Share

Bab 5 : Awal Kedekatan dengan Risko

Risko datang tepat jam 2. Ia mengetuk pintu. Sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, masih tidak ada jawaban. Akhirnya Risko membuka pintu dan masuk ke dalam, sesuai dengan pesan yang diterimanya dari Valerie.

Warna monokrom langsung memenuhi penglihatan Risko. Semua barang yang ada di rumah Valerie hanya memiliki 3 warna. Hitam, putih dan abu-abu. Itupun abu-abu hanya sedikit sekali, hitam dan putih yang mendominasi segalanya.

Tatanan ruang tamu Valerie sangat rapih, tidak ada satupun barang yang tidak pada tempatnya. Lebih tepatnya, tidak terlalu banyak barang di ruangan itu. Hanya sofa berukuran sedang 2 buah, dengan lemari buku di sampingnya. Sisanya hanya terbentang karpet bulu berwarna hitam. Suasana yang nyaman untuk ngobrol tanpa terkesan formal.

Kemudian bergeser sedikit ada sebuah meja makan besar berbentuk bulat, dan 3 buah kursi yang mengelilinginya. Juga sebuah kulkas di dekatnya.

Risko duduk di sofa sambil masih mengamati ruangan ini. Di depan ruangan yang sedang di dudukinya ada 3 buah pintu. Yang 2 berjajar dan 1 pintu membentuk letter L. Risko menebak itu adalah kamar, kamar mandi dan sebuah dapur.

“Udah belom nganalisis rumah saya?” tanya Valerie yang baru saja keluar dari kamar. Dengan kondisi rambut yang basah, dan hanya memakai kaos oblong dan celana santai sebetis membuat Valerie berbeda 180 derajat dengan yang Risko lihat ketika meeting.

“Sekarang, analisis saya?” tanya Valerie lagi.

“Eh, sorry sorry,” Risko terkekeh. Ia benar-benar tidak sadar bahwa dirinya terbengong-bengong memandang Valerie.

“Mau langsung makan?” tanya Val.

“Boleh,” jawab Risko.

“Btw kamu kenapa formal banget sih kerumah saya doang,” Valerie mengamati Risko yang memakai celana semi jeans warna hitam dengan kaos berkerah warna hitam.

“Hahahaha, iya ya salah kostum saya. Besok-besok pake yang lebih santai aja deh,” ujar Risko.

“Yaudah yuk ke meja makan.”

Valerie berjalan mendahului Risko menuju meja makan. Ia mengambil 2 porsi spageti yang terlihat menggiurkan. Asap masih mengepul dari spageti itu, menambah lapar perut Risko. Valerie memberi topping bumbu spageti yang ia olah, warna merah dari topping itu, ditambah irisan smoke beef benar-benar menggoda.

Risko menelan ludah. Partner bisnisnya yang satu ini tidak main-main. Lekukan tubuhnya yang tercetak jelas dibalik kaos oblong yang digunakannya, kelihaian tangannya menyiapkan makanan ditambaah rambut basahnya yang habis mandi, bersatu menjadi penggoda iman paling besar.

“Sabar ya Pak Risko, mukanya laper banget,” Valerie lagi-lagi bisa membaca pikiran Risko.

“Kayaknya kamu jurusan psikologi ya kuliahnya, bukan bisnis. Selalu tau apa yang saya pikirin,” Risko terkekeh.

“Silahkan,” Valerie menyerahkan satu piring spagrti lengkap yang sudah ia racik. Aromanya menguar, menusuk hidung Risko.

“Wangi banget, saya makan yaa,” kata Risko.

“Silahkan,” balas Valerie.

Risko berbinar. Ini hanya spageti, tapi entah mengapa spageti ini terasa enak sekali.

“Enak banget beneran,” kata Risko.

“Terimakasih, saya tersanjung,” kata Valerie. Ia bisa melihat ketulusan dari wajah Risko. Risko benar-benar menikmati makanannya. Valerie tersenyum senang dan melanjutkan makam spagetinya sendiri.

Selesai makan, Valerie membawanya piring kotor, masuk ke pintu yang menghadap meja makan membentuk letter L. Benar dugaan Risko bahwa itu adalah dapur. Ia melihat Valerie membersihkan piring mereka berdua. Risko cukup surprise karna Valerir mencuci piring sendiri, tidak ada bantuan asisten rumah tangga.

“Kita ngobrol di karpet aja yuk, apa kamu masih laper dan mau laangsung main course?” tanya Valerie. Lagi-lagi ia seperti bisa membaca pikiran Risko.

“Hahahaha yaudah tunggu ya, saya siapin dulu,” kata Valerie.

“May i help you?” tanya Risko.

“My pleasure,” kata Valerie.

Risko akhirnya membantu Valerie menyiapkan makanan utama mereka, nasi hangat dengan ayam bakar dan bumbu rujak. Risko membantu menyiapkan alat makan, piring, sendok, dan lain-lain. Sedangkan Valerie menyiapkan makanannya. Mereka seperti sudah sangat lama kenal, padahal bertemu saaja baru kemarin, itupun hanya untuk kepperluan pekerjaan.

Satu ekor ayam yang dipotong 8, yang sudah di bakar sudah tersedia di meja makan. Bumbu rujak menghiasi di mangkok di samping ayam. Lalapan mentah tidak terlupakan. Dan yang paling penting, nasi hangat yang baru saja matang.

“Silahkan Pak Risko,” ujar Valerie.

“Hahaha, baik Ibu Valerie,” Risko mengambil sedikit nasi, namun  banyak sekali lalapan. Ia mengambil ayam bakar potongan dada, dan bumbu rujak yang dibuat Valerie.

Risko makan ayam bakar dengan nasi, kembali matanya berbinar. Valerie tertawa kecil. Risko yang ia kenal di kantor sangat berbeda dengan Risko yang ia lihat hari ini. Tidak ada urat yang menyembul di jidatnya, tidak ada bahu tegap yang diperlihatkan di meeting. Yang ada hanya seorang pria yang sedang santai sambil menikmati hidangan yang ia masak.

Tidak ada yang bersuara selama mereka makan. Risko dan Valerie sama-sama menikmati hidangan. Ayam yang Valerie bakar bahkan sampai habis 5 potong, lalapan dan sambal rujak habis. Valerie benar-benar senang karna ia merasa masakannya di hargai oleh Risko.

Makan sudah selesai, Risko dan Valerie sudah kenyang. Risko kembali membantu Valerie untuk merapihkan dan mencuci alat-alat makan yang mereka gunakan.

“Harusnya kamu gausah bantuin juga gapapa sih, kan kamu tamu” kata Valerie.

“Tapi saya ga mau makan gratis,” ujar Risko.

Valerie tertawa.

“Man pride nya tergores ya kalo makan gratis pake uang perempuan,” ujar Valerie sambil menaruh piring di tempatnya.

“Hahahha, bisa aja,” kata Risko.

Valerie dan Risko sudah selesai merapihkan peralatan makan. Mereka berjalan menuju ruang depan tadi.  Valerie duduk di bawah, di karpet berbulu hitam, Risko duduk di sampingnya, sedikit bersandar ke sofa.

“So, kenapa kamu tiba-tiba kemaren wa saya nanya kayak gitu?” tanya Valerie.

“You are so obvoius,” ujar Risko.

“Hahaha, just like you,” kata Valerie.

“Jujur saya tertarik sama kamu. Kamu cantik Val, kamu juga pinter. Kalo kita bisa lebih dari sekedar bussines partner, It will so great buat saya,” ujar Risko.

“To be honest, so do I. Kamu pinter, kamu juga cakep, kamu tegas jadi laki-laki. And one thing yang paling saya suka dari kamu adalah, kamu ga banyak basa-basi. I really hate someone yang kalo ngomong banyak basa-basi,” ujar Valerie.

“Wah terimakasih saya tersanjung,” ujar Risko.

“Hahahaha bisa aja,” ujar Valerie.

“So, Valerie, are you living alone here?” tanya Risko.

“Yes I am. My parents ada di Inggiris, saya anak satu-satunya. Ya jadi saya tinggal sendiri di sini,” ujar Valerie.

“Kamu ga mau ikut ke Inggris sama orangtua kamu? Bukannya di sana lebih menjanjikan ya? Pekerjaannya, lingkungannya?” tanya Risko.

“Nope. Saya sangat suka di sini. Saya suka kota ini, saya suka Negara ini. Pokoknya saya suka di sini. Saya gak mau pindah,” kata Valerie.

“And how about you? And your family?” tanya Valerie.

“Ga ada yang spesial, saya anak kedua dari 2 bersaudara. Saya punya 1 kakak yang sekarang tinggal di Amsterdam sama keluarganya, saya tinggal sama orangtua saya. Orangtua saya punya usaha jual beli hamburger…” Risko diam sebentar, ia melihat ekspresi Valerie yang tiba-tiba terlihat sumringah.

“Kamu kenapa?” tanya Risko.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status