“Gandeng tanganku.”
Permintaan Badai membuat Padma langsung menoleh dan menatap lelaki itu dengan tak percaya. “Buat apa?”
“Biar kamu nggak nyasar,” jawab Badai dengan asal. “Ya buat gandengan ajalah. Aku mau gandeng kamu dan hal ini juga nggak dilarang di perjanjian kita.”
Dengan enggan, Padma menggandeng lengan Badai. Mereka berjalan memasuki ballroom hotel di mana acara Sadira Group tengah digelar. Malam ini mereka datang sebagai pasangan atas permintaan Badai, tentu saja.
Sekaligus penampilan perdana mereka di publik sebagai pasangan. Awalnya Padma tak terlalu setuju, tapi setelah ia pikir-pikir lagi, akhirnya ia mengiakan ajakan Badai.
“Supaya orang-orang perusahaanmu bisa mengenal aku, calon jajaran direksi perusahaan keluargamu kalau kamu lolos probation hubungan kita.”
Kata-kata Padma yang percaya diri dan ambisius itu membuat Badai tertawa dan anehnya, ia tak tersinggung sama sekali. Badai curiga kalau Padma menggunakan pelet atau ilmu hitam lain pada dirinya.
“Kamu mau jawab apa kalau ada yang tanya tentang kita?” tanya Padma dengan penasaran. Padma merasa harus memberi briefing terlebih dahulu pada Badai, karena lelaki satu ini mulutnya sering kali tak terkendali.
“Kita adalah sepasang calon suami-istri,” jawab Badai dengan gamblang. “Hei, lagipula mantan kekasihmu itu datang ke sini dengan istrinya. Aku udah bilang kalau kita akan menikah, masa iya kita mau turun derajat?”
Padma langsung melotot pada lelaki di sebelahnya. “Apa kamu bilang? Kamu mengundang Galih?”
“Bukan aku, tapi Sadira Group.” Badai pun baru mengetahui hal tersebut pagi tadi, saat diberi daftar tamu undangan acara Sadira Group oleh asisten pribadinya.
Galih, mantan kekasih Padma, dulunya adalah salah satu jajaran manajer di perusahaan keluarga Padma. Sejak ia memutuskan Padma dan menikah dengan seorang janda kaya bernama Irina Tjandra, Galih resign dari perusahaan keluarga Padma dan kini katanya, menjadi direktur utama dari perusahaan Irina.
Padma langsung ingat kalau perusahaan Irina memang bekerja sama dengan anak perusahaan Sadira Group.
“Supaya kita semakin meyakinkan….” Badai menggiring Padma ke area sudut ballroom terlebih dahulu dan ketika mereka sudah berdua saja, lelaki itu membuka dompetnya. “Nah, pakai ini.”
“Apa?”
“Ini cincin, Hon. Bukan kondom.” Badai memutar kedua bola matanya.
Kemarin ia melihat-lihat website salah satu toko perhiasan langganan tantenya (yang ia berhasil ingat setelah mencari foto pamer sang tante di I*******m), dan memutuskan membeli cincin untuk Padma.
Iseng, pikirnya.
Badai meraih tangan Padma dan memakaikan cincin itu di jemari Padma yang ramping. Ia meminta asistennya untuk mencari tahu ukuran jari Padma dan entah bagaimana caranya, sang asisten berhasil mengetahuinya.
“Wah, Jack bakal dapat bonus nih,” gumam Badai saat cincin dengan berlian yang bertahta dengan cantik dan ukurannya cukup besar hingga bisa mencolok mata seseorang, terpasang dengan pas di jemari Padma.
“Siapa Jack?” tanya Padma sambil ikut mengamati cincin itu di jemarinya. “Dan kenapa berliannya besar banget? Aku bukan etalase perhiasan berjalan.”
“Jack itu asistenku.” Badai menjawab dengan santai dan kembali menggandeng Padma. Mereka berjalan membelah kerumunan dan beberapa orang yang menyadari kehadiran mereka, mulai menatap keduanya dengan penasaran.
“Dan kenapa berliannya besar?” Badai mengembalikan pertanyaan Padma. “Kamu sadar nggak sih kalau kamu terlalu… dominan? Alpha woman banget. Jadi menurutku, berlian besar seperti yang di cincinmu itu melambangkan ambisi yang kamu punya.”
Penjelasan Badai membuat Padma tertawa. “Baru kali ini seseorang benar-benar berani mengatakan kalau aku terlalu dominan.”
“Oh, ya? Biasanya?”
“Mereka membicarakanku di belakang.” Perempuan dengan gaun one shoulder yang panjangnya hingga mata kaki tersebut mengedikkan bahunya dengan santai. “Lagipula nggak semua orang suka dengan sikapku yang terang-terangan.”
“Aku suka.” Badai mendekatkan bibirnya ke telinga Padma. “Apalagi saat malam itu. Kamu ingat kalau kamu terang-terangan memintaku bergerak lebih cepat?”
Perempuan yang rambutnya digelung hingga memamerkan leher jenjang dan bahunya yang mulus itu langsung menginjak kaki Badai dengan kuat. Badai meringis dan langsung menjauhkan wajahnya dari telinga Padma.
“Honey…,” desis Badai. “Sepatumu itu sepatu yang biasa dipakai di proyek ya? Kenapa keras banget?”
“Tekadku untuk membuat kamu berhenti bicara omong kosong lebih keras.”
Keduanya hampir tiba di meja yang ditempati ayah Badai, ketika mata Padma menangkap sosok lelaki yang sangat ia kenal, kini berdiri sambil merangkul pinggang seorang perempuan yang sepuluh tahun lebih tua daripada lelaki itu.
Galih dan Irina.
“Padamkan api di matamu, Hon,” kata Badai yang tahu perubahan suasana hati Padma. “Kamu boleh masih sakit hati karena ditinggalkan mantanmu, tapi nggak seharusnya kamu menunjukkan hal itu di depan mereka.”
“Tumben omonganmu benar, B,” timpal Padma sebelum mengatur pernapasannya.
Badai terkekeh. “Nggak semua omonganku itu sampah, Hon.”
Tadinya Padma pikir ia tak perlu menyapa Galih. Tapi lelaki itu menoleh ke arahnya dan langsung tersenyum lebar. Tanpa tahu malu, Galih menarik istrinya dan benar-benar berjalan ke arah Badai dan Padma.
“Hai, Padma,” sapa Galih lebih dulu. Sedangkan Irina langsung bersikap protektif dan menatap Padma dari atas sampai bawah.
“Hai,” sapa Padma dengan senyum sopan dan seadanya.
“Aku nggak tahu kalau kamu diundang ke sini,” komentar Galih. Kemudian tatapannya jatuh pada Badai. “Oh, dan aku nggak tahu kalau kamu dekat dengan Pak Badai.”
“Kalau Anda lupa, saya tunangannya Padma.” Badai mengulurkan tangannya pada Galih. “Badai Tanaka.”
“Galih Firdaus.” Galih menyambut uluran tangan Badai. “Dan ini istri saya, Irina Tjandra.”
“Halo, Mbak Irina,” sapa Badai dan membuat Galih langsung mendelik saat mendengar panggilan Mbak yang disematkan Badai.
“Panggil nama aja harusnya, Badai,” tampik Irina.
“Gini-gini saya menghormati orang yang lebih tua, Mbak. Nggak enak kalau panggil yang lebih tua pakai nama.”
“Tapi kamu panggil Padma dengan nama,” sanggah Galih dengan cepat. “Padma lebih tua dari kamu.”
Padma menahan diri untuk tidak mendengus. Dengan senyumnya, ia menjawab, “Dia kan calon suamiku, terserah padanya mau panggil aku bagaimana.”
“Calon suami atau pelarianmu?” Galih tak suka melihat bagaimana Padma membela Badai. Sedangkan Badai sudah senyum-senyum seperti menang lotre.
Pertanyaan ofensif Galih membuat Badai yang lebih tinggi beberapa senti dari Galih langsung memicingkan matanya. Ia tak suka tatapan merendahkan Galih.
Tak berbeda jauh, Irina pun mengeratkan gandengannya pada Galih. Ia tahu siapa Padma dalam hidup Galih dan kemarin-kemarin, ia merasa menang karena bisa mendapat lelaki segagah Galih sebagai suaminya. Tapi kini ia mulai tak suka dengan keberadaan Padma yang ternyata masih mengusik Galih.
Namun, bukan Padma namanya kalau bisa kalah begitu saja. Perempuan itu menyusupkan anak rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan lambat dan dibuat-buat.
Saat itulah Galih dan Irina bisa melihat dengan jelas betapa besar berlian di cincin yang dikenakan Padma.
“Tentu calon suamiku dong.” Padma menyandarkan kepalanya dengan manja di lengan kokoh Badai. “Dia bisa mendapatkan dua hal yang dulu kamu nggak bisa dapatkan, cincin berlian yang besar dan restu dari papaku.”
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka