Home / Romansa / Cinta Setelah Luka / Aku yang kecewa

Share

Aku yang kecewa

Author: iva dinata
last update Last Updated: 2025-10-01 11:34:24

Tak kupedulikan suara ponsel yang menjerit-jerit sejak lima menit yang lalu. 

Aku memilih merebahkan diri di atas kasur empuk yang dulu sekali pernah aku tempati bersama Eyang Utari.

Eyang Utari adalah wanita hangat dan sangat sabar. Meski aku terbilang manja saat kecil, tapi Eyang tidak pernah memarahiku. Ketika aku rewel atau melakukannya kesalahan, Eyang Utari akan menegurku dengan lembut.

Berbeda dengan Papa yang tegas. Tidak menerima penjelasan tapi langsung memberi hukuman. 

Tapi akan berbeda jika itu Mbak Aluna. Papa selalu punya waktu untuk mendengarkan dan berdiskusi.

Ya, seperti itulah Papa, pilih kasih. Tapi di luar itu Papa adalah pria penyayang. Apapun yang aku minta asalkan bisa, Papa pasti memenuhinya.

Papa juga sangat perhatian, meski tak pernah mengunjungiku di luar negeri tapi tak pernah lupa mengirim pesan untuk bertanya kabar. Tapi sekarang dia telah berubah.

Entah apa yang sudah terjadi. Sepertinya aku harus mencari tahu, tentang alasan perubahan sikap Papa padaku.

Kupandangi foto yang menempel di dinding kamar. Di dalam foto itu, nampak Eyang Utari duduk di atas kursi kayu sambil memangku diriku saat masih kecil. Di samping Eyang, berdiri seorang bocah laki-laki. Dia Dirga, putra sulung Om Dimas dan Tante Ratih.

Kudengar dari Om Dimas, putranya itu kuliah di kota dan hanya pulang saat weekend saja.

Suara dering ponsel yang sebelum terdengar keras, sudah tak terdengar lagi. Namun tak kurang dari sepuluh menit benda pintar itu kembali berpendar.

Mataku menyipit, saat layar ponsel menampilkan nama Mbak Aluna. Kuhela nafas panjang sebelum akhirnya mengangkat teleponnya.

"Halo, Nara? Kamu di mana?" Suara Mbak Aluna. Tapi, aku tak menjawab.

"Nara, aku tahu kamu marah. Tapi kamu sudah dewasa, jangan bersikap seperti anak kecil. Main kabur-kaburan."

Mendengar ucapan Mbak Aluna, mendadak dadaku bergemuruh. "Aku diusir Mbak, bukan kabur!" tegasku.

"Papa tidak bermaksud mengusirmu. Papa hanya kecewa sama kamu, makanya memintamu pergi untuk sementara waktu. Harusnya kamu turuti perintah Papa. Sekarang tak hanya Papa, tapi Mama juga kecewa sama kamu."

Apa aku tidak salah dengar? Aku yang tersakiti tapi mereka yang kecewa. Lucu sekali!

"Harusnya aku yang kecewa sama kalian. Terutama sama kamu, Mbak." Tanganku mengepal menahan amarah. "Teganya kamu mengkhianatiku?"

"Nara, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Pulanglah dulu nanti Mbak jelaskan," kata Mbak Nara.

Belum sempat aku menyahut, tiba-tiba….

"Sudah jangan terlalu lembut padanya, suruh saja dia pulang sekarang atau tidak usah pulang selamanya!" Suara Papa terdengar tegas.

Mendengar ucapan Papa, dadaku terasa sakit lagi. Rasa sakit itu seolah mencekik dan membuatku sesak nafas.

Ponsel di genggamanku terjatuh. Suara Papa terdengar mengecil. Aku memejam sambil menarik nafas panjang. Berusaha untuk tenang dan rileks. 

"Tidak apa-apa, kamu akan baik-baik saja." 

Seperti pesan Mama, jika dadaku terasa sesak aku harus mengafirmasi diri sendiri dengan hal baik.

Setelah lebih tenang dan rasa nyeri di dada sedikit merda, aku turun dari tempat tidur. Melangkah keluar untuk mengambil minum.

Di ruang tengah sepi. Kucoba memanggil Tante Ratih, tapi tak ada sahutan. Kuteruskan langkah ke arah dapur. Aku yakin kalau hanya minum, Tante Ratih tak akan marah jika aku mengambil tanpa izin.

Dapur juga sepi. Di atas meja dapur, sebuah teko berisi air dan empat gelas terbalik mengitari. Kuambil satu gelas dan mengisinya dengan air dari teko. Setelahnya aku mendudukkan diri dan meminumnya pelan-pelan.

Baru dua teguk, terdengar samar-samar suara dari halaman belakang. Itu suara Om Dimas, sesekali dia menyebut namaku.

Awalnya aku tidak berniat menguping. Tapi kalimat demi kalimat membuatku perlahan mendekati pintu dapur yang terbuka sedikit.

"Kamu sebagai ayah kandungnya, harusnya bisa lebih bijak menyikapi masalah anak-anakmu. Jangan malah berat sebelah!"

Om Dimas terdengar marah.

"Tepati janjimu maka aku tidak akan ikut campur. Ingat, aku tidak pernah memihakmu!"

Janji? Aku semakin penasaran dan mulai mengintip. Om Dimas berdiri dengan ponsel menempel di telinga. Di sampingnya Tante Ratih mengelus pundak suaminya itu.

"Biarkan Kinara di sini sampai dia sendiri yang ingin ingin pulang. Jangan memaksanya atau aku akan melakukan apa yang sudah seharusnya kulakukan dari dulu."

***

Suara ketukan pintu membuatku yang terlelap terpaksa membuka mata.

"Nara!" Suara Tante Ratih cukup keras.

Dengan tubuh yang masih sempoyongan aku membuka pintu. "Iya, Tante?"

"Sudah sholat subuh?" Tante Ratih sudah memakai mukena berdiri di depan pintu.

Aku mengerjap beberapa kali, lalu menggeleng pelan. Malu, itu pasti karena sudah lama sekali aku tidak melaksanakan kewajiban itu.

Tanpa banyak kata Tante Ratih langsung menarik tanganku. "Ayo sholat berjamaah," ajaknya. Aku manut saja.

"Ambil wudhu." Tante Ratih menunjuk pada kran khusus di dekat dapur. "Jangan lama-lama ya," imbuhnya lalu berjalan menuju ruangan khusus antar ruang dan dapur.

Gegas aku membuka keran air. Sembari berniat dalam hati aku membasahi kedua tangan.

"Bisa niat nggak?"

Aku langsung menoleh, seorang pria berdiri sambil melipat tangan di dada.

"Kamu?" Aku mengernyit berusaha mengingat siapa laki-laki itu. "Dirga…?"

Dirga mendengus. “Udah lupa sama sepupu sendiri?”

Sontak aku memutar mata jengah, sikapnya masih saja kekanakan. Ya... sejak kecil kami tidak pernah akur. Dirga sangat usil. Terakhir kami bertemu sekitar delapan tahun lalu dan aku dibuatnya kesal setengah mati.

"Nara, Dirga cepat!" teriak Ratih.

"Iya." Kompak kami menjawab. Entah kenapa melihat wajah panik Dirga aku pun ikut panik.

"Cepat, cepat," gumamnya memburuku.

"Kalian itu ngapain aja sih, keburu habis waktu subuhnya gara-gara nungguin kalian." Tante Ratih mengomel begitu kami sampai.

"Pasti Mas Dirga gangguin Mbak Nara," sahut Raka, bocah sepuluh tahun, putra bungsu Om Dimas.

"Sok tahu kamu!" Dirga melototi adiknya.

"Sudah-sudah, Raka ayo iqomah!" perintah Om Dimas.

Raka langsung berdiri, satu tangan menempel di sisi kanan kepala sembari membaca bacaan iqomah.

Aku yang sudah memakai mukena berdiri di belakang Dirga, tepat di samping Tante Ratih. Di ruangan empat kali enam meter itu suara Raka terdengar merdu, membawa kedamaian di dalam dada.

Setiap lafadznya seolah membawa kesejukan tersendiri dalam hati. Meski sakit itu tak sepenuhnya hilang, tapi setidaknya sedikit berkurang.

***

Pagi ini selesai sarapan, Tante Ratih mengajakku pergi ke pasar untuk berbelanja. Aku pun bersiap, memakai kaos oblong dan celana jeans.

Saat hendak keluar kamar, layar ponsel berpendar. Kayra, sepupuku dari Mama mengirim pesan.

[Nara, kamu di mana? Kudengar kamu sudah balik dari Jerman? Aku sudah dengar tentang pernikahan Mbak Aluna.]

[Nara, setelah membaca pesanku, segera hubungi aku. Ada berita yang penting yang harus kusampaikan. Ini berhubungan dengan perusahaan Papamu.]

Tanpa pikir panjang kuhubungi gadis itu.

"Halo Nara, kamu di mana? Kenapa tidak menghubungiku?"

"Aku butuh waktu sendiri. Katakan ada info apa?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Aku dengar dari Papaku, Papamu akan segera mengumumkan Mbak Aluna menjadi CEO, untuk menggantikannya. Dan itu akan dilakukan di pesta pernikahan Mbak Aluna."

Aku cukup terkejut. Meski dari awal aku sudah bisa menduganya. Tapi tidak menyangka akan secepatnya ini. 

Papa masih sehat, kenapa tiba-tiba mundur dari jabatan CEO?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Setelah Luka   "Berani menyentuhnya, kupatahkan tanganmu!"

    Sepanjang jalan beberapa kali aku mengangguk, membalas sapaan ibu-ibu yang tak sengaja berpapasan denganku. "Mbak Nara," sapa beberapa orang sambil tersenyum ramah. Ya, mungkin karena Om Dimas termasuk orang yang cukup disegani di kampung, sehingga meski aku baru seminggu tinggal di sini tapi hampir semua warga mengenalku. "Iya Bu," kubalas sapaan ibu-ibu itu dengan senyum ramah pula. Meski sebenarnya dadakubsedang bergemuruh karena amarah. Ucapan Mas Arka masih terus terngiang di telinga. Belum lagi sikap Mbak Aluna yang seolah sengaja memojokkanku. Aku ingat betul, aku tidak mendorongnya sekeras itu sampai membuatnya terjatuh. "Neng cantik mau kemana?" tanya ibu-ibu paruh baya sambil membawa bakul anyaman. "Mau ke sawah nyusul Pak Dimas?" sambungnya sembari tersenyum. Tunggu, segera aku menoleh kiri dan kanan. Entah seberapa jauh aku bejalan, kini aku sudah berada di jalanan menuju pintu masuk desa. Gapura masuk desa hanya tinggal beberapa meter dari tempatku berdi

  • Cinta Setelah Luka   Tak bisa menahan lagi.

    "Mas Arka?" Mata Kinara melebar begitu melihat Arka yang berlari mendekat. Wajah pria itu terlihat panik. "Aluna kamu nggak papa?" katanya, lalu merunduk menyamakan posisinya denga Aluna yang terduduk di bawah. "Kakiku sakit, Mas." Mbak Aluna merengek manja. Wanita itu seperti sosok yang berbeda. Matanya memerah seperti hendak menangis. Mas Arka menoleh padaku. Matanya menatapku tajam. "Kamu mendorong Aluna!" bentaknya kasar sampai membuatku kaget. Saking kagetnya, tubuhku terhuyung kebelakangan. Beruntung ada Dirga yang segera memegangiku. "Kamu nggak papa?" tanya Dirga sembari memegang pundakku. Aku menggeleng sebagai jawaban. "Bisa bicara baik-baik nggak?" ujar Dirga menatap Mas Arka datar. "Cih.. baik-baik?" Mas Arka mencibir. Lebih dari sebelumnya, kini wajah pria itu sudah memerah dan sorot matanya penuh amarah. "Apa lagi yang mau dibicarakan baik-baik? Jelas-jelas dari dalam mobil aku melihat dengan Aluna jatuh karena di dorong Nara," lanjutnya sinis. "Ak

  • Cinta Setelah Luka   Kedatangan Aluna.

    Dengan dibantu Dirga, Aku keluar untuk menemui Mbak Aluna. Di kursi teras rumah, Mbak Aluna duduk sembari memanin ponselnya. Wanita itu masih mengenakan setelan kantor. Aku sangat yakin kakakku itu dari kantor. Dan kemungkinan besar Papanya juga Mama tidak tahu kedatangannya kesini. "Khem.. " Dirga berdehem dan kakak perempuanku itu langsung mendongak. Matanya melebar, kaget. "Astaga Nara, kamu kenapa?" tanya Mbak Aluna dengan raut wajah terlihat khawatir. Namun, aku hanya menatapnya datar. Entahlah, mungkin karena masih kesal sama Mbak Aluna, jadilah aku merasa kekhawatirannya itu tidak tulus. "Sini biar aku bantu," katanya lagi lalu melangkah maju. Aku langsung mengankat tangan. "Tidak perlu," tolakku yang langsung membuat wajah cantik itu berubah muram. Sejujurnya aku juga tak tega bersikap sekasar itu pada Mbak Aluna. Selama ini dia adalah saudara yang baik. Tapi, apa yang dia lakukan padaku kali ini, sungguh sangat menyakitkan. Sampai aku duduk, Mbak Aluna masih

  • Cinta Setelah Luka   Apa itu cinta?

    "Tante belanja ke warung depan sebentar, kamu di kamar aja," kata Tante Ratih, setelah meletakkan segelas air putih di atas meja samping tempat tidur dan mengambil duduk di sisi ranjang tepat di sebelahku yang sedang terbaring sejak kemarin sore."Kaki kamu masih sakit?" tanyanya sambil memeriksa pergelangan kakiku yang diperban.Aku menggeleng. Setelah diurut semalam kaki kananku sudah tidak sesakit sebelumnya. "Sudah mendingan kok Te, maaf jadi merepotkan semua orang," ucapku menyesal."Tante yang harus minta maaf, harusnya gak nyuruh kamu ke sawah." Tante Ratih terlihat menyesal. "Sebenarnya Tante ingin kamu ada kegiatan agar tidak melamun saja, tapi kamu malah jatuh ke sawah dan kakimu keseleo. Bagaimana kalau Mamamu tahu, pasti marah sama Tante."Aku menggelengkan kepala. "Bukan salah Tante, aku aja yang gak hati-hati." Sedikitpun aku tidak menyalahkan Tante Ratih atas kejadian kemarin."Ya, sudah Tante tinggal sebentar ya. Kalau butuh apa-apa, panggil aja Dirga. Dia ada di ruan

  • Cinta Setelah Luka   Bertemu orang baru

    Mendadak lidahku kelu, tatapan pria itu sangat tajam dan dingin.Namun detik berikutnya, wajah dingin itu tiba-tiba mengulum bibir menahan tawa. Membuatku mengernyit."Sudah gede, tapi tingkahnya kayak anak kecil." Pria itu mencibir.Mataku sontak melebar. Mendadak aku jadi kesal. Tatapan matanya itu seperti mengejekku. "Kamu siapa? Maksudnya apa bicara seperti itu?" tanyaku sambil mengangkat dagu."Harusnya aku yang tanya, kamu siapa? Berani sekali bermain di sawah milikku?" tanya balik pria itu.Aku mengerutkan dahi, lalu menoleh pada Lestari. "Bukannya ini sawah Om Dimas?" bisikku."Bukan, Mbak Nara. Sawah Pak Dimas di sebelah sana. Yang sini milik Bu Rosidah. Neneknya Pak Tristan Elgara," jawab Lestari tak kalah lirih sambil melirik pria yang berdiri sambil berkacak pinggang."Oh…." Mengangguk agak malu tapi kucoba tetap bersikap angkuh. "Baru punya sawah aja sombong," gumamku yang mungkin terdengar oleh pria itu, terlihat wajahnya makin masam."Maaf, tadi aku nggak sengaja terja

  • Cinta Setelah Luka   Berusaha untuk ikhlas.

    Sudah satu minggu aku tinggal di rumah Om Dimas. Setiap pagi aku diajak Tante Ratih pergi ke pasar, entah untuk belanja bahan makanan, atau hanya sekedar membeli jajanan tradisional.Aku tahu Tante sengaja membawaku keluar untuk mengalihkan pikiranku dari masalah dan sakit hatiku.Lalu, sepulang dari pasar, Tante Ratih akan memintaku membantunya memasak. Mengajariku banyak hal tentang cara membuat makanan.Kadang aku juga diajak berkebun, menanam sayuran juga menanam bunga dan tanaman hias di halaman depan. Dan tak jarang diminta ikut Dirga ke kota untuk membeli pupuk dan bahan-bahan pertanian.Keluarga Om Dimas benar-benar menjagaku dengan baik. Aku tahu mereka tulus. Karena itu aku berusaha untuk terlihat kuat, meski setiap kali sendirian rasa sakit hati dan kecewa kembali menyerang. Membuatku seperti manusia yang kehilangan separuh jiwanya.Aku hampa, kosong, dan sepi.Saat semua kegiatan selesai aku memilih menikmati kesendirian di halaman belakang rumah. Menatap hamparan sawah d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status