Daniel mengambil dua gelas dan juga es jeruk di dalam lemari esnya. Kemudian menatap wajah Meira yang ingin tahu tentang dirinya.
“Aku punya pacar. Dan sudah putus beberapa hari yang lalu. Dia sering memintaku melakukan hubungan itu. Tapi, hanya kamu, yang baru aku bawa ke apartemenku.”
“Why?” tanyanya sembari mengambil gelas yang diberikan oleh Daniel padanya.
Daniel mengendikan bahunya. “Dia tidak pernah serius. Hanya ingin dipuaskan saja. Kemudian mendapatkan pria yang jauh lebih ganas dariku.”
Meira geleng-geleng kepala kemudian meneguk es jeruk tersebut. Daniel menatap wajah perempuan itu dengan tatapan manisnya.
“Orang yang sudah mengkhianatimu, suatu saat nanti akan menyesal. Wanita secantik kamu, dilepas begitu saja.”
Meira menyunggingkan senyum kecil. “Mungkin dia jauh lebih cantik dariku.”
“Bisa jadi, kalau itu.” Daniel lalu mengulas senyumnya. “Kamu kerja di mana? Atau punya usaha sendiri?”
“Oh, no. Aku kerja sebagai staff biasa, di Global Perkasa.”
Daniel menaikan kedua alisnya. ‘Perusahaan punya Daddy rupanya,’ ucapnya dalam hati kemudian manggut-manggut dengan pelan.
“Kenal, dengan atasannya?” tanyanya ingin tahu.
Meira mengangguk. “Ya. Dia cukup … gatal.”
Daniel menyunggingkan senyumnya. Lelaki itu ialah ayahnya, dan memang benar, apa yang dikatakan oleh Meira tadi.
“Kamu pernah kena rayuan mautnya?”
“Tidak. Tapi, sekretarisnya itu temanku. Dia sering diajak kencan dan bercinta, setelah diberi uang puluhan juta.”
Daniel tersenyum miring kemudian meneguk es jeruk miliknya sembari meremas ujung meja karena rasa bencinya kepada ayahnya itu.
“Sudah malam. Sebaiknya kamu tidur. Itu, kamar … kita.”
Meira menoleh dan menatap wajah Daniel. “Us?”
“Ya. Kamu boleh tinggal di sini, kapan pun mau.”
Meira tersenyum tipis. “Kamu baru mengenalku dan ….”
“Dan aku menginginkanmu.”
Meira menelan salivanya mendengar ucapan Daniel. Ia kemudian membuka heels dan masuk ke dalam kamar yang ditunjuk oleh Daniel tadi.
Daniel terkekeh melihat tingkah Meira yang salah tingkah karena ulahnya. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum kembali.
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Meira membuka matanya kemudian menoleh ke samping di mana Daniel tengah tertidur pulas sembari memeluknya.
Wajah tampan yang disinari oleh terik matahari yang mencoba masuk di balik tirai itu membuat Meira semakin penasaran padanya.
‘Who are you? Kenapa kamu membawaku kemari, sementara tidak ada satu pun wanita sebelumku yang datang ke sini,’ ucapnya dalam hati.
Dengan pelan, Meira mengangkat tangan kekar Daniel yang melingkar di perutnya. Ia lalu beranjak dari tempat tidur dan melihat-lihat kamar yang sangat luas itu.
“Sangat nyaman. Bahkan kamarku tidak seluas ini,” gumamnya lalu membuka tirai jendela agar matahari masuk ke dalam kamar itu.
Daniel yang merasa silau itu kemudian membuka matanya. Melihat Meira yang tengah berdiri di depan jendela membuatnya tersenyum miring.
“Bukankah ini hari Minggu? Kamu tidak ke kantor, kan?” tanya Daniel dengan suara seraknya.
Meira menoleh ke belakang kemudian menggelengkan kepalanya dan melangkahkan kakinya menghampiri Daniel.
“Tidak. Tapi, aku sudah biasa bangun pagi. Mau itu weekday maupun weekend,” jawabnya kemudian duduk di tepi tempat tidur.
“Okey!” Daniel lalu menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur. Melihat Meira yang mengenakan kemeja putih kebesaran membuat fantasinya kembali melayang.
Ia lalu menyibakan selimut yang menutup tubuhnya lalu berputar menghampiri Meira yang tengah duduk di tepi tempat tidur itu.
Ia membungkuk. Kedua tangannya menyangga di samping Meira lalu meraup bibir itu dengan lembut. Usai mencium bibirnya, ia lalu mengulas senyum hangat kepada wanita itu.
Tangannya membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan oleh Meira sehingga membuat perempuan itu menelan salivanya.
Lima belas menit berlalu. Daniel menyelesaikan permainan itu lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.
Meira yang masih mengatur napasnya itu kemudian menoleh ke arah dompet Daniel yang tergeletak di atas nakas.
Ia penasaran, berapa usia Daniel sebenarnya sebab lelaki itu tak pernah mau menjawabnya.
“Kartu kredit dan debit-nya banyak banget,” gumamnya lalu melihat beberapa lembar uang merah berjejer rapi di dalamnya.
“Wajar. Apartemennya saja sebagus ini,” ucapnya lalu mengambil KTP milik Daniel sebab ia sangat penasaran dengan usia lelaki itu.
Matanya membola usai melihat tahun lahir Daniel yang sangat jauh dengannya. “What the fu ….”
Meira terduduk lemas usai melihatnya. Beda empat belas tahun dengannya membuat Meira ingin sekali kabur dari dunia ini.
Ia lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi sahabatnya—Feby. “Di mana lo?” tanyanya dengan lemas.
“Lagi nemenin Pak Reymond di vila. Jam sepuluh kemarin dia ajak gue ke sini. Orangnya malah masih tidur, habis mainin gue sampai pagi.”
Meira memejamkan matanya. “Gila lo. Kalau istrinya tahu, bukan Pak Reymond yang dibogem. Tapi elo.”
“Butuh duit gue, Mei. Lo di mana? Suara lo lemes amat. Jangan bilang lo masih ketemu sama Raffael?”
“Nggak. Gue lagi di apartemen cowok. Nanti aja deh, gue ceritanya. Kalau udah balik, kabarin gue.”
“Oke!” ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.
Meira menjambak rambutnya. Menatap kembali KTP milik Daniel yang tak pernah ia sangka akan menjadi teman tidurnya dalam satu malam.
Daniel kemudian mengambil data dirinya itu dengan pelan di tangan Meira lalu duduk di samping perempuan itu sembari menatapnya.
“Memangnya usia kamu berapa tahun?” tanya Daniel ingin tahu.
Meira menghela napas kasar. “Thank you, sudah menemani aku dalam satu malam kemarin. Aku harus pulang.”
“Wait!” Daniel menahan tangan Meira yang hendak beranjak dari duduknya. “Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?” tanyanya dengan pelan.
Meira menundukan kepalanya. “Aku malu, Daniel. Kamu terlalu muda bagiku. Kurasa, pertemuan kita cukup sampai di sini saj—”
“Why? Karena aku lebih muda darimu? Lalu, yang sudah kita lakukan tadi dan semalam, mau kamu lupakan begitu saja? Bahkan aku sudah memberi tahu tempat tinggalku di sini.”
Meira menelan salivanya lalu mengusap wajahnya dengan pelan. “Look, Daniel! Anggap saja aku melayani kamu malam ini dan tadi, satu jam yang lalu. Kemudian kamu memberikan uang padaku, anggap saja aku menjual diri kepada kamu.”
Daniel menganggukkan kepalanya. “Jika itu yang kamu inginkan, aku bisa membayarmu setiap hari, setiap aku menginginkanmu.”
Di sebuah hotel yang tak jauh dari rumah Meira. Keduanya berada di dalam kamar tersebut sebab Daniel yang ingin menikmati malam itu dengan Meira yang sudah sangat ia rindukan. Daniel kemudian memeluk tubuh Meira yang tengah berdiri memandang pemandangan di balik jendela. Meira menoleh dan mengulas senyum kecil. "I miss you, Mei," ucap Daniel pelan. Meira mengulas senyum kembali. "Aku masih nggak nyangka, kamu bisa nemuin aku di sini." Daniel tersenyum miring. "Mudah bagiku untuk mencari tahu kamu di mana, Mei. Kamu juga jangan lupa, Ezra, keponakan kamu itu sahabat aku."Meira terkekeh pelan. "Iya juga sih." Wanita itu kemudian membalikan tubuhnya dan kini menatap wajah Daniel dengan lekat. "Apa yang kamu cari dariku, Daniel?" tanyanya dengan pelan.Daniel kemudian mengusapi sisian wajah Meira dengan lembut. "Banyak. Aku melihat ada masa depan yang akan kita bangun sama-sama, Mei.""Bisa aja. Raja gombal mah beda!" ucap Meira kemudian menghela napasnya dengan panjang. "Kamu ting
“Ngapain kamu ke si—” Belum selesai bicara, Daniel sudah memeluk Meira. Ia lega, sebab tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan Meira di sana. “Kenapa kamu pergi, Mei? Kenapa?” tanya Daniel masih memeluk perempuan itu. Meira kemudian melepaskan pelukan itu dan menatap wajah Daniel. “Kamu sendiri, kenapa ke sini? Kamu masih sakit, Daniel.” “Akan semakin sakit jika aku tidak langsung menghampiri kamu ke sini, Meira.” Meira menelan salivanya seraya menatap wajah Daniel. “Tidak seharusnya kamu datang, Daniel.” Daniel menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku sudah izin ke Mommy untuk menemui kamu ke sini, Mei. Kamu sendiri yang sudah janji padaku akan menikah denganku asalkan aku mau sembuh.” Meira tersenyum lirih. Ia kemudian mengusapi sisian wajah Daniel dengan lembut. Orang yang selama ini selalu ia pikirkan kini ada di depan matanya. “Maafkan aku, Daniel.” Daniel menggelengkan kepalanya. Ia kembali memeluk wanita itu lalu menghela napasnya dengan panjang. Malam har
Linda tersenyum miring. “Apa dengan kamu menikahi Daniel dengan Cheryl akan membuatnya bahagia? Kamu, yang tidak memikirkan masa depan Daniel. Yang kamu pikirkan hanyalah uang, uang dan uang saja!”Linda kemudian keluar dari ruangan suaminya itu dengan membawa kekecewaan yang cukup besar dalam dirinya.Kemudian berhenti di depan Feby yang tengah berdiri sembari mengulas senyum kepadanya.“Feby. Kamu masih ingin bertahan jadi simpanan suami saya? Ingat, Feby. Hukum karma tetap berlaku. Entah kapan kamu akan menuainya, saya pastikan hidupmu tidak akan baik-baik saja!”Feby menelan salivanya mendengar ucapan Linda yang cukup menyeramkan. Tangannya mengepal, tidak terima dengan ucapan wanita itu.Feby kemudian tersenyum miring. “Emangnya lo Tuhan? Bisa atur hidup gue dan karma yang gue dapatkan? Suami lo aja yang gila,” ucapnya dengan pelan.Di Bali.Meira menghampiri sang papa yang tengah membersihkan sepatunya. Lelaki itu kemudian menoleh dan mengulas senyum kecil.“Tidak usah dipikirka
Daniel memijat keningnya. Tidak paham dengan Meira yang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya padahal tidak ada masalah yang datang kepada mereka.“Kasih alamat rumah Meira di Bali,” titah Daniel kepada Ezra.Lelaki itu menoleh. “Lo mau nyusul dia ke sana?” tanyanya kemudian.Daniel mengangguk. “Gue gak akan tinggal diam gitu aja karena Meira udah pergi, Ezra. Gue gak punya masalah sama dia. Gue berhak tahu, kenapa dia pergi ke Bali tanpa sepengetahuan gue.”Ezra menganggukkan kepalanya. “Iya, sih. Nanti gue kirim alamatnya ke elo. Tapi, kondisi lo baru pulih, Daniel. Nanti pingsan di jalan kalau lo maksain diri buat ke Bali.”Daniel menghela napas kasar. “Kondisi gue bakalan makin buruk, kalau gak ke sana.”Ezra mengembungkan pipinya. Jika Daniel sudah berkehendak, ia pun tidak dapat melakukan apa pun.Keesokan harinya. Daniel bangun dari tidurnya setelah lima jam lamanya tertidur meski gelisah.“Daniel?”Daniel menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat sang mama ada di
Di rumah sakit ….Daniel mencoba terus menghubungi Meira. Namun, nomornya sudah tidak aktif.“Ck! Ke mana lagi ini si Meira? Kenapa selalu bikin gue cemas, coba.” Daniel menggerutu kemudian menghubungi Ezra.“Di mana lo?” tanya Daniel kemudian.“Di kampus, bangke. Ngapa sih?”“Balik dari kampus, langsung ke rumah sakit. Elo tadi ada telepon Meira, gak?”“Nggak. Cuma chat dia doang. Dan dibales juga. Itu pun waktu tadi pagi. Sekarang udah jam tiga sore. Mungkin lagi sibuk, di kantor. Gak aktif, nomornya?”“Iya. Ya udah.” Daniel menutup panggilan tersebut lalu menoleh ke arah pintu di mana Cheryl berada di sana.Daniel memutar bola matanya sembari memalingkan wajahnya. Bahkan melihatnya saja sudah malas. Dan sekarang wanita itu muncul di hadapannya.“Mau ngapain lo ke sini?” tanyanya datar.“Daniel. Gak boleh ngomong begitu. Sebentar lagi kita mau menikah, lho.”Daniel tersenyum miring. “Nikah? Nikah sama bokap gue aja sana. Gue gak pernah mengiyakan perjodohan ini! Jadi, gak usah keped
Feby hanya mengendikan bahunya. Tampak biasa saja bahkan seolah tengah merendahkan Meira, terlihat dari raut wajahnya yang memandang seperti itu kepada Meira.Walau malas, Meira harus tetap menghampiri Reymond yang katanya ingin bertemu dengannya dan berbicara tentang apa itu, Meira hanya bisa menunggunya.Tok tok!"Masuk!" titah Reymond di dalam sana.Meira menghela napasnya dengan panjang dan masuk ke dalam ruangan lelaki itu."Bapak manggil saya?" tanya Meira kemudian.Reymond memutar kursinya dan menatap datar wajah Meira. "Kamu, wanita yang menjalin hubungan dengan anak saya, Daniel?" tanyanya dengan suara datarnya.Meira menghela napas kasar kemudian menganggukkan kepalanya. "Ya. Betul, Pak Reymond. Saya, orangnya. Ada yang ingin Bapak tanyakan?"Reymond mendecih pelan. "Baru jadi kekasihnya saja sudah membuatmu sombong!"Meira mengerutkan keningnya. "Maksud Bapak? Saya tidak paham dengan ucapan Bapak."Bahkan menatap wajah Meira pun seperti tidak senang. Namun, ia harus menyele