“Ri, temenin gue dong. Plis, plis, plis. Gue udah bawain lo majalah nih. Gue males kerja kelompok di rumah Abdi tanpa lo!” seru Lisa saat istirahat di hari Kamis minggu berikutnya, yang telah memasuki bulan September.
“Heiiii, gue ekskul panahan, kan udah mulai masuk nih,” sahut Matari. “Banyak anak baru dan gue diminta untuk nunjukin latihan dasar buat mereka.”
Lisa merengut.
“Emang Thea ke mana? Nggak sekelompok?” tanya Matari sambil meneguk es jeruknya tanpa sedotan, karena sedotan sedang habis.
“Enggak. Kan ini kelompoknya dipilihin sama Bu Anisa, guru mapel Bahasa Inggris. Bener-bener acak. Yang lain gue nggak gitu kenal, makanya gue males ajak ke rumah gue buat ngerjain. Lagian Thea hari ini mantau penghitungan suara Osis. Besok Jumat bakalan diumumin kandidat pemenang kan. Jadi kayanya dia mau nebeng nama doang, atau maksimal besok abis kelar sekolah ngerjain bareng-bareng kelompoknya. Tapi mepe
Lisa hendak memanggul tasnya saat Davi menghentikan langkahnya.“Wah, kenapa, Dav? Gue ada pemotretan nih!” seru Lisa sambil memberi isyarat pada Thea agar tidak pergi keluar kelas duluan.“Gue pengen tanya sesuatu sama lo. Mungkin kalo Thea nggak keberatan, dia boleh gabung!” jawab Davi saat melihat Thea mendekat ke arah mereka.Abdi menyelimpangkan tasnya. “Guys, dia mau nembak Matari. Gimana menurut lo semua?”Thea mengangkat bahu sambil berkata, “Terserah aja gue sih. Yakin nih?”“Kata Lisa, Matari ada perasaan juga sama gue. Ya kan Lis?” timpal Davi.Lisa mengangguk kemudian berkata, “Gue yakin sih. Menurut lo gimana The? Sepemahaman nggak sama gue?”Thea terdiam sejenak dan menyahut dengan cepat, “Iya, kayaknya gitu.Btw, nanti gue diceritain aja ya, gue harus cabut duluan, ada rapat Osis.”“Siap, Bu Ketua. Sem
Matari tiba di rumahnya sore itu dan mendapati sebuah motor H*nda seri terbaru di tahun 2001, terparkir dengan rapi di pekarangan rumahnya. Dan dari luar, dia bisa mendengar suara Ayahnya tertawa bersama seseorang. Itu masih hari Selasa, Matari tak menyangka, Ayahnya datang lagi setelah kembali ke kotanya bekerja hari Minggu sore. Apalagi motor tuanya tak tampak di mana-mana.“Assalamualaikum!” seru Matari sambil melepas sepatunya di depan pintu.Di ruang tamu tampak Ayahnya duduk santai dengan seorang laki-laki yang berusia tak jauh dari Ayahnya dan tampak asing. Setidaknya Matari baru pertama bertemu saat itu.“Waalaikumsalam. Ini dia anak gua yang kedua, Matari, yang kebetulan salah satu murid di SMP negeri yang lo mau masuk besok. Matari, sini salam, ini namanya Pak Haikal, dia calon guru pelajaran Tata Busana di sekolah kamu,” kata Ayah dengan nada semangat.Matari menyalami dengan sopan dan menatap Pak Haikal dengan baik-baik
Matari hendak melangkahkan kakinya menuju parkiran sepeda saat melihat Davi sudah berdiri di samping lorong yang akan membawa mereka menuju halaman parkir. Davi selalu ada di sana, menunggunya pulang. Tanpa disuruh. Meskipun mereka akan berpisah masing-masing di gerbang sekolah karena Matari harus mengayuh sepedanya bersama Sandra. Sandra hari itu harus pulang cepat karena akan ekskul pramuka. Sedangkan Abdi, tentu saja mempersiapkan kejuaraan sepakbola antar SMP sejabodetabek yang akan digelar bulan November hingga Desember nanti.“Ri, mau ke parkiran?” tanya Rocky sambil mensejajarkan langkahnya di samping Matari.“Iya nih…,” sahut Matari sambil berjalan semakin dekat ke arah Davi.Rocky melihat Davi di sana, menatapnya tanpa ekspresi apapun.“Hai, Dav!” sapa Rocky.“Yoook…..!” sahut Davi acuh.Matari menghentikan langkahnya di depan Davi. Rocky ikut mendekat. Akhirnya mereka be
Matari menatap Echa dengan bingung.“Seriusan?” ulang Matari.“Iya, pengumuman lomba mading untuk kelas 1 kan yang lo maksud? Udah selesai ditempel kok. Kalau kelas 2 masih lama, diduluin kelas 3 yang lomba Mading, takut kalau kelas 3 belakangan, ngeganggu jadwal mereka bimbingan menjelang Ujian Nasional. Emang sih tahun ini lomba mading dibedain dari tahun lalu, biar nggak bosen. Dan tahun ini hadiahnya seperangkat komputer, dikasih hibah dari perusahaan Papanya Lisa. Sekolah kita dapat 10 unit komputer tapi 3 buah diperuntukkan lomba Mading. Jadi masing-masing Angkatan dapat 1 pemenang. Biar pada niat ikutan lomba,” kata Echa panjang lebar.Matari tentu tidak menyangsikan perkataan Echa barusan. Terlebih dia menjabat sebagai ketua, menggantikan Kak Seno.“Tapi, gue diminta Lisa buat bantuin dia pasang pengumuman lomba. Jadi gimana dong?” tanya Matari.Echa mengerutkan dahi. “Ya udah, nanti gue coba tanya
Matari menyandarkan sepedanya dengan asal di dekat rombongan ekskul panahan yang sedang briefing. Hari itu hampir seluruh anggota ekskul telah membawa peralatan memanahnya masing-masing. Di kejauhan, tampak Davi berlari tergopoh-gopoh menuju Gedung serbaguna. Davi melambaikan tangannya pada Matari dan berlari cepat menuju ekskul teater yang sudah mulai. Mereka berdua sama-sama terlambat karena setelah jadian tadi siang, Davi mentraktir mereka berlima makan mie ayam di depan sekolah sebagai selebrasi kecil-kecilan. Setelah itu dengan kecepatan ganda, Matari dan Davi sama-sama segera pulang ke rumah dan mempersiapkan ekskul selanjutnya. “Tumben, lo telat,” bisik Echa saat melihat Matari duduk di sebelahnya. “Ada urusan,” timpal Matari. Echa menghela napas. Matari tahu, Echa sepertinya tampak lelah sekali dengan keadaan yang mengharuskan mereka berlatih lebih sering da
Deru mobil jeep tua terdengar berhenti dengan halus. Suara langkah kakak perempuannya yang selalu kasar dengan sepatu hak tinggi favoritnya berhenti di depan pintu utama. Davi hanya melirik sekilas dan kembali menonton tv di ruang keluarga. “Cklek,” terdengar suara pintu utama dibuka kemudian beberapa detik kemudian ditutup kembali. “Waduuuuh, enaknya santai depan tv sambil tiduran!” seru Kak Erika, kakak perempuan Davi, sambil duduk di sebelah kaki adiknya. “Udah kerjain PR belom lo?” “Males, entar aja!” tandas Davi cuek. “Eh, lo kudu rajin kerjain PR tahu!” timpal Kak Erika sambil menaikkan kakinya. “Ih suka-suka gue, udah sono, mandi, bauk tau!” “Eh, gue kasih tahu ya, seenggaknya kalau udah takdir muka lo jelek, minimal lo pinteran dikitlah!” “Anjiiiirrrrr, ngatain gue lo?” “HAHAHAHA!” “Ada apa sih ini ribut-r
“Oke, ini nomornya Abdi 542XXXX, gue nggak tahu nomor rumahnya si Davi. Lo nanya Abdi aja dah,” kata Lisa di telepon.“Matari, jangan lama-lama!” seru Eyang Putri keras dari lantai bawah.“Makasih ya, Lis,” kata Matari.“Sama-sama. Semoga cepet kelar masalahnya. Baru tahu gue Davi ngambekan. Hahahah, ya udah sana!” sahut Lisa kemudian menutup telepon.Matari mengambil salah satu LKSnya dengan asal-asalan dari dalam kamarnya, kemudian turun ke bawah dengan cepat.“Yang, aku mau fotokopi di sebelah dulu, bentar ya!” seru Matari dan berjalan ke arah pintu.“Oke, ada uangnya nggak?” tanya Eyang Putri sambil melipat koran yang sedang dibacanya.Matari mendapat ide. Meskipun licik, tambahan uang fotokopi dari Eyang bisa membantunya untuk menambah biaya ongkos menelepon Davi di wartel (warung telepon*
Namun, sampai hari Senin menjelang ekskul tambahan untuk panahan, Matari tidak melihat Davi. Entah karena dia menghindar, tapi Matari sama sekali tidak melihat anak laki-laki itu di manapun. Matari pun akhirnya tetap berkonsentrasi pada kegiatan memanahnya.“Cowok lo tuh!” bisik Echa pada Matari.Matari menoleh pada arah yang ditunjuk Echa. Tampak Davi duduk di tepi gedung serbaguna. Tampak mematung dalam diam sambil mendengarkan lagu dariheadset-nya. Davi tampak berusaha tetap memegang ucapannya untuk menemani Matari selesai pulang ekskul. Rasa hangat menjalar di hati Matari. Ingin rasanya buru-buru ke sana dan mengobrol dengannya.“Yah, oke. Saya rasa cukup untuk hari ini. Memang ini masih bulan September, tapi hari akan cepat berlalu dan nggak akan terasa tiba-tiba bulan Maret 2002 datang. Lomba kejuaraan tingkat DKI akan dibuka. Saya akan kirim 3 orang kali ini. Matari, Echa dan Lilo. Lilo