada getar disampingnya, membuka mata dan melihat Valerie dalam keadaan menggigil.“Val, kamu kenapa? Dingin ya?” tanya Faris. Valerie mengangguk.Faris buru-buru menuju lemari, ia mengambil 2 pasang kaus kaki dan memakaikannya di kaki Valerie bersamaan. Ia mematikan AC, dan menyalahkan Air cooler. Tidak sedingin AC, namun tetap m
“Enggak apa-apa. Aku selalu kabarin ibuku kok kalo belom pulang,” jawab Anita.“Oh ya?”“Iya, aku lagi sama siapa, aku lagi dimana, ngapain, aku pasti kabarin ibuku. Sebenernya dia enggak minta, tapi emang aku yang selalu ngabarin biar enggak kuatir,” jelas Anita.“Oke kalo gitu.”Risko menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. Ia memejamkan mata, tanpa sadar ia sudah terlelap tidur. Tidak berbeda dengan Anita, setelah memastikan semua pintu terkunci dan AC tetap menyala, Anita jatuh tertidur.Tapi tidak lama kemudian, Anita bangun, ia tidak bisa tertidr jika kondisi mobil tidak berjalan. Lagi pula, tidak baik untuk pernafasan. Buru-buru Anita membuka semua jendela dalam mobil Risko.Angin malam langsung berebut masuk. Malam ini tidak terlalu dingin sebenarnya, tidak seperti malam-malam kemarin. Tapi sudah cukup membuat Anita mengencangkan jaketnya.Anita melihat ke layar, sudah nomor
Valerie yang tadinya sedang serius mengerjakan laporan langsung bangkit dari duduknya.“Serius??” tanya Valerie sambil menghampiri Anita.“Iya Val. Dia bilang mau jadi suamiku tadi,” jawab Anita.“And you said yes?” tanya Valerie, dia benar-benar exited mendengar kabar ini.“Iya Val,” jawab Anita malu-malu.“Wahhhhhh keren banget kalian berduaaa, jadi kapan nih?” tanya Valerie. Ia menarik tangan Anita untuk duduk di sofa bersama dirinya dan Faris.“Masih lama kok. Aku mau kenal Risko dan keluarganya lebih dalam lagi, juga mau kenal sama temen-temannya Risko dulu. Soalnya kan kita kenalnya baru, jadi enggak langsung cepet juga. Minimal 3 bulan aku minta waktu, ya Ris?” tanya Anita kepada Risko.“Iyaa, aku juga mau kenal dulu sama keluarga dan temen-temennya dia. Abis itu kita diskusi lagi, baru deh tentuin tanggal,” jawab Risko. Ia duduk di kursi yang tadi Vale
Anita terdiam. Ia tidak menyangka Risko secepat itu melamar dirinya.“Anita?” tanya Risko.“Eh eh maaf Risko. Aku kaget, enggak nyangka kamu secepat itu ngelamar aku,” ujar Anita.“Iya makanya. Aku juga mikir kamu pasti ngerasa ini cepet banget. Tapi aku udah ngerasa cocok sama kamu. Aku mau hidup aku sama kamu.”Anita menatap Risko, mencari kebohongan dalam mata Risko, tapi ia tidak melihatnya sama sekali. Risko terlihat tulus, ia tidak terlihat bohong sama sekali.“Risko, kamu yakin? Kita belum lama kenal loh..” ujar Anita.“Aku yakin. Aku bisa kenal kamu nanti setelah nikah. Enggak apa-apa kok. Aku beneran yakin mau nikah sama kamu, kamu adalah calon istri yang aku rasa terbaik buatku, buat Papaku, buat keluargaku.”Anita tersentak.“Aku bahkan belom sempet kenal sama keluarga kamu, kalo mereka enggak suka sama aku gimana?” tanya Anita.“Eng
Anita dan Risko sudah duduk di dalam rumah makan. Mereka duduk berhadapan dengan pemandangan langit yang cerah. Dengan lampu-lampu kecil cantik menghiasi interior rumah makan tersebut yang makin terlihat ketika sudah gelap.Angin malam menerbangkan rambut Anita yang dikuncir hanya setengah.“Dingin ya?” tanya Risko.“Lebih tepatnya adem, bukan dingin. Yang waktu di Villa nya Faris aja aku kuat kan,” ujar Anita.“Oh iya bener.”“Kamu tau tempat ini darimana sih? Bagus banget tau,” ujar Anita.“Dulu pernah makan di sini sama temen kantor rame-rame. Kita dari luar kota trus mampir kesini eh ternyata bagus banget.”Obrolan mereka terselak oleh pelayan yang mengantarkan makanan untuk Risko dan Anita. 2 piring nasi dengan ayam goreng dan sambal juga lalapan tersaji di depan mereka. 2 gelas jus buah naga pun tidak luput dari pesanan.“Makasih Mas,” ujar Anita.“Sama-sa