Share

07. Kenapa Kamu Masih Ragu

Calista menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah diantarkan pulang oleh Alka.

Suasana hatinya masih juga tidak tenang. Ia hanya memikirkan cara, bagaimana untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Tak mungkin juga menyetujui ide konyol Alka, menerima tawaran bantuannya dengan syarat harus tidur bersamanya.

"Benar-benar gila! Kakak dan adiknya memiliki pikiran yang kotor. Udah tidur dengan adiknya, sekarang malah diminta untuk tidur dengan kakaknya, nikah aja belum, udah ngajak yang aneh-aneh. Bikin kesel, aja."

Kedua tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Setelah menenggak jus jeruk di rumah calon mertuanya, ia merasakan kepalanya agak pening, dan memutuskan untuk diantarkan pulang.

"Loh! Kamu udah pulang, Lista?"

Kamila memasuki rumah setelah mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Kondisi Geraldi memang kurang sehat, tak diperbolehkan untuk memakan sembarang makanan. Kamila harus mengontrol pola makan suaminya.

"Baru aja nyampe, Ma," jawab Calista.

Kamila tak mendapati siapapun di rumahnya. Ia pikir Calista diantarkan pulang oleh calon suaminya. Kebetulan pagi itu saat Calista dijemput oleh Alka, ia sedang tidak ada di rumah. Ia juga ingin mengenali calon menantunya lebih dekat lagi.

"Mana Alka? Apa dia tidak mengantarkanmu?" tanya Kamila dengan menghenyakkan panggulnya di sebelah Calista.

Ia meletakkan rantang nasi di atas meja, memutuskan untuk istirahat sejenak sebelum kembali beraktivitas.

"Dia langsung pulang, Ma. Katanya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Ya, udah, biarin aja. Aku sendiri juga capek, mau istirahat."

Calista masa bodoh walaupun Alka tidak mampir masuk ke dalam rumahnya, dan mengobrol dengan orang tuanya. Akan lebih baik kalau pria arogan itu tidak berlama-lama berada di rumahnya, karena hanya akan mengundang emosi saja, omongan Alka suka bikin nyelekit di hati.

"Emm, tapi kamu sama dia baik-baik saja kan? Dia nggak ngapa-ngapain kamu, kan?"

Kamila masih mengkhawatirkan jika putrinya diperlakukan tidak baik oleh calon suaminya. Mengingat pertama kali calon menantunya datang ke rumah, sikapnya tidak begitu sopan.

"Tadinya sempat debat, Ma. Dia udah nuduh aku dekat sama adiknya. Dia salah paham tadi, berantem juga sama adiknya. Untung ada Tante Riana yang menengahinya. Kalau saja Tante Riana nggak ada di rumah, mungkin mereka udah adu jotos gara-gara aku."

Calista menceritakan semua yang dialaminya di rumah calon mertuanya. Memang awalnya tidak baik-baik saja. Ia bahkan tidak pernah menyangka dipertemukan kembali dengan orang yang sudah menidurinya, tapi ia tutup rapat-rapat rahasia itu agar tidak semua orang mengetahui kecerobohannya, termasuk orang tuanya sendiri.

"Ya ampun ..., segitunya Alka. Apakah adiknya itu cowok?" tanya Kamila dihinggapi rasa keingintahuannya.

Calista mengangguk. "Iya, Ma. Adiknya cowok."

Kamila terkekeh menertawakan putrinya, baru saja datang ke rumah calon mertuanya sudah membuat kakak beradik beradu mulut.

"Kok Alka bisa nuduh adiknya dekat sama kamu gimana ceritanya? Apa kamu memang udah mengenali adiknya?" tanya Kamila.

Calista melirik sekilas pada Mamanya. "Ya enggak lah Ma. Aku bahkan baru sekali datang ke rumahnya. Gimana aku bisa mengenali adiknya, itu kan mustahil," jawab Calista beralibi, padahal Ia sudah di unboxing oleh calon iparnya.

"Ya siapa tahu aja sebelumnya kamu pernah ketemu di luar," balas Mamanya. "Terus bagaimana di sana? Apakah mereka ada yang menanyakan tentang keluarga kita? Maksudnya perusahaan kita yang seperti ini. Bagaimana tanggapan mereka? Mereka akan membantu kita beneran, kan?"

Calista menghela napas dan membuangnya perlahan. Ia menatap dalam-dalam wajah wanita yang sudah mulai menua seiring bertambahnya usia. Ia ingin menjelaskan tentang kegundahan dihatinya mengenai perusahaan keluarga yang kini diambang kebangkrutan.

"Ma. Tadi aku bicara sama Alka mengenai perusahaan kita. Alka bilang, aku tidak memiliki pengalaman bekerja di luar. Di saat perusahaan kita meredup, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena minimnya pengalaman. Memang benar sih, apa yang dikatakan Alka. Selama ini aku tidak mau belajar untuk mengenali dunia luar, maksudnya bekerja pada orang lain. Semenjak aku tumbuh remaja, Aku belajar bekerja sama Papa, dan hanya ingin bekerja di perusahaan sendiri, dan sekarang aku bisa ngerasain, di saat kita udah tidak berjaya seperti dulu, akan banyak membutuhkan banyak biaya untuk bisa kembali bangkit, dan aku rasa, aku memang harus bertindak untuk mencari pekerjaan di luar, nggak harus mengandalkan orang lain untuk membantu kita."

Kamila terkejut mendengar penjelasan dari putrinya. Ia mulai berpikir, Alka dan keluarganya tidak mau memberikan bantuan pada suaminya. Mereka berniat untuk membohongi keluarganya.

"Maksud kamu Alka dan keluarganya nggak mau bantuin kita? Bukannya mereka sendiri yang sudah bilang sama Papa kamu kalau akan membantu kita untuk mengembalikan bisnis seperti dulu. Kenapa sekarang bicaranya berubah, atau mereka hanya ingin menertawakan kehancuran kita?"

Kamila agak kecewa dengan keluarganya Alka yang menurutnya hanya memberikan harapan palsu pada keluarganya.

"Tidak Ma. Bukan seperti itu. Mereka tetap akan membantu kita, kok. Mereka itu sangat baik, dan om Bayu tidak melanggar ucapannya. Ini hanya pemikiranku saja dengan Alka. Nggak salah loh, Alka menasehatiku, jika ingin bangkit kita harus berusaha juga, nggak harus ngandelin orang lain, atau berpangku tangan."

Kamila tidak suka dengan pendapat Calista. Sampai kapanpun Ia tidak akan pernah mengizinkan putrinya untuk turun tangan sendiri mencari pekerjaan di luar. Sudah ada yang membantunya, tidak perlu bersusah payah untuk mencari pekerjaan di luar yang hasilnya juga tidak seberapa.

"Calista! Mama sama Papa sengaja menjodohkanku dengan Alka, agar kami mendapatkan bantuan dari keluarga Alka, kenapa kamu malah berpikir untuk turun tangan sendiri. Sampai kapan kita akan bangkit dari keterpurukan kalau kamu lebih memilih bekerja yang tidak banyak menghasilkan uang. Kita butuh banyak dana, Calista. Jadi alangkah lebih baiknya jika kamu segera menikah dengan Alka, dan perusahaan kita akan terselamatkan. Terkecuali kalau mereka memang tidak berniat untuk membantu kita."

Calista cukup kecewa dengan pemikiran Mamanya. Seolah-olah orang tuanya sengaja ingin menjual dirinya hanya untuk kepentingan mereka saja. Tidak pernah berpikir, bagaimana perasaannya saat ini.

"Andai saja perusahaan kita tidak lagi bangkrut, mungkin kalian tidak akan menjodohkanku seperti ini, kan? Mungkin aku masih bebas untuk bekerja dan kalian tidak memaksaku untuk menikah. Nasib, oh nasib. Kenapa jadi begini."

Calista tersenyum getir menatap nanar Mamanya. Hatinya sangat teriris mendengar alasan orang tuanya yang lebih memikirkan perusahaan dibandingkan dengan kebahagiaannya.

"Sayang, kenapa kamu jadi ragu begini, sih. Bukannya Alka baik sama kamu," tegur Kamila tak suka dengan sikap Calista yang masih juga meragukan Alka sebagai calon suaminya.

"Ya, memang Alka baik padaku, dan mau membantuku, tapi kan aku juga belum siap untuk menikah. Prinsipku, menikah itu hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, dan kalau sampai pernikahanku gagal, apa kalian yang akan menanggung penderitaanku?"

Calista beranjak bangkit dan berlalu meninggalkan Mamanya, memutuskan untuk menenangkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status