Kaira menghela napas kasar. "Iya, Kak. Makanya aku kesal sekali. Aku merasa tidak nyaman dan bebas. Sudah seperti tawanan saja," kesalnya sambil bersedakep dan memonyongkan sedikit bibirnya."Aku rasa itu bagus. Kaivan ingin melindungimu dan Kiara. Dia terlalu khawatir dengan kalian. Oleh karena itu lah, Kaivan melakukan ini semua," jelas Harun dengan wajah serius."Iya, sih, tapi kan aku jadi merasa tidak bebas.""Itu karena kau belum terbiasa. Nanti kau akan terbiasa.""Kau mendukungnya?""Jika itu demi kebaikan dan keselamatanmu dan Kiara, kenapa tidak.""Menyebalkan.""Hei! Kau mau ke mana?"Kaira melenggang pergi dengan kesal. Pasalnya, Harun mendukung Kaivan, hal itu membuat Kaira sia-sia berbicara dengan pemuda itu. Harun mengikuti langkah Kaira keluar ruangan.~~~Kaira keluar dari lobi rumah sakit, ia sudah disambut dengan anak buah Kaivan yang sudah berdiri menunggunya."Selamat sore, Nyonya," ucap salah seorang anak buah Kaivan."Sore. Kalian ....""Kami diperintahkan Tuan
Kaivan duduk melamun di kursi kebesarannya, Ferdinan masuk setelah ketukan pintu tak dihirukan pemuda itu."Apa yang tengah kau pikirkan? Kenapa murung?" tanya Ferdinan, membuat Kaivan sedikit melonjak."Kau ini, kenapa mengejutkanku? Kenapa tidak ketuk pintu dahulu" tanya Kaivan kesal."Aku sudah mengetuk pintu tapi kau tidak mendengarnya. Jadi, aku masuk saja takut kau kenapa-napa," jelas Ferdinan.Kaivan menghela napas sedikit kasar dan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut."Papi mengurung mami di kamar hukuman karena ketahuan selama ini, mami yang membantu Tasya dan Karin memberi suntikan dan untuk mereka bisa bertahan hidup," jelas Kaivan kesal."Apa? Pantas saja Karin dan Tasya dengan mudah bisa berpindah-pindah tempat tinggal, ternyata tante Kanza yang membantunya," ucap Ferdinan terkejut."Itulah, Aku benar-benar bodoh, ternyata ada musuh lain di dalam rumahku, dia adalah mami," ucap kaivan datar."Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ferdinan penasaran."Aku akan menca
"Ka--kau ini bicara apa, sih, Kai," ucap Kanza dengan gugup."Kalau Mami tidak menjualnya, biarkan aku memilihkannya untuk Mami," ucap Kaivan sambil melangkah menuju kamar Kanza."Kaivan!""Ini ada apa, sih? Kenapa ribut sekali, sampai tidak mendengar suaraku," ucap Karan saat tiba di rumah."Papi.""Ini loh, Pi Kaivan. Dia ....""Kaivan hanya ingin membantu Mami mencari gaun, tas, sepatu, dan perhiasan yang cocok untuk acara besok. Beberapa hari lalu aku sudah belikan semua untuk Mami, tapi Mami malah larang," jelas Kaivan menyindir Kanza."Bu--bukan begitu, Pi. Mami mau cari sendiri, tapi anak kesayanganmu ini malah maksa mau cari," alasan Kanza, berharap dapat pembelaan dari suaminya."Aku hanya ingin membantunya saja. Apa salah jika aku ingin melakukannya sendiri? Siapa tahu ada yang tidak cocok," alasan Kaivan dengan sengaja."Bukan begitu, Pi. Mami ....""Sudahlah, Mi. Biarkan Kaivan melakukannya. Memang kenapa, sih kalau anaknya mau bantu?" ucap Karan mencoba menengahi."Kaivan
"Ini banyak sekali. Kenapa kau hamburkan uang begitu banyak untuk membeli semua ini? Nanti uangmu habis bagaimana?" protes Kaira yang terkejut dengan hadiah mahal dari suami tersayangnya itu."Ini tidak seberapa, aku akan belikan seluruh isi mal untukmu. Dunia pun akan aku berikan untukmu," jelas Kaivan sambil menatap Kaira lembut."Tidak usah menggombal. Apa mamimu datang menemuimu dan menguras uangmu? Kau merasa bersalah denganku dan menebusnya dengan membeli hadiah sebanyak ini?" curiga Kaira."Kau ....""Kenapa? Ingin memarahiku di depan Kiara?" tanya Kaira sambil mendelik."Aku baru pulang kau malah marah dan mencurigaiku. Kau keterlaluan," ucap Kaivan sedikit merajuk.Kaira tersenyum, tidak tahan melihat ekspersi menggemaskan Kaivan."Ekspresi apa itu? Jangan merajuk, aku hanya menggodamu," ucap Kaira sambil tersenyum."Kau! Beraninya menggodaku! Tidak tajut aku hukum?" protes Kaivan."Sudahlah, jangan merajuk. Aku sudah buatkan kukis kesukaanmu. Kau pergilah mandi, aku akan sia
"Mi, sebaiknya Mami pulang saja. Aku masih banyak pekerjaan. Tolong jangan memaksaku," ucap Kaivan setenang mungkin meski hatinya kesal dengan sikap maminya yang selalu membantu Karin dan Tasya.Meski Kanza tidak mengetahui jika Kaivan sudah mengetahui semua perlakuan maminya. Namun, Kaivan harus tetap berhati-hati agar Kanza tidak curiga padanya."Mami tidak mau pulang! Kai, kau harus kasih Mami uang. Bantu Mami, Kai," tolak Kanza yang mendesak Kaivan meminta uang."Mi, aku sudah bilang, bukan? Aku tidak ada uang. Keuangan perusahaan sedang goyah. Lagi pun, aku sudah memberikan uang banyak kepada Mami dua minggu lalu," jelas Kaivan yang masih tenang menghadapi maminya."Tiga ratus juta mana cukup, Kai? Kebutuhan Mami banyak. Beli make up, skin care, perawatan, belum lagi buat arisan dengan teman-teman Mami dan beli kebutuhan Mami yang lain," protes Kanza dengan sedikit kesal."Mi, itu banyak. Baru dua minggu loh. Bahkan Mami masih bisa menabung. Belum lagi dari Papi. Jika di total sa
'Kai, bantu Mami. Mami butuh uang.'Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Kaivan. Pemuda itu mengambil benda pipih yang tergeletak di meja kerjanya. Mengerutkan kedua alisnya menatap layar ponsel."Pasti Mami mau bantu Tasya dan Karin. Kenapa Mami masih bekerja sama dengannya, padahal sudah jelas-jelas mereka bukan orang baik-baik?" monolog Kaivan geram."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menangkap Mami dan menyekapnya, lalu membuat Mami mengaku. Pasti tidak akan berhasil. Mami sangat licik dan pandai mengelak. Pasti akan ada drama besar dibuatnya," monolog Kaivan kembali.'Kai, kenapa tidak menjawab dan mengabaikan Mami?'Ting!Ponsel Kaivan kembali berbunyi. Sebuah notifikasi kembali masuk. Kaivan kembali melihatnya. Namun, tidak membuka watsapp-nya.Ponsel Kaivan kembali berbunyi, kali ini wanita tua itu menelepon Kaivan karena kesal pesannya diabaikan oleh sang putra. Kaivan menghela napas kasar. Menantap ke arah ponsel yang terus berdering.Berkali-kali ponsel Kaivan berderin