Share

Kenapa Kamu yang Khawatir?

Daniel memiringkan kepalanya menatap wajah tegang Meira. Bukannya menjauh, Daniel malah meraup bibir Meira hingga berhasil membuat perempuan itu membolakan matanya.

“Daniel, don’t!” ucap Meira setelah berhasil lepas dari ciuman yang dibuat oleh lelaki itu.

Daniel terkekeh sembari mengusap bibirnya dengan pelan. “Jika makan siang tidak ingin, aku tunggu nanti malam. Jangan banyak alasan. Karena aku tahu kamu tidak punya kegiatan apa pun selain bermalam denganku.”

Daniel lalu mengedipkan sebelah matanya kembali dan pergi dari tempat itu. membuat Meira sedikit lega. Akan tetapi, ia harus bersiap-siap untuk nanti malam yang mana seorang Daniel tidak mudah menyerah.

Sudah pasti akan menjemputnya di rumahnya. Meira kemudian keluar dari toilet setelah merapikan blouse dan juga rambutnya yang sempat berantakan karena berontak tadi.

Di kantin. Meira menghentikan langkahnya usai melihat Daniel yang tengah berbincang dengan beberapa direksi di sana.

Feby menoleh menatap Meira. “Daniel gak senekad itu, Mei. Gak usah tegang begitu. Kelihatan banget lo lagi merhatiin Daniel,” ucap Feby kemudian menarik tangan Meira untuk duduk di kursi kosong.

Di seberang sana. Daniel yang tengah mengepulkan asap rokok ke udara melirik Meira yang tengah berbincang dengan Feby, dengan sesekali melirik ke arahnya.

Membuat Daniel geleng-geleng kepala kemudian meneguk kopi miliknya. “Bisa gila gue, lama-lama. Manis banget ini mbak-mbak satu,” gumamnya kemudian menggigit bibir bawahnya dan mengambil ponselnya hendak mengirim pesan kepada Meira.

“Daniel? Bagaimana dengan next project kamu? Om lihat, bar kamu di sini makin ramai pengunjung. Tidak berniat membuka cabang?” tanya Bimo—salah satu manager di sana.

Daniel menoleh kemudian menggeleng pelan. “Aku belum dapat lahan atau bangunan kosong, Om. Untuk sementara fokus yang di sini saja dulu. Lagi pula, aku masih kuliah. Tahun depan baru lulus soalnya.”

Bimo manggut-manggut dengan pelan. “So! Bagaimana dengan hubunganmu? Daddy kamu masih menjodohkanmu dengan Cheryl?” tanyanya lagi.

Daniel menggeleng. “Nggak. Aku gak tertarik. Aku ingin memilih wanita yang menurutku pas, untuk kujadikan istri. Lagi pula aku ini masih muda. Belum memikirkan hal itu, Om.”

Bimo terkekeh pelan. “Usia saja yang masih muda. Tapi, pengalamanmu sudah melebihi orang dewasa.”

Daniel menyunggingkan senyum tipis. “Om tahu aja,” ucapnya kemudian menoleh ke arah Meira yang masih berada di sana. “Om kenal, sama cewek di seberang sana?” tanyanya kemudian.

Bimo menoleh dan mengangguk. “Yang rambut pirang itu Feby, sekretaris daddy kamu. Sering diajak kencan buta dan di-booking. Dan yang satunya itu temannya. Keduanya berasal dari Bali.”

Daniel mengerutkan keningnya. Ia baru tahu, bila Meira dan temannya itu bukan asli domisili sana, melainkan Bali.

“Bali? Mereka, berasal dari Bali? Berarti keluarganya juga di Bali?” tanya Daniel kemudian.

Bimo mengangguk. “Kalau Meira lebih pendiam dan cuek. Dia tidak pernah mau, diajak kencan oleh siapa pun termasuk atasannya. Karena katanya menjaga perasaan sang kekasih. Tapi, ada rumor katanya calon suaminya itu selingkuh.”

Daniel manggut-manggut dengan pelan. “Dan sekarang jomblo?”

“Bisa jadi. Jika dilihat dari raut wajahnya sih, begitu. Seperti orang yang sedang kebingungan.”

Daniel terkekeh pelan. Ia kembali menatap Meira dan mengulas senyum ke arahnya. Membuat Meira semakin tak karuan melihat Daniel ada di sana.

“Feby. Lo udah? Balik kantor lagi, yuk!” ajak Meira kepada Feby.

“Bentar lagi. Lagian kenapa sih, gak mau banget lo dilihatin Daniel? Udah saling tukar keringat juga,” ucap Feby sedikit kesal dengan sikap Meira yang tak nyaman dengan kehadiran Daniel di sana.

Meira menghela napasnya. “Masalahnya ini kantor milik dia. Dan yang kedua, gue gak merasa pantas, buat dia. Masih muda, ganteng, calon pewaris perusahaan. Dan gue? Hanya seorang pegawai biasa.”

Feby menghela napas kasar. “Jalanin aja dulu kali, Mei. Kalau gak cocok, tinggal udahan.”

“Gak semudah bacot lo, Feby! Gue duluan dah, kalau elo beluman.” Meira kemudian beranjak dari duduknya dan pergi dari tempat itu.

Daniel mengembungkan pipinya melihat sikap Meira yang sepertinya enggan diganggu olehnya. Daniel yang paham akan hal itu lantas pulang dan tidak akan menemui Meira terlebih dahulu sebelum wanita itu memutuskan mana yang harus dia pilih.

Namun, pertanyaannya adalah … sanggupkah Daniel jauh dari Meira? Sedang hatinya sudah tertanam sangat dalam di dalam hati wanita itu.

“Linda! Linda!” Reymond berteriak memanggil istrinya dengan langkah lebar menghampiri sang istri yang tengah duduk santai di ruang tengah sembari menikmati jasmine tea miliknya.

Linda menoleh ke arah suaminya itu. “Ada apa?” tanyanya dengan pelan.

Reymond duduk di samping Linda dan menatap wajahnya dengan lekat.

“Kamu tahu, Daniel akan menikah dengan wanita yang umurnya sangat jauh dengannya?”

Linda menaikan kedua alisnya. Daniel hanya berbicara bila dia akan menikah, akan tetapi tak memberi tahu bila usianya jauh lebih tua darinya.

Linda kemudian menghela napasnya. “Kalau iya, memangnya kenapa?” tanyanya kemudian.

“What? Jadi, kamu sudah tahu, kalau Daniel akan menikahi wanita tiga puluh lima tahun itu?”

Sedikit terkejut, sebab usianya sangatlah jauh dengan Daniel. Namun, ia harus tetap santai apa pun yang terjadi.

Linda mengangguk lagi. “Ya. Jika wanita itu sangat mencintai Daniel, kenapa tidak? Mau usianya seusia aku pun aku tidak peduli.”

Reymond mengepalkan tangannya menatap kesal wajah Linda. “Apa kata orang-orang di luar sana jika Daniel menikahi wanita itu, Linda? Janda? Atau belum pernah menikah?”

Linda mengendikan bahunya. “Daniel belum memberi tahu dengan detail tentang wanitanya itu. Yang penting anakku bahagia, aku baik-baik saja.”

Linda kembali menyesap jasmine tea yang masih tersisa banyak itu sembari melirik Reymond yang sepertinya tidak setuju, Daniel menikah dengan Meira.

“Yang mana wanita itu? Kenapa Daniel bisa tergila-gila padanya?” gumamnya sembari mengusapi cincin yang ia kenakan di jari manis kirinya.

Linda tersenyum miring. “Kenapa kamu yang gelisah? Daniel saja yang menjalaninya tidak masalah.”

Reymond menoleh ke arah Linda. “Kamu tahu, Daniel baru dua puluh empat tahun. Tiga puluh saja belum ada, Linda. Kenapa kamu biasa saja, huh? Jika wanita itu hanya ingin memoroti uang Daniel, bukan benar-benar mencintainya. Apa kamu masih memberinya restu?”

Linda menghela napas kasar. “Meskipun sudah dewasa, bukan berarti wanita itu akan memoroti uang Daniel, Mas. Jika memang seperti itu, Daniel pasti akan mengakhirinya. Daniel sudah dewasa, bukan anak SMA lagi yang belum paham soal cinta.

“Kenapa kamu yang ribut, sih? Khawatir tergoda, oleh kecantikan wanitanya Daniel? Khawatir ingin merebut wanitanya Daniel?”

Linda kemudian beranjak dari duduknya meninggalkan Reymond yang masih bersikukuh tak setuju bila Daniel menikah dengan Meira—wanita yang belum diketahui oleh kedua orang tua Daniel.

Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam. Daniel mengurungkan diri untuk menjemput Meira bahkan menghubunginya pun ia tidak melakukannya.

“Di mana?” tanya Daniel menghubungi Ezra setelah sampai ke apartemennya.

“Di rumah cewek gue. Kenapa? Bukannya elo mau ke bar, sekarang? Kok kayak sepi-sepi aja?”

Daniel kemudian meneguk wine dari botolnya langsung. “Lagi di apartemen. Ke sini cepetan!” ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.

“Ck! Ini anak kalau udah galau, kudu bawa-bawa gue aja.” Ezra geleng-geleng kepala kemudian mengambil kunci mobilnya dan pamit kepada sang kekasih untuk menemui Daniel di apartemen.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Voni Oktavia93
duhh Daniel galau padahal belum dtolak beneran Lo sama Meira gmn kalau udah dtolak sama Meira bisa gila mungkin dia......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status