Kaira menghentikan langkahnya. Kedua matanya terbelalak ketika mengetahui siapa yang ditabraknya. Orang itu pun tak kalah terkejutnya dengan Kaira."Kau ... Dokter perebut tunanganku, bukan?" tuduh orang itu yang ternyata Tasya."Jangan asal bicara, kau. Aku tidak pernah merebut tunanganmu," ucap Kaira lembut. Berusaha tenang meski ia sedikit kesal dengan ucapan Tasya."Masih mengelak? Sudah jelas-jelas kau merebut Kaivan dariku. Aku pikir kau sudah mati karena lumpuh. Tidak di sangka, kau masih hidup dan berjalan dengan normal," maki Tasya dengan tatapan tajam."Cukup, Tasya! Aku tidak pernah merebut Kaivan darimu. Ya, kau lihat. Aku masih hidup dan sehat. Kenapa? Apa kau menyesal karena tidak berhasil melenyapkanku?" Kaira mulai terpancing emosi. Meski suaranya lembut. Namun, tatapannya nanar ke arah Tasya seolah menantang.Tasya tersenyum kecut. "Seharusnya kala itu, aku bisa melenyapkanku hingga kau tidak bisa lagi bersama Kaivan," ucap Tasya semakin emosi."Oh, seperti itu. Saya
Harun yang tengah bertugas di ruang IGD terkejut melihat Kaira digendong oleh Kaivan. Pria berparas manis itu mendekati Kaivan."Apa yang terjadi? Kenapa wajah Kaira lebam dan bibirnya berdarah?" Harun mengulangi pertanyaannya dengan panik sambil menatap ke arah Kaivan penuh kecemasan. "Nanti aku ceritakan. Sekarang, cepat tolong Kaira. Lengan kirinya juga sakit. Aku takut hal buruk terjadi padanya," jelas Kaivan yang masih menggendong Kaira."Ba--baik. Suster, tolong bantu saya ambilkan brankar," ucap Harun dengan gugup sambil memanggil salah satu perawat di ruangan itu."Baik, Dok."Kondisi Kaira memburuk. Wanita itu tak sadarkan diri. Seketika tubuhnya melemas. Kaivan semakin panik, begitu pun Harun."Kaira, bangun, Sayang. Kaira!" ucap Kaivan sambil meletakkan tubuh Kaira pada brankar dan menggoyang-goyangkan sedikit tubuhnya."Tenanglah. Aku akan melakukan pemeriksaan. Kau tunggu di sini," ucap Harun sambil mendorong brankar ke ruang pemeriksaan di bantu beberapa perawat.Harun
Kaira berusaha keras mengangkat tangan kirinya dan menggerakkan perlahan. Namun, terasa berdenyut dan sakit. "Ini, ini bekas luka yang dulu. Sekarang terluka lagi. Itu artinya ... aww!" Kaira sedikit memekik karena tangannya terasa sakit saat di gerakkan. Dengan cepat Kaivan meraih tangan kiri Kaira dan mengusapnya lembut sambil sesekali meniupnya. "Tenanglah, Sayang. Kau baru saja siuman dan tanganmu baru di operasi. Pelan-pelan, ya," ucap Kaivan sambil terus meniup dan mengusap-usap tangan Kaira yang terluka. "Apa aku tidak akan bisa menggunakan tangan kiriku lagi? Apa aku tidak akan bisa melakukan operasi lagi? Apa aku ...." "Kaira, bersabarlah. Aku yakin kau masih bisa menggunakan tanganmu kembali. Kau harus bersabar. Kau ...." "Jangan menghiburku! Kau pasti sudah tahu, jika tanganku tidak akan bisa berfungsi dengan baik kembali, bukan?" "Itu hanya sementara. Setelah kau sembuh dan menjalani terapi, tanganmu akan kembali pulih." "Aku tahu kau sedang berbohong. Dulu
Kaira terus melangkah meski Harun mengejar dan memanggilnya. Wanita itu semakin mempercepat langkahnya saat mengetahui Harun semakin mendekatinya. Kaira membuka pintu tangga darurat dan melangkah cepat menuruni anak tangga. Harun terus mengejarnya."Kaira, berhentilah. Aku mohon," pinta Harun yang sedikit tersengal mengejar sang adik. Namun, Kaira tidak menghiraukan dan makin mempercepat langkahnya."Kaira, kita bisa bicara baik-baik. Tolong jangan seperti ini," ucap Harun yang terus mengejar Kaira.Mereka tiba pada anak tangga terakhir. Kaira membuka pintu dan keduanya sudah berada di lobi rumah sakit. Kaira terus melangkah menuju pintu keluar. Harun terus mengikutinya."Kaira, dengarkan Kakak dulu." Harun berhasil meraih sebelah tangan Kaira dan menghentikan langkahnya. Kaira berusaha memberontak. Namun, tenaganya kalah kuat dengan Harun."Lepaskan tanganku."Kaira berusaha menepis tangan Harun darinya. Namun, lelaki berparas manis itu tidak mengindahkannya."Kak, sakit tahu. Lepas
Kaira duduk di balkon rumahnya sambil menggenggam sebuah bola karet dan terkadang membuka tangannya. Wanita itu sedang melakukan terapi untuk bisa menggerakkan jari-jari tangan kirinya.Terkadang, ia harus meringis menahan sakit ketika otot pergelangan tangan dan jari-jarinya bergerak. Namun, Kaira terus berusaha melakukannya meski sulit. Napas wanita itu pun kadang tersengal ketika harus menahan kesakitan tersebut.Kaivan datang membawa segelas jus stroberi kesukaan Kaira dan kukis. Menaruh kudapan tersebut di meja samping sang istri. Kemudian, duduk disebelah Kaira. Pria tampan bermata elang itu mengambil handuk kecil di meja dan mengelap kening Kaira tang berkeringat perlahan."Sayang, istirahat dulu, ya. Kau sudah cukup lelah," ucap Kaivan lembut sambil meraih tubuh Kaira dan menghadapkan ke arahnya."Aku belum lelah," tolak Kaira sambil melirik ke arah tangan kirinya."Aku tahu, kau wanita yang kuat dan pantang menyerah. Tanganmu sudah banyak perubahan dan aku senang melihatnya.
Kaira berjalan sambil menangis di tengah rinai hujan yang turun cukup deras. Wanita itu menyeret dengan malas koper, mengangklek tas berukuran sedang di pundak kirinya. Tangis Kaira semakin menjadi kala ia harus kembali teringat peristiwa beberapa waktu lalu. Perempuan berambut hitam sepinggang dengan tinggi semampai tersebut di usir keluarganya dari rumah karena perbuatan yang tidak sengaja dan bukan kehendaknya terjadi."Pergi kau dari sini! Rumah ini tidak pantas di huni perempuan hina sepertimu!" usir wanita setengah baya yang berdiri di hadapan Kaira dengan lantang dan tatapan menyeringai."Jangan usir aku dari rumah. Aku mohon. Papa, Mama, Kak Karin, dan Kak Kevin," mohon Kaira dengan mengiba sambil bersimpuh di kaki sang kakak perempuannya."Jangan tunjukkan wajah sok polosmu di hadapan kami! Kau telah mencoreng nama baik keluarga ini dengan perbuatan kotor dan hinamu! Kami tidak ingin menanggung aibmu!" ucap Karin semakin menunjukkan amarahnya, dengan suara yang lantang."Seba
Kaira bersama gadis itu menoleh ke arah pintu dan langsung mendekatinya. Empat orang pria tampak mendorong sebuah brankar dan menerobos masuk ruangan IGD."Suster, dokter! Tolong bantu kami! Ada korban kecelakaan," seru salah seorang dari mereka.""Apa yang terjadi?" tanya Kaira sambil mengambil stetoskop dari saku jasnya."Pasien mengalami luka memar pada kening. Patah pada tangan dan kaki kiri. Pendarahan pada tangan Kiri. Paha kanan sobek cukup dalam," jelas salah seorang dari petugas paramedis yang membawa orang itu ke rumah sakit.Sekujur tubuh orang itu berlumur darah hingga sulit di kenali. Kondisinya sangat memprihatinkan sekali.Berapa suhu dan tekanan darahnya? Sudah menghubungi keluarganya?" tanya Kaira kembali sambil memeriksa denyut nadinya."Mereka masih di jalan. Suhu tubuhnya tiga puluh tujuh derajat. Tekanan darahnya tujuh puluh per seratus."Pindahkan ke ruang pemeriksaan itensif. siapkan larutan Nacl 0,9 persen infus 500 mili liter. Kasa, obat merah, dan alkohol," pi
Pasien tak kunjung sadarkan diri pasca melakukan operasi kemarin karena kecelakaan. Ferdinan, pria yang menunggu orang itu sejak kemarin, masih setia melihat perkembangannya dari balik jendela ruang ICU.Pria tinggi berkulit hitam manis itu menatap iba ke arah pasien yang di tubuhnya terdapat kabel listrik yang mengarah ke monitor perekam detak jantung. Kedua lubang hidungnya terdapat selang oksigen untuk membantu pernapasan. Kaki dan tangan kiri orang itu terbalut perban. tangan kanan terbalut selang infus dan paha kanan yang dijahit. Tidak terbayangkan, begitu parah luka yang di derita pasien tersebut. Rasanya, ingin sekali Ferdinan menangis tersedu-sedu melihat kondisi orang itu."Kenapa separah ini? Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa orang yang begitu teliti dan selalu berhati-hati saat berkendara sepertimu bisa luka seperti ini?" tanya Ferdinan dengan raut wajah sedih."Ferdinan memalingkan wajah. Tak mampu melihatnya. Namun, kedua bola matanya membulat sempurna saat mel