Share

Cinta Semu yang Kukira Abadi
Cinta Semu yang Kukira Abadi
Author: Deandra

Bab 1

Author: Deandra
Ini adalah kali ke-33 pernikahan Richelle dan Dave ditunda. Karena di malam sebelum pernikahan, Richelle tertabrak mobil. Seluruh tubuhnya mengalami 19 patah tulang. Dia tiga kali masuk ICU sebelum akhirnya kondisinya stabil.

Ketika tubuhnya mulai sedikit membaik, dia menopang tubuhnya di dinding, berniat berjalan-jalan di koridor. Namun, baru sampai di tikungan, dia mendengar percakapan antara tunangannya, Dave, dan temannya.

"Terakhir kamu bikin dia hampir tenggelam, kali ini kamu tabrak dia pakai mobil. Pernikahan kalian tertunda dua bulan lagi. Selanjutnya kamu mau pakai cara apa?"

Richelle yang berdiri di balik tikungan seketika merasa seluruh darah di tubuhnya membeku.

Dave mengenakan jas dokter putih, memainkan ponselnya sambil menyahut dengan nada datar, "Kali ini nggak akan ditunda lagi."

Temannya agak terkejut. "Jadi, kamu menyerah dan akan menikahi Richelle? Terus, gimana dengan murid magang itu, si Stevie?"

"Waktu kecil Richelle dikirim ke Keluarga Bramasta. Ayahku bilang padaku untuk memperlakukannya dengan baik karena kelak kami akan menikah. Jadi sejak kecil aku sudah menganggapnya seperti istri sendiri. Bahkan, merawatnya sudah jadi kebiasaan .... Sampai aku bertemu Stevie."

Usai mengatakan itu, seulas senyuman muncul di matanya. "Dia memang bukan dari keluarga baik-baik, tapi dia nggak pernah menyerah pada nasib. Dia selalu kuat. Sejak pertama kali melihatnya, aku langsung memperhatikannya."

"Kalau kamu begitu menyukainya, kenapa nggak kejar saja dia?" Temannya merasa heran.

Setelah hening beberapa detik, Dave menunduk dan berkata, "Ibu Richelle pernah berjasa besar pada Keluarga Bramasta. Dia adalah tanggung jawabku. Tiga puluh tiga kali penundaan itu adalah bentuk pergumulanku. Sekarang aku harus memikul tanggung jawab ini. Sedangkan Stevie ... bisa melihatnya dari jauh saja aku sudah merasa cukup. Aku nggak berani berharap lebih."

Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti pisau yang menancap di jantung Richelle. Dia menahan diri di dinding agar tidak jatuh.

Wajahnya terasa gatal. Ketika menyentuhnya, dia baru sadar bahwa air matanya telah berlinang.

Richelle tak mendengarkan lebih lanjut. Dia berlari terseok-seok kembali ke kamar rawatnya. Air mata membanjiri wajahnya.

Dia tidak pernah menyangka, 33 kali insiden yang menimpa dirinya itu semuanya adalah ulah Dave.

Pertama kali, dia terluka parah karena tertusuk pisau saat terjebak dalam keributan. Kedua kali, dia hampir mati karena digigit ular di taman rumah. Ketiga kali, Dave mengajaknya mendaki gunung dan dia terjatuh, lalu terbaring di ICU selama setengah bulan.

Semua itu hanya karena Dave tidak ingin menikah dengannya ....

Pertunangan mereka sebenarnya sudah ditetapkan sejak Richelle berusia sepuluh tahun. Saat itu, Keluarga Bramasta terjerat kasus dan hampir masuk penjara. Ibunya yang seorang akuntan mengaku bertanggung jawab atas semua kesalahan agar Keluarga Bramasta bisa selamat.

Sebagai imbalannya, kakek Dave membawa Richelle ke rumah mereka, menetapkan pertunangan antara dirinya dan Dave, agar Richelle memiliki jaminan di masa depan.

Sejak kecil, seluruh Keluarga Bramasta, termasuk Dave, sangat baik padanya. Mereka mendukung semua keinginannya. Bahkan saat dia ingin membentuk band yang dianggap rendah oleh kalangan atas, mereka tetap mendukung.

Karena itulah dia yakin mereka saling mencintai. Tak pernah terpikir olehnya bahwa semuanya hanya karena rasa tanggung jawab, apalagi hati Dave sudah dimiliki wanita lain.

Rasa nyeri di dadanya berubah menjadi pisau tajam yang mengorek luka di seluruh tubuhnya.

Sepuluh menit kemudian, Dave masuk ke kamarnya untuk membersihkan luka. Melihat matanya yang agak merah, Dave sempat tertegun. "Ada apa? Lukanya sakit lagi?"

Menatap wajah penuh kepedulian itu, kata "tanggung jawab" terus menggema di kepala Richelle. Sungguh menyesakkan dadanya.

Daya tahannya terhadap rasa sakit lebih rendah dari orang lain, jadi bahkan untuk perawatan luka pun perlu bius lokal.

Dave mengambil bius itu, tetapi sebelum sempat menyuntikkan, ponselnya berdering. Dia lantas meletakkan obat biusnya dan mengangkat telepon.

Richelle menatap gantungan kecil di ponsel Dave dan teringat masa lalu. Dulu saat band-nya meraih kemenangan pertama dalam kompetisi dan mendapatkan gantungan kecil, dia dengan senang hati memberikannya kepada Dave. Namun, Dave melemparkannya ke dalam laci dan mencela dengan alis berkerut, "Terlalu kekanak-kanakan."

Namun sekarang, di ponselnya tergantung gantungan yang sama persis dengan milik Stevie. Benda itu bergoyang ke sana sini, sangat menusuk mata Richelle.

Suara dari telepon terdengar jelas di ruang rawat yang hening. Itu suara Stevie. "Dokter, di sini ada pasien yang aku agak ragu dengan kondisinya. Bisa tolong datang sebentar?"

Begitu mendengar itu, Richelle bisa merasakan suasana di sekitar Dave berubah lebih ringan, seolah-olah dia merasa bahagia.

"Baiklah, aku segera ke sana." Suaranya terdengar riang.

Dulu Richelle mengira itu hanya bentuk perhatian seorang pembimbing pada murid magangnya. Kini, dia sadar perasaan itu ternyata sudah ada sejak lama.

Setelah menutup telepon, Dave melewati obat bius yang tergeletak di meja, langsung mengambil alat untuk membersihkan luka.

Rasa sakit luar biasa menyebar dari lukanya ke seluruh tubuh. Richelle menahan suara. Kepalanya pusing. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Dengan suara bergetar, dia memanggil, "Dave ... belum disuntik obat bius ...."

Tangan Dave tak berhenti. Dia menghibur dengan tidak acuh, "Tanpa bius hasilnya lebih baik. Bius bisa menghambat efek obat. Tahan sedikit ya."

Tubuh Richelle bergetar menahan sakit. Tangannya mencengkeram seprai hingga hampir robek. Suaranya parau, nyaris seperti permohonan. "Dave ... tolong suntikkan biusnya .... Aku benar-benar kesakitan."

"Ayolah, tahan sebentar lagi. Sebentar saja." Gerakan tangannya malah semakin cepat.

Beberapa menit kemudian, perawatan selesai. Dave melempar alat ke nampan logam.

Richelle yang tak berdaya terbaring di ranjang. Dari sudut matanya, dia melihat Dave meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa.

Padahal obat bius sama sekali tidak akan menghambat efek obat. Dave hanya ingin segera pergi ke tempat Stevie, bahkan tak sudi menunggu lima menit pun.

Seketika, hatinya seolah-olah tersayat-sayat. Air mata jatuh di seprai putih dan bersih. Rasa sakit terus menggerogoti tubuhnya, hingga akhirnya pandangannya gelap dan dia kehilangan kesadaran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Semu yang Kukira Abadi   Bab 20

    Saat Richelle membantu Stanley turun dari lantai atas, Dave berjalan masuk dengan penampilan yang berantakan. Dia terpaku menatap Richelle dari bawah tangga.Pemandangan itu terasa sangat familier. Dulu, Richelle juga sering membantu Stanley turun tangga seperti ini. Dalam sekejap, Dave merasa semua yang terjadi sebelumnya hanyalah mimpi, bahwa Richelle masih di sini, bahwa tidak ada yang berubah, bahwa mereka masih punya masa depan bersama.Kalau dulu, Richelle pasti akan langsung menatapnya, tersenyum, dan menyapanya dengan lembut. Namun kenyataannya, tidak peduli seberapa tajam pun pandangan Dave tertuju padanya, Richelle kini memperlakukannya seperti udara.Segalanya memang sudah terjadi. Dia tidak akan kembali. Mereka memang tidak mungkin bersama lagi.Kesadaran itu membuat dada Dave seolah-olah tertusuk oleh pisau tak kasatmata. Setiap tarikan napas terasa menyayat hati.Saat makan malam, Dave duduk di hadapan Richelle. Tatapannya tak terlepas darinya, bahkan dia sempat ingin men

  • Cinta Semu yang Kukira Abadi   Bab 19

    Seperti biasanya, Ryker mengantar Richelle pulang. Namun entah kenapa, malam itu terasa berbeda baginya.Saat turun dari mobil, Ryker menyerahkan sebuah kotak hadiah kepadanya. "Hadiah ulang tahun."Dari gerbang kompleks menuju ke lobi apartemen, langkah kaki Richelle sedikit lebih cepat dari biasanya. Dia tidak sabar ingin segera membuka hadiah itu.Namun, begitu sampai di bawah, pandangannya tiba-tiba membeku. Dave berdiri di sana.Pria itu berdiri agak jauh, menatapnya. Di tangan Dave ada kue dan sebuah hadiah. Dia berjalan mendekat perlahan, lalu dengan gugup menyerahkan kotak di tangannya.Suaranya serak saat berkata, "Selamat ulang tahun, Richelle. Aku pernah bilang, setiap kamu ulang tahun, aku akan menemanimu. Syukurlah, kali ini aku nggak terlambat."Memang benar, dulu setiap ulang tahun Richelle, Dave tidak pernah absen. Bahkan ketika sibuk dengan jadwal operasi seharian, Dave tetap akan menyempatkan diri datang dan merayakannya bersamanya, meskipun itu berarti Dave harus ber

  • Cinta Semu yang Kukira Abadi   Bab 18

    Setelah mengantar Helan pulang, Richelle kembali ke rumahnya. Selesai mandi dan mengganti pakaian, dia berbaring di tempat tidur. Namun, begitu mengingat kata-kata cinta yang keluar dari mulut Dave, dia tak bisa menahan diri dan kembali tertawa.Dave bilang mencintainya. Pria itu benar-benar merendahkan arti dari kata "cinta".Keesokan harinya, tidak ada jadwal pertunjukan. Latihan yang seharusnya dilakukan juga dibatalkan. Richelle membaca pengumuman di grup, lalu meletakkan ponselnya di samping, menatap langit-langit. Dia baru sadar selain latihan dan tampil, dirinya sepertinya tidak punya hal lain untuk dilakukan.Ketika rasa hampa itu baru saja muncul, Ryker menelepon. "Hari ini nggak ada latihan, 'kan? Aku jemput kamu, kita jalan-jalan."Richelle berpikir sebentar. Karena memang tidak ada yang perlu dikerjakan, akhirnya dia menyetujui. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, menyiapkan diri, dan turun. Saat sampai di bawah, Ryker sudah menunggu di depan.Dia sedikit tertegun, lalu

  • Cinta Semu yang Kukira Abadi   Bab 17

    Richelle berhenti dan berbalik. Suaranya datar saat bertanya, "Apa Paman Stanley yang menyuruhmu mencariku?"Karena selain itu, dia tidak bisa memikirkan alasan lain.Dave tertegun mendengar itu, lalu buru-buru menjelaskan dengan panik, "Bukan ... aku sendiri yang ingin mencarimu.""Apa yang kamu mau?" Richelle mundur selangkah, nada suaranya dingin.Melihat wajah Richelle yang asing dan berwaspada, hati Dave terasa seperti disayat. Pahit dan sesak memenuhi dadanya. Matanya dipenuhi kesedihan dan permohonan. "Richelle ... ayo ikut aku pulang. Aku ....""Mau balas budi lagi?" sela Richelle dengan tatapan dingin. "Nggak perlu. Kalian sudah melunasi budi itu. Pergilah. Kita sudah lama nggak saling berutang apa pun."Setelah berkata begitu, dia melangkah melewatinya dan hendak pergi, tetapi pergelangan tangannya tiba-tiba ditangkap oleh tangan besar."Bukan untuk balas budi!" Dave buru-buru menahannya. Suaranya penuh kecemasan. "Aku cuma benar-benar ingin kamu kembali. Aku terlalu bodoh. S

  • Cinta Semu yang Kukira Abadi   Bab 16

    Karena orangnya terlalu banyak, mereka pun dibagi menjadi dua mobil. Richelle dan Helan naik mobil Ryker, sementara yang lain memanggil taksi sendiri.Karena mudah mabuk perjalanan, Richelle duduk di kursi penumpang depan. Sementara di kursi belakang, Helan masih sibuk melihat ke luar jendela sambil berseru riang, "Cowok tadi ganteng banget ya! Walaupun kelihatan agak lesu, tetap saja ganteng! Aku ingin minta kontaknya deh!"Richelle diam saja tanpa menanggapi. Ryker yang memperhatikan keheningannya justru menimpali, "Sudah deh, kamu bisa diam nggak? Orang yang kamu bilang ganteng itu paling nggak sudah 99 dari 100 orang yang kamu lihat. Aku juga heran gimana cara matamu bekerja."Seketika, perhatian Helan langsung teralihkan. Dia malah sibuk berdebat dengan Ryker, melupakan Dave sepenuhnya.Sementara itu, Richelle menatap ke luar jendela, melihat bayangan pepohonan yang bergeser cepat ke belakang. Di benaknya terus terngiang suara Dave tadi. Dalam suaranya tidak ada sedikit pun nada t

  • Cinta Semu yang Kukira Abadi   Bab 15

    Setelah operasi selesai, Richelle tinggal di rumah sakit selama beberapa hari sebelum akhirnya keluar. Suaranya pun pulih seperti sedia kala.Secara kebetulan, dia kemudian bergabung dengan sebuah band, di mana ada seorang gadis muda bernama Helan yang sangat menyukainya. Bahkan Helan yang mengajaknya masuk ke band itu.Karena Richelle sudah berpengalaman, tak lama kemudian mereka mendapat kesempatan untuk tampil dalam sebuah pertunjukan kecil di sebuah bar.Setelah setahun tak naik ke panggung, Richelle merasa menemukan dirinya kembali. Dia menjadi lebih sering tersenyum.Selesai pertunjukan, Richelle masih terbawa suasana. Hingga saat berjalan ke belakang panggung, dia mendengar Helan tiba-tiba berteriak, “Kak? Kenapa kamu datang ke sini? Bukannya kamu nggak pernah mau nonton penampilanku?”Richelle menunduk, memperhatikan langkahnya tanpa mengangkat kepala, sampai sebuah suara yang sangat familier terdengar. “Tenang saja, aku bukan datang buat nonton kamu.”Dia tertegun sejenak, lal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status