Tak pernah Meira sangka, pertemuannya dengan Daniel di sebuah club malam ternyata menjadi cerita panjang yang harus dia lewati. Lelaki tampan berusia 26 tahun itu mencintainya. Hanya saja, Meira ragu menerima cinta Daniel sebab usia mereka yang terpaut jauh lebih tua dirinya. Daniel tak mau tahu. Ia terus mengejar Meira sampai wanita itu mau menerima cintanya. Dapatkah Daniel meluluhkan hati Meira?
View MoreAlunan musik disc jockey memekakan telinga Meira yang tengah duduk sembari menikmati vodka yang ia pesan. Duduk di bartender dengan suasana hati yang sedang kacau.
“Raffael gilak! Kalau emang udah gak mau sama gue, gak usah nikahi gue. Bangsat!”
“Woah!”
Meira terkejut kemudian menoleh ke samping kiri di mana seorang lelaki yang jauh lebih muda darinya duduk.
“Boleh duduk di sini?” tanya Daniel—pria berusia dua puluh empat tahun itu.
Meira mengangguk canggung. “Kamu sudah duduk.”
“Kenapa dengan Raffael?” tanyanya sembari meneguk vodka milik Meira. “Daniel. What’s your name?”
Meira menaikan kedua alisnya. “Kamu … ingin kenalan denganku? Tampangnya masih muda, tapi malah menggodaku.”
Daniel terkekeh pelan. “Gak masalah, kan? Gak ada yang larang pun. Dulu juga pernah heboh. Anak remaja menikahi nenek-nenek tua.”
Meira tertawa kemudian menyurai rambut panjang nan lebat miliknya itu. “Lucu juga,” ucapnya dengan pelan.
“Namanya siapa, Mbak?” tanyanya lagi sembari menerbitkan senyumnya.
Meira menoleh dan menatap lelaki itu. “Bisa temani aku malam ini?”
“Sure! Sampai pagi pun aku siap, Mbak cantik. Asalkan beri tahu dulu, nama kamu siapa.”
“Meira. Meira Maurent.”
“Nama yang indah, Mbak Meira.”
Meira mendehem pelan. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Daniel?”
Pria itu mengendikan bahunya. “Mumet, dengar orang tua berantem terus tiap hari. Tapi, gak pernah mau pisah. Dengan alasan anak. Padahal aku sendiri masa bodoh, mau mereka pisah pun itu bukan urusanku.”
Meira manggut-manggut dengan pelan. “Butuh penghiburan, dong?”
“Bisa jadi. Thanks, for your drink. Aku ambilkan yang baru.” Daniel lalu memanggil sang barista untuk mengambilkan satu botol vodka dan satu gelas untuknya.
“So! Siapa Raffael?” tanyanya ingin tahu.
Meira menuangkan minuman itu ke dalam gelas miliknya. “We are will married, but … dia menghamili wanita lain. Yang ternyata akulah, selingkuhannya.”
“Oh my God. It’s so hurt.”
“Ya. Aku harus menghadapi orang tuaku dan mengatakan yang sebenarnya. Pernikahan itu batal dan aku, jadi single lagi.”
Daniel menatap wajah Meira dengan lekat. “Tapi, raut wajahmu tidak memperlihatkan jika kamu menyesal, telah berpisah dengannya. Why?”
Meira mengusapi ceruk lehernya kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Bisa pesan kamar sekarang juga?” pintanya kemudian.
Daniel menaikan alisnya sebelah. Tampak dari raut wajahnya jika perempuan itu sudah terpengaruh oleh minuman.
“Okay!” ucapnya kemudian menyunggingkan senyum dan memesan kamar untuk membawa perempuan ini ke sana.
‘So funny. Maybe, dengan cara ini, dia bisa melupakan lelaki itu,’ ucapnya dalam hati.
“Di mana, Bro?” Ezra—sahabat dengan Daniel menghubunginya.
“Bar, dekat dance floor. Ada yang lagi butuh pelampiasan. Cantik, dan menggemaskan.”
“Hah? Gila lo! Mentang-mentang baru putus, udah dapat mangsa lagi aja. Gak usah ngadi-ngadi kalau cuma buat pelampiasan nafsu doang, Daniel.”
“No, no, no! Tentu saja bukan. Kali ini gue serius. She is so cute, and … beautiful. Dan umurnya kayaknya lebih tau dia. And i like a old women.”
Ezra tertawa di seberang sana. “Okay, okay. Dari dulu juga lo gak pernah pacarana sama yang lebih muda dari elo. Have fun. Jangan lupa besok main basket.”
Daniel menutup panggilan tersebut kemudian menatap Meira kembali. “Mei?” panggilnya kemudian.
Meira menoleh kemudian tersenyum miring. “I wanna play tonight. Kepalaku, ouugh! Pening sekali.” Meira memegang kepalanya kemudian mengembungkan pipinya.
“Aku ambil kunci kamarnya dulu,” bisik Daniel tepat di telinga Meira.
Ia kemudian beranjak dari duduknya dan pergi menuju resepsionis untuk mengambil kunci kamar yang sudah ia pesan.
Tak lama setelahnya, ia menarik tangan Meira dan membawanya ke dalam lift menuju lantai dua.
Di dalam club yang cukup gelap tak bisa melihat dengan jelas, wajah cantik wanita itu. Namun, akhirnya Daniel bisa melihat wajah Meira setelah masuk ke dalam lift.
“You look so beautiful, Meira. Kamu harus jadi milikku,” gumam Daniel sembari mengusapi bibir merah Meira.
Perempuan itu menoleh pelan. Wajah Daniel sudah berbayang ia lihat. Kepalanya sudah benar-benar pusing akibat alkohol yang ia minum tadi.
Sesampainya di dalam kamar. Daniel langsung meraup bibir perempuan itu dan menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
“Slow down,” pinta Meira kepada Daniel.
“No, Baby! Bukankah ini, yang kamu inginkan?” bisik Daniel dengan suara beratnya.
Meira mengatur napasnya yang terengah-engah. Daniel kembali meraup bibir perempuan itu dengan tangan meremas gundukan kenyal milik Meira.
Hingga membuat perempuan itu mengerang kenikmatan. Cumbuan itu semakin menjadi. Daniel semakin menginginkan Meira yang tengah berada di atas tubuhnya.
“Aku menginginkanmu setiap hari, Meira. Bisakah kita melakukan ini lagi?” Daniel sudah meracau tak jelas.
Sementara Meira tak kuat menahan desahan yang terus ia keluarkan bersamaan dengan tangan Daniel yang terus meremas gundukan kenyalnya itu.
“Do it! Ough!” Meira membuka mini dress yang ia kenakan. Pun dengan Daniel. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan.
Kesadaran Meira mulai pulih. Ia kemudian mengerutkan keningnya menatap Daniel yang tengah menyunggingkan senyum kepadanya.
“Daniel? Kamu … yang tadi kenalan di bar tadi, kan?” tanya Meira sembari menunjuk wajah Daniel.
Lelaki itu mengangguk. “Ya. Siapa lagi, kalau bukan aku? Kamu berharapnya siapa, hum?”
Meira menggeleng pelan. “Sorry. But, kenapa kamu melakukan ini? Oh! Sorry. Aku, kalau mabuk memang selalu melantur.”
“It’s okay, it’s okay. Aku juga menginginkanmu. Santai saja.”
Meira menelan salivanya. Bahkan keduanya sudah tidak mengenakan apa pun. Namun, Meira tampak canggung sebab lelaki yang ada di depannya ini baru ia kenal beberapa jam yang lalu.
Namun, sudah membuatnya sampai pada puncaknya. Meira sedikit malu, dan sangat menyesali prilaku mabuknya yang selalu mengajak bercinta. Begitulah Meira.
Daniel kemudian mengadahkan kepala Meira dengan memegang dagu lancip perempuan itu. Kembali meraup bibir itu dengan lembut, membiarkan Meira tahu, bila dirinya sangat menginginkan tubuh Meira.
“Come on! Kita sudah sama-sama tahu, right?” bisik Daniel sembari menatap dengan sangat dekat wajah wanita itu.
Meira mengangguk pelan. “Do it,” ucapnya dengan pelan.
Satu jam berlalu ….
Daniel menyelesaikan permainan itu kemudian mengeluarkan cairan putih itu di atas perut Meira sebab ia tak mengenakan pengaman.
Meira kemudian duduk di samping Daniel yang baru saja membersihkan bekas cairan itu dengan tissue yang tersedia di sana.
“Mau tidur di sini, atau pulang ke apartemenku?” tanya Daniel sembari menatap wajah perempuan itu.
“Boleh, memangnya?”
“Sure! Itu rumah keduaku, jika Mommy dan Daddy sedang bertengkar.”
“Kamu anak tunggal?” tanyanya ingin tahu.
“No! Anak sulung, aku punya dua adik. Dan mereka kembar. Vallery dan Viona, usianya baru dua puluh tahun dan masih kuliah di semester empat.”
Meira manggut-manggut dengan pelan. “Kalau begitu, pakai bajumu. Aku tidak pernah menginap di tempat seperti ini.”
“Okay!” Daniel lalu memunguti pakaiannya dan langsung memakainya kembali.
Setibanya di apartemen mewah itu. Meira mengedarkan matanya melihat betapa luasnya apartemen tersebut.
“Kamu, sendirian … tinggal di sini?” tanya Meira ingin tahu. “Dan permainanmu tadi sangat lihai. Itu artinya, bukan kali pertama, kamu lakukan itu dengan wanita?”
Daniel menghela napasnya dengan panjang. “Mau es jeruk?”
“Boleh. Dan jawab pertanyaanku.”
Di sebuah hotel yang tak jauh dari rumah Meira. Keduanya berada di dalam kamar tersebut sebab Daniel yang ingin menikmati malam itu dengan Meira yang sudah sangat ia rindukan. Daniel kemudian memeluk tubuh Meira yang tengah berdiri memandang pemandangan di balik jendela. Meira menoleh dan mengulas senyum kecil. "I miss you, Mei," ucap Daniel pelan. Meira mengulas senyum kembali. "Aku masih nggak nyangka, kamu bisa nemuin aku di sini." Daniel tersenyum miring. "Mudah bagiku untuk mencari tahu kamu di mana, Mei. Kamu juga jangan lupa, Ezra, keponakan kamu itu sahabat aku."Meira terkekeh pelan. "Iya juga sih." Wanita itu kemudian membalikan tubuhnya dan kini menatap wajah Daniel dengan lekat. "Apa yang kamu cari dariku, Daniel?" tanyanya dengan pelan.Daniel kemudian mengusapi sisian wajah Meira dengan lembut. "Banyak. Aku melihat ada masa depan yang akan kita bangun sama-sama, Mei.""Bisa aja. Raja gombal mah beda!" ucap Meira kemudian menghela napasnya dengan panjang. "Kamu ting
“Ngapain kamu ke si—” Belum selesai bicara, Daniel sudah memeluk Meira. Ia lega, sebab tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan Meira di sana. “Kenapa kamu pergi, Mei? Kenapa?” tanya Daniel masih memeluk perempuan itu. Meira kemudian melepaskan pelukan itu dan menatap wajah Daniel. “Kamu sendiri, kenapa ke sini? Kamu masih sakit, Daniel.” “Akan semakin sakit jika aku tidak langsung menghampiri kamu ke sini, Meira.” Meira menelan salivanya seraya menatap wajah Daniel. “Tidak seharusnya kamu datang, Daniel.” Daniel menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku sudah izin ke Mommy untuk menemui kamu ke sini, Mei. Kamu sendiri yang sudah janji padaku akan menikah denganku asalkan aku mau sembuh.” Meira tersenyum lirih. Ia kemudian mengusapi sisian wajah Daniel dengan lembut. Orang yang selama ini selalu ia pikirkan kini ada di depan matanya. “Maafkan aku, Daniel.” Daniel menggelengkan kepalanya. Ia kembali memeluk wanita itu lalu menghela napasnya dengan panjang. Malam har
Linda tersenyum miring. “Apa dengan kamu menikahi Daniel dengan Cheryl akan membuatnya bahagia? Kamu, yang tidak memikirkan masa depan Daniel. Yang kamu pikirkan hanyalah uang, uang dan uang saja!”Linda kemudian keluar dari ruangan suaminya itu dengan membawa kekecewaan yang cukup besar dalam dirinya.Kemudian berhenti di depan Feby yang tengah berdiri sembari mengulas senyum kepadanya.“Feby. Kamu masih ingin bertahan jadi simpanan suami saya? Ingat, Feby. Hukum karma tetap berlaku. Entah kapan kamu akan menuainya, saya pastikan hidupmu tidak akan baik-baik saja!”Feby menelan salivanya mendengar ucapan Linda yang cukup menyeramkan. Tangannya mengepal, tidak terima dengan ucapan wanita itu.Feby kemudian tersenyum miring. “Emangnya lo Tuhan? Bisa atur hidup gue dan karma yang gue dapatkan? Suami lo aja yang gila,” ucapnya dengan pelan.Di Bali.Meira menghampiri sang papa yang tengah membersihkan sepatunya. Lelaki itu kemudian menoleh dan mengulas senyum kecil.“Tidak usah dipikirka
Daniel memijat keningnya. Tidak paham dengan Meira yang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya padahal tidak ada masalah yang datang kepada mereka.“Kasih alamat rumah Meira di Bali,” titah Daniel kepada Ezra.Lelaki itu menoleh. “Lo mau nyusul dia ke sana?” tanyanya kemudian.Daniel mengangguk. “Gue gak akan tinggal diam gitu aja karena Meira udah pergi, Ezra. Gue gak punya masalah sama dia. Gue berhak tahu, kenapa dia pergi ke Bali tanpa sepengetahuan gue.”Ezra menganggukkan kepalanya. “Iya, sih. Nanti gue kirim alamatnya ke elo. Tapi, kondisi lo baru pulih, Daniel. Nanti pingsan di jalan kalau lo maksain diri buat ke Bali.”Daniel menghela napas kasar. “Kondisi gue bakalan makin buruk, kalau gak ke sana.”Ezra mengembungkan pipinya. Jika Daniel sudah berkehendak, ia pun tidak dapat melakukan apa pun.Keesokan harinya. Daniel bangun dari tidurnya setelah lima jam lamanya tertidur meski gelisah.“Daniel?”Daniel menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat sang mama ada di
Di rumah sakit ….Daniel mencoba terus menghubungi Meira. Namun, nomornya sudah tidak aktif.“Ck! Ke mana lagi ini si Meira? Kenapa selalu bikin gue cemas, coba.” Daniel menggerutu kemudian menghubungi Ezra.“Di mana lo?” tanya Daniel kemudian.“Di kampus, bangke. Ngapa sih?”“Balik dari kampus, langsung ke rumah sakit. Elo tadi ada telepon Meira, gak?”“Nggak. Cuma chat dia doang. Dan dibales juga. Itu pun waktu tadi pagi. Sekarang udah jam tiga sore. Mungkin lagi sibuk, di kantor. Gak aktif, nomornya?”“Iya. Ya udah.” Daniel menutup panggilan tersebut lalu menoleh ke arah pintu di mana Cheryl berada di sana.Daniel memutar bola matanya sembari memalingkan wajahnya. Bahkan melihatnya saja sudah malas. Dan sekarang wanita itu muncul di hadapannya.“Mau ngapain lo ke sini?” tanyanya datar.“Daniel. Gak boleh ngomong begitu. Sebentar lagi kita mau menikah, lho.”Daniel tersenyum miring. “Nikah? Nikah sama bokap gue aja sana. Gue gak pernah mengiyakan perjodohan ini! Jadi, gak usah keped
Feby hanya mengendikan bahunya. Tampak biasa saja bahkan seolah tengah merendahkan Meira, terlihat dari raut wajahnya yang memandang seperti itu kepada Meira.Walau malas, Meira harus tetap menghampiri Reymond yang katanya ingin bertemu dengannya dan berbicara tentang apa itu, Meira hanya bisa menunggunya.Tok tok!"Masuk!" titah Reymond di dalam sana.Meira menghela napasnya dengan panjang dan masuk ke dalam ruangan lelaki itu."Bapak manggil saya?" tanya Meira kemudian.Reymond memutar kursinya dan menatap datar wajah Meira. "Kamu, wanita yang menjalin hubungan dengan anak saya, Daniel?" tanyanya dengan suara datarnya.Meira menghela napas kasar kemudian menganggukkan kepalanya. "Ya. Betul, Pak Reymond. Saya, orangnya. Ada yang ingin Bapak tanyakan?"Reymond mendecih pelan. "Baru jadi kekasihnya saja sudah membuatmu sombong!"Meira mengerutkan keningnya. "Maksud Bapak? Saya tidak paham dengan ucapan Bapak."Bahkan menatap wajah Meira pun seperti tidak senang. Namun, ia harus menyele
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments