Mag-log inTak kupedulikan suara ponsel yang menjerit-jerit sejak lima menit yang lalu.
Aku memilih merebahkan diri di atas kasur empuk yang dulu sekali pernah aku tempati bersama Eyang Utari.
Eyang Utari adalah wanita hangat dan sangat sabar. Meski aku terbilang manja saat kecil, tapi Eyang tidak pernah memarahiku. Ketika aku rewel atau melakukannya kesalahan, Eyang Utari akan menegurku dengan lembut.
Berbeda dengan Papa yang tegas. Tidak menerima penjelasan tapi langsung memberi hukuman.
Tapi akan berbeda jika itu Mbak Aluna. Papa selalu punya waktu untuk mendengarkan dan berdiskusi.
Ya, seperti itulah Papa, pilih kasih. Tapi di luar itu Papa adalah pria penyayang. Apapun yang aku minta asalkan bisa, Papa pasti memenuhinya.
Papa juga sangat perhatian, meski tak pernah mengunjungiku di luar negeri tapi tak pernah lupa mengirim pesan untuk bertanya kabar. Tapi sekarang dia telah berubah.
Entah apa yang sudah terjadi. Sepertinya aku harus mencari tahu, tentang alasan perubahan sikap Papa padaku.
Kupandangi foto yang menempel di dinding kamar. Di dalam foto itu, nampak Eyang Utari duduk di atas kursi kayu sambil memangku diriku saat masih kecil. Di samping Eyang, berdiri seorang bocah laki-laki. Dia Dirga, putra sulung Om Dimas dan Tante Ratih.
Kudengar dari Om Dimas, putranya itu kuliah di kota dan hanya pulang saat weekend saja.
Suara dering ponsel yang sebelum terdengar keras, sudah tak terdengar lagi. Namun tak kurang dari sepuluh menit benda pintar itu kembali berpendar.
Mataku menyipit, saat layar ponsel menampilkan nama Mbak Aluna. Kuhela nafas panjang sebelum akhirnya mengangkat teleponnya.
"Halo, Nara? Kamu di mana?" Suara Mbak Aluna. Tapi, aku tak menjawab.
"Nara, aku tahu kamu marah. Tapi kamu sudah dewasa, jangan bersikap seperti anak kecil. Main kabur-kaburan."
Mendengar ucapan Mbak Aluna, mendadak dadaku bergemuruh. "Aku diusir Mbak, bukan kabur!" tegasku.
"Papa tidak bermaksud mengusirmu. Papa hanya kecewa sama kamu, makanya memintamu pergi untuk sementara waktu. Harusnya kamu turuti perintah Papa. Sekarang tak hanya Papa, tapi Mama juga kecewa sama kamu."
Apa aku tidak salah dengar? Aku yang tersakiti tapi mereka yang kecewa. Lucu sekali!
"Harusnya aku yang kecewa sama kalian. Terutama sama kamu, Mbak." Tanganku mengepal menahan amarah. "Teganya kamu mengkhianatiku?"
"Nara, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Pulanglah dulu nanti Mbak jelaskan," kata Mbak Nara.
Belum sempat aku menyahut, tiba-tiba….
"Sudah jangan terlalu lembut padanya, suruh saja dia pulang sekarang atau tidak usah pulang selamanya!" Suara Papa terdengar tegas.
Mendengar ucapan Papa, dadaku terasa sakit lagi. Rasa sakit itu seolah mencekik dan membuatku sesak nafas.
Ponsel di genggamanku terjatuh. Suara Papa terdengar mengecil. Aku memejam sambil menarik nafas panjang. Berusaha untuk tenang dan rileks.
"Tidak apa-apa, kamu akan baik-baik saja."
Seperti pesan Mama, jika dadaku terasa sesak aku harus mengafirmasi diri sendiri dengan hal baik.
Setelah lebih tenang dan rasa nyeri di dada sedikit merda, aku turun dari tempat tidur. Melangkah keluar untuk mengambil minum.
Di ruang tengah sepi. Kucoba memanggil Tante Ratih, tapi tak ada sahutan. Kuteruskan langkah ke arah dapur. Aku yakin kalau hanya minum, Tante Ratih tak akan marah jika aku mengambil tanpa izin.
Dapur juga sepi. Di atas meja dapur, sebuah teko berisi air dan empat gelas terbalik mengitari. Kuambil satu gelas dan mengisinya dengan air dari teko. Setelahnya aku mendudukkan diri dan meminumnya pelan-pelan.
Baru dua teguk, terdengar samar-samar suara dari halaman belakang. Itu suara Om Dimas, sesekali dia menyebut namaku.
Awalnya aku tidak berniat menguping. Tapi kalimat demi kalimat membuatku perlahan mendekati pintu dapur yang terbuka sedikit.
"Kamu sebagai ayah kandungnya, harusnya bisa lebih bijak menyikapi masalah anak-anakmu. Jangan malah berat sebelah!"
Om Dimas terdengar marah.
"Tepati janjimu maka aku tidak akan ikut campur. Ingat, aku tidak pernah memihakmu!"
Janji? Aku semakin penasaran dan mulai mengintip. Om Dimas berdiri dengan ponsel menempel di telinga. Di sampingnya Tante Ratih mengelus pundak suaminya itu.
"Biarkan Kinara di sini sampai dia sendiri yang ingin ingin pulang. Jangan memaksanya atau aku akan melakukan apa yang sudah seharusnya kulakukan dari dulu."
***
Suara ketukan pintu membuatku yang terlelap terpaksa membuka mata.
"Nara!" Suara Tante Ratih cukup keras.
Dengan tubuh yang masih sempoyongan aku membuka pintu. "Iya, Tante?"
"Sudah sholat subuh?" Tante Ratih sudah memakai mukena berdiri di depan pintu.
Aku mengerjap beberapa kali, lalu menggeleng pelan. Malu, itu pasti karena sudah lama sekali aku tidak melaksanakan kewajiban itu.
Tanpa banyak kata Tante Ratih langsung menarik tanganku. "Ayo sholat berjamaah," ajaknya. Aku manut saja.
"Ambil wudhu." Tante Ratih menunjuk pada kran khusus di dekat dapur. "Jangan lama-lama ya," imbuhnya lalu berjalan menuju ruangan khusus antar ruang dan dapur.
Gegas aku membuka keran air. Sembari berniat dalam hati aku membasahi kedua tangan.
"Bisa niat nggak?"
Aku langsung menoleh, seorang pria berdiri sambil melipat tangan di dada.
"Kamu?" Aku mengernyit berusaha mengingat siapa laki-laki itu. "Dirga…?"
Dirga mendengus. “Udah lupa sama sepupu sendiri?”
Sontak aku memutar mata jengah, sikapnya masih saja kekanakan. Ya... sejak kecil kami tidak pernah akur. Dirga sangat usil. Terakhir kami bertemu sekitar delapan tahun lalu dan aku dibuatnya kesal setengah mati.
"Nara, Dirga cepat!" teriak Ratih.
"Iya." Kompak kami menjawab. Entah kenapa melihat wajah panik Dirga aku pun ikut panik.
"Cepat, cepat," gumamnya memburuku.
"Kalian itu ngapain aja sih, keburu habis waktu subuhnya gara-gara nungguin kalian." Tante Ratih mengomel begitu kami sampai.
"Pasti Mas Dirga gangguin Mbak Nara," sahut Raka, bocah sepuluh tahun, putra bungsu Om Dimas.
"Sok tahu kamu!" Dirga melototi adiknya.
"Sudah-sudah, Raka ayo iqomah!" perintah Om Dimas.
Raka langsung berdiri, satu tangan menempel di sisi kanan kepala sembari membaca bacaan iqomah.
Aku yang sudah memakai mukena berdiri di belakang Dirga, tepat di samping Tante Ratih. Di ruangan empat kali enam meter itu suara Raka terdengar merdu, membawa kedamaian di dalam dada.
Setiap lafadznya seolah membawa kesejukan tersendiri dalam hati. Meski sakit itu tak sepenuhnya hilang, tapi setidaknya sedikit berkurang.
***
Pagi ini selesai sarapan, Tante Ratih mengajakku pergi ke pasar untuk berbelanja. Aku pun bersiap, memakai kaos oblong dan celana jeans.
Saat hendak keluar kamar, layar ponsel berpendar. Kayra, sepupuku dari Mama mengirim pesan.
[Nara, kamu di mana? Kudengar kamu sudah balik dari Jerman? Aku sudah dengar tentang pernikahan Mbak Aluna.]
[Nara, setelah membaca pesanku, segera hubungi aku. Ada berita yang penting yang harus kusampaikan. Ini berhubungan dengan perusahaan Papamu.]
Tanpa pikir panjang kuhubungi gadis itu.
"Halo Nara, kamu di mana? Kenapa tidak menghubungiku?"
"Aku butuh waktu sendiri. Katakan ada info apa?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Aku dengar dari Papaku, Papamu akan segera mengumumkan Mbak Aluna menjadi CEO, untuk menggantikannya. Dan itu akan dilakukan di pesta pernikahan Mbak Aluna."
Aku cukup terkejut. Meski dari awal aku sudah bisa menduganya. Tapi tidak menyangka akan secepatnya ini.
Papa masih sehat, kenapa tiba-tiba mundur dari jabatan CEO?
Keyra menarik paksa Nara masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya mendekati Tristan menjelaskan sesuatu, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. "Sebenarnya ada apa sih?" tanya Nara sambil mengeritkan dahi. Sikap Keyra membuatnya bingung juga takut. "Ini darurat. Kamu harus ikut aku ke rumah sakit, kalau kamu gak mau menyesal nantinya." Nara menatap sepupunya itu tajam. "Kamu itu kalau bicara yang jelas! Jangan bikin orang takut dan panik gara-gara tingkahmu yang mendadak aneh. Sekarang jelasin siapa yang sakit?" omelnya. Ceritanya nanti saja di rumah sakit. Sekarang pasang sabuk pengamanmu. Aku mau ngebut," jawab Keyra menatap lurus ke depan. Jalanan pagi ini cukup ramai. Dia butuh konsentrasi penuh untuk bisa sampai lebih cepat. Detik berikutnya mobil pun melaju. Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di rumah sakit kota. Keyra turun lebih dulu. Lalu menggandeng Nara masuk. "Tunggu!" Nara menahan tangannya. Dan seketika langkah keduanya terhenti. "Kamu belum jawab, sebenarnya
"Mana Mama, Pa?" tanya Nara saat melihat papanya sarapan seorang diri. "Sudah berangkat duluan," jawab Rendy di sela-sela mengunyah makanannya. "Kamu mau keluar?" lanjutnya memandang putri bungsunya yang sudah rapi. Nara mengurai senyum tipis sambil mengangguk. Tanganya menarik sandaran kursi dan mendudukkan dirinya. "Mau nambah, Pa?" tanyanya basa basi sembari menyendok nasi goreng ke atas piringnya. "Sudah cukup," tolak Rendy. Pria paruh baya itu menelan makanannya lalu menyesap jus jeruknya. Sementara Nara menikmati sarapannya sambil memainkan ponselnya. "Kamu mau kemana?" Nara mengangkat kepalanya sebentar lalu kembali fokus dengan benda pintar di tangannya. "Mau fitting baju sama Tristan," jawabnya. Senyum lebar seketika muncul di bibir Rendy. Ada kelegaan di wajah yang sudah mulai keriput itu. "Papa lega, kamu memilih menikah dengan Tristan. Papa lihat dia benar-benar mencintaimu," Ucapan Rendy mengusik Nara. Ada rasa tak percaya mendengar kalimat yang kelua
"Bun, anterin ke rumah temanku," pinta Raka tiba-tiba merengek sambil menarik ujung jilbab bundanya yang sedang mencuci piring di dapur. "Mau apa ke rumah temanmu? Besok sekolah. Belajar sana," ujar Ratih masih sambil mlanjutjan pekerjaannya. "Buku aku kebawa temenku. Besok ada PR. Nanti aku kena hukum kalau gak ngumpulin." Raka menghentakkan kakinya. "Kok bisa kebawa teman kamu?" Ratih menghentikan kegiatannya. Mendelik pada putra bungsunya. "Kan Bunda sudah bilang kalau mau pulang buku-buku diberesin dimasukkan tas. Diperiksa ada yang ketinggalan nggak?" omel Ratih kesal. Sejak siang moodnya sudah rusak karena putra pertamanya. Dan sekarang putra bungsunya. "Maaf, Bundaku sayang.... Adek salah. Sekarang anterin ya Bun, nanti gak keburu ngerjain PR-nya," ucap Raka memelas. Bocah itu memegangi tangan bundanya sambil sesekali mencium punggung tangan yang basah itu. "Maaf ya Bun, besok gak lagi...." mohonnya yang membuat hati Ratih luluh. Putra bungsunya itu lebih pinta
"Bun, berikan ponselku," pinta Dirga menatap Bundanya tajam. Rasa kecewa di hatinya sudah tak terbendung lagi. Entah karena hasutan siapa wanita yang dulunya tak pernah berbohong itu kini malah mendukung kebohongan. Kalau bukan karena Raka, adiknya yang mengadu. Mungkin Dirga tidak akan tahu bundanya itu bersekongkol dengan Nirmala membohongi Nara. Ratih seperti menulikan diri. Tak sekalipun menyahut. Pandangannya lurus kedepan tanpa menghiraukan putra sulungnya yang sejak tadi menatapnya tajam. "Bun, kesabaranku juga ada batasnya. Tolong berikan ponselku. Aku harus menjelaskan semuanya pada Nara," katanya lagi dengan nafas yang sudah memburu karena menahan amarah yang berkumpul di dadanya. Rasa sakit ditubuhnya tak dihiraukannya. Baru semalam Dirga dibebaskan oleh ayahnya dan diizinkan pulang ke rumah. Dan itu karena penyakit tipes Dirga kambuh. Putra sulung Dimas itu menolak makan selama berhari-hari. Pagi tadi dia dibawa ke rumah sakit di kecamatan dan saat pulang Raka m
"Kamu sakit?" tanya Tristan pada Nara yang baru saja datang. Wajah gadis itu nampak lesu dan agak pucat. "Nggak," jawab Nara setelah mengambil duduk di hadapan Tristan. Dua orang itu bertemu di sebuah kafe yang biasa mereka datangi. "Minumlah!" Tristan mengangsurkan segelas jus jambu yang sudah dia pesankan tadi. "Mau makan apa?" lanjutnya sembari membuka buku menu. Nara menggelengkan. "Aku sudah makan. Kamu saja," jawannya tak bersemangat. Tristan menutup kembali buku menu. Menatap sendu gadis yang hanya mengaduk minumannya. Ada yang berbeda dengannya hari ini. Sepertinya sedang ada masalah. "Soal Dirga.." Tristan urung melanjutkan kalimat. Ekspresi Nara yang tampak biasa saja membuatnya mengerutkan dahi. "Kamu sudah tahu?" Nara mengangguk. "Dia di desanya, kan?" "Iya. Maaf, tidak memberi info lebih cepat." "Nggak papa. Makasih sudah bantu." Tritstan mengangguk. "Sepertinya dia sengaja dikurung sama orang tunya." Nara tersenyum tipis, lalu menghela nafas. Dikurung?
"Ini tidak benar," gumam Nara tangan kaki gemetaran. Gdis itu bergegas masuk mobil setelah mengusir Arka dari rumahnya. Dia sudah tak sabar menunggu mamanya pulang. Dengan mengendarai mobil sendiri, gadis itu menuju pabrik untuk menemui mamanya untuk mengonfirmasi kebenaran ucapan Arka. Matanya fokus pada jalanan di depannya namun otaknya masih memutar memori percakapan dengan Arka beberapa menit yang lalu. "Mas Arka pasti berbohong. Dia sengaja ingin menjadika Mbak Aluna kambing hitam. Aku nggak percaya Mbak Aluna sejahat itu," gumamnya pada diri sendiri. Namun saat ingatanny kembali mengingat ucapan mamanya yang berulang kali mengatakan Aluna bukan putrinya, mendadak rasa takut menyergap hatinya. Takut benar Aluna itu bukan putri kandung mamanya. Takut, benar. Aluna ingin menguasainya harta warisan keluarganya. Takut, benar Aluna sengaja memfitnahnya demi mendapatkan semua warisan keluarga. "Astaga.. jika itu benar. Kasihan sekali Mama..." ujarnya mencengkeram erat stir.







