Home / Rumah Tangga / Cinta Satu Malam dengan Berondong / Buanglah Mantan Pada Tempatnya

Share

Buanglah Mantan Pada Tempatnya

Author: Sara Maureen
last update Last Updated: 2024-02-20 00:08:10

“Mainan Padma? Badai, ini kamu kan?”

Saat kebisingan sudah hilang dari sekitarnya, barulah Badai sadar siapa yang bicara dengannya barusan.

Refaldy Hardjaja.

Badai masih sibuk mengarang alasan di otaknya ketika Padma yang tadi belum mengenakan penutup telinganya dengan sempurna, masih bisa mendengar apa yang diteriakkan Badai.

Perempuan itu meminta maaf pada pelatihnya untuk menunda sebentar latihan mereka.

“My phone.” Padma mengulurkan tangannya pada Badai, meminta ponselnya dari Badai.

Setelah Badai menyerahkannya, Padma langsung bicara pada sang ayah begitu melihat caller ID yang tertera.

“Halo, Pa. Maaf, tadi itu Badai. Kayaknya dia jadi agak-agak mengkhawatirkan karena tanpa sarapan udah kuajak ke lapangan tembak.”

Badai mendengus mendengar alasan karangan Padma. Perempuan itu menjawab pertanyaan sang ayah dengan singkat dan tersenyum saat mendengar pesan-pesan terakhir dari sang ayah.

“Udah teleponnya?” Badai terkejut saat Padma kembali menyerahkan ponselnya. “Aku belum minta maaf sama Om Refaldy.”

“It’s okay. Papa ngira kamu lagi ‘cemburu buta’.” Padma terlihat masih tak percaya sang ayah menggunakan istilah itu untuk seorang Badai Tanaka. “Lebih baik daripada Papa ngira kamu lagi sakau.”

“Siapa suruh nama kontak papamu jadi ‘Sayangku’.” Untuk menutupi rasa malunya, Badia mengambil jalan pintas, yaitu menyalahkan apa saja selain dirinya. “Kupikir mantanmu yang kamu ceritakan di klub itu yang telepon.”

“Kalaupun yang tadi adalah mantanku, kenapa kamu bilang kamu mainan baruku?”

Padma tentu saja heran. Pasalnya, mengakui kalau dirinya adalah mainan baru Padma justru bukan seperti tabiat player atau manusia normal pada umumnya.

Badai berdeham untuk meredakan kecanggungannya. “Kalau aku bilang aku ini pacarmu, mantanmu itu akan mikir kalau kamu perempuan lemah yang lagi cari pelarian.

“Kalau aku ngaku sebagai mainanmu, maka kesannya kamu nggak nangisin kepergiannya karena kamu udah dapet mainan baru dengan cepat,” jawab Badai dengan lancar. “Hei, aku membantu pencitraan kamu lho, Hon.”

“Kamu—“

“Penuh strategi,” sela Badai sambil menjentikkan jemarinya. “Aku tahu, Honey.”

“Kamu banyak akal bulusnya. Makanya banyak perempuan terjebak sama kamu.” Padma memicingkan matanya dengan sebal karena betapa percaya diri dan jemawanya Badai saat ini.

“Bukan terjebak,” koreksi Badai. “Tapi menjebakkan diri bersamaku. Anggap aja itu skill utamaku.”

Badai meraih bahu Padma dan membalik tubuh perempuan itu, lalu mendorongnya ke tempat ia berdiri semula. “Udah sana, latihan. Aku mau liat kamu dari belakang. Nanti aku fotoin.”

“Difotoin? Buat apa?” Insting Padma langsung curiga. “Awas aja kalau buat macem-macem ya!”

“Nggak kok. Buat dipamerin ke grup keluarga aja kalau kita jadi menikah,” jawab Badai dengan enteng. “Om dan tanteku udah takut kalau aku makin lama sendiri, nanti aku jadi Columbus, kata mereka.”

“Columbus?”

“Columbus-nya perempuan.” Badai memamerkan senyuman maut yang biasanya berhasil membuat perempuan mana pun bertekuk lutut padanya. “Kalau Columbus menjelajah dan menemukan rute benua Amerika, kalau aku ya penjelajah wanita.”

“Columbus pasti nggak sudi dibandingkan sama kamu.” Padma berusaha setengah mati agar tak mengumpat, kemudian ia mengoreksi ucapan Badai sebelumnya. “Lagipula kita baru akan menikah kalau kamu lolos probation, Badai. Nggak usah pamer dulu, bisa?”

Badai hanya memutar kedua bola matanya, lalu kembali ke tempat duduknya semula. Padma sendiri mencoba memfokuskan pikirannya sejenak, kemudian meraih handgun dari holster-nya dan memulai latihannya.

Di sisi lain, Badai terus menatap Padma dengan raut wajah takjub. Dari sekian banyak olahraga di dunia ini, kenapa Padma bisa memilih menembak sebagai olahraga yang ia tekuni?

Padahal dengan tubuh rampingnya itu, Padma mungkin lebih cocok jika berada di kolam renang.

“Ck, jangan mikir kotor kalau nggak mau di-dor Padma, Dai,” gumam Badai pada dirinya sendiri.

Selama hampir dua jam, tatapan Badai fokus terarah pada Padma yang berdiri di tempatnya dengan senjata di tangan. Kalau sekarang mereka ada di film aksi, maka Badai percaya kalau Padma adalah pemeran utama yang merupakan pewaris keluarga kaya tapi diam-diam dia bisa menjatuhkan lawannya dengan mudah.

Ya, ya, ya, Badai terlalu banyak berkhayal.

“Kamu nggak bosan?”

Pertanyaan Padma langsung dijawab gelengan oleh Badai. Ia membuka penutup telinganya begitu melihat Padma menghampirinya. Badai sendiri juga bingung bagaimana ia bisa tidak bosan hanya menonton Padma latihan.

“Ayo, aku udah selesai,” ajak Padma pada Badai. “Kamu ditawarin kenapa nggak mau?”

Satu jam yang lalu Padma memang menawarinya untuk belajar. Di sana memang terdapat para pelatih yang bersedia mendampingi para pemula untuk menembak. Tapi Badai memilih untuk tetap di tempatnya dan mengawasi bagaimana Padma berlatih.

“Aku mau menggunakan waktu dua jamku untuk melihat bidadari berlatih menembak.”

“Receh banget gombalanmu. Coba lagi lain waktu, B.”

“B?” Rasanya baru kali ini ada yang memanggilnya B yang dilafalkan seperti huruf B dalam bahasa Inggris.

“B for Badai.” Padma menaruh senjatanya dan melepas holster, kacamata, serta penutup telinganya. “Setiap saat manggil kamu Badai itu kepanjangan.”

Badai pun melakukan hal yang sama. “Aku suka dipanggil seperti itu. Kesannya singkat tapi istimewa.”

Padma hanya mengangguk-angguk. “Gombal dan berkata-kata manis memang keahlian utama player.”

“Bibirku bisa berguna untuk hal lain selain menggombal. Kamu pernah mencobanya kok.”

Padma menduga kalau ia tahu dengan pasti apa yang dimaksud Badai, makanya ia mendelik pada lelaki itu. “Contohnya?”

“Untuk berciuman dan memuaskan kamu.”

“Uhuk!”

Seseorang yang terbatuk karena tak sengaja mendengar obrolan tersebut langsung mengalihkan perhatian keduanya. Padma langsung melangkah dengan cepat keluar dari gedung tersebut dan Badai mengikutinya sambil tertawa.

“Mau ke mana lagi habis ini?” tanya Badai saat membukakan pintu mobilnya untuk Padma.

“Sency, aku lapar.”

***

Usai memesan menu makan siang untuk mereka, Padma mengamati Badai dengan intens. Lelaki itu tak sadar kalau Padma tengah mengamatinya karena ia sedang melihat-lihat ke sekitar.

Padma menangkap kilatan tertarik di mata Badai dan ketika ia mengikuti arah pandangannya, Padma bisa melihat kalau yang baru saja menarik perhatian Badai adalah seorang perempuan cantik dengan pakaian yang cukup ketat membalut tubuhnya.

“Ada yang salah?”

Pertanyaan Badai mendapat gelengan dari Padma. Lelaki itu tersenyum saat menyadari Padma baru saja mengamatinya. “Jangan cemburu. Aku cuma sadar ada orang cantik dan itu wajar. Tapi aku tetap di sini dan nggak menghampirinya."

“Siapa juga yang cemburu?” Perempuan berambut panjang itu mendengus pelan. Saat ia baru saja akan mengeluarkan argumennya, ponsel yang ia letakkan di atas meja kembali bergetar dan kini menampilkan nomor tak dikenal.

“Nggak kamu angkat?”

“Yang ini baru mantanku.” Padma menjawab dengan santai. “Makanya nggak aku angkat.”

Sebelum Padma bisa mencegahnya, Badai sudah mengambil ponsel tersebut. “Kok nomornya nggak kamu simpan lagi?”

“Semua orang yang berlalu dari hidupku, akan kubuang semua jejaknya sampai nggak bersisa.”

“You’re so cold, Padma,” komentar Badai sambil menggeleng dengan dramatis. “Kali ini akan kubantu kamu membuang dia jauh-jauh dari hidupmu. Karena kata pepatah, buanglah mantan pada tempatnya.”

“Badai—“

“Halo,” sapa Badai begitu menggeser layar ponsel Padma untuk menjawab panggilan dari Galih, mantan kekasih Padma. “Mau bicara dengan Padma? Sorry, bro, kami lagi memilih cincin kawin, jadi sepertinya calon istriku nggak bisa bicara denganmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Badai Pasti Berlalu

    “Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Kamu Tahu Namaku?

    “Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Matahari yang Dingin

    “Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Dialah Angkasa Nirada Tanaka (2)

    Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Dialah Angkasa Nirada Tanaka (1)

    "Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Jadi Sayap Pelindungmu (3)

    Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Jadi Sayap Pelindungmu (2)

    “Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Jadi Sayap Pelindungmu (1)

    “Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Ada Papa di Sini Buat Kakak

    “Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status