Meira menggelengkan kepalanya. “No! Bukan itu maksudnya, Daniel.”
Daniel malah tertawa. “Hanya karena usiaku jauh lebih muda darimu, kamu ingin mengakhiri semuanya? Bahkan kita belum menjalin hubungan, dan kamu tidak ingin bertemu denganku. What happened, Meira?”
“Daniel. Aku tidak pantas untukmu. Jangan ada kata jalin hubungan di antara kita. Itu sudah sangat melanggar aturan.”
“Oh, shit! Mana ada pelanggaran seperti itu, Meira. Berhenti berucap yang tidak masuk akal. I will never let you go!” ucapnya dengan tegas.
Meira terdiam. “Daniel. Usiaku … usiaku ….” Meira menghela napas kasar. “Tiga puluh lima tahun. Kamu yakin, masih ingin menemuiku?”
Daniel menyunggingkan senyum kecil. “Aku suka wanita yang lebih dewasa dariku. Itu merupakan tantangan yang cukup menyenangkan bagiku.”
“What? Agak lain memang kamu ini.” Meira melipat tangan di dadanya dan menatap Daniel yang tengah mengenakan pakaiannya.
“Mandilah. Akan kubuatkan sarapan untukmu,” ucap Daniel lalu keluar dari kamarnya meninggalkan Meira yang masih tak percaya bila dirinya akan tidur dengan pria muda seperti Daniel.
“Oh my God. Apa yang telah aku lakukan?” ucapnya lalu menjambak rambutnya kembali.
Tak lama kemudian, Daniel kembali masuk ke dalam kamar sembari membawa paper bag di tangan kanannya.
“Bajumu. Jangan pakai kemejaku lagi. Itu hanya akan mengundang birahiku memuncak,” ucapnya lalu menaruh paper bag itu di atas tempat tidur.
“Mandilah. Setidaknya wajahmu kelihatan lebih segar, setelah kuobrak-abrik semalam dan tadi.”
Tubuh Meira meremang. Bisa-bisanya Daniel membuatnya tidak berdaya akan suara sensual yang dia ucapkan.
“Oh, God!” Meira kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.
Lima belas menit kemudian. Meira keluar dari kamar dan mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Daniel tadi.
Daniel menerbitkan senyumnya kepada Meira yang duduk di kursi meja makan. Ia lalu memberikan sandwich kepada wanita itu.
“Thank you,” ucap Meira pelan.
“Sama-sama. Sebagai bayaran jasamu semalam.”
Meira menghela napasnya kemudian geleng-geleng kepala. “Orang tuamu kenapa? Kamu bilang semalam mereka bertengkar tapi tidak pernah mau pisah.”
Daniel mengendikan bahunya. “I don’t know. Bahkan aku udah gak peduli, dengan kondisi rumah tangga mereka. Bahkan mereka tidak tahu, aku tinggal di sini.”
“Why?” tanyanya ingin tahu.
“Males aja. Ngasih tahu orang yang gak pernah anggap aku ada. Karena aku memilih kuliah seni, Daddy buang aku dan gak mau anggap aku anaknya. Ya! Hubungan kami cukup rumit.
“Tidak bisa dikatakan sebagai ayah dan anak. Lebih ke musuh. Aku menyukai apa yang bisa aku lakukan. But, Daddy minta aku jadi apa yang dia inginkan. Lalu aku berontak, dan dia tidak mau kalah.”
Meira manggut-manggut dengan pelan. “Cukup rumit,” ucapnya kemudian mengulas senyum tipis.
“Ya. Seperti yang kukatakan tadi,” ucapnya kemudian menoleh ke arah ponselnya di mana sang adik—Viona menghubunginya.
“Kenapa?”
“Lagi di mana?”
“Di mana aja boleh. Ngapain lo nanya gue di mana?”
“Ada yang nyariin elo, Daniel!”
“Siapa? Gue gak punya janji temu, sama siapa pun.”
“Catty. Kayak nama kucing. Pacar ke berapa elo ini, huh?”
Daniel kemudian menghela napasnya. “Suruh balik aja. Gue gak ada urusan sama dia,” ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.
Meira tak ingin bertanya, siapa yang sedang mencarinya. Meski hatinya menjerit ingin bertanya. Namun, ia rasa itu bukan hak dia untuk tahu Daniel berbincang dengan siapa atau apa pun itu.
“Aku punya enam mantan. Setiap tiga bulan putus. Dua tahun ini aku udah ngumpulin enam orang dan dua di antara mereka, belum rela diputusin. Salah satunya itu, Catty.”
Meira tersenyum miris. “Hebat!”
“Hebat?” Daniel menaikan kedua alisnya. “Aku sudah bosan, gonta-ganti pacar terus, Mei. Mau nyari yang serius, yang mau aku ajak nikah.”
Meira terkekeh. “Cari, Daniel.”
“Sudah. Aku sudah menemukannya,” ucapnya sembari mengulas senyumnya kepada perempuan itu.
Meira menghela napasnya dengan panjang. “Syukurlah, kalau kamu sudah menemukan orang itu.”
“Ya. Di depan mataku ini, yang akan kujadikan istri.”
“Uhuk! Uhuk!” Meira terbatuk mendengar ucapan Daniel tadi.
Lelaki itu kemudian memberikan air minum kepada Meira dan menatapnya lagi. “Mau, menikah denganku?”
Meira menggeleng. “Tidak semudah yang kamu pikirkan, Daniel.”
“I know. Tidak perlu kamu jawab sekarang. Yang pasti, aku akan mengejarmu sampai kamu mau. And, kamu sudah tahu. Aku menyukai wanita yang usianya lebih tua dariku.”
Daniel kemudian menerbitkan senyumnya kepada Meira yang tengah serba salah dengan kelakuan Daniel ini.
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Meira masih berada di apartemen Daniel sebab tengah menunggu Feby pulang dari vila.
Daniel kemudian menghampiri Meira yang tengah duduk di kursi panjang dekat kolam renang.
“Kapan, mantanmu itu menikah?” tanya Daniel ingin tahu.
“Entahlah. Aku tidak bertanya setelah memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini dengannya. Aku tidak ingin bertemu lagi dengannya meskipun dia memberi tahuku kalau dia masih mencintaiku.”
Daniel tersenyum miring. “Jangan percaya dengan orang yang memiliki dua wanita di dalamnya. Aku … lebih baik segera mengakhiri hubungan itu, daripada menduakannya.”
Meira menoleh pelan ke arah Daniel. “Kamu masih kuliah? Harusnya sudah lulus.”
“Bar yang kamu datangi kemarin, itu milikku. Sudah lulus satu tahun yang lalu. Lanjut S2, ambil bisnis. Ya! Ujung-ujungnya masuk bisnis juga.”
Meira mengulas senyumnya. “Tapi, bukan karena daddy kamu, kan?”
“Bukan. Aku gak suka, sama perusahaan turun temurun. Mau membangun usaha sendiri agar tidak disetir, oleh dia. Yang sok berkuasa, meminta aku begini dan begitu.”
“Pendirian kamu teguh juga,” ucapnya dengan pelan.
Daniel menghela napasnya dengan panjang. “It’s my life. Meski terlahir dari rahim Mommy dan hasil dari Daddy, bukan berarti mereka dengan mudahnya menyetirku.”
Meira menatap wajah Daniel yang tengah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Boleh minta nomor kamu?” tanya Daniel kemudian. “Sudah kubilang kan, aku akan menjadikanmu istriku. So! Aku akan menunggu sampai kamu siap.”
Meira hanya diam dan hanya memberikan ponselnya pada Daniel. Lelaki itu kemudian memasukan nomornya dan menghubungi nomornya itu.
“Thanks!” ucapnya lalu menerbitkan senyumnya kepada wanita itu.
“I don’t care, meski jarak usia kita terpaut jauh. Yang penting, kamu wanita baik dan mau menerimaku.”
Meira menghela napasnya. “Aku, yang malu, Daniel.”
“Kenapa? Karena aku masih berondong? Jangan hiraukan ucapan orang di luar sana. Memangnya kamu makan dapat minta dari mereka?”
“Ya nggak juga sih. Cuma kan, bikin gak enak makan.”
Daniel terkekeh pelan. “I know. But, jangan bergantung dengan penilaian orang terus menerus. Jika hatimu nyaman, why not? Begitu pun denganku.”
Daniel kemudian mencium punggung tangan Meira dan melepasnya. Membuka celana pendek yang ia kenakan kemudian masuk ke dalam kolam.
Meira menelan ludah melihat tubuh atletis milik Daniel. “Kenapa dia perfect sekali? Dan membuatku gila.” Meira menggelengkan kepalanya kemudian melipat tangan di dadanya.
“Come here!” ajak Daniel kepada Meira yang masih duduk di bangku panjang itu.
Meira menggeleng. “Mau ngapain? Aku sudah mandi.”
Daniel menyunggingkan senyum kecil. “Berenang gak harus belum mandi juga, Meira.”
“Ya, aku tahu.”
“So! Come on!” ajak Daniel kembali. “Atau mau aku gendong?”
Meira menggeleng kemudian membuka dress tipis yang ia kenakan itu kemudian masuk ke dalam kolam.Daniel lalu mengejarnya dan menghampiri perempuan itu yang tengah berdiri di tepi kolam. Bibirnya meraup bibir Meira dengan lembut.Suasana yang dingin itu tiba-tiba menjadi hangat setelah Daniel menggesekan tubuhnya pada tubuh Meira.Daniel lalu mendorong tubuhnya masuk ke di bawah sana. Melajukan temponya sembari mengerang kenikmatan.Lima belas menit kemudian, Daniel menyudahi permainan itu. Tampak lelah, sebab sudah berkali-kali ia melakukan hal ini dengan Meira.“Kamu … hanya usianya saja yang muda. Permainannya, seperti sudah berumur tiga puluh tahun.”Daniel terkekeh pelan. “Mau mandi lagi?” tanyanya kemudian.“Gak. Aku mau pulang. Sepertinya Feby sudah pulang.” Meira lalu mengambil pakaiannya dan masuk ke dalam kamar.Sementara Daniel masih duduk di tepi kolam sembari membayangkan bagaimana ganasnya ia kala bercinta dengan Meira.“Oh God! I can’t remember it.” Daniel berucap pelan
“No! Aku sendiri, yang mau ke sana. Tapi, bukan berarti aku mau, nerusin perusahaan itu.”Linda mengendikan bahunya. “Up to you. Mommy gak mau ikut campur, karena kamu paling tidak suka, Mommy ikut campur.”“Thats right. And thank you, karena udah ngertiin aku. Satu lagi, Mom. Aku ingin menikah.”“Menikahlah, Darling. Tapi, jangan semua perempuan yang masih kamu jajahi kamu nikahi.”Daniel tersenyum miring. “Nggak kok, Mom. Tenang aja,” ucapnya santai.Linda menatap wajah sang anak. “Bukan yang kemarin datang ke rumah mencari kamu, kan?”Daniel menggeleng. “Bukan. Kenapa? Gak suka, sama dia?”“Sedikit. Tapi, jika memang bukan dia, Mommy lega.”Daniel terkekeh pelan. “Jangan dulu lega, Mom. Karena usia dia jauh lebih tua dariku.”Linda mengerutkan keningnya. “Why? Bukannya kamu pernah bilang, kalau kamu lebih suka perempuan yang lebih tua dari kamu? Berapa, usianya? Dua delapan? Dua sembilan?”Daniel hanya diam sembari menyantap sarapannya itu. Sementara Linda masih menunggu jawaban da
“Oh! Okay. Aku tunggu di dalam saja. Masih lama?” “Mungkin sekitar lima belas menit lagi, Tuan.” Daniel mengangguk kemudian mengedipkan sebelah matanya kepada Meira yang tengah memegang erat baju Feby. “Kenapa sih, lo?” tanya Feby kesal karena bajunya ditarik kencang oleh Meira. “I—itu orang … itu … anaknya Pak Reymond?” tanyanya gugup. Feby mengangguk. “Lo baru tahu? Padahal masih satu divisi. Tapi baru tahu, kalau itu anaknya Pak Reymond.” “Gue gak pernah mau tahu, Feby. Bahkan sama Pak Reymond-nya aja gue jarang ketemu. Apalagi sama anaknya,” ucap Meira kemudian memegang kedua sisian kepalanya sembari menunduk. “Jangan bilang … cowok bujang yang elo ceritain kemarin itu ….” Meira mengangguk dengan pelan. “Yang udah bikin gue panas dingin kalau ingat permainan dia,” ucapnya lemas. Feby menganga. Terjatuh lemas di kursinya sembari menatap wajah Meira. “Pewaris yang disebut oleh Pak Reymond adalah dia. Daniel? Astaga, Tuhan.” Meira menghela napasnya. “Nggak. Itu hanya teman
Daniel memiringkan kepalanya menatap wajah tegang Meira. Bukannya menjauh, Daniel malah meraup bibir Meira hingga berhasil membuat perempuan itu membolakan matanya.“Daniel, don’t!” ucap Meira setelah berhasil lepas dari ciuman yang dibuat oleh lelaki itu.Daniel terkekeh sembari mengusap bibirnya dengan pelan. “Jika makan siang tidak ingin, aku tunggu nanti malam. Jangan banyak alasan. Karena aku tahu kamu tidak punya kegiatan apa pun selain bermalam denganku.”Daniel lalu mengedipkan sebelah matanya kembali dan pergi dari tempat itu. membuat Meira sedikit lega. Akan tetapi, ia harus bersiap-siap untuk nanti malam yang mana seorang Daniel tidak mudah menyerah.Sudah pasti akan menjemputnya di rumahnya. Meira kemudian keluar dari toilet setelah merapikan blouse dan juga rambutnya yang sempat berantakan karena berontak tadi.Di kantin. Meira menghentikan langkahnya usai melihat Daniel yang tengah berbincang dengan beberapa direksi di sana.Feby menoleh menatap Meira. “Daniel gak seneka
Setibanya di sana. Ezra menghela napas kasar melihat Daniel yang tengah duduk di kursi depan kolam renang sembari menikmati wine dan redvelvet cake di sana.“Galau lo? Kenapa? Disuruh nikah sama Cheryl?” tanyanya kemudian duduk di samping Daniel.“Disuruh nikah sama Cheryl bukan masalah besar, buat gue. Kali ini gue lagi nyari cara biar dia mau, sama gue,” ucapnya dengan pelan.Ezra menaikan kedua alisnya. “Yang elo bawa kemarin ke sini?” tanyanya kemudian.Daniel mengangguk pelan. “Tapi, dia nolak gue. Sialan. Cowok seganteng dan setajir gue ditolak mentah-mentah sama dia. Ck!” Daniel geleng-geleng kemudian menghela napas kasar.“Tumben bener, gak mau sama elo. Gara-gara apa?”“Umur.”Ezra mengatup bibirnya menahan tawa kemudian menepuk pundak Daniel sembari menatapnya dengan lekat.“Bro! Kalau cuma karena umur—”“Usianya tiga puluh lima tahun, Ezra. For me, itu gak masalah. Tapi, bagi dia, itu sangatlah bermasalah.” Daniel menyela ucapan Ezra.Lelaki itu menganga. Terkejut mendengar
“Iya. Habis pulang kantor saja tapi, ya. Aku juga ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.”“Oke, Tante. Nanti kabari aja kalau udah mau ketemu. See you, my beautiful aunty.” Ezra menutup panggilan tersebut.Meira kembali menaruh ponselnya dan mengembuskan napas panjang,“Ezra?” tebak Feby.Meira mengangguk pelan. “Dia udah tahu semuanya, kayaknya.”“Kayaknya? Kalau emang dia sahabat dekat Daniel, udah pasti tahu semuanya, Meira.” Feby memutar bola matanya pelan.Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Dikarenakan hari ini ada kelas di jam delapan pagi, terpaksa Daniel bangun lebih awal. Ia lalu mengambil ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Meira.Namun, nyatanya tidak ada satu pun pesan masuk dari wanita itu. Daniel kemudian mengacak belakang kepalanya.“Gak! Gue gak bisa, kalau lama-lama diemin Meira. Yang ada nanti dia nyari duda tajir. Gak boleh!”Daniel kemudian mengirim pesan kepada Meira. Berharap wanita itu meresponnya. Meskipun tidak, setidaknya pesan yang dia kirim dibaca
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Suara alarm di ponsel Meira berhasil membangunkan dia dari tidur nyenyaknya semalam.“Hah? Gue masih di apartemen Daniel?” gumamnya sembari mengikat rambutnya dan buru-buru masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Lima belas menit kemudian, ia keluar dari kamar dan menghampiri Daniel yang sudah pasti tengah berada di dapur.Namun, langkahnya terhenti kala melihat Ezra yang tengah berbincang dengan Daniel di sana. Lelaki itu kemudian menerbitkan cengiran kepada Meira.“Morning, Tante!” sapa Ezra kemudian.Membuat Meira malu setengah mati karena terciduk oleh keponakannya sendiri. “Morning,” jawabnya pelan.“Sarapan dulu. Nanti Ezra yang akan mengantarmu ke kantor. Pakai baju yang sudah aku beli. Ada di meja dekat tempat tidur,” kata Daniel kepada Meira.Dengan cepat wanita itu masuk kembali ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya.“Berapa ronde, semalam? Lo minta obat ke si Ester buat main sama tante gue, huh?”“Menuru
Linda mengangguk pelan. “Iya. Meira. Di ruangan mana, dia ditugaskan?” tanyanya ingin tahu.“Di divisi umum, Ibu. Mau saya panggilkan? Atau ingin bertemu di tempat yang lebih nyaman, untuk bertemu.”Linda mengangguk. “Ya. Beri dia izin untuk keluar sekarang. Saya tunggu di kafetaria di bawah,” ucapnya lalu meninggalkan Feby menuju kafetaria.Jantung Feby berdetak kencang. Dengan cepat ia menghampiri Meira di ruang kerjanya.“Mei. Ibu Linda, emaknya Daniel mau ketemu sama elo. Dia nunggu lo di kafetaria lantai satu. Sekarang!” ucap Feby dengan wajah paniknya.“What? Ibunya Daniel?” ucapnya bingung. “Kok namanya kayak gak asing, ya?”“Udah, jangan mikirin itu dulu. Mending sekarang lo samperin dia. Jangan salah ngomong, harus apa adanya.”Meira menghela napasnya dengan panjang. “Feb. Gue dan Daniel emang udah melampaui batas. Tapi, gue gak akan pernah membuka aib gue di depan orang tuanya Daniel. Meskipun pasti udah tahu, apa yang udah anaknya lakukan sama gue.”Meira menarik napasnya d